Analisis Îmãn (8)
1.
Filsafat Macchiavelli
THE JAMBI TIMES - Nikolo Macchiavelli (1469 – 1527) adalah penulis dan negarawan Italia dan
tokoh Renaissance terkemuka. Ia dikenal dunia sebagai orang yang
mengembangkan prinsip “tujuan menghalalkan cara”. Kepiawaiannya dalam ilmu
sejarah dibuktikan melalui bukunya yang berisi kajian tentang sejarah
Firenze, daerah tempat kelahirannya, yang ditulis secara ilmiah. Konon
bukunya ini telah membuka cakrawala baru dalam penulisan sejarah.[1]
Macchiavelli secara sungguh-sungguh telah mengkaji sejarah dan filsafat
Yunani serta Romawi, untuk selanjutnya berusaha mengorak kejumudan yang
terdapat di zaman pertengahan; kejumudan yang menggejala di kalangan para
pemikirnya. Beberapa konklusi dia peroleh dan rumusannya kemnudian
menancapkan pengaruh yang begitu mendalam dalam Sejarah Pemikiran Politik.
Studi kesejarahan yang dilakukannya itu ternyata mempengaruhinya untuk
mnengatakan, “Segala sesuatu yang hidup pasti mengalami mati. Semua
makhluk hidup ini berbuat sendiri-sendiri dan berjalan menurut jalurnya,
sekali pun dalam banyak kali terjadi perbedaan antara sesamanya … Masa depan
tidaklah dapat diramalkan, kecuali melalui penelitian akan masa lampau. Peristiwa-peristiwa
yang terjadi disetiap generasi pasti serupa dengan peristiwa yang telah
terjadi di masa yang lalu. Keserupaan ini disebabkan karena
peristiwa-peristiwa termaksud timbul dari manusia yang sama-sama memiliki
kesadaran dan kecenderungan yang serupa. Dengan demikian pasti mereka
terkena pengaruh dan memiliki keinginan dan ambisi yang sama adanya; sama
antara berbagai negeri, sama antara perseorangan, baik di zaman yang silam
maupun di zaman yang akan datang.
Seluruh filsafat Maccheavelli berkisar di seputar manusia dengan segala
kecenderungan dan wataknya. Oleh karena inilah dia menafsirkan semua
peristiwa sejarah di bawah naungan watak manusia itu sendiri. “Ambisi selalu
berada dalam diri manusia, dan karena itu mereka tidak pernah sunyi darinya,
betapa pun mereka telah mencapai taraf kemajuan tertentu. Ini disebabkan
karena manusia ini diciptakan untuk menyenangi segala dan untuk sekaligus
tidak mampu mencapai kesegalaan yang dimaksud. Jiwa manusia senantiasa tidak
puas dengan apa yang ada, karena ambisinya jauh lebih tinggi ketimbang
kemampuan untuk bersikap rela dan puas. Inilah penyebab keruntuhan
kerajaan demi kerajaan. Orang-orang kuatnya tidak puas dengan apa-apa yang
telah dimiliki, sementara masyarakat yang lemah dan egois merasa gusar
terhadap orang-orang kuat yang tak kunjung puas itu sambil menunggu-nunggu
kejatuhannya. Baik kejatuhan orang-orang kuat dari kekuasaannya maupun
kenaikan orang baru adalah dimotivasi oleh faktor ambisi yang sama.[2]
1.
Tinjauan
Berbagai teori tentang sejarah di atas secara keseluruhan mengarah kepada
satu kesimpulan bahwa sejarah dalam pengertian mereka adalah “kisah hidup
manusia dengan segala karakter (sifat, watak) dan sepak-terjangnya”. Secara
keseluruhan bisa kita lihat bahwa mazhab-mazhab tersebut melihat sejarah
seperti orang-orang buta menebak bentuk gajah.
Henry Ford, melalui teorinya, mewakili orang yang berkarakter liberal,
yang ingin hidup dengan tidak dipengaruhi gagasan atau ajaran siapa pun. Tapi
adakah manusia yang mampu hidup demikian? Adakah orang yang kebal dari
pengaruh suatu gagasan baik yang sudah ada di masa lalau maupun yang
ada di sekelilingnya pada masa hidupnya?
Al-Qurãn menegaskan bahwa manusia lahir dalam keadaan tidak tahu apa-apa.
Hadits menambahkan bahwa setelah lahir peran ‘orangtua’ sangat menentukan
perkembangan si anak berikutnya. Secara harfiah, orangtua ini berarti ibu dan
ayah. Tapi secara situasional dan kondisional, yang berperan sebagai
‘orangtua’ bagi si anak tidak hanya ibu dan ayah. Ada kalanya seorang anak
malah harus hidup tanpa ibu dan ayah biologis, tapi terpaksa hidup dengan
‘orangtua’ yang lain. Singkatnya, manusia hanya bisa hidup bila ada pasokan
bagi kebutuhan moral dan materialnya. Biasanya kebutuhan itu ‘diberikan’ oleh
lingkungan. Lingkungan adalah ‘orangtua’ yang sebenarnya bagi manusia.
Berdasar kenyataan itulah kita bisa membenarkan mazhab yang memandang
bahwa karakter manusia dibentuk oleh alam fisik. Namun ini hanya benar
sebagian. Seperti kata Dimont (Yahudi) tentang Yahudi, faktor geografis dapat
memberikan banyak warna dan corak karakter manusia. tapi bila manusia hanya
mengandalkan alam sebagai ‘guru’, maka ia tak akan bisa beranjak dari cara
hidup primitif.
Teori Marxis menegaskan kenyataan itu. Manusia tidak bisa hidup (relatif)
lebih baik dengan hanya mengandalkan hidangan alam fisik. Untuk itu manusia
membutuhkan suatu gagasan revolusioner, mulai dari cara memproduksi barang
(sistem ekonomi), yang selanjutnya akan merambah lembaga-lembaga
kemasyarakatan, termasuk etika dan agamanya, yang bisa dan harus disesuaikan
dengan sistem ekonomi yang baru.
Dengan demikian teori Freud hanya tampil sebagai tambahan, bahwa gagasan
yang revolusioner itu harus dihadapkan pada diri manusia sendiri, khususnya
alam bawah sadarnya yang dihuni berbagai nafsu jahat itu. Semakin canggih
jenis nafsu yang ditaklukkannya, semakin mungkin bagi manusia untuk
berperilaku lebih kreatif dan beradab! Sebenarnya teori Freud ini sangat
hebat. Namun agaknya kurang dipahami banyak orang, termasuk Freud sendiri.
Dengan menggunakan teori Freud, kita bisa menerangkan pandangan mazhab
Filosofis Spengler tentang perkembangan sejarah manusia. Timbulnya gagasan
untuk melawan nafsu bawah sadar adalah musim semi (saat tumbuh) bagi sejarah
peradaban manusia. Terus meningkat ke musim panas (saat manusia mencapai
prestasi fisik dan intelektual), lalu memasuki musim gugur (saat prestasi
intelektual menjadi mandek dan menurun), dan akhirnya memasuki musim dingin
(saat kemunduran intelektual itu mencapai titik gawat dan kemudian mati).
Mazhab kultus individu, hanyalah menegaskan bahwa suatu gagasan biasanya
dihidupkan oleh seorang manusia yang mampu tampil sebagai pemimpin. Bersamaan
dengan itu juga mengisyaratkan bahwa manusia hanya bisa berarti bagi
masyarakatnya bila ia didukung oleh suatu gagasan yang memang memenuhi hajat
masyarakatnya.
Akhirnya, tentang mazhab religius, kita mempunyai kecurigaan yang kuat,
bahwa pandangan yang diungkap Max I Dimont bukanlah gagasan yang berasal dari
manusia, tapi merupakan adaptasai dari gagasan Tuhan.
Gagasan yang diungkap Dimont sangat mirip dengan gagasan yang kita
temukan dalam Al-Qurãn “Tuhan memberi manusia kebebasan untuk bertindak.
Manusia bebas untuk dekat atau jauh dengan Tuhan. Dalam pandangan Yahudi,
sukses manusia adalah berkat usaha, bukan anugerah Tuhan. Seorang manusia
bisa mendapatkan kekuasaan karena bebas bertindak sesuka hati. Sukses atau
gagalnya manusia bukanlah tanggung-jawab Tuhan,” katanya.
Bandingkan perkataan Dimont tersebut dengan Surat al-Baqarah 256;
al-Kahfi 29; Ar-Ra’du 11; dll.
[2] Sejarah Islam
dalam Sorotan, Muhammad Khair Abdul Qadir, terj. Nabhan Husein, Yayasan
al-Amin, Jakarta, tt. Hal. 18-19.
|