Analisis Îmãn (10)
1.
Prosedur dan proses pembentukan iman
THE JAMBI TIMES - Di masa Orba sering terdengar orang menggunakan istilah ‘salah prosedur’.
Apa sebenarnya arti salah prosedur itu? Secara sederhana salah prosedur bisa
digambarkan seperti menjalankan kereta api di atas jalan mobil. Akibatnya,
jalan menjadi rusak, kereta menggelimpang, dan para penumpangnya mengalami
nasib malang.
Barangkali seperti itulah pula gambaran umat Islam yang mencapai imannya
tidak melalui prosedur yang benar (tapi tetap merasa benar); sehingga yang
muncul adalah kenyataan yang memprihatinkan seperti yang terungkap
dalam uraian-uraian terdahulu.
1.
Prosedur dan Proses
Prosedur (Inggris: procedure) adalah “metode yang dirancang dan
ditetapkan sebagai cara benar dan wajar untuk melakukan sesuatu (a planned
and fixed method that is the correct or normal way of doing something)[1]. Sedangkan proses (Inggris: process)
antara lain berarti (1) rangkaian tindakan atau perubahan, dan sebagainya,
yang saling berhubungan (connected series of actions, changes, etc.);
(2) Cara khusus yang digunakan di pabrik (method, especially one
used in manufacrure)[2].
Prosedur dan proses adalah dua hal yang tidak terpisahkan. Suatu prosedur
berlaku dengan berjalannya proses, dan suatu proses berjalan dalam jalur
prosedur. Prosedur adalah ibarat rel kereta api dengan kereta api yang harus
berjalan di atas rel itu. Menggelindingnya roda-roda kereta api dia
atas relnya dari titik A sampai Z, itulah proses. Melalui contoh ini
pula dapat ditegaskan bahwa setiap masalah harus diselesaikan dengan prosedur
dan proses yang berbeda. Dengan kata lain, tidak ada prosedur yang berguna
untuk semua masalah; dan setiap prosedur menuntut berlakunya proses yang
khas.
Pembentukan iman pun pasti membutuhkan prosedur dan proses tersendiri,
tidak bisa dilakukan secara sembarangan; bila ingin memperoleh hasil sesuai
harapan, yaitu fi dun-ya hasanah wa fil-akhirati hasanah.
Prosedur dan Sunnah
Allah menyampaikan wahyu melalui Malaikat dan manusia yang disebut
rasul. Rasul Allah mengajarkan wahyu secara lisan dan sekaligus memberikan
keteladanan. Selanjutnya, mendengar dan mencontoh Rasul itulah yang menjadi
prosedur yang sah untuk menerima wahyu Allah. Sedangkan prosesnya dicontohkan
Allah melalui penyampaian wahyu secara bertahap, dan begitu juga rasul
mengajarkannya kepada para pengikutnya.
Dengan demikian, prosedur berarti sunnatullah wa sunnaturasul
(ketetapan Allah yang diperagakan oleh Rasul), atau ringkasnya kita sebut
Sunnah Rasul saja.
Sunnah rasul adalah sesuatu yang planned (dirancang) dan fixed
(ditetapkan, dipastikan) untuk diikuti oleh para peminat ajaran Allah. Bila
menyimpang, tunggu saja saat kehancurannya. Sebuah Hadits Riwayat Ahmad
menegaskan: “man shana’a amran ‘ala ghairi amrina fa-huwa raddun”
(siapa pun yang merekayasa suatu urusan tanpa dasar perintah – konsep – kami,
maka perbuatannya itu berarti pembangkangan – terhadap kami).
Dalam Surat an-Nisa’ ayat 59 terdapat penegasan demikian:
Hai orang-orang yang beriman, patuhilah Allah dengan
cara mematuhi Rasul, yaitu manusia seperti kalian yang mengemban perintah
(Allah). Selanjutnya, apabila kalian memperselisihkan sesuatu, maka carilah
pemutusannya dalam ajaran Allah menurut Sunnah Rasul, bila kalian memang
beriman dengan ajaran Allah serta ingin mencapai Tujuan Akhir (hasanah; jannah).
Itulah sebaik-baik dan seindah-indahnya gambaran iman.
1.
Garis Iman
Proses pembentukan iman bisa juga disebut garis iman, “ … ialah
titik tindakan atau jumlah perbuatan yang sambung menyambung dalam satu garis
sehingga mencapai iman. Artinya, siapa pun yang mau memiliki atau mencapai
iman yang sebenarnya, dia harus melalui garis iman yang demikian, sebagaimana
(digariskan) menurut Sunnah Rasul.”[3]
Istilah garis iman hakikatnya sama dengan prosedur dan proses pembentukan
iman, namun lebih figuratif[4]. Karena itu pernyataan di atas
masih bersifat abstrak dan simbolis; sama abstraknya dengan sebuah hadits
yang menceritakan bahwa suatu ketika Nabi membuat berbagai garis di atas
pasir, lalu ia menunjuk sebuah garis lurus seraya mengatakan, “Inilah
jalanku! Yang selainnya adalah jalan-jalan syetan!”
Yang disebut sebagai jalanku oleh nabi dengan kata lain berarti
Sunnah Rasul, dan jalan-jalan Syetan berarti sunnah Syayãthîn
(sunnah para Syetan).
Lalu gambaran tegasnya bagaimana? Di atas dikatakan bahwa garis iman
dibentuk oleh “titik-tindakan” atau “jumlah perbuatan yang
sambung-menyambung” Tindakan apakah yang pertamakali harus dilakukan oleh
orang yang ingin mencapai iman? Berapa banyak jumlah perbuatan yang harus
dilakukan untuk membentuk ‘garis iman’ itu? Jawabannya tentu sangat relatif;
tergantung pada kebutuhan pragmatis[5] setiap orang. Pada dasarnya,
membentuk iman berarti membentuk kesadaran berdasar Al-Qurãn.
Anggap saja bahwa kita samasekali belum tahu Al-Qurãn. Maka tindakan
pertama yang harus dilakukan adalah mencari tahu secara kasar (global) dulu
apa itu Al-Qurãn. Setelah itu baru melakukan tindakan-tindakan yang lebih
mendetail (rinci), sesuai kemampuan masing-masing. Namun perlu diingat bahwa
dalam masalah pengkajian Al-Qurãn ini Allah sudah memberikan rumusan yang
bisa dijalankan semua orang, seperti yang terungkap lewat Surat al-Muzzammil
yang kelak akan kita pelajari.
1.
Aneka Garis Iman
Garis (tindakan; langkah) dalam membentuk iman tidak hanya satu, tapi
jumlahnya sangat ditentukan oleh pilihan orang yang bersangkutan.
Surat an-Nisa’ ayat 46 mengungkapkan sikap sejumlah orang yang me-Yahudi
(meniru Yahudi) yang mempelajari Al-Qurãn tidak melalui prosedur yang benar,
karena mempunyai motivasi buruk:
Segolongan manusia yang meniru Yahudi memutar-balik ajaran Allah dari
tujuan sebenarnya, seraya menyatakan, “Kami telah menyimak (mengkaji) tapi
kami menentang.” (Lalu mereka melancarkan propaganda), “Simaklah (kajilah) –
Al-Qurãn – tapi jangan bersungguh-sungguh.” Dan (kepada nabi) mereka
mengatakan, “Bimbinglah kami,”[6] dengan nada berolok-olok, yaitu
demi melecehkan ad-din (dinul-islam). Seandainya mereka benar-benar
menyatakan, “Kami menyimak dan kemudian mematuhi. Maka itu lebih baik bagi
mereka, dalam arti lebih meyakinkan. Tapi kekafiran mereka telah menyebabkan
Allah melaknat mereka (laknat Allah jatuh terhadap mereka), sehingga hanya
sedikit di antara mereka yang benar-benar beriman.
Ayat ini menegaskan adanya segolongan manusia, yang dengan mengikuti
pelopor Yahudi, melakukan pengkajian atas Al-Qurãn dengan tujuan melakukan
hasutan agar orang tidak melaksanakan konsep Al-Qurãn. Kepada orang lain
mereka bahkan menganjurkan agar pengkajian Al-Qurãn tidak dilakukan secara
sungguh-sungguh, tapi cukup secara main-main saja. Maka dari orang-orang
seperti ini memang tidak bisa diharapkan akan muncul para mu’min sejati,
kecuali beberapa gelintir saja yang mungkin menyadari kekeliruan mereka,
sebelum segalanya menjadi terlambat.
Surat al-Anfal ayat 20-22, menambahkan informasi demikian:
Hai orang-orang yang mengaku beriman, patuhilah Allah dengan cara
mematuhi rasul-Nya dalam arti jangan pernah berbalik belakang dari konsep ini
selagi kalian mengkajinya.
Janganlah kalian meniru orang-orang yang mengoceh, “Kami telah mengkaji
(Al-Qurãn)”, padahal sebenarnya mereka tidak melakukan pengkajian.
Sebenarnya sejelek-jelaknya (makhluk) yang melata (di bumi) dalam
pandangan Allah adalah manusia-manusia yang tidak memungsikan akal mereka,
sehingga mereka tak ubahnya orang tuli dan bisu.
Surat
al-A’raf ayt 198 lebih menegaskan lagi:
Bila kamu da’wahi mereka agar mengikuti petunjuk Allah, mereka tidak sudi
menanggapi. Meskipun kamu lihat mereka pasang muka ke arahmu, sebenarnya
mereka tidak memperhatikan da’wahmu.
Kebalikan dari mereka, Allah gambarkan dalam surat al-Baqarah ayat 285
demikian:
Rasulullah (Muhammad) hidup (beriman) dengan (ajaran Allah) yang
diajarkan kepadanya dari pembimbingnya. Begitu pula halnya dengan kaum mu’min
(para pengikut rasul). Semua sama beriman dengan ajaran Allah yang diajarkan
melalui malaikat-Nya dalam wujud Kitab-kitab-Nya, yang disampaikan oleh para
rasul-Nya. (semua sama menyatakan), “Kami tak akan pernah membeda-bedakan
salah seorang rasul dari Rasul-rasul-Nya (Allah).” Selanjutnya mereka
menegaskan pendirian, “Kami telah mengkaji (Al-Qurãn), dan
kami telah siap mkematuhinya. (Kami mengakui) inilah jalan perbaikan hidup
menurut-Mu, wahai Pembimbing kami. Dan selanjutnbya jalan-Mu inilah yang
pasti kami tempuh”
Berdasar kenyataan demikian, maka dapat disimpulkan bahwa garis iman
secara keseluruhan (haq maupun bathil) meliputi
kelompok-kelompok seperti ini:
1.
Kelompok yang melakukan pengkajian
Al-Qurãn secara bersungguh-sungguh, lalu menyatakan untuk melaksanakannya
secara sungguh-sungguh pula. Mereka ini adalah para mu’min yang dikepalai
oleh Rasul.
2.
Kelompok yang melakukan pengkajian
Al-Qurãn secara sungguh-sungguh, namun selanjutnya menyatakan tidak sudi
menjadikannya sebagai pedoman hidup. Mereka ini sebut saja sebagai “kelompok
cerdik-cendekia yang berafiliasi (mengaitkan diri) kepada Yahudi”.
3.
kelompok yang menjadi korban
propaganda/siasat Yahudi, yaitu yang melakukan pengkajian Al-Qurãn secara
tidak sungguh-sungguh, sehingga sikap obyektif mereka terhadap Al-Qurãn pun
sulit diharapkan. Mereka ini mungkin mencakup “kalangan cerdik-cendekia yang
mengkaji Al-Qurãn secara tidak langsung, yaitu hanya dengan perantaraan
buku-buku karya orang-orang yang dianggap pakar.”
4.
kelompok jahiliyah yang terbagi
menjadi dua golongan, yaitu:
1.
Yang tidak sudi menoleh Al-Qurãn,
sehingga secara apriori menyatakan kafir terhadapnya. Mereka ini meliputi
kaum awam, Yahudi, Nasrani, Majusi, dan seterusnya, yang sejak awal memang
sudah dibentengi dengan doktrin-doktrin yang menyebabkan mereka menolak
mentah-mentah tawaran Al-Qurãn.
2.
Yang tidak mau mengkaji Al-Qurãn tapi
menyatakan sebagai pendukung Al-Qurãn, dan otomatis mereka mengaku mu’min
yang mencintai rasul, walau dalam kenyataan model kehidupan mereka sehari-hari
bertentangan dengan apa yang diajarkan rasul. Mereka adalah korban da’wah
para ulama yang mengajarkan bahwa membaca Al-Qurãn tidak harus mengerti,
karena tidak mengerti pun pasti dapat pahala!
[4] Suatu kata disebut
figuratif bila tidak digunakan untuk mengungkap makna harfiah tapi makna
imajinatif, sepertti kata membara, dalam kalimat: “Semangatnya untuk
sukses demikian membara.”
[5] Pragmatic,
berkenaan dengan hasil-hasil, alasan-alasan, dan nilai-nilai praktis. Suatu
tindakan dikatakan pragmatis, bila bisa menjawab kebutuhan saat itu.
Misalnya, memberikan makanan kepada orang lapar. Bila orang lapar disuruh
mencangkul dulu sebeluym makan, maka ini berarti tidak pragmatis.
[6] “Bimbinglah kami”
adalah terjemahan penulis dari kata raa’ina yang menurut Mahmud Yunus
dalam tafsirnya berarti: jagalah kami, gembalah kambing kami, atau ungkapan
makian dalam bahasa Ibrani. Sedangkan menurut ‘Abdullah yusuf Ali, kata
tersebut dalam bahasa Arab yang sopan berarti: pelihara dan jagalah kami; dan
dalam bahasa Ibrani berarti: orang kita yang buruk.(a.h)
|