Analisis Îmãn (5)
1.
Ruang-Lingkup Iman
THE JAMBI TIIMES - Etika apa pun yang digunakan manusia dalam hidupnya, pasti akan
mempengaruhi tiga segi kepribadiannya seperti yang disebut dalam uraian
terdahulu, yaitu segi kejiwaan (qalbiyah) segi kebahasaan (lisaniyah)
dan segi perilaku (fi’liyah). Ketiga segi inilah yang dimaksud
ruang-lingkup, atau cakupan, atau wilayah, atau wawasan iman.
Dari ketika segi tersebuit, segi kejiwaan menempati posisi dasar. Ibarat
bangunan, segi kejiwaan adalah fondasinya, yang harus dibangun pertama kali
dan harus dibuat sekokoh mungkin, karena di atasnyalah bagian-bagian lain
diletakkan. Bila fondasinya rapuh, bangunan tidak bisa ditegakkan.
Namun betapa pun pentingnya, fondasi adalah bagian bangunan yang
terkubur, tersembunyi di bawah tanah. Yang terlihat dari sebuah bangunan
hanyalah bagian-bagian yang terletak di permukaan tanah. Bila menyebut
“bangunan iman” segi kejiwaan adalah bagian yang tak tampak. Yang nampak
hanya segi kebahasaan dan perilaku. Bila kedua segi ini tampil baik, maka
sudah pasti itu mencerminkan keadaan jiwanya yang baik. Demikian juga sebaliknya.
Sehubungan dengan inilah sebuah Hadits memberikan gambaran demikian:
Man ra’ã minkum munkaran falyughayyir-hu bi-yadihi. Fa-in lam yastathi’
fabilisaanihi. Fa-in lam yastathi’ fa-biqalbihi; wa dzalika adh’aful-îmãni
(HR. Muslim).
Siapa pun di antara kalian (yang mengaku Mu’min) melihat suatu
kemunkaran, maka sepantasnya ia turun tangan mengatasinya. Bila ia tak
mempunyai kemampuan untuk turun tangan, maka sepantasnya ia menggunakan
lidahnya. Bila bicara pun tak mampu, maka sepantasnya ia bereaksi dengan
qalbu-nya. Tapi inilah (pertanda) dari iman yang paling lemah.
Hadits ini mengingatkan bahwa segi kejiwaan yang lemah tidak akan mampu
berperan sebagai fondasi bagi tegaknya segi kebahasaan dan perilaku. Karena
itulah orang yang berjiwa demikian tidak mempunyai kemampuan juang. Orang
Jakarta bilang “nggak punya nyali.” Sebagai akibatnya,
kemunkaran pun terus merajalela.
Sebuah Hadits Bukhari memberikan gambaran kebalikan dari gambaran di
atas:
Afdhalun-nãsi mu’minun yujãhidu fi sabilillaahi bi-nafsihi wa mãlihi
tsumma mu’minun fi sya’bin minasy-syi’ãbi yattaqillaha wa yada’u-nnãsa min
syarrihi.
Manusia yang terbaik adalah mu’min yang mempertaruhkan diri dan hartanya
dalam berjuang di jalan Allah. Selainnya (yang bernilai sama dengannya)
adalah mukmin yang tinggal di tempat terpencil karena tekadnya
memelihara ajaran Allah membuatnya harus menjauhi masyarakat yang cenderung
berbuat buruk.
Kedua Hadits tersebut dengan tegas menekankan bahwa wawasan iman harus
mencakup tiga ‘wilayah’ yaitu kalbu, lisan, dan perilaku. Karena itu kita
patut heran bila al-Ghazali mengatakan:
… iman itu hanya percaya dalam hati saja, sedangkan lisan hanya
merupakan juru bahasa. Dengan demikian, maka iman itu mesti ada sepenuhnya
dalam hati sebelum dinyatakan dengan lisan … itu pendapat yang jelas
kebenarannya, tidak ada alasan selain keharusan mengikuti keterangan Hadits
Nabi, bahwa Iman itu percaya dalam hati. Iman itu tidak akan lenyap dari
hati, hanya karena tidak diucapkan dengan lisan, walaupun mengucapkannya itu
wajib, sama halnya dengan tidak lenyap iman hanya karena tidak melakukan
shalat.[1]
1.
Ruang-Lingkup Iman
Etika apa pun yang digunakan manusia dalam hidupnya, pasti akan
mempengaruhi tiga segi kepribadiannya seperti yang disebut dalam uraian
terdahulu, yaitu segi kejiwaan (qalbiyah) segi kebahasaan (lisaniyah)
dan segi perilaku (fi’liyah). Ketiga segi inilah yang dimaksud
ruang-lingkup, atau cakupan, atau wilayah, atau wawasan iman.
Dari ketika segi tersebuit, segi kejiwaan menempati posisi dasar. Ibarat
bangunan, segi kejiwaan adalah fondasinya, yang harus dibangun pertama kali
dan harus dibuat sekokoh mungkin, karena di atasnyalah bagian-bagian lain
diletakkan. Bila fondasinya rapuh, bangunan tidak bisa ditegakkan.
Namun betapa pun pentingnya, fondasi adalah bagian bangunan yang
terkubur, tersembunyi di bawah tanah. Yang terlihat dari sebuah bangunan
hanyalah bagian-bagian yang terletak di permukaan tanah. Bila menyebut
“bangunan iman” segi kejiwaan adalah bagian yang tak tampak. Yang nampak
hanya segi kebahasaan dan perilaku. Bila kedua segi ini tampil baik, maka
sudah pasti itu mencerminkan keadaan jiwanya yang baik. Demikian juga
sebaliknya. Sehubungan dengan inilah sebuah Hadits memberikan gambaran
demikian:
Man ra’ã minkum munkaran falyughayyir-hu bi-yadihi. Fa-in lam yastathi’
fabilisaanihi. Fa-in lam yastathi’ fa-biqalbihi; wa dzalika adh’aful-îmãni
(HR. Muslim).
Siapa pun di antara kalian (yang mengaku Mu’min) melihat suatu kemunkaran,
maka sepantasnya ia turun tangan mengatasinya. Bila ia tak mempunyai
kemampuan untuk turun tangan, maka sepantasnya ia menggunakan lidahnya. Bila
bicara pun tak mampu, maka sepantasnya ia bereaksi dengan qalbu-nya. Tapi
inilah (pertanda) dari iman yang paling lemah.
Hadits ini mengingatkan bahwa segi kejiwaan yang lemah tidak akan mampu
berperan sebagai fondasi bagi tegaknya segi kebahasaan dan perilaku. Karena
itulah orang yang berjiwa demikian tidak mempunyai kemampuan juang. Orang
Jakarta bilang “nggak punya nyali.” Sebagai akibatnya,
kemunkaran pun terus merajalela.
Sebuah Hadits Bukhari memberikan gambaran kebalikan dari gambaran di
atas:
Afdhalun-nãsi mu’minun yujãhidu fi sabilillaahi bi-nafsihi wa mãlihi
tsumma mu’minun fi sya’bin minasy-syi’ãbi yattaqillaha wa yada’u-nnãsa min
syarrihi.
Manusia yang terbaik adalah mu’min yang mempertaruhkan diri dan hartanya
dalam berjuang di jalan Allah. Selainnya (yang bernilai sama dengannya)
adalah mukmin yang tinggal di tempat terpencil karena tekadnya memelihara
ajaran Allah membuatnya harus menjauhi masyarakat yang cenderung berbuat
buruk.
Kedua Hadits tersebut dengan tegas menekankan bahwa wawasan iman harus
mencakup tiga ‘wilayah’ yaitu kalbu, lisan, dan perilaku. Karena itu kita
patut heran bila al-Ghazali mengatakan:
… iman itu hanya percaya dalam hati saja, sedangkan lisan hanya
merupakan juru bahasa. Dengan demikian, maka iman itu mesti ada sepenuhnya
dalam hati sebelum dinyatakan dengan lisan … itu pendapat yang jelas
kebenarannya, tidak ada alasan selain keharusan mengikuti keterangan Hadits
Nabi, bahwa Iman itu percaya dalam hati. Iman itu tidak akan lenyap dari
hati, hanya karena tidak diucapkan dengan lisan, walaupun mengucapkannya itu
wajib, sama halnya dengan tidak lenyap iman hanya karena tidak melakukan
shalat.[2]
Kalimat yang terakhir (tidak lenyap iman hanya karena tidak melakukan
shalat), misalnya, sangat bertentangan dengan sebuah hadis yang mengatakan
bahwa “orang yang meninggalkan shalat adalah orang yang kafir secara
terang-terangan”! (Man tarakash-shalata faqad kafara jiharan)!(h.a)
|