News Breaking
Live
wb_hadi

Breaking News

Masjid Tempat Kaderisasi Umat

Masjid Tempat Kaderisasi Umat



Ditulis oleh: Zainul Abidin

SEBENARNYA fungsi Masjid itu secara umum untuk tempat ibadah khususnya sholat, perayaan hari besar Islam bahkan juga dijadikan tempat untuk pertemuan rapat kegiatan di Masjid.

Jika ANDA sudah membaca tulisan saya yang berjudul Hadis Jibril, mungkin sudah mendapat kesimpulan bahwa al-Islam itu adalah Dinul Islam sedangkan Dinul Islam itu adalah sebuah ,'organisasi tunggal' ciptaan Allah yang disampaikan ke Jibril kepada Nabi.

Namun dalam tulisan itu belum dibahas tentang sekretariat organisasi nya,  jadi apa nama tempatnya?

Secara bulat dan utuh bahwa al-Islam itu sebuah organisasi yang bersifat tunggal maka disinilah kita menelusuri kebenaran yang di-salah-paham-kan sehingga makna al-Islam lepas konteks.

Bisa jadi, asal dan usulnya organisasi buatan manusia seperti PBB itu diadopsi dari Hadis Jibril!

Antara al-Islam dan masjid memiliki satu garis dalam perjuangan Nabi untuk melakukan pembinaan akhlak yang unggul, cerdas, dan patuh atas ajaranNya.

Makna masjid sebenarnya luas, bumi ini hakekatnya adalah masjid, jika kita bicara al-Islam maka masjid disebut berupa bangunan (infrastruktur).

Apa yang dikatakan Nabi tersebut juga menandakan pesan agung tentang ibadah yang selayaknya tidak dibatasi hanya oleh bentuk dan rupa ruang yang menjadi tempat kita bersujud.

Bila kita tanyakan kepada para ahli bahasa, mereka  pasti mengatakan bahwa masjid adalah tempat sujud, dengan alasan bahwa  menurut teori bahasa masjid termasuk isim makan (kata yang menunjukkan tempat berlakunya suatu tindakan). 

Kenyata­annya kita melakukan sujud tidak hanya di dalam bangunan yang bernama masjid, tapi sering juga di rumah dan di  tempat-tem­pat lain, (ini diluar konteks pahala). 

Bahkan ada sebuah Hadis yang mengatakan ,"bahwa selu­ruh  permukaan bumi ini adalah masjid". (Kullu  ardhin  masjidun). 

Ini bukan hanya berarti bahwa shalat memang bisa dilakukan dimana saja, tapi juga menantang kita untuk memahami lebih jauh pengertian masjid.

Bai­tullah, jelas tersusun dari dua kata, bait(un) dan Allah. Se­cara umum bait memang berarti rumah, tapi dalam konteks  lain ia juga bisa berarti wadah, sarana, tempat, bangunan dan organisasi. 

Tapi bila dipikirkan lebih cermat, istilah rumah itu sendiri sebenarnya sudah mempunyai pengertian seperti  tempat singgah, karena rumah  dibangun berdasarkan  suatu teknologi pembangunan yang  sistematik. 

Jika organisasi yang namanya al-Islam, (Dinul Islam atau agama Islam) maka ter-jawab-lah bahwa  masjid itu bisa dimaknai sebagai tempat kesekretariatan sebuah organisasi, bahasa kerennya KANTOR.

Secara tidak langsung memang seperti itu, aktifitas surat menyurat, agenda event untuk hari besar yang terstruktur atau keperluan surat lainnya, rapat-rapat demi kepentingan ISLAM, yah.., begitu seharusnya, letaknya  ada di masjid bukan tempatnya dirumah. 

Makanya masjid itu di tata dan dibangun sesuai konsep kebutuhan yang super lengkap. Bukan saja ada tempat wudhu, toilet semata tetapi  ada tempat lain untuk pengurus masjid atau apa pun harus tersedia juga.  

Biar tidak asing, saya tetap sebut "Rumah Tuhan" saja, selain untuk ibadah sholat,  untuk tempat diskusi, menyusun program jangka pendek dan jangka panjang antar lintas daerah, nasional  hingga kerjasama internasional untuk membahas isu dunia seperti budaya, hukum,sosial, ekonomi, lingkungan dll. 

Semua itu akan diputuskan dengan kesepakatan kerja saat pada pertemuan Akbar antar negara di MEKAH yaitu pada momen Ibadah HAJI (Idul Adha).

Sebelum hari H, diwajidkan para perwakilan negara untuk berkunjung ke Mekah untuk melakukan lobi-lobi misi tingkat tinggi yang diberi ruang dan waktu yaitu dengan nama UMRAH.

Jadi tujuan umrah itu untuk tour jalan-jalan bukan saja untuk diri sendiri tetapi demi kepetingan umat juga. Disitulah para DUTA diuji nyalinya, apakah berhasil sebagai politikus ulung, orator ulung yang bisa mensukseskan misinya tapi ini mereka memiliki tujuan yang sama seperti tujuan para Nabi. ini murni konsep Alquran. Tidak ada korupsi, kolusi, nepotisme (KKN)  apalagi suap. 

Setelah itu baru untuk mengelar konferensi tingkat tinggi dengan tujuan muktamar  akbar untuk memelihara perdamaian, meningkatkan kesejahteraan masyarakat DUNIA. Sudah jelas calon duta itu syaratnya faham dengan Alquran dan Hadis.

Tujuannya untuk membantu negara yang terjajah seperti penjajahan di Palestina, kelaparan di Ethopia, masalah  isu lingkungan dibelahan dunia, krisis ekonomi dan lain sebagainya  .

Setelah semua selesai dan telah menghasilkan poin-point besar urusan dunia dalam muktamar itu barulah pemimpin melakukan khutbah seperti khutbah Wada Nabi Muhammad, memutuskan dan menyampaikan hasil satu  kesepakatan yang bulat dalam sidang tersebut.

Anggaran Haji nya juga bersumber dari Zakat yang dilakukan di tiap masjid, karena Zakat itu sistem ekonomi Alquran yang sudah diberikan oleh Allah, tinggal kita terapkan saja cara dan sistemnya.

Setelah berakhir dan dianggap agenda selesai tahunan lalu semua delegasi rombongan jemaah haji antar negara melakukan rangkaian yang sudah ditentukan seperti acara ritual haji di Ka'bah, wukuf di Arafah, mabit (bermalam) di Muzdalifah, melempar jumrah di Mina, tawaf di  Ka'bah Masjidil Haram, serta ziarah ke tempat-tempat bersejarah di Madinah.

Semua itu berawal dari masjid, figur-figur berdedikasi  dan mengu-asai sistem tersebut dikenal dengan sebutan imãm (jamak­nya: ayyimah, atau a-immah). 

Dan melahirkan kader,-kader terbaik dan akan menjadi duta atau perwakilan dari masjid masing-masing di seluruh dunia untuk membawa misi yang akan didebatkan seperti di forum PBB.

Istilah al-baitul-ma’mur terdapat dalam surat  Ath-Thur ayat 4. Menurut tafsir Kemenag, istilah tersebut merupakan  sebutan bagi Ka’bah, “karena Ka’bah selalu  mendapat kunjungan untuk Haji, ‘Umrah, Tawaf, dan lain-lain, atau  se­buah rumah di langit yang ketujuh yang saban hari dimasuki oleh 70.000 malaikat.”

Penafsiran  tersebut jelas menggambarkan bahwa  al-bai­tul-ma’mur secara harfiah berarti: rumah yang ramai,  karena banyaknya  pengunjung dengan tujuan ‘beribadah’ haji,  umrah, tawaf,  dan lain-lain (khusus untuk Ka’bah). 

Pertanyaan  kita adalah: “Betulkah penafsiran ini, terutama bila kita  kaitkan dengan pencantuman istilah itu dalam surat Ath-Thur?”

Meramaikan masjid

Selain  itu, bila bicara tentang masjid,  pada  umumnya orang  mengutip surat At-Taubah ayat 17-18, yang memuat  kata ya’muru,   yang  diterjemahkan  menjadi  “memakmurkan” atau “meramaikan”.

Dampak dari penafsiran tersebut, kita jadi sering  men­dengar  seruan atau ajakan untuk “memakmurkan masjid”,  dalam arti “meramaikan”, yaitu membuat masjid selalu dipenuhi orang yang  melakukan berbagai kegiatan. 

Sidi Gazalba menulis  dalam buku: Mesjid Pusat Ibadat Dan Kebudayaan Islam:

Dalam tujuan untuk kembali mengikat hubungan jamaah  de­ngan masjid, pengurus harus menjalankan usaha utama yang bersifat serba tetap yaitu  meramaikan masjid. Usaha ini dilakukan dengan beren-cana, secara sistematik, yang  ma­kin lama makin giat. 

Menurut tradisi, masjid hanya ramai dikunjungi waktu sholat Jum’at, sholat Idul Fitri dan Idul Adha. Sekarang  misalnya diusa­hakan  supaya tiap-tiap subuh ia  juga ramai dikun-jungi. Lambat  laun juga tiap magrib dan seterusnya.  Diberikan pendidikan/pengajaran secara berkala untuk anak-anak dan orang-orang dewasa. 

Dibangunkan perpustakaan. Di halaman atau dalam bangunan dekat masjid dilakukan kegiatan se­ni. Di masjid secara berkala dilakukan  musyawarah, dis­kusi, simposium, dan seminar. 

Didirikan poliklinik  atau rumah  sakit dekat masjid. Taman kanak-kanak dapat  ber­tempat di pekarangan masjid. Taman atau gedung  rekreasi dan gedung pertemuan umum dibangun tidak jauh dari  mas­jid.

Gedung-gedung perkumpulan, lembaga dan yayasan  di­geser  atau dipindahkan ke dekat masjid. Kantor  pramuka dan perkum-pulan  olahraga didirikan dekat masjid.  Koperasi  dan kantor simpan pinjam digeser ke dekat  masjid. 

Pendeknya pengurus melakukan seribu satu daya upaya  un­tuk  meramaikan masjid sesuai dengan kondisi  ruang  dan waktu.

Kegiatan-kegiatan masjid yang serba  terus  yang mempunyai daya tarik dan manfaat atau efek kepada  jama­ah, lambat laun menanamkan ikatan jamaah dengan  masjid. Ikatan  ini akan merasakan pada jamaah bahwa masjid  itu kepu-nyaan mereka, mereka anggota dari padanya. 

Melalui masjid terja-dilah kontak antara jamaah, terjaringlah sa­ling  hubung kegiatan-kegiatan hidup jamaah. 

Lambat la­un,  mungkin dalam jarak waktu satu atau lebih  angkatan akan  terbentuk kesatuan sosial Muslim yang  diikat oleh Ukhuwah dan menyatakan diri bukan saja dalam kesamaan di bidang ibadat, tapi juga persamaan dalam kebudayaan.

Gagasan Gazalba tersebut sangat menarik,  dan agaknya cukup menggambarkan tentang “bagaimana keadaan  masjid  yang seharusnya (ideal)” yang bentuk awalnya dibina dan dikembang­kan  oleh Rasu-lullah serta para Sahabat. 

Yang paling menarik bagi penulis adalah ‘prediksi’ Gazalba bahwa melalui kegiatan “meramaikan”  masjid terse-but kelak, dalam kurun  waktu  satu atau  dua generasi, akan terbentuk “kesatuan  sosial  Muslim” yang  diikat oleh Ukhuwah dan menyatakan diri dalam  kesamaan ibadat dan persamaan kebudayaan.

Ide Gazalba memang menarik.  Namun landasan tempat ber­pijaknya ide tersebut masih terasa kabur. Kita tentu  berta­nya:  dari  mana  timbulnya ukhuwah  yang  mengikat  kesatuan sosial Muslim itu?

Ukhuwwah alias persaudaraan, yang  mendalam, tidak  mungkin timbul begitu saja dengan  hanya  mengandalkan pemusatan berbagai kegiatan di satu tempat. 

Lihat saja keadaan pasar. Di situ manusia berkumpul setiap hari melakukan  a­neka  macam kegiatan. Namun meskipun setiap hari, dari  generasi ke generasi, mereka berkumpul di satu tempat, rasa persaudaraan  di antara mereka tak pernah tumbuh; karena  mereka saling  bertemu semata-mata demi memenuhi  kebutuhan  masing­-masing.  

Bahkan boleh dikatakan mereka berkumpul  hanya demi mencari  keuntungan  sendiri-sendiri, walau untuk itu  sering kali harus merugikan orang lain, secara langsung atau tidak.

Surat Ali Imran ayat 103 menegaskan bahwa  persaudaraan antar sesama manusia hanya bisa terjalin bila manusia  secara serempak dan kompak menjadikan hablullah (agama Allah)  seba­gai  pegangan hidup. Hablullah itu bentuk  konkretnya  adalah Alquran. 

Alquran lah yang meredakan rasa permusuhan yang  berkobar di tengah bangsa Arab, yang  sebelumnya membuat mereka terpecah-belah.

Alquran lah yang membuat hati mereka menjadi luluh, sehingga tumbuhlah rasa persaudaraan di tengah mereka.

Gagasan  Gazalba, meramaikan masjid dengan  menggunakan “seribu satu daya upaya” bisa dibenarkan sepanjang hanya ber­kaitan dengan taktik

Tapi dalam kaitan dengan strategi, yai­tu menjadikan agama Allah sebagai pegangan hidup, yang  kelak melahirkan  persau-daraan  muslim,  maka segala  taktik  harus diarahkan demi tercapainya penghayatan nilai-nilai Alquran.

Dengan demikian, perlu ditegaskan kembali bahwa masjid terutama harus disiapkan sebagai pusat pembinaan umat, yang diawali  dengan  kesiapan para pengurusnya  untuk  membimbing jamaah masjid memahami Alquran. 

Sekali lagi, ini adalah strate­ginya.  Sedangkan taktiknya, bisa saja dilakukanya seribu satu upaya  untuk ‘menjaring’ sebanyak mungkin orang,  semua harus siap untuk menyantap hidangan utama yaitu: Alquran (yang  tentu disampaikan dengan berbagai cara).

Namun harap di ingat pula bahwa taktik ‘pengerahan  mas­sa’  tersebut belum tentu berhasil mencapai sasaran  sebenar­nya.

Malah ada kemungkinan massa bisa tenggelam dalam keasyi­kan  berbagai kegiatan yang disediakan. Cara seperti ini memang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah. 

Sebaliknya, yang dirintis  oleh Rasulullah adalah pembinaan  oknum-oknum  yang akan  ‘meramaikan’ masjid itu dengan penghayatan  nilai-nilai Alquran. 

Itulah barangkali sebabnya Rasulullah baru  mendirikan masjid  (Quba) setelah hijrah dari Makkah ke  Yatsrib  (tahun ke-13 kerasulan). 

Selanjutnya, setelah jamaah lebih dulu ter­bentuk,  dan masjid didirikan, segala kegiatan  semacam  yang disebutkan  Gazalba agaknya hanyalah ‘produk sampingan’  (by­product)  belaka, yang sifatnya bahkan sangat pragmatis, sesuai situasi dan kondisi yang dihadapi umat,  alias tidak mengadakan kegiatan-kegiatan yang tujuannya asal masjid  ramai saja.

"Realitanya terbukti tidak ampuh,kan?"

Dalam sebuah Hadis (?) bahkan Rasulullah mengisyaratkan bahwa:

"suatu ketika Islam hanya tinggal namanya, Alquran  hanya tinggal  tulisannya, masjid-masjid ramai, tapi sepi dari petunjuk".

 La islama illa ismuhu, wa la qur’ana illa  rasmuhu; masajiduhum ‘ami-ratun khaliyun minal-huda.

Ma’mur 

Perlu diperhatikan bahwa kata ma’mur tidak hanya berar­ti  ramai, tapi bisa juga berarti  terpelihara  (cultivated), atau  berperadaban  (civilized). 

Kata  ma’mur  yang  terdapat dalam  surat Ath-Thur ayat 4 bahkan cenderung  mengarah  pada pengertian "berperadaban".  Hal ini diisyaratkan oleh ayat-ayat sebelumnya:

والطور- و كتاب مسطور- فى رقّ منشور

Ayat-ayat ini agaknya merupakan penegasan tentang  per­lunya mengkaji sesuatu yang berkaitan dengan (bukit)  Thursi­na, tempat Musa menerima wahyu. 

Wahyu adalah sesuatu yang ti­dak terpisahkan dari kitab, alias ketetapan (peraturan)  atau hukum, yang kemudian dilestarikan dengan tulisan  (masthur), dalam lembaran yang terbuka (kulit, kertas, dsb.). 

Dengan de­mikian, wahyu juga tidak terpisahkan dengan pemberadaban ma­nusia. Selanjutnya, penyebutan al-baitul-ma’mur pada ayat be­rikutnya memang sangat logis bila ditujukan kepada  Ka’­bah, karena surat Ali Imran ayat 96 menyebutkan:

إن أوّل بيت وضع للناس للذى ببكّة مباركا و هدى للعالمين

"Sungguh, bangunan  pertama  yang dibangun  bagi manusia adalah yang terdapat di  Bakkah  (Mak­kah),  bangunan yang bermanfaat (mubarakan) sebagai  petunjuk bagi manusia".

Penyebutan  Ka’bah selalu berkaitan dengan  para  Nabi, khususnya  Ibrahim dan Ismail, dan akhirnya Muhammad.  Sebuah Hadis Qudsi menceritakan bahwa Nabi Adam suatu ketika disuruh berhaji  disana.

Ini tentu juga merupakan isyarat bahwa  pe­nyebutannya  sebagai al-baitul-ma’mur tidak  bisa  dilepaskan dengan missi para rasul.  

Dengan kata lain, istilah al-baitul­ma’mur itu  tidak bisa hanya diartikan sebagai  “rumah  yang ramai”, dalam arti banyak manusia yang tinggal disekitarnya dan  banyak pula yang berlalu-lalang melewatinya.  

Pengertian yang  lebih memadai adalah “bangunan yang berperadaban”.  Dan ini  pun mempunyai dua pengertian. 

Pertama: 

Sebagai  bangunan pertama  di dunia, Ka’bah adalah bangunan yang dibuat  dengan sentuhan peradaban, sehingga berbeda dengan bangunan-bangunan lain yang dibuat secara primitif. 

Bentuknya yang berupa kubus menjadi  bentuk dasar semua bangunan ‘beradab’  lain.  

Kedua:

Dalam kaitannya dengan para nabi, Ka’bah adalah bangunan yang menjadi  pusat  kegiatan  da’wah. (Ingat  kisah  Ibrahim  dan Ismail).  

Dan  da’wah adalah  kegiatan  pemberadaban.  (Ingat pengakuan Muhammad: addabani rabbi fa ahsana ta’dibi)

Jadi al-baitul-ma’mur pada hakikatnya berarti “bangunan berperadaban”; dan karena peradaban sebenarnya bersumber dari wahyu, maka al-baitul-ma’mur pada dasarnya berarti  “bangunan berperadaban wahyu”

Bila dikaitkan dengan Nabi Muhammad, ma­ka  pengertiannya menjadi lebih defininif,  yaitu:  “bangunan berperadaban Alquran “.

Ka’bah  sebagai  bangunan (masjid)  pertama  ditegaskan ayat  di atas (Ali Imran ayat 96) mempunyai nilai  mubarakan, berkah, alias berkembang, tumbuh, bertambah. 

Selain itu,  ia juga berstatus hudan. Kita biasa menerjemahkan hudan sebagai petunjuk, yang pengertiannya tentu sangat umum. Secara spesi­fik, terutama dalam kaitannya dengan Ka’bah, hudan bisa  jadi berarti pola atau model, dalam arti thing to be copied, sesu­atu yang disediakan untuk dicontoh.

Secara fisik material bangunan Ka’bah tidak berkembang, dan  tidak  boleh dikembangkan, karena  ia  merupakan  contoh pertama, yang sekaligus menjadi lambang persatuan umat. 

Namun  konsep  bangunannya, justru harus dikembangkan,  disebarluas­kan. di-copy sebanyak yang dibutuhkan. 

Jelasnya, bila  Ka’bah adalah bangunan masjid pertama, maka masjid-masjid lain, yang secara  prinsip sama dengannya, harus dibangun dimana  saja, sesuai  kebutuhan  umat Islam, dan karena itu  setiap  masjid harus menjadi ‘kiblat’ bagi umat di sekitarnya.

Jadi, masjid-masjid yang dibangun setelah Ka’bah adalah ‘'seiras'  dari Ka’bah, khususnya dalam ‘sentuhan  peradaban’­-nya. 

Jelasnya, setiap masjid harus dibangun, dihidupkan,  se­bagai  al-baitul-ma’mur,  yaitu “bangunan  yang  berperadaban wahyu/ Alquran “.

Menjadi bangunan yang didalamnya manusia didi­dik untuk beradab (beretika, berbudaya) wahyu.

Dalam sebuah Hadis disebutkan bahwa yang berhak (dan  wa­jib)  menjadi  imam adalah orang-orang yang  paling  memahami Alquran dan Sunnah. 

Pada masa Nabi jabatan tersebut dipegang o­leh  Nabi sampai menjelang wafatnya, karena sudah pasti pada saat itu tidak ada orang yang lebih tahu tentang Alquran selain Nabi.

Lengkapnya isi Hadis tersebut adalah sebagai berikut:

Uqbah bin ‘Amr meriwayatkan bahwa Rasulullah pernah berkata:

“Yang layak menjadi imam kaum ini adalah orang yang lebih memahami kitabullah. 

Bila di  antara mereka ada sejumlah orang yang mempunyai kualitas pemahaman sama, maka pilihlah  yang  paling mengetahui Sunnah.  

Bila kualitas pemahaman Sunnah  mereka  sama, pilihlah yang paling awal berhijrah. Bila saat berhijrah mereka pun sama, pilihlah yang paling tua. 

Kemu­dian, janganlah seorang lelaki menjadi imam di  wila­yah orang lain, sebagaimana ia tidak boleh duduk pada tempat khusus di rumahnya tanpa mendapat  ijin  dari­nya.”  (Hadis riwayat Ahmad dan Muslim).

Hadis ini secara gamblang menggambarkan siapa yang berhak dan berkewajiban menjadi imam, yaitu orang-orang yang  paling memahami Alquran dan Sunnah, yang dipilih dari suatu kaum  (ma­syarakat).

Ditegaskan pula bahwa setelah seorang imam  terpi­lih di suatu tempat, maka imam di tempat yang lain tidak  bo­leh melecehkan kedudukannya.

 Jadi, Hadis ini selain menjelas­kan kriteria (landasan nilai) seorang imam, juga  menjelaskan tentang adanya wilayah pemba-gian tugas seorang imam, menggam­barkan  bagaimana  cara pembinaan umat ketika  Islam  semakin tersebar luas.

Semakin jelas pula bagi kita bahwa fungsi masjid (materi­al)  adalah  sebagai pusat pembinaan umat, yang  didalamnya ‘menetap’ seorang imam. 

Bahkan Hadis tersebut  mengisyaratkan bahwa yang harus mengelola sebuah masjid bukan hanya  seorang imam, tapi minimal empat orang, dengan yang tertua dan paling memahami Al-Quran dan Sunnah sebagai ketua, sedangkan yang  lain sebagai  wakil. 

Ini juga mengisyaratkan bahwa  dalam  sebuah masjid harus ada organisasi kepengurusan yang baik, yang  di­pimpin  keempat orang berkualitas tersebut,  sehingga  fungsi masjid sebagai pusat pembinaan umat dapat berjalan dengan baik.

Ini berarti bahwa  pendidikan  untuk menghasilkan orang-orang seperti itu pun harus diadakan.  Ja­di, harus ada perguruan tinggi untuk para calon imam.  

Sebut­lah  seperti  sekolah calon pendeta dan  pastor  dalam  agama Kristen.  Selanjutnya, tentu harus ada juga organisasi  khusus bagi para imam itu, sehingga mereka dapat melakukan pertemuan tingkat  nasional bahkan internasional secara rutin. Nama organisasinya tetap al-Islam namun sub organizernya bisa  saja Majlis Ulama,  atau yang lain. Yang penting adalah fungsinya.

Lalu, apakah yang akan terjadi bila prinsip-prinsip dalam Hadis tersebut dijalankan?

Sesuatu yang dahsyat.

Yaitu bersatunya umat Islam!, pengurus dan jemaahnya ahlul-quran.

Namun tentu saja ada akibat efek sampingannya. Di antaranya a­dalah  pasti berkurangnya (mungkin secara drastis) para  da’i profesional  yang kini bergentayangan di mana-mana, yang  be­gitu menyedot perhatian umat tak ubahnya para artis, sehingga masalah-masalah  fundamental umat tak  pernah  terselesaikan. 

Bila Hadis itu dijalankan, mereka bisa lenyap dari peredaran, dari dunia publisitas dan popularitas. Tapi tentu saja  riwayat mereka tidak akan tamat. 

Sebab bila mereka memang  mempu­nyai  komitmen  terhadap pembinaan umat, mereka  akan  ‘nong- krong’  di masjid.

Mereka dapat melakukan  pembinaan  intensif untuk melahirkan kader-kader mukmin berkualitas. Bila  semula mereka cuma ‘mempunyai’ massa mengambang alias umat yang  tidak pasti, kini mereka akan mempunyai umat yang jelas,  walau jumlahnya  tidak berjuta! 

Cuma, tentu saja mereka tidak  akan terkenal, dan tidak akan banyak duit. Tapi apa gunanya mereka punya duit banyak bila umat tetap miskin harta dan ilmu kare­na tidak terorganisir?

Umat yang tidak terorganisir bahkan tidak bisa dikatakan umat. Mereka hanya seumpama butir-butir pasir yang tidak punya perekat.

Perekat umat itu sebenarnya adalah Alquran, dan yang berkewajiban untuk mengajarkan adalah ULAMA..

Lihat saja apa yang mereka hasilkan selama ini.

 Berapa banyak tafsir Alquran yang dihasilkan ribuan (?) ‘ulama’ Indonesia? 

Bagaimana pula mutu tafsir-tafsir yang sudah mereka bikin? 

Berapa banyak di antara mereka yang benar-benar menguasai bahasa Arab? 

Berapa jilid buku pelajaran bahasa Arab yang telah mereka terbitkan? 

Berapa buah kamus bahasa Arab yang telah mereka selesaikan? 

Semuanya sudah super lengkap namun bagaimana bisa terwujud jika mekanisme, skema dan strukturnya tidak sejalan dengan apa yang disampaikan tentang al-Islam seperti pertemuan  Malaikat dan Nabi dalam Hadis Jibril tersebut.

Jika tidak sesuai maka hasilnya akan simpang siur, tidak sinkron dan otomatis jadi prilaku buruk yang saling mengkhianati, pokoknya tidak sehat, seperti itulah jadinya organisasi buatan manusia. 

Hal itu sudah digambarkan oleh peristiwa sejarah masjid munafik atau masjid pembanggang yang dikenal dengan Masjid ad-Dhirar.

Masjid ini memiliki daftar sejarah dan dalil yang begitu kuat yang isinya penuh propaganda sehingga Allah melarang Nabi untuk sholat di masjid tersebut. Akhirnya masjid itu di bakar lalu dihancurkan.

Surat At-Taubah Ayat 107

Istilah masjid dhirar ini tertulis dalam Al-Qur’an tepatnya dalam surah at-Taubah [9] ayat 107. 

Oleh karena itu, untuk memperoleh pemahaman terkait masjid Dhirar, terlebih dahulu kita harus memahami penjelasan ayat tersebut. 

Teks ayat tersebut tertulis sebagaimana berikut:

وَالَّذِيْنَ اتَّخَذُوْا مَسْجِدًا ضِرَارًا وَّكُفْرًا وَّتَفْرِيْقًاۢ بَيْنَ الْمُؤْمِنِيْنَ وَاِرْصَادًا لِّمَنْ حَارَبَ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ مِنْ قَبْلُ ۗوَلَيَحْلِفُنَّ اِنْ اَرَدْنَآ اِلَّا الْحُسْنٰىۗ وَاللّٰهُ يَشْهَدُ اِنَّهُمْ لَكٰذِبُوْنَ

Artinya:

“Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada yang mendirikan masjid untuk menimbulkan bencana (pada orang-orang yang beriman), untuk kekafiran dan untuk memecah belah di antara orang-orang yang beriman serta menunggu kedatangan orang-orang yang telah memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu. Mereka dengan pasti bersumpah, “Kami hanya menghendaki kebaikan.” Dan Allah menjadi saksi bahwa mereka itu pendusta (dalam sumpahnya.

Surat At-Taubah Ayat 108

لَا تَقُمْ فِيهِ أَبَدًا ۚ لَّمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى ٱلتَّقْوَىٰ مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَن تَقُومَ فِيهِ ۚ فِيهِ رِجَالٌ يُحِبُّونَ أَن يَتَطَهَّرُوا۟ ۚ وَٱللَّهُ يُحِبُّ ٱلْمُطَّهِّرِينَ

Arab-Latin: Lā taqum fīhi abadā, lamasjidun ussisa 'alat-taqwā min awwali yaumin aḥaqqu an taqụma fīh, fīhi rijāluy yuḥibbụna ay yataṭahharụ, wallāhu yuḥibbul-muṭṭahhirīn

Artinya:

 "Janganlah kamu bersembahyang dalam mesjid itu selama-lamanya. Sesungguhnya mesjid yang didirikan atas dasar takwa (mesjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu sholat di dalamnya. Di dalamnya mesjid itu ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bersih'.

Masjid itu pertama dibangun yang isinya adalah orang-orang taqwa dan patuh atas ajaranNya . 

Selain untuk sholat menciptakan kaderisasi Alquran, Masjid Quba juga untuk dijadikan tempat membahas rapat strategi penaklukan Mekah yang dikenal dengan fathu Mekah.

Berhasilnya penaklukan Mekkah (fathu Makkah) pada tanggal 1 Januari 630 Masehi, dan akhirnya berganti nama dari Baitullah di Mekah menjadi Masjidil Haram.

Dua tahun kemudian tepatnya 632 Masehi setelah fathu Mekkah, akhir dakwah dari perjalanan Nabi selama 23 tahun. 

Perintah dari Allah telah dilaksanakan dan  diamanatkan ke-umat-nya yang beriman lalu Nabi menunaikan ibadah haji yang pertama kali dan yang terakhir. Dan disitulah Nabi berkhutbah yang dikenal dengan khutbah Wada atau khutbah perpisahan. 

Tanggal 8 Dzulhijjah tahun ke-10 Hijriyah, Nabi Muhammad berangkat dari Makkah menuju Arafah, mengendarai untanya yang bernama Al-Qashwâ, diiringi umatnya yang berjumlah sekitar 140.000 orang.

Sampai di Mina, semua mampir dan mendirikan kemah, lalu bermalam di situ.

Esoknya, setelah subuh, perjalanan ke Arafah dilanjutkan. Di kawasan bukit Arafah, mereka berkemah pula di desa Namirah, di sebelah timur bukit Arafah.

Setelah matahari tergelincir, mereka berangkat ke lembah Bathnul Wâdy, yang terletak di lapangan Urnah. Setelah berwukuf dan memperlihatkan cara-cara ritual haji, 

Nabi naik ke punggung untanya, dan kemudian berteriak sekeras-kerasnya, memanggil berkumpul umatnya.

Panggilan Nabi disambung oleh Rabi’ah bin Umayyah bin Ghalaf dengan sekeras-kerasnya pula.

Di situlah Nabi berkhutbah, menyampaikan serangkaian amanat yang kemudian dikenal sebagai Khutbah Wadâ’ (خطبة الوداع).

Ringkasan isinya dapat diuraikan ke dalam butir-butir (hukum) sebagai berikut:

1. Darah (jiwa) kalian itu mulia. Demikian juga harta-benda dan harga diri.

2. Kalian semua akan bertemu dengan Tuhan kalian, dan Dia akan bertanya tentang amal-amal kalian.

3. Bila kalian berbuat jahat, kalian harus mempertanggung-jawabkannya sendiri.

4. Seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya.

5. Harta seorang muslim haram bagi saudaranya, kecuali bila mendapat ijin darinya.

6. Seluruh ajaran Jahiliyah telah hancur di bawah kakiku.

7. Riba pada zaman jahiliyah telah dihapuskan.

8. Takutlah pada Allah dalam urusan wanita. Mereka adalah amanat Allah atas kalian. Kalian mempunyai hak atas istri kalian, dan istri kalian juga mempunyai hak atas kalian.

9. Patuhilah pemimpin yang menegakkan kitabullah, walaupun ia (mantan) budak hitam asal Habsyi (Abesinia).

10. Ahli waris tidak berhak atas wasiat, dan wasiat (bagi bukan ahli waris) tidak boleh lebih dari sepertiga kekayaan.

11. Anak adalah milik suami yang sah, bukan hak bagi pezina.

12. Setan gagal untuk dipatuhi di negeri ini, tapi mereka cukup puas bila kalian melakukan hal-hal yang menurut perkiraan kalian penting.

13. Kalian semua berasal dari Adam, dan Adam dari tanah. Orang yang termulia adalah yang takwa. Tak ada kelebihan Arab atas non-Arab, selain karena takwa.

Setiap menyelesaikan butir-butir pernyataannya, Nabi menyelingi dengan pertanyaan, 

“Sudahkah ini kusampaikan?”, yang dijawab oleh umat dengan teriakan:' bahwa Nabi memang telah menyampaikan'

Kemudian Nabi menengadah ke langit sambil berkata, “Ya Allah, saksikanlah ini!”

"Nah begini cara doa Nabi, setelah berjuang keras, mati-matian berusaha  dan telah dijalankan sesuai maunya Allah baru deh berdoa".

Melalui khutbah ini, kita mendapat kesimpulan tentang inti ajaran yang disampaikan Rasulullah, yakni inti ajaran Dinul Islam.

Masjid Quba salah satu contoh yang 'seiras' dengan Masjidil Haram sebagai tempat yang sukses membina umat yang menjadi sumber peradaban Wahyu dari generasi ke generasi para Nabi,  ini untuk inspirasi kita semua.

Bahkan Yatsrib kini menjadi kota Madinah sebagai negeri bercahaya Alquran.

Pada tahun itu juga yaitu 632 Masehi setelah melaksanakan Haji , akhirnya Nabi wafat.

"Masih adakah Masjid Quba saat ini?" atau 

'Masih adakah Masjid ad-Dhirar pada saat ini,?"

"Bisakah kita ciptakan kota seperti Madinah, minimal setingkat jemaah di RT . Tapi semuanya itu melalui jalur kaderisasi di Masjid kita. Jika tidak terlaksana, maka semakin lama semakin  tambah Kabur  al-Islam itu. Akhirnya sia-sia semua"

Penulis telah menyusun sumber-sumber tulisan dari berbagai referensi, semoga bermanfaat, sekian dan terima kasih.


Tags

Newsletter Signup

Sed ut perspiciatis unde omnis iste natus error sit voluptatem accusantium doloremque.

Next
This is the most recent post.
Previous
Older Post