News Breaking
Live
wb_hadi

Breaking News

Petani Jambi Mengugat, PT WKS Belum Bisa Dikonfirmasi

Petani Jambi Mengugat, PT WKS Belum Bisa Dikonfirmasi



The Jambi Times, JAMBI | UUPA No 5 1960 menjadi dasar perjuangan petani untuk menuntut hak ketimpangan penguasaan sumber-sumber agraria, penguasaan sumber agraria yang timpang selama ini adalah akibat dari ketidakadilan yang sistematis melalui peraturan yang tidak berpihak kepada petani.

PPJ Jambi di sekretarisnya beberapa waktu lalu juga mengelar jumpa pers mengenai sengketa lahan dengan beberapa perusahaan.

Banyaknya Undang-Undang atau aturan baru yang menjadi turunan dari UUPA telah menghasilkan regulasi yang kontra terhadap amanat UUPA itu sendiri. Sehingga menyebabkan investasi di bidang pertanahan tidak bisa terkendali dan luasannya pun tidak pernah di batasi serta tidak sedikit juga konsesi menggarap lahan melebihi batas izin mereka.

Belum lagi RUU Omnibus Law dan Cipta Lapangan Kerja yang sedang godok Pemerintah untuk segera di sah menjadi Undang-Undang. Aturan baru ini akan mengancam keselamatan dan keberlanjutan hidup petani, buruh tani dan masyarakat adat.

Tidak saja soal Amdal dan IMB yang dipermudah, segala keistimewaan lainnya bagi perusahaan dan investor skala besar di sektor pertanahan, perkebunan, kehutanan, pertambangan, properti dan pembangunan infrastruktur justru sedang dirancang. Puluhan UU terkait agraria hendak dihapus, dirubah dan disusun ulang untuk kepentingan elit bisnis.

Bahkan agenda ambisius Bank Tanah, yang kita tolak di RUU Pertanahan, kini masuk "gerbong bus omni". Seolah tak cukup, ingin pula pemerintah memberi pemodal hak atas tanah 90 tahun sekaligus.

Sepanjang tahun 2019 tercatat telah terjadi 16 letusan konflik agraria di Jambi, yang tersebar di beberapa wilayah dengan luasan 270.086,9 hektar, luasan konflik yang ada di Jambi saat ini merupakan yang terluas di Indonesia (sumber KPA), data ini selalu meningkat dari tahun ke tahun.

Salah satu penyumbang konflik agraria terbesar di Jambi berada di sektor perkebunan, konflik ini telah menyebabkan ribuan jiwa menjadi korban, serta sebanyak 42 orang di tetapkan sebagai tersangka dan di penjara.

Catatan di lapangan bahwa, sebaran konflik terbesar saat ini berada di sektor perkebunan HTI, di susul perkebunan kelapa sawit dan konflik agraria yang di akibatkan oleh kebijakan pemerintah.

Banyaknya konflik di sektor perkebunan di akibatkan tumpang tindih lahan antaramasyarakat dengan perusahaan perkebunan. 

Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sebagai lembaga pemerintah yang berwenang mengluarkan izin (IUPHKK-HTI), kelihatan sembarangan dalam proses keluarkan izin.

Terbukti, masih banyaknya pemukiman dan perkebunan masyarakat yang masuk dalam izin konsesi perusahaan. Sedangkan SK HGU yang di terbitkan oleh Kementrian ATR/BPN juga terdapat banyak masalah.

Dalam hal ini Kantor Pertanahan (Kanta) Kabupaten yang ditugaskan untuk membentuk tim Panitia B, guna memastikan tidak terjadi masalah di lapangan, namun dalam beberapa kasus belum clean and clear antara masyarakat dan perusahaan sementara SK HGU sudah di terbitkan.

Konflik agraria yang sistematis seperti ini akan menyebabakan kerugian besar bagi masyarakat, tidak hanya secara financial namun juga secara sikologis, khususnya bagi anak- anak yang menjadi korban.

Akibatnya banyak anak-anak yang putus sekolah dikarenakan lahan perbunan milik orang tuanya telah digusur oleh perusahaan.

Di bawah ini berapa kasus/konflik agraria yang terjadi di Jambi dan harus segera diselesaikan :

Konflik antara Kelompok Tani Panglima Berambai dengan 5 koperasi kemitraan PT WKS. Permasalahan ini berawal dari SK Hutan Tanaman Rakyat (HTR) untuk 5 koperasi yang dikeluarkan Menteri LHK melalui SK No. 5168/MENLHK-PSKL/PSL.0/10/2017 seluas 3.142,49 hektar, yakni Koperasi Rimbo Karima Permai, Hijau Tumbuh Lestari, Pajar Hutan Kehidupan, Alam Tumbuh Hijau dan Alam Sumber Sejahtera. Hingga saat ini kelima koperasi masih mengklim lahan tersebut sebagai lahan koperasi.

Pada awalnya Kelompok Tani Panglima Berambai hanya berkonflik dengan PT WKS. Namun keluarnya SK di atas, menambah daftar konflik yang dirasakan anggota Kelompok Tani Panglima Berambai.

Kelima koperasi telah mengklaim kebun masyarakat Desa Belanti Jaya. Awalnya di atas lahan ini sudah terdapat perkebunan masyarakat yang digusur PT WKS di luar izin mereka pada tahun 2006.

Kriminalisasi aktivis agraria Thawaf Aly bermula ketika  Thawaf Aly pengurus Persatuan Petani Jambi (PPJ) dikuasakan oleh warga untuk mengurus lahan mereka seluas 70 ha.

Yang telah di garap oleh PT Erasakti Wira Forestana (EWF) di Desa Merbau Kecamatan Mendahara Kabupaten Tanjung Jabung Timur.

Selanjutnya PT. EWF telah mengklaim lahan milik masyarakat tersebut dengan dalih telah membayar ganti rugi kepada masyarakat yang di lakukan di balai desa pada 22 Juni 2013.

Namun di antara masyarakat tersebut sebanyak 45 orang sampai saat ini tidak pernah menjual lahannya kepada pihak perusahaan. Dalam proses ini kuat dugaan telah terjadi kejanggalan seperti pemalsuan data warga yang di lakukan oknum perangkat desa bersama PT EWF.

Saudara Tawaf Aly telah melayangkan surat sanggahan untuk tidak menerbitkan HGU kepada Kantor Pertanahan Kabupaten Tanjabtim. Namun pihak Kanta Tanjabtim hanya melakuakan mediasi antara kedua belah pihak dan tidak menemukan titik terang.

Dalam proses penyelesaian ini ternyata pihak perusahan diam - diam mengajukan HGU di atas tanah tersebut. Setelah terbit HGU saudara Thawaf Aly ternyata dilaporkan oleh pihak perusahan dengan Undang-undang perkebunan Pasal 55 Huruf a Jo Pasal 107 Huruf a UU no 39 Tahun 2014.

Di tuduh telah melakukan pendudukan di tanah milik perusahaan. Apa yang dilakukan PT EWF ini tidak bisa di benarkan, karena ini hanyalah upaya untuk mengkriminalisasi aktivis agraria.

Konflik antara masyarakat 4 desa  yaitu Desa Sungai Paur, Sungai Rotan, Cinta Damai, dan Desa Lampisi dengan Koperasi KOTALU.

Konflik ini berawal ketika keluarnya SK Menteri LHK No. 690/MENLHK/SETJEN/PLA.2/12/2017 bahwa tanah seluas 4200 hektar yang berada di Desa Sungai Rotan, Sungai Paur, Lampisi dan Cinta Damai dilepaskan dari kawasan hutan dan diperuntukkan kepada Subjek Koptan Sawit Kotalu/ Koperasi Kotalu.

Sementara lahan tersebut adalah lahan garapan masyarakat 4 Desa (anggota Serikat Tani Bersatu Tanjung Jabung Barat). Sementara itu koperasi tersebut diduga telah dinyatakan fiktif pada tahun 2012.

Berdasarkan Surat Keputusan Kepala Dinas Koperasi dan UMKM Tanjung Jabung Barat Nomor 518/115/Dkukm/2012, Koptan Sawit Ketalu merupakan koperasi yang tidak sah sebagai subjek hukum atau dapat dikatakan merupakan koperasi fiktif.

 Atas dasar masalah tersebut kami Aliansi Rakyat Jambi mendesak :

1. Batalkan RUU omnibus Law/Cilaka
2. Hentikan kriminalisasi terhadap aktivis Tawaf Ali.
3. KLHK penyebab konflik agraria yang berkepanjangan dengan mengeluarkan SK HTR 5 koperasi di arel garapan Kelompok Tani Panglima Berambai anggota PPJ.
4. laksanakan Reforma agraria sejati di jambi sebagai jalan penyelesaian konflik.
5. batalkan HGU PT.EWF yang dikeluarkan oleh BPN Jambi.
6. Batal SK yang dikeluarkan oleh KLHK kepada koperasi Ketalo dan tetapkan lokasi 4200 Ha           sebagai lokasi prioritas Reforma Agraria di lokasi Serikat bersatu tanjung jabung barat.
7. Bebaskan suku anak dalam yang dikriminalisasi PT. Sungai Bahar Pasifik utama.

The Jambi Times melalui tim Riset Penelitian dan Kengajian PT. Pusat Penerangan Terkini telah melayangkan surat  pada 11 Februari 2020  untuk konfirmasi secara tertulis namun belum ada jawaban. Melalui call whatApps Haris salah satu pihak PT.WKS beberapa kali  di telpon tidak diangkat- angkat  (**)

Tags

Newsletter Signup

Sed ut perspiciatis unde omnis iste natus error sit voluptatem accusantium doloremque.