Analisis Îmãn (9)
THE JAMBI TIMES - Dalam uraian terdahulu telah disebutkan bahwa teori para ahli sejarah
secara keseluruhan mengarah pada kesaimpulan: Sejarah adalah kisah
hidup manusia dengan segala karakter dan sepak-terjangnya. Namun
perlu ditambahkan bahwa yang mereka maksud adalah “kisah hidup manusia di
masa lampau”, bukan manusia zaman sekarang apalagi zaman yang akan datang.
Secara umum, orang memang bersepakat menganggap sejarah sebagai rangkaian
kisah masalalu. WJS. Poerwadarminta, misalnya menyebut sejarah sebagai
kejadian dan peristiwa yang benar-benar terjadi pada masa yang lampau.
Persamaan katanya adalah riwayat dan tambo.[1] Yang lain menatakan bahwa sejarah (history)
adalah all the things that have happened in the past, especially to a
country, organization etc that has existed for a long time.[2] (segala sesuatu yang terjajdi di
masa lalu, terutama dalam sebuah negara, organisasi, dan sebagainya yang
telah berdiri dalam waktu yang lama.
Definisi yang cukup menggembirakan dikemukakan oleh Ahmad Mansur
Suryanegara. Ia bilang:
Secara terminologis, sejarah sebagai istilah diangkat dari bahasa Arab,
syajaratu yang berarti pohon. Secara terminologis saja, kata ini memberikan
gambaran pendekatan ilmu sejarah yang lebih analogis; karena memberikan
gambaran pertumbuhan peradaban manusia dengan “pohon”, yang tumbuh dari biji
yang kecil menjadi pohon yang rindang dan berkesinambungan. …[3]
Jelas ia menganggap sejarah analogous (sama) dengan “pertumbuhan
peradaban manusia …” Bisa kita tambahkan di sini bahwa pertumbuhan itu
seperti halnya pohon, terjadi mengikuti ‘pola’ tertentu sehingga bisa terjadi
berulang-ulang, membentuk suatu siklus (lingkaran) yang tetap.
Benarkah sejarah manusia terjadi seperti itu?
Al-Qurãn menyebut sejarah dengan berbagai istilah; antara lain sîrah
(perjalanan hidup), dan yaum (yang biasa diartikan ‘hari’). Tinjauan
kosmologis menyatakan bahwa apa yang disebut satu hari pada hakikatnya adalah
satu peristiwa perputaran bumi pada porosnya dalam peredarannya mengitaei
matahari. Jadi ini ‘sama’ dengan pertumbuhan pohon, yakni membentuk suatu
pergiliran.
Surat ali-‘Imran 137-140, selain menggunakan istilah sîrah dan sunan
(jamak dari sunnah), juga menggunakan bentuk jamak dari yaum,
yaitu ayyãm untuk menyebut sejarah:
137.
Tidak bisa diragukan lagi bahwa
sebelum kalian telah berlalu serangkaian perjalanan (sejarah manusia). Karena
itu telusurilah (perjalanan sejarah mereka) di bumi ini, serta camkan dalam
kalbu kalian bagaimana akhirnya (nasib) para ‘pendusta’ (ajaran Allah).
138.
Ini semua adalah gambaran tegas bagi
umat manusia, yang selayaknya jadi petunjuk serta argumen bagi para muttaqîn.
139.
Maka janganlah kalian (para muttaqqin)
bersikap lemah serta pesimis; karena kalian pastilah unggul bila kalian konsekuen
sebagai mu’min.
140.
Bila kesakitan menimpa kalian, maka
(sadarlah bahwa) kesakitan serupa itu pernah menimpa kaum (terdahulu).
Peredaran sejarah itu Kami pergilirkan dalam kehidupan manusia (juga
dituturkan berulang-ulang melalui wahyu-Nya) karena Allah ingin memberi
pelajaran para mu’min demi menjadikan kalian syuhadã’ (para pewujud
konsep Allah). Sebaliknya Ia tidak suka (bila kalian menjadi) kaum yang
zalim.
Allah Pencipta sejarah
Bila kita mengakui Allah sebagai Pencipta manusia, maka otomatis kita juga
mengakui Allah sebagai sebagai Pencipta sejarah, dalam arti bahwa Dia-lah
yang membuka peluang bagi manusia untuk menempuh jalan hidup yang
disediakan-Nya.
Surat al-Balãd ayat 10, menegaskan bahwa Allah membentangkan dua jalan
kehidupan bagi manusia, yaitu jalan kehidupan haq dan bathil.
Surat al-Fatihah juga mengungkapkan bahwa jalan hidup (shirãt) itu ada
dua, yaitu jalan hidup yang diridhai dan jalan hidup yang dimurkai. Keduanya
terbentang sejak awal penciptaan manuysia, sampai Allah berjehendak untuk
mengakhirinya. Dalam Surat al-Anbiyaa’ 104-106, Allah memaklumkan:
… sebagaimana Kami (Allah) telah memulai ciptaan pertama, (begitulah
seterusnya) Kami pasti mengulanginya. Itulah janji Kami. Kamilah yang
menjadikan pelaku (sejarah)
Sebenarnya, telah Kami cantumkan dalam kitab Zabur suatu peringatan
sebagai berikut ini: “Bahwa para abdi-Ku yang shalih pastilah mewarisi bumi
ini.”
Sebenarnya peringatan ini gamblang sekali bagi pada abdi(-Ku)
Ayat-ayat tersebut di atas mengajak kita bertanya: bila ada orang
mengatakan sejarah itu berulang, dari manakah sumbernya? Allah menegaskan
bahwa Ia sudah mengungkapkan hal itu dalam kitab-kitab-Nya, antara lain dalam
Al-Qurãn dan Zabur.
Jadi sejarah bukanlah sesuatu yang membeku atau mandek di masa lalu.
Sejarah adalah ibarat kereta yang terus berjalan menembus gelap dan terang,
dari waktu ke waktu dengan penumpang yang naik dan turun silih berganti.
Jelasnya, kereta tersebut adalah dunia ini, dan para penumpang utamanya
adalah manusia. Maka selagi bumi berputar, sejarah pun terus berputar.
Sedangkan bagi manusia, sebagai penumpang di bumi ini, suka atau tidak suka,
ia pasti hanyut dalam proses sejarah. Tapi ke manakah ia akan mengalir?
Bermuara ke Jahanam atau ke Jannatu Na’im?
Perjalanan hidup
Berdasar uraian di atas dapat disimpulkan bahwa “sejarah iman” adalah
“perjalanan hidup manusia berdasar konsep iman masing-masing; yang secara
keseluruhan terbagi menjadi dua, yaitu haq dan bathil.”
Dengan mengikuti konsep yang diyakininya, manusia mengisi ruang dan waktu
sebagai fã’il (pelaku) sejarah, dan secara bergiliran tampil di
permukaan bumi sebagai pemenang atau pecundang.
Para Rasul diutus Allah untuk menyusun dan memimpin barisan kaum
pendukung kebenaran. Iblis dan antek-anteknya dipersilakan mementaskan konsepnya
sendiri. Dalam Surat ash-Shaffat 60-74 Allah menggambarkan demikian:
60. Sebenarnya inilah
(Jannah) yang merupakan kejayaan agung.
61. Untuk meraih
kejayaan seperti itulah para pelaku sejarah hendaknya menata perilaku mereka.
62. Apakah (konsep
Jannah) itu merupakan capaian (prestasi) unggul (khairu-nuzulan) atau
syajarah zaqûm?
63. Sebenarnya Kami
jadikan syajarah zaqum itu sebagai fitnah (penambat hati) kaum zhalim.
64. Sebenarnya syajarah
zaqum adalah (konsep) sejarah yang tumbuh dalam kehidupan Jahanam
65. Serbuknya keluar
dari kepala para syetan
66. Maka sebenarnya
(gagasan para syetan) itulah yang mereka ‘makan’ sampai buncit perut mereka.
67. Selanjutnya, dengan
menjalankan gagasan demikian, sebenarnya mereka hidup bagai buih di air
neraka (kacau balau)
68. Selanjutnya memang
terminal kehidupan mereka adalah Jahanam
69. Sebenarnya mereka
(para pelaksana konsep syetan itu) mengetahui bahwa nenek-moyang mereka (yang
mereka jadikan panutan) adalah kaum yang sesat.
70. Tapi mereka bergegas
juga mengikuti jejak nenek-moyang (yang sesat itu)
71. Padahal telah jelas
bahwa para pendahulu mereka itu kebanyakan telah melakukan perusakan
(terhadap konsep yang benar).
72. Dan sebenarnya telah
Kami utus pula kepada mereka para rasul yang memberikan peringatan.
73. Tapi perhatikanlah
keadaan orang-orang yang diberi peringatan itu.
74. (Semua asyik dalam
kesesatan), kecuali para hamba Allah yang tulus-ikhlas menjalankan konsepnya.
Jadi dalam pandangan Allah, yang terungkap melalui Al-Qurãn, sejarah pada
hakikatnya adalah reaksi manusia dari masa ke masa dalam menanggapi dua jenis
tawaran, untuk beriman atau kufur. Dan dari masa ke masa pula, Allah terus
memberikan peringatan agar manusia mengejar keberuntungan dengan memilih
konsep yang haq. Dalam Surat Luqman ayat 29, misalnya, Allah berikan
peringatan itu dengan menggunakan proses alam sebagai sampiran:[4]
Tidaklah kaliam perhatikan bahwa Allah “melarutkan” malam dalam
siang dan “melarutkan” siang dalam malam, dengan menjadikan matahari dan
bulan patuh beredar dalam ruang dan waktu yang ditentukan? (tidakkah kalian
sadari pula) bahwa Allah membeberkan petunjuk segamblang-gamblangnya tentang
apa yang harus kalian lakukan?(a.h)
[4] Secara harfiah
sampiran berarti kain yang disampirkan (dibiarkan menggelantung) di bahu,
sebagai perhiasan, seperti selendang, dsb. Dalam seni pantun, sampiran adalah
rangkaian kalimat yang disusun semata-mata untuk menarik perhatian. Contoh: “berakit-rakit
ke hulu, berenang-renang ke tepian. Bersakit-sakit dahulu ,
bersenang-senang kemudian.” Kalimat yang dicetak miring disebut sampiran.
|