Analisis Îmãn (11)
1.
Sami’na atau Rattil : Persiapan mencapai Iman
THE JAMBI TIMES - Istilah sami’na (harfiah: kami telah mendengar) kita gunakan untuk
menyebut “rangkaian pengkajian Al-Qurãn dalam rangka membentuk pandangan hidup
berdasar Al-Qurãn”. Tujuan dari sami’na adalah atha’na
(harfiah: kami telah patuh), yaitu ‘menjelmanya pandangan (yang bersifat ghaib/abstrak)
ke dalam sikap hidup (yang bersifat syahadah/konkret).” Surat Ali-‘Imran
ayat 193 menegaskan bahwa tujuan sami’na secara umum adalah pembebasan total
dari segala kecenderungan diri untuk melakukan hal-hal yang bersifat sayyi’ãt
(buruk), demi menempati posisi abrãr (patuh, menjunjung tinggi
kebenaran).
Kemudian secara teknis, sami’na ini kita bagi menjadi:
1.
Rattil sebagai persiapan iman
2.
Shalat sebagai pembinaan iman; dan
3.
Pendidikan menuju siap rattil.
1.
Rattil sebagai Persiapan Iman.
Secara harfiah rattil berarti : bacalah, pelajarilah, kajilah. Kata
ini kita ambil dari Surat al-Muzzammil ayat 4, yang selanjutnya kita gunakan
sebagai istilah yang berarti: Kegiatan mengkaji Al-Qurãn pada malam hari
yang dilakukan bersama kelompok. Tentu dengan dipimpin ketua kelompok yang
relatif paling memahami Al-Qurãn, sesuai isyarat Allah dalam surat Al-Muzzammil
ayat 20.[1]
Dengan demikian, para pelaku rattil adalah orang-orang yang sudah
mempunyai persiapan untuk menghadapi, karena mereka boleh dikatakan sudah tidak
lagi menemukan masalah besar dalam menghadapi matan (teks) Al-Qurãn.
Tentu ada sejumlah pertanyaan yang perlu dijawab secara ghamblang, misalnya
(1) Apakah masalah-masalah besar yang menghambat kita dalam melakukan rattil?
(2) Apakah ukurannya bahwa seseorang telah bebas dari masalah-masalah itu?, (3)
Apakah ukurannya bahwa seseorang sudah boleh masuk kelompok rattil? (4) Apakah
kegiatan rattil bisa menjamin para pelakunya menjadi mu’min sejati?, (5)
Apakah rattil bisa dilakukan secara sendiri-sendiri?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut harus terjawab tuntas sebelum rattil
dilakukan, yaitu melalui proses “pendidikan menuju siap rattil”
Sedangkan pada saat rattil, pertanyaan-pertanyaan seperti itu seharusnya sudah
tidak ada. Bukan berarti bahwa pada saat rattil pelakunya sudah tidak punya
pertanyaan lagi; tapi justru pada saat itulah segala pertanyaan yang tersisa
diajukan langsung kepada Allah, melalui Al-Qurãn, karena sudah tidak mungkin
lagi diajukan kepada manusia! Dengan kata lain, pada saat rattil seseorang
boleh dikatakan sedang melakukan audiensi[2]
dengan Allah, untuk minta penjelasan mengenai segala permasalahan hidup.
Khusus untuk pertanyaan terakhir, “Apakah rattil bisa dilakukan seseorang
secara sendirian?” Jawabannya adalah: bisa saja. Tapi sangat sulit. Karena ia
harus mempunyai persiapan yang relatif lengkap, dan ini sangat sulit dipenuhi.
Selain itu, seandainya bisa, bila setiap individu dibiarkan melakukan rattil
sendiri-sendiri, maka mereka akan memahami Al-Qurãn secara berbeda-beda;
melahirkan pendapat yang tidak sama; sehingga ini akan menjadi benih perpecahan
dan perselisihan. Sedangkan bila dilakukan bersama kelompok, satu sama lain
bisa tawashau bil-haqqi, bisa saling menutupi kekurangan, dan lain-lain;
sehingga hasil rattil bisa disimpulkan bersama.
Hambatan-hambatan Rattil
Secara garis besar hambatan-hambatan yang timbul di dalam melakukan rattil
dapat dibagi ke dalam dua jenis:
1.
Hambatan Psikologis
Hambatan Psikologis adalaha hambatan pertama dan utama. Hambatan ini timbul
dari sumber yang dikatakan oleh Hadits[3]
sebagai abawani; yang secara harfiah berarti “kedua orangtua”
(ibu-bapak) namun dalam kaitan dengan pembentukan iman istilah ini bisa berarti
“para senior” atau tepatnya berarti “para nara sumber ilmu”. Oknumnya tentu
bisa kerdua orangtua, para guru, teman, dan sebagainya; bahkan bisa berupa
media massa. Intinya si abawani inilah yang menyebabkan seseorang
menjadi berpandangan dan bersikap seperti Yahudi, atau Nasrani, atau Majusi.[4]
Masukan-masukan dari sumber Yahudi, Nasrani, dan Majusi itu dengan kata
lain berarti “berbagai ajaran yang berasal dari arbaban min dunillah”
(tuhan-tuhan selain Allah). Semua bisa secara bersama-sama atau terpisah,
merasuk ke dalam diri setiap orang, termasuk yang mengaku muslim. Bahkan ketika
Islam turun, bangsa Arab Quraisy yang mengaku sebagai penganut agama Ibrahim
itu ternyata dipengaruhi oleh ketiga ajaran tersebut. Barangkali karena itulah
dalam hadits tersebut Nabi menyebutkan ketiga agama itu sebagai sindiran atau
peringatan terhadap bangsa Arab, karena mungkin ketiga agama itulah yang
menjadi penghambat mereka untuk menerima Islam, di samping agama-agama khas
mereka sendiri.
Jadi hambatan psikologis dalam mengkaji Al-Qurãn timbul karena berbagai
ajaran yang telah mengakar dalam diri manusia, yang selanjutnya menyebabkan
mereka apriori, yaitu mempunyai kecenderungan untuk menjatuhkan penilaian
sebelum mengenal dengan baik, karena sebelumnya sudah punya ‘bekal’ dari sumber
lain, bukan dari sumber obyektif. Hambatan psikologis ini lebih berat daripada
hambatan teknis, karena kadang-kadang ia tampil sebagai kanker ganas, yang
sudah merusak segala jaringan kesadaran ilmiah.
2.
Hambatan teknis
Yang dimaksud hambatan teknis di sini adalah hambatan yang lebih bersifat
praktis, yaitu hambatan-hambatan yang dihadapi para calon pelaku rattil
yang menyadari dirinya tidak atau kurang memiliki ‘peralatan’ yang dibutuhkan.
Dengan kata lain, para calon pelaku rattil menjadi kurang siap karena
belum menguasai ‘ilmu alat’.
Ilmu alat biasanya dikaitkan dengan ilmu tafsir. Yang digolongkan sebagai
ilmu alat antara lain ilmu-ilmu bahasa Arab, seperti sharaf, nahwu,
balaghah, dan lain-lain; juga ilmu yang berkaitan dengan hadits.
Selain itu Ilmu mantiq, tauhid, tasawuf, dan lain-alin juga dimasukkan ke
dalam kelompok ilmu alat.
Ilmu-ilmu tersebut memang ada yang mutlak harus dipelajari, misalnya, yang
berkaitan dengan bahasa dan hadits. Tapi memasukkan ilmu mantiq yang merupakan
modifikasi dari filsafat Aristoteles, ilmu tauhid yang juga rekayasa dari
teologi, serta tasawuf yang penuh mistik, adalah sesuatu yang sangat perlu
dipertanyakan. Ketiga ilmu ini hanyalah sebagian dari yang patut dicurigai
mempunyai peran besar dsalam melahirkan tafsir-tafsir yang tidak obyektif alias
melantur.
Pendeknya, ilmu-ilmu yang wajib dipelajari hanyalah yang jelas berkaitan
dan terbukti mampu membantu dalam memunculkan makna Al-Qurãn yang sebenarnya.
Sebaliknya, bila malah mengacaukan atau menyimpangkan, lebih baik tidak usah
dipakai saja. Dengan kata lain, penggunaan ilmu-ilmu alat itu harus dilakukan
secara kritis, selektif, dan pragmatis (sesuai kebutuhan). Untuk itulah
para calon pelaku rattil harus mempelajaria metodologi penafsiran Al-Qurãn yang
diajarkan oleh Al-Qurãn sendiri; karena metodologi inilah yang akan menjadi
penyaring bagi ilmju-ilmu alat yang ditawarkan.
[1] Dalam surat Al-Muzzammil ayat 20 ada isyarat bahwa
Nabi Muhammad membagi umatnya ke dalam tiga kelompok (طائفة), yaitu (1) Para
pengkaji Al-Qurãn; (2) Kelompok militer; (3) Kelompok ekonomi. Bagaimana
gambaran persisnya, masih perlu pengkajian yang lebih teliti.
[2] Audience, (Bhs. Inggris), artinya: (1)
berkumpulnya banyak orang untuk mendengarkan pidato, orang menyanyi dan
sebagainya; (2) orang-orang yang mendengarkan atau membaca sesuatu; (3)
wawancara resmi dengan penguasa. Di sini kita ambil makna yang ketiga, dengan
pengertian bahwa ‘wawancara resmi’ ini terjadi bukan setelah melalui rangkaian
proses protokoler seperti umumnya seorang rakyat yang hendak menghadap raja
atau presiden, tapi setelah menempuh tahap demi tahap proses persiapan ilmiah.
Jadi jelas sekali bahwa pelakunya adalah orang yang benar-benar ‘mandiri’ tidak
mengandalkan kekuatan lobby atau koneksi.
[3] Yaitu Hadits yang berbunyi, “Kullu mauludin yuladu
‘alal-fitrah hatta yu’riba ‘anhu lisanuhu, fa innama abwahu yuhawwidanihi aw
yunashshiranihi aw yumajjisanini” (HR. Abu Ya’la, Thabrani, dan Baihaqi,
dan ada matan lain yang diriwayatkan Bukhari)
[4] Majusi adalah nama agama yang berkembang di Iran, dikenal masyarakat
barat sebagai Zoroastrianisme. Yang dianggap pengembangnya adalah Zoroaster
atau Zarathustra. Nama kitabnya Zen-Avesta. Diperkirakan mulai berkembang pada
tahun 660-583 SM., dan mencapai puncaknya pada masa Kaisar Cyrus dan Darius.