Analisis Îmãn (12)
Ukuran bebas masalah
THE JAMBI TIMES - Ukuran apakah yang dapat digunakan untuk membuktikan bahwa para calon
pelaku rattil telah bebas dari maslah-masalah tersebut? Ukuran
pertama, tentu saja berupa bebasnya mereka dari segala pengaruh budaya, isme,
atau idealisme apapun, sehingga ketika berhadapan dengan Al-Qurãn tidak
membawa bekal pra-konsepsi (pemikiran awal) apa pun, kecuali keinginan untuk
mengetahui isi Al-Qurãn secara apa adanya (obyektif).
Ukuran berikutnya adalah penguasaan ‘ilmu alat’ yang bersiat filosofis
(ilmiah), yaitu metodologi, sistematika, analitika, dan obyektifita Al-Qurãn
(yang nanti akan dibahas).
Ukuran Sukses Rattil
Rattil (sstudi Al-Qurãn adalah sebuah upaya yang mutlak harus dilakukan demi
memungsikan Al-Qurãn sebagai hudan lil-nas wa bayyinatin min al-huda
wal-furqan (petunjuk bagi manusia, yang di dalamnya terdapat penjelasan
tentang sang petunjuk itu sendiri, yang dapat memilah antara yang haq
dan bathil).
Para pelaku rattil adalah orang-orang yang membutuhkan jawaban
dari berbagai pertanyaan yang mengganggu, yang membuat gelisah, ragu, dan
penasaran. Kegiatan rattil dilakukan demi mengubah ragu menjadi yakin,
dan penasaran menjadi puas. Dengan kata lain, bila mereka bisa menemukan
jawaban yang jelas dan tegas dari setiap pertanyaan, sehingga mereka yakin
mana yang haq dan mana yang bathil, itulah tanda bahwa mereka
telah sukses dalam rattil.
Jaminan setelah Rattil
Sukses rattil adalah sukses intelektual-kognitif. Sukses rattil
bukanlah jaminan bahwa pelakuknya akan menjadi mu’min. Jaminan yang diberikan
oleh hasil rattil hanyalah kepastian bahwa pelakunya akan mengetahui haq
dan bathil secara obyektif, dan pengetahuan itu jadi meyakinkan karena
ditemukan dengan jerih-payah. selanjutnya, bagi mereka terbuka dua
kemungkinan, atau dihidangkan dua tawaran, yakni:
1.
Menjadi mu’min objektif, atau
2.
Menjadi kafir objektif
Kedua pilihan itu, baik menjadi mu’min objektif maupun kafir objektif,
akan dipilihnya berdasar keyakinan, yaitu berdasar pengetahuan yang pasti
tentang nilai dan harga setiap pilihan, bukan berdasar sikap asal-asalan
(spekulasi) atau ikut-ikutan (latah). (Periksa Surat al-Kahfi
ayat 27-43).
Shalat : Sarana Pembinaan Iman
Secara pragmatis, dalam kaitannya dengan pembinaan (pembangunan) iman,
shalat (ritual) mempunyai fungsi teknis, yakni sebagai sarana atau alat untuk
membangun iman. Hal ini diisyaratkan dalam satu hadits yang berbunyi: ash-shalatu
mi’rajul-mu’minin (Shalat adalah sarana/tehnik untuk mencapai derajat
mu’min)
Bila kita gunakan tinjauan psikologis pendidikan, rattil adalah suatu
kegiatan dalam rangka memenuhi kebutuhan kognitif, yaitu kebutuhan untuk
mengenali atau memahami sesuatu secara intelektual. Sedangkan shalat adalah
kegiatan dalam rangka memenuhi kebutuahan afektif, yaitu dalam rangka membuat
sesuatu yang sudah diketahui secara intelektual itu meresap ke dalam
perasaan, sampai akhirnya pengetahuan itu menyatu dengan diri sang pelaku
rattil dan shalat.
Bagi yang memutuskan untuk menjadi mu’min obyektif, rattil dan
shalat adalah dua hal yang tak terpisahkan. Rattil adalah ibarat
mengumpulkan (uang) recehan demi recehan, dan shalat adalah usaha untuk
memasukkan recehan demi recehan ke dalam tabungan kesadaran. Dengan demikian,
rattil tanpa shalat berarti membiarkan uang bercereran, dan shalat
tanpa rattil berarti mengisi tabungan dengan angin. Keduanya sama-sama
menghasilkan kerugian.
Banyaknya macam shalat adalah penegasan bahwa pembangunan kesadaran
Al-Qurãn bukan sesuatu yang mudah. Salah satu hal yang sangat perlu
diperhatikan dalam shalat adalah rutinitasnya. Rutinitas adalah sesuatu yang
tidak disukai para ‘petualang’ yang memang cenderung berjalan sesuka hati.
Padahal kenyataannya hidup ini hanya dapat berjalan dengan baik bila
rutinitasnya terjaga. Bayangkanlah apa yang akan terjadi bila benda-benda
angkasa (matahari, bumi, bulan, dll.) mogok melakukan rutinitas! Alam semesta
akan berantakan. Bahkan manusia yang tidak menjaga rutinitas makan, terbukti
bisa kena sakit mag. Dan ternyata sakit mag pun terjadi karena tubuh kita
setia melakukan rutinitas, antara lain memproduksi zat asam lambung.
Jelasnya, rutinitas tubuh memproduksi zat asam lambung tidak disambut dengan
rutinitas sang pemegang amanat tubuh memasukkan makanan. Terjadilah kerusakan
pada dinding lambung.
Sedangkan tentang shalat, Nabi pun mengatakan: ash-shalatu imaduddun;
man aqamaha faqad aqama-din wa man tarakaha faqad hadama-din (Shalat itu
adalah tiang agama, siapa pun yang menegakkannya maka berarti ia menegakkan
agama (dalam dirinya),. Dan siapa pun yang mengabaikannya, maka berarti dia
merusak agama)
1.
Pendidikan Menuju Siap Rattil
Pendidikan di sini adalah terjemahan dari da’wah. Tujuan dak’ah adalah
melahirkan kemandirian, dalam arti membebaskan setiap pribadi muslim dari
ketergantungan terhadap siapa pun kecuali Allah. Ini harus dibuktikan dengan
kemampuan setiap pribadi untuk menjadikan ajaran Allah (Al-Qurãn) sebagai
rujukan atau kamus hidup. Terbentuknya kemampuan ini erat kaitannya dengan
terbentuknya lima kemampuan yang harus dimiliki oleh orang yang normal,
yaitu:
1.
Kemampuan Berpikir
2.
Kemampuan Mendengar
3.
Kemampuan Berbicara
4.
Kemampuan Membaca
5.
Kemampuan Menulis
Kemampuan Berpikir
Seperti kata para ahli, kemampuan berpikir adalah satu-satunya ciri yang
membedakan manusia dari hewan. Tanpa kemampuan berpikir, manusia tidak
berbeda dengan hewan. Dengan kemampuan berpikir, secara biologis manusia
tetap sama dengan hewan, tapi sebutannya sudah berubah menjadi hayawanu-natiq,
alias hewan berpikir, yang dalam bahasa Latin disebut homo sapiens.
Tapi para ilmuwan juga membagi manusia menjadi dua, yaitu (1) homo
sapiens, dan (2) homo sapiens sapiens. Yang pertama, hanya sedikit
berbeda dari hewan, karena mempunyai pikiran. Dalam kenyataan hidup ia masih
belum banyak berubah dari cara hidup hewan, karena masih tinggal di goa,
berkumpul dengan kelompok kecil, selalu berperang dengan kelompok-kelompok lain,
tidak berpakaian, dan boleh dikatakan tidak mempunyai peralatan. Sedangkan
yang kedua, homo sapiens sapiens, sudah berbeda jauh dari
hewan, karena bukan hanya punya pikiran tapi juga sudah menggunakan
pikirannya. Bukti bahwa dia sudah menggunakan pikirannya adalah: sudah mampu
bikin rumah, bergaul dengan kelompok-kelompok lain, menutup aurat dengan
pakaian dan menciptakan peralatan.
Demikian bila kita memandang manusia dari sudut pandang ilmu tentang
perkembangan manusia (antropologi). Tapi bagaimana bila kita menggunakan
sudut pandang Al-Qurãn?
Konsep Al-Qurãn tentang manusia ternyata mirip dengan konsep antropologi.
Tentang kemiripan itu, tinggal kita kaji saja, mana yang lebih dulu ada,
Al-Qurãn atau antropologi? Tapi di samping kemiripan, tentu ada perbedaan.
Bila dalam teori antropologi manusia disebut homo sapiens karena
mempunyai pikiran, meskipun masih primitif, dan disebut homo sapiens
sapiens setelah menggunakan pikirannya untuk menciptakan kebudayaan,
dalam Al-Qurãn keduanya tetap disebut (bagai) hewan, bahkan lebih konyol dari
hewan, bila belum menggunakan pikirannya untuk menanggapi ajaran Allah secara
positif (al-A’raf ayat 179).
Jadi dalam konsep Al-Qurãn kemampuan berpikir saja belum cukup untuk
membuat manusia disebut manusia. Ia harus menggunakan pikirannya untuk
memahami ajaran Allah, dan kemudian memungsikan ajaran Allah itu sebagai
pedoman hidupnya. Sebab bila tidak demikian, dengan kemampuan akalnya
menciptakan kebudayaan yang paling canggih sekali pun, manusia tetap akan
saling baku-hantam dengan sesamanya. Tetap akan timbul masalah-masalah.
Karena itulah Allah mengadakan Rasul, yang menawarkan rumus pemecah masalah (basyiran)
dan penolak bala (nadziran), mengajak manusia mematuhi Allah, demi
mencapai kehidupan cemerlang (Surat al-Ahzab ayat 41-48).
Dengan demikian, kemampuan berpikir dalam konsep Al-Qurãn adalah
kemampuan memungsikan pikiran (otak) untuk menghayati ajaran Allah.(a.h)
|
