Analisis Îmãn (6)
1.
Nilai iman
THE JAMBI TIMES - Telah disebutkan bahwa etika dalam bahasa Arab disebut qawã’idul-akhlãq
(kaidah-kaidah akhlak). Berdasar hadits riwayat Muslim yang beresumber dari
Aisyah, yang menegaskan bahwa nabi Muhammad berakhlak al-Qur’an, dapat kita
simpulkan bahwa al-Qur’an adalah salah satu sumber etika. Dengan kata lain,
al-Qur’an adalah qawã’idul-akhlãq minallahi (kaidah-kaidah akhlak dari
Allah). Sedangkan selain al-Qur’an adalah qawã’idul-akhlãq min duunillahi
(kaidah-kaidah akhlak dari selain Allah) atau etika yang tidak berasal dari
Allah.
Namun perlu dicatat bahwa baik etika yang diajarkan Allah maupun
etika-etika yang lain, semua mempunyai nilai dan harga yang mutlak.
Istilah nilai disini dengan kata lain adalah sifat atau potensi
(kemampuan), atau fitrah untuk mewujudkan sesuatu. Nilai ini mutlak adanya,
dan pasti berlaku bila tidak ada hambatan. Kemutlakannya sama seperti api
yang mampu membakar setiap benda yang ada didekatnya. Surat al-Ankabut 52,
mengungkapkan bahwa etika Allah adalah haq, sedangkan selainnya adalah
bãthil:
Tegaskanlah (Muhammad/Mu’min): Cukuplah ajaran Allah sebagai pembuktian
(siapa yang benar dan siapa yang salah) di antara aku dan kalian. Dia (Allah)
menata segala yang di langit dan di bumi dengan
ilmu-Nya. (Sepantasnya manusia pun menata hidup dengan ilmu Allah). Maka
orang-orang yang beriman dengan ajaran bathil, yang berarti kafir terhadap
ajaran Allah, mereka adalah para perusak kehidupan.
Ayat ini mengisyaratkan bahwa nilai etika menentukan nilai iman.
Orang-orang yang memilih etika yang haq berarti ãmanû billah,
dan yang memilik etika yang bãthil berarti ãmanû bil-bãthil.
Maka golongan pertama adalah “mu’min Haq” (mu’min yang benar) dan
golongan kedua “mu’min bãthil” (mu’min yang salah).
Secara garis besar dapat dikatakan bahwa etika Allah mempunyai nilai
(kemampuan) mewujudkan fi dun-ya hasanah wa fil-akhiraati hasanah,
yaitu kehidupan yang “baik” di dunia dan [hingga] di akhirat). Surat
al-Baqarah 2:25 menggambarkan dengan bahasa demikian:
Maka sampaikan kabar gembira bagi orang-orang beriman, yakni mereka yang
berperilaku tepat (sesuai ajaran Allah), bahwa mereka layak menikmati taman
rindang yang dialiri ‘sungai’ (irigasi). Setiap muncul
buah-buahan sebagai anugerah dari upaya mereka, mereka mengatakan, “inilah
yang dulu dianugerahkan kepada kami, yaitu disampaikan (diajarkan) kepada
kami dalam bahasa perumpamaan.” Di situ mereka hidup bersama para pendamping
yang suci, tinggal kekal selama-lamanya.
Sedangkan etika yang bathil pada hakikatnya hanyalah kreasi orang-orang
kafir yang melakukan ‘pembatalan’ atau sabotase atas konsep Allah. Dan
kemampuannya hanyalah menimbulkan bencana dalam kehidupann manusia:
Allah dengan tegas memberikan gambaran melalui nyamuk, sampai yang lebih
(besar) darinya (yaitu gambaran kehidupan makhluk penghisap). Maka
orang-orang beriman pasti tahu bahwa ini merupakan ajaran yang benar dari
pembimbing mereka. Sedangkan orang-orang kafir malah terus menyoal, “Apa sih
maunya Allah dengan perumpamaan ini?” (maka) banyaklah orang yang sesat
karenanya, dan banyak pula yang menjadikannya petunjuk. Tentu saja yang sesat
karenanya hanyalah orang-orang yang fasyiq.
(Yaitu) mereka yang mencabik-cabik konsep Allah yang telah dibuat layak
menjadi ikatan hidup, dengan cara memutus apa yang Allah suruh untuk
disambung.[1] Dengan cara itulah mereka
menimbulkan bencana di dunia. Merekalah sumber segala kesialan (al-Baqarah 2:
26-27)
Surat an-Nisaa’ 51 menegaskan bahwa sumber bencana yang mereka ciptakan
itu berwujud “kitab”:
kamu perhatikan bagaimana nasib mereka yang termakan kitab (para kutu
Tidakkah buku)? Mereka berpandangan dan bersikap hidup dengan konsep Jibti
(dukun, sihir, takhyul) dan Thaghut (berhala, syetan, biang kesesatan),
seraya berkoar kepada (sesama) kaum kafir, “Inilah konsep-konsep yang
cemerlang dibandingkan dengan konsep kaum mu’min”
Tentu saja kaum mu’min juga beriman dengan Kitab. Bedanya, kitab yang
mereka gunakan adalah kitab(-kitab) karangan manusia, sedangkan yang
digunakan mu’min adalah kitabullah. Kitab-kitab karangan manusia
(khususnya hasil karya kaum kafir serta antek-antek mereka yang mengaku
mu’min) jelas bernilai bathil. Akibatnya:
… segala hasil karya kaum Kafir itu tidak ubahnya fatamorgana di gurun
pasir. Orang yang kehausan mengira fatamorgana itu air. Kemudian ketika
mendatanginya, ia tidak menemukan apa pun (yang dibayangkannya) …
1.
Harga Iman
Harga yang dimaksud di sini adalah alat tukar. Yaitu alat tukar yang built-in
(terpasang) mutlak bersama nilai sesuatu, dan merupakan harga mati, sehingga
otomatis tidak bisa ditawar.
Konsep Allah dijamin mampu mewujudkan jannah, namun peminatnya pun
harus sanggup membayar tunai harganya. Surat at-Taubah 111 menegaskan dalam
ungkapan bahasa perang demikian:
Allah mengajak kaum mu’min untuk melakukan ‘barter’ diri dan harta mereka
dengan jannah. (Praktiknya adalah) mereka selalu siap ‘berperang’ demi agama
Allah, sehingga mereka tak segan membunuh dan tak gentar dibunuh. Ini
merupakan perjanjian yang haq (obyektif, tidaka main-main), yang (antara
lain) tercantum di dalam Taurat dan Injil, dan (kini terdapat dalam)
Al-Qurãn. Siapakah, selain Allah, yang mengungguli-Nya dalam menepati janji?
Maka bersemangatlah kalian (kaum mu’min) dalam ‘bisnis’ yang kalian jalankan
ini. Karena inilah (cara mencapai) kejayaan yang agung.
Sesuai dengan fitrahnya, masnusia memang tak sungkan untuk mengorbankan
apa saja demi membela kepentingannya. Untuk itu manusia tidak hanya siap
mengorbankan waktu, harta, dan tenaga, tapi juga tak segan-segan menjadi
predator (pemangsa) bagi sesamanya. Dengan kata lain, demi membela
kepentingannya, manusia rela menjadi “babi buta” yang siap menyeruduk apa
saja, walau akhirnya kepalnya harus pecah atau tubuhnya jatuh ke jurang.
Ayat di atas menegaskan bahwa kaum mu’min tidak boleh kalah semangat oleh
mereka yang giat membela konsep yang tidak benar. Bila ada orang yang begitu
berani membela konsep yang salah, yang hanya bernilai ‘neraka’, tentu ada
pula yang tidak takut membela konsep yang benar.
[1] Mungkin seperti
memutus kabel, yang membuat listrik mati, telepon tak berfungsi, kendaraan
tak berjalan. Ayat ini menggambarkan orang-orang fasyiq golongan
manusia yang membuat ajaran Allah tidak berfungsi sebagaimana mestinya.(a.h)
|