Analisis Îmãn (13)
Kemampuan Mendengar
THE JAMBI TIMES - Kemampuan berpikir ditandai dengan adanya kemampuan mendengar. Untuk
itulah Allah membekali manusia dengan alat pendengaran. (al-A’raf ayat 179;
an-Nahl ayat 78). Bahkan menurut para ahli embriologi, alat pendengaran
(telinga) tumbuh lebih dulu sebelum indera-indera yang lain. Ini menandakan
betapa pentingnya alat pendengaran. Bahkan, kata para dokter, sejak dalam
kandungan manusia sudah mempunyai kemampuan mendengar. Meski tentu saja
kemampuan itu belum berfungsi baik. Ini ditegaskan Al-Qurãn (an-Nahl 16:78)
dengan pernyataan bahwa manusia pada saat baru keluar dari rahim ibunya belum
mempunyai pengetahuan tentang apa pun. (Bila pendengarannya sudah berfungsi,
bisa jadi dia sudah banyak tahu tentang rayuan gombal ayahnya
terhadap ibunya!)
Setelah manusia lahir, kerja otaknya dirangsang oleh lidah dan kulit
sebagai indera pengecap dan perasa, hidung sebagai indera penciuman, dan
telinga sebagai alat pendengaran. Mata baru berfungsi puluhan hari kemudian.
Tapi dalam kaitan dengan kegiatan berpikir intelektual, Al-Qurãn hanya
menyebutkan telinga dan mata.
Sehubungan dengan kesiapan telinga untuk lekas berperan (bila tidak
tuli), maka Rasulullah konon memerintahkan agar begitu lahir si bayi disambut
dengan adzan, yang dikumandangkan ayahanya. Kendati dari segi periwayatan dan
pemikiran rasional hadits tentang adzan untuk bayi ini menjadi bahan ikhtilaf,
namun tinjauan psikologi pendidikan mendukung. Si bayi memang belum bisa
memahami, dan mungkin juga belum bisa menangkap dengan jelas adzan
yang dikumandangkan. Tapi dari segi pendidikan, jelas sangat bermanfaat.
Dengan catatan, tindakan itu dipahami dengan baik oleh orangtua si bayi;
bukan hanya dilakukan sebagai suatu upacara menyambut kelahiran bayi, tapi
sebagai penanaman sugesti (pesan) terhadap diri si ayah (dan ibu) bahwa bayi
yang baru lahir itu akan dididiknya dengan pendidikan Islam. Dengan kata
lain, pembacaan adzan itu adalah ibarat proklamasi dari orangtua untuk
membebaskan si bayi dari hegemoni (cengkeraman kekuasaan) lingkungan, yang
mungkin membuatnya jadi Yahudi, Nasrani atau Majusi. Pembacaan adzan
itu adalah pernyataan tekad dari orangtua bahwa si bayi akan dijadikan
seorang muslim!
Jadi agar ia menjadi muslim/muslimat, langkah pertama adalah dengan
memasukkan lafadz adzan ke telinganya. Mudah-mudahan lafadz
itulah yang pertama kali masuk dan terekam dalam otaknya.
Selanjutnya proses pendidikan menuju terciptanya seorang muslim itu terus
dijalankan orangtuanya, dengan sedikit demi sedikit mengajarkan Al-Qurãn.
Sedikit demi sedikit, tapi sering dan rutin. Bila tidak demikian, masukan al
Al-Qurãn akan kalah oleh masukan-masukan yang lain. Si anak akan menjadi
lebih terbiasa mendengar suara-suara lain daripada suara Al-Qurãn.
Keseringan mendengar suara Al-Qurãn tentu akan menjadi landasan yang baik
untuk membuat si anak akrab dengan Al-Qurãn. Apalagi bila cara orangtua
dalam meperdengarkan Al-Qurãn itu dibarengi dengan muatan-muatan pengertian,
seiring dengan perkembangan si anak. Pada akhirnya, ketika si anak mencapai
usia dewasa, kemampuannya mendengar Al-Qurãn akan mencapai taraf kematangan.
Dengan mendengar Al-Qurãn otak terisi Al-Qurãn. Semakin sering mendengar,
semakin banyak muatan otak. Semakin banyak muatan otak akan mengubah otak
dari pasif menjadi aktif dan produktif. Otak lalu akan bekerja seperti sebuah
mesin pabrik, yang produksinya akan keluar melalui lisan, dan anggota badan.
Itu gambaran pendidikan ideal, yang berjalan dengan proses evolusi. Tapi
dalam kenyataan, pendidikan tidak selalu berjalan dengan proses demikian. Ada
juga pendidikan yang berjalan melalui proses revolusi. Ini ditegaskan Allah
kepada para Rasul, yang baru diangkat menjadi Rasul setelah mereka dewasa.
Selanjutnya para Rasul pun menerapkannya kepada manusia-manusia lain, yang
diperkenalkan dengan ajaran Allah setelah otak mereka penuh dengan muatan
berbagai ajaran. Ini metode pendidikan yang bersifat menantang. Bila siap
menerima tantangan, khudzu ma atainakum bi-quwwatin wa-sma’u … sambut
apa yang Kami sampaikan kepada kalian (Al-Qurãn) dengan mengerahkan segala
daya, dengan pertama-tama simaklah da’wah rasul (Al-Baqarah ayat 93)
Di antara pengerahan segala daya untuk menyambut (menanggapi) Al-Qurãn
itu, berkali-kali dalam Al-Qurãn disebutkan peran telinga. Terutama karena
para rasul pada umumnya berda’wah secara lisan. (Dalam sistem halaqah,
da’wah lisan ini juga dominan, menjadi sarana tranfer ilmu sekaligus membina
keakraban).
Kemampuan Bicara
Kemampuan berpikir yang terpadu dengan kemampuan mendengar otomatis akan
melahirkan kemampuan berbicara. Dalam pengertian sederhana, kemampuan
berbicara adalah kemampuan berdialog dengan sesama manusia. Tapi dalam kaitan
dengan dakwah Al-Qurãn, kemampuan berbicara yang dimaksaud adalah kemampuan
mengungkapkan pemahaman atas Al-Qurãn melalui bahasa lisan yang tersusun
baik, sehingga dapat ditangkap (didengar) orang lain dengan baik pula.
Kemampuan bicara erat kaitannya dengan kemampuan mendengar. Telinga
adalah sarana input (masukan), lidah adalah sarana output (keluaran).
Otak tak adalah mesin pengolah setiap data yang masuk. Bila kemampuan
mendengar kurang baik, otak tidak akan mendapat masukan yang cukup. Alhasil, yang
keluar melalui lisan adalah produk yang tidak sempurna, malah mungkin tak
karuan bentuknya (cacat). Jelasnya, orang yang kemampuan mendengarnya tidak
baik, bicaranya akan “ngawur” Karena itu bila anda punya teman yang sering
bicara “ngawur” periksalah kemampuan mendengarnya. Dia mungkin tidak tuli,
tetapi otaknya tidak terbiasa mengendalikan telinganya untuk menyimak dengan
baik. “Penyakit” bisa jadi malah terdapat pada otaknya.
Kemampuan bicara yang baik erat kaitannya dengan sabda Nabi, balighu
‘anni walau ayatan (sampaikanlah yang kalian terima dariku walau hanya
satu ayat). Erat kaitannya dengan kewajiban berda’wah atau mengajar, dalam
arti yang luas. Pada umumnya orang beranggapan bahwa kemampuan bicara yang
baik hanya harus dikuasai oleh para juru da’wah atau pengajar profesional.
Ini pandangan keliru. Apalagi bila diingat bahwa da’wah bukanlah ladang
profesi. Sabda Nabi tersebut mengisyaratkan bahwa da’wah pada hakikatnya
adalah suatu sistem pendidikan Islam (Al-Qurãn) yang akan berjalan lancar bila
setiap orang islam turut berpartisipasi sesuai kemampuan masing-masing.
Kemampuan bicara dengan baik, tidak “ngawur” atau bertele-tele, hanyalah
akibat dari berjalannya proses da’wah. Dari proses da’wah Al-Qurãn yang
benar, tentu terbentuk kemampuan berpikir secara Al-Qurãn, kemampuan
mendengar secara Al-Qurãn, dan kemudian kemampuan bicara secara Al-Qurãn.
Banyaknya para Sahabat yang menjadi penutur Hadits adalah bukti bahwa
mereka mempunyai kemampuan berbicara yang baik. Bahkan ketelitian mereka dalam
penuturan, membuktikan bahwa kemampuan berpikir mereka juga baik. Melalui
hadits-hadits (yang shahih) kita juga bisa menyimpulkan bahwa para Sahabat
itu sudah menerapkan prinsip jurnalistik (kewartawanan) modern tanpa melalui
sekolah. Dalam hadits-hadits mereka dapat kita temukan laporan-laporan murni,
yang tidak dicampur-aduk dengan opini pribadi., Dari mereka kita dapat
belajar bahwa orang beriman itu harus mampu berbicara jujur, mengutamakan
fakta dan data, bukan penilaian atau penafsiran pribadi.
|
