Analisis Îmãn (4)
Seperti Komputer
THE JAMBI TIMES - Ibarat komputer, otak membutuhkan dua jenis ‘makanan’ untuk bisa hidup.
Makanan komputer yang pertama adalah listrik, yang kedua adalah sistem
operasi. Dengan hanya diberi aliran tenaga listrik, komputer hidup. Tapi
belum bisa bekerja. Karena baru bisa menarik input dan menghasilkan output
yang amat sederhana. Ia baru bisa bekerja setelah diberi sistem operasi.
Sistem operasi (operating system) inilah yang merupakan ‘program yang
mengatur fungsi internal komputer dan mengendalikan operasi komputer.”[1] Setelah diberi sistem operasi,
barulah komputer bisa menerima program-rogram yang lain, yang membuatnya bisa
dugunakan untuk menulis, berhitung, menggambar, dan lain-lain. Sebelum diberi
sistem operasi, komputer ibarat manusia yang baru lahir, yang bisa melihat
dan mendengar, namun belum bisa memahami segala sesuatu yang dilihat dan
didengarnya.
Sistem operasi komputer adalah program dasar yang berfungsi sebagai
‘penerjemah’ program-program yang lain. Pada otak manusia program dasar ini
adalah bahasa. Bahasalah yang membuat otak manusia bisa berpikir, mampu
menyerap ilmu, apa pun jenisnya, sehingga manusia bisa bergaul dengan
lingkungannya.
Iman, seperti yang dapat kita pelajari dalam Hadits Jibril, pada
hakikatnya adalah sebuah ‘program’ yang diajarkan Allah melalui malaikat dan
rasul, lalu dibukukan menjadi sebuah kitab, yang diserap (dipahami) manusia
melalui proses belajar, dengan bahasa sebagai alat utamanya.
Jadi bila sebuah hadits mengatakan: al-iiman ‘aqdun bil qalbi wa
iqrarun bil-lisaani wa ‘amalun bil-arkaani, maka perlu diingat bahwa
hadits ini tidak bisa diterjemahkan secara harfiuah, sebab cuma akan
menghasilkan pemahaman yang dangkal dan melenceng dari tujuan.
Perlu diperhatikan bahwa ‘aqdun yang berkedudukan sebagai kata
benda pada hakikatnya adalah hasil kerja al-qalbu. Bentuk kata
kerjanya adalah ‘aqada yang secara harfiah berarti mengikat, merajut,
melekatkan, dan sebagainya. Dalam ayat di atas (Al-Hujarat/49:14), iman
disebut sebagai sesuatu yang ‘masuk’ (yadkhulu) ke dalam kalbu. Dengan
demikian iman adalah:
Hasil abstraksi (pemahaman) kalbu, yang membentuk pola ucapan, dan
mengarahkan segala tindakan (pada tujuan tertentu).
Atau, dalam bahasa Isa Bugis yang lebih ringkas, berdasar pemahaman atas
hadits tersebut, iman adalah pandangan dan sikap hidup, dan lebih ringkasnya
lagi, iman adalah hidup.
Sedangkan dalam istilah psikologi, iman pada hakikatnya adalah
kepribadian.
Baik “pandangan dan sikap hidup” maupun “kepribadian”, pada
hakikatnya adalah hasil dari proses pemahaman atau proses belajar-mengajar
(pendidikan) yang terus-menerus, proses pengulangan yang terus-menerus,
sehingga akhirnya terbentuklah suatu pola tertentu baik dalam gaya bicara
maupun bertindak.
Bila pola tertentu itu menjadi ciri umum suatu masyarakat, apalagi bila
diwariskan secara terus-menerus, maka pola itu pun menjadi kebudayaan dan
atau peradaban. Dengan kata lain, kebudayaan dan atau peradaban adalah iman
dalam skala besar dan luas.
1.
Iman Sebagai gaya Hidup
Bagian permukaan dari iman (segi kebahasaandan perilaku) melahirkan gaya
hidup, yang dalam bahasa Latin disebut ethos.
Ethos dibentuk oleh etika, yang dalam bahasa Inggris disebut ethics dan
dalam bahasa Arab disebut qawaa’idul-akhlaaq. Maka bagi yang memahami
bahasa Arab, akan semakin jelas bahwa gaya hidup adalah suatu “hasil
bentukan”, bukan sesuatu yang built-in (terpasang) sejak “dari
sononya”, bukan “bakat semula jadi” ; karena dalam bahasa Arab gaya hidup itu
disebut akhlãq, suatu istilah yang berpangkal dari kata khalaqa
(menciptakan, menjadikan, membentuk, mengadakan, dsb.).
Berpangkal Etika
Etika adalah : Suatu sistem peraturan tentang apa yang benar atau salah
secara moral, khususnya peraturan yang diikuti kelompok penganut agama atau
orang-orang yang tergabung dalam kelompok profesi.[2] Dalam kaitan dengan penganut agama,
etika Kristen tertentu berbeda dengan etika Islam. Dalam kaitan dengan
kelompok profesi, kita mengenal apa yang disebut “kode etik” (code of
ethics), yaitu etika yang mengikat setiap kelompok profesi. Dalam dunia
kedokteran ada “kode etik kedokteran”, dalam dunia kewartawanan ada “kode
etik jurnalistik” , dan seterusnya.
Etika merupakan cabang dari ilmu filsafat, yang konon lahir karena
manusia merenungkan sifat dan kelakuannya, sehingga akhirnya berkembanglah
pengertian tentang mana yang baik dan mana yang buruk. Tapi karena pemikiran
manusia begitu beragam, maka lahirlah berbagai aliran etika, namun intinya
terbagi menjadi dua aliran:
1.
Aliran Intuisionisme yang mempercayai
adanya bisikan hati atau ilham. Bagi mereka, pandangan tentang baik dan buruk
itu merupakan bawaan (bakat), yang terpasang dalam perasaan manusia.
2.
Aliran Empirisme, yang mengajarkan
bahwa semua pengetahuan berasal dari pengalaman.
Kedua aliran itu kemudian ribut soal mana yang disebut baik mutlak dan
mana yang nisbi. Di antara mereka ada yang menjadikan agama sebagai ukuran,
ada yang mengajarkan bahwa yang paling banyaklah yang paling baik, ada pula
yang meyakini bahwa individu adalah penentu kebenaran.
Mana yang harus dipilih? Kita bisa mengatakan bahwa kebenaran individu
itu nisbi (relatif) dan karena individu itu kecil bila dibandingkan dengan
masyarakat, maka kebenaran individu itu dapat dikalahkan oleh kebenaran
masyarakat. Kemudian, bila kita gunakan agama sebagai tolok ukur, bisa jadi
satu individu dikatakan benar karena ia mematuhi agama.
Tapi bukankah jumlah agama juga tidak hanya satu? Selain itu, dalam satu
agama juga terdapat aliran-aliran, yang memusingkan kita untuk menunjuk mana
yang benar.
Al-Qurãn mengajukan satu rumusan bahwa konsep yang benar itu berasal dari
Allah. Bila manusia tidak menyetujui konsep Allah, silakan membuat konsep
sendiri. Tapi menurut Al-Qurãn pula, manusia tak akan mampu membuat konsep
yang setara dengan konsep Allah meskipun bekerja sama dengan jin (Al-Baqarah
2:23-24; Al-Israa’ 17:88). Dengan kata lain, konsep yang benar adalah konsep
yang paling siap menghadapi tantangan. Selain itu, Al-Qurãn juga menegaskan
bahwa konsep yang benar itu harus sesuai dengan fitrah (nature)
manusia, dan harus mampu menjamin manusia bebas dari ketakutan serta
duka-ciata.
|