News Breaking
Live
wb_hadi

Breaking News

Hadis Jibril

Hadis Jibril



Ditulis oleh:Zainul Abidin

Mungkin diantara kita, ada yang sudah tahu atau juga yang tidak tahu sama sekali bahkan juga merasa aneh mendengar perkataan Hadis Jibril. 

Kalau Hadis Nabi mungkin tidak asing lagi ditelingga , apalagi tiap majelis sering di dengar dan diucapkan oleh para da'i, mubalig, ustadz atau penceramah.

Sebelum dillanjutkan lebih dalam, terlebih dahulu saya akan menyajikan cerita singkat tentang sosok anak sabahat Nabi Umar bin Khattab yaitu: Abu Abdirrahman Abdullah bin Umar bin Al-Khattab Al-Qurasyi Al-Adawi yang dikenal akrab dengan sebutan Abdullah bin Umar atau Ibnu Umar karena  keluarga ini masih ada keterkaitannya dengan Hadis Jibril tersebut.

Ibnu Umar termasuk dalam jajaran sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadis, dengan lebih dari 2.600 riwayat yang tercatat dalam kitab-kitab utama seperti Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim,

Ia dikenal sangat selektif dalam meriwayatkan hadis, lebih mengutamakan riwayat yang ia dengar langsung dari Nabi Muhammad, tetapi juga meriwayatkan dari sahabat terpercaya seperti ayahnya. 

Khalifah Utsman bin Affan pernah menawari Ibnu Umar untuk menjabat sebagai hakim, tetapi ia tidak mau menerimanya.

Ibnu Umar memang tidak tertarik untuk menjadi khalifah. Namun, ia menyatakan kesediaan menerima tanggung jawab itu jika semua umat Islam menerimanya secara sukarela tanpa paksaan. Ia menolak kekuasaan yang diperoleh dengan paksaan atau kekerasan.

Syarat ini, sayangnya, sulit untuk dipenuhi pada masa itu. Meskipun Ibnu Umar memiliki keutamaan yang diakui dan dicintai oleh banyak kalangan umat Islam, kondisi wilayah kekuasaan Islam yang luas, perpecahan di tengah masyarakat, serta konflik internal antar-kelompok menjadikan mustahilnya tercapainya jurhum yang ia syaratkan sebagai dasar penerimaan baiat.

Ali juga pernah memintanya untuk ke Syam (Suriah) sebagai Gubernur namun ia menolak dan malah pergi ke Mekah. Ia tidak ikut campur dalam pertentangan antara Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abu Sufyan. Ia cenderung menjauhi dunia politik.

Saat musim haji di Mekah, Ibnu Umar bersama Ibnu Abbas biasa mengisi majelis-majelis ilmu di masjidil haram sembari memberikan fatwa dari pertanyaan masyarakatnya.

lahir sekitar 613 M–wafat 693 M dan wafat dimakamkan di Fakh, Mekkah pada 73 H / 693 M dalam usia 84 tahun.

Hadis Jibril, yang memberikan gambaran tersirat tentang Islam sebagai organisasi, namun telah disalahpahami, bahkan kemudian disalahgunakan, sehingga hakikat dari pesan Hadis itu menjadi kabur.

Dalam Shahih Muslim, disebutkan bahwa Hadis tersebut dipaparkan oleh Ibnu Umar  berdasarkan penuturan yang didengar dari ayahnya sendiri, Umar bin Khatthab. Intinya adalah sebagai berikut:

Umar bin Khatthab bercerita:

"Pada suatu hari, ketika kami sedang duduk di dekat Rasulullah saw, tiba-tiba muncul seorang lelaki berpakaian sangat putih dan berambut sangat hitam. 

Tidak terlihat padanya tanda-tanda  perjalanan jauh (yang menegaskan ia orang asing), namun seorang pun di antara kami tidak ada yang mengenalnya sehingga (tanpa kami sadari) ia sudah duduk di hadapan Nabi saw.

 Lalu ia pertemukan lututnya dengan lutut Nabi, kemudian ia letakkan kedua tangannya di atas paha Nabi". 

Selanjutnya ia pun berkata, 

“Hai Muhammad, terang-kan padaku tentang Al-Islãm.

Rasulullah saw menjawab:

 (1). “Al-Islãm adalah anda bersyahadat (menyatakan bahwa) Allah adalah satu-satunya Tuhan, dan Muhammad adalah rasul Allah; anda melaksanakan shalat, anda berzakat; anda melakukan shaum Ramadhan;, dan anda  berhaji ke baitullah bila sudah layak melakukan perjalanan ke sana.”

Lelaki itu berkomentar:

"Anda benar"

Kata Umar kepada Ibnu  Umar (anaknya): Maka kami pun dibuat terkejut olehnya; (karena) dia yang bertanya, dia pula yang membenarkan (jawaban Nabi).

Kata lelaki itu kemudian:

"Selanjutnya, terangkan padaku tentang Al-ïmãn.

Jawab Nabi:

 (2) "Al-ïmãn adalah anda meyakini (ajaran) Allah, yakni yang disampaikan oleh malaikat-malaikatnya, berupa kitab-kitabnya, yang diterima para rasulnya, sehingga (anda) sampai pada suatu tahap akhir, yakni anda hidup berdasar ketentuan (nilai) baik dan buruk menurutnya (Allah)".

Lelaki itu berkomentar: 

"Anda benar.".

 Katanya lagi: 

Selanjutnya, terangkan padaku tentang Al-Ihsãn.

Kata Nabi:

 (3) "Al-Ihsãn adalah anda mengabdi Allah (dengan sikap) seolah-olah anda melihatNya. Bila anda tidak bisa bersikap demikian, maka (sadarilah bahwa) Dia melihat anda".

Kata lelaki itu kemudian:

"Selanjutnya, terangkan padaku tentang As-Sã’ah."

Jawab Nabi: 

(4) "Orang yang ditanya tentang itu (yakni Nabi) tidak lebih tahu dari yang bertanya (yakni lelaki itu)".

Berarti sama-sama tahu atau sama-sama tidak tahu...?

Kata lelaki itu kemudian: 

"Kalau begitu, terangkan saja padaku tentang tanda-tandanya".

Jawab nabi: 

(5) *Tanda-tandanya antara lain adalah: seorang wanita budak (pelayan) melahirkan anak tuannya, dan anda lihat orang-orang hina papa, para penggembala berlomba-lomba membangun gedung".

Kata Umar (kepada Abdullah bin Umar anaknya): 

'Kemudian lelaki itu pergi. Aku terdiam sesaat, sampai kemudian Nabi bertanya padaku, “Hai Umar, tahukah kamu siapa yang bertanya itu?”

Kataku (Umar), 

“Allah dan rasulnya lebih tahu.”

Kata Nabi,  

Sebenarnya dia itu adalah Jibril. Dia datang kepada kalian untuk mengajarkan tentang urusan (pokok) agama kalian.”

Dari sinilah asal usul Rukun Islam dan Rukun Iman itu dibentuk, pertama  disimpulkan oleh jumhur ulama dan kedua Hadis Jibril itu sendiri. 

Jumhur ulama berarti mayoritas ulama, yaitu sekelompok ulama yang jumlahnya lebih banyak dibandingkan kelompok lain yang memiliki pendapat berbeda dalam suatu masalah. 

Dalam konteks hukum Islam, pendapat jumhur ulama bisa menjadi dasar yang kuat karena mewakili pandangan mayoritas ulama, meskipun bukan merupakan dalil yang pasti. 

INGAT

Mengikuti pendapat jumhur ulama sering dianggap sebagai jalan yang lebih aman dan menenangkan, meskipun tidak selalu mutlak benar. 

Dengan demikian, jumhur ulama adalah konsep penting dalam studi Islam yang menunjukkan kesepakatan mayoritas ulama mengenai suatu masalah, meskipun perbedaan pendapat tetap ada dan diakui.

Kata jumhur ada dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dan memiliki arti golongan terbanyak.

Lima rukun Islam tersebut adalah: 

1.Syahadat

2.Shalat

3.Zakat,

4.Puasa, dan 

5. Haji (bagi yang mampu).

Enam rukun Iman tersebut adalah:

1. Iman(percaya) kepada Allah:

2. Iman(percaya) kepada Malaikat:

3. Iman (percaya) kepada Kitab-kitab Allah:

4. Iman (percaya) kepada Rasul-rasul Allah:

5. Iman (percaya)kepada Hari Akhir:

6. Iman (percaya)  kepada Qada dan Qadar:

Untuk melengkapinya maka jumhur ulama juga  mengambil dari beberapa surat dan ayat dalam Alquran.

Ada juga dimana ada ulama yang tidak mewajibkan Rukun Iman yang ke-6 berdasarkan tafsir QS. An-Nisa’ [4]: 136

yâ ayyuhalladzîna âmanû âminû billâhi wa rasûlihî wal-kitâbilladzî nazzala ‘alâ rasûlihî wal-kitâbilladzî anzala ming qabl, wa may yakfur billâhi wa malâ'ikatihî wa kutubihî wa rusulihî wal-yaumil-âkhiri fa qad dlalla dlalâlam ba‘îdâ

“Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan rasul-Nya, dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada rasul-Nya serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada (1) Allah, (2) malaikat-malaikat-Nya, (3) kitab-kitab-Nya, (4) rasul-rasul-Nya, dan (5) hari akhir, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya.”

Ulama tersebut adalah: Ibnul Qayyim rahimahullahu dan  Ibnu Abil ‘Izz Al-Hanafi rahimahullahu 

Namun ada penolakan tidak benar jika dikatakan Ibnu Qayyim tidak setuju dengan rukun iman ke-6. dan tidak ada riwayat atau sumber yang shahih yang menyebutkan bahwa Ibnu Qayyim menolak. Tapi kenyataannya ada bahwa Ibnu Qayyim mengatakan itu.

Saya sedikit mengutip tulisan di laman muslim.or.id dengan judul tulisan: Rukun Iman Antara Lima atau Enam?

Namun perlu diketahui, bahwa sebagian ulama menyebut Rukun Iman dengan rukun yang lima (al-ushuul al-khamsah atau al-ushuul al-iman al-khamsah).

Artinya, sebagian ulama rahimahumullahu Ta’ala memahami rukun iman itu lima, bukan enam.

Diantara yang memiliki pemahaman demikian adalah Ibnul Qayyim rahimahullahu Ta’ala. 

Misalnya, diperkataan beliau ketika menyebutkan ilmu yang wajib dipelajari oleh setiap muslim, beliau rahimahullahu Ta’ala berkata,

وَهُوَ انواع النَّوْع الاول علم اصول الايمان الْخَمْسَة الايمان بِاللَّه وَمَلَائِكَته وَكتبه وَرُسُله وَالْيَوْم الاخر فَإِن من لم يُؤمن بِهَذِهِ الْخَمْسَة لم يدْخل فِي بَاب الايمان ولايستحق اسْم الْمُؤمن

“Ada beberapa jenis ilmu yang wajib dipelajari oleh setiap muslim. Jenis pertama adalah ilmu tentang rukun iman yang lima, yaitu (1) iman kepada Allah, (2) malaikat-Nya, (3) kitab, (4) para Rasul, dan (5) iman kepada hari akhir. Karena siapa saja yang tidak beriman dengan lima perkara ini, dia belum masuk ke dalam pintu keimanan, dan tidak berhak mendapatkan status mukmin.” (Miftaah Daaris Sa’aadah, 1: 156)

Demikian pula ketika beliau membahas tentang iman kepada malaikat, beliau rahimahullahu Ta’ala berkata,

ولهذا كان الإيمان بالملائكة عليهم السلام أحد الأصول الخمس التى هى أركان الإيمان، وهى الأيمان بالله، وملائكته، وكتبه، ورسله، واليوم الآخر

“Oleh karena itu, iman kepada malaikat ‘alaihimus salaam adalah salah satu dari lima pokok yang disebut dengan istilah “rukun iman”, yaitu (1) iman kepada Allah, (2) malaikat-Nya, (3) kitab, (4) para Rasul, dan (5) iman kepada hari akhir.” (Ighaatstaul Lahafaan, 2: 131).

Bagaimana dengan pola sudut pandang yang lain, yang mana dialog antara Muhammad dan Malaikat yang di sebut hadis Jibril itu sebenarnya membahas tentang Dinul-Islam?.

Dari sumber laman Ahmad Haes, (maaf ada beberapa alenia yang  kita revisi). 

Perhatikan:

Perhatikan kembali uraian diatas! dalam Dïnul-Islãm ada al-islãm, yang didalamnya terkandung lima unsur, yaitu syahadat, shalat, zakat, shaum Ramadhan, dan haji.

Yang menarik, pada kesempatan lain, Nabi menyebutkan lagi Al-Islãm dengan kelima unsurnya itu dalam susunan kalimat yang dimulai dengan kata buniya (dibangun, dibentuk), sehingga bisa disimpulkan bahwa Al-Islãm itu adalah (ibarat) sebuah bun-yãn atau binã’an.

Bila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, bun-yãn atau binã’an berarti bangunan. 

Tapi bila kita bawa ke dalam bahasa Inggris artinya adalah structure (struktur). Lebih lanjut, bila istilah struktur kita bawa ke dalam konteks kebudayaan, maka struktur itu terbagi dua: (1) supra struktur, dan (2) infra struktur.

Struktur manakah yang dimaksud oleh Nabi ketika beliau menyebut Al-Islãm – dalam konteks Hadis Jibril itu – sebagai bangunan?

 Jelas, redaksinya menegaskan, bahwa bangunan yang dimaksud bukanlah infra struktur.

Sepanjang sejarah perjuangannya, sekitar 23 tahun, Nabi baru membangun sebuah infra struktur pada tahun ke-13, dalam bentuk masjid yang sangat sederhana di Yatsrib, tepatnya di dusun bernama Quba, pada hari kesepuluh Hijrah. 

Sekitar tujuh bulan kemudian, didirikan pula sebuah masjid  dan tempat tinggal keluarga Nabi disebuah dusun lain, yang selanjutnya menjadi pusat kota Madinah.

Selebihnya, yang dibangun oleh Nabi sepanjang hidupnya adalah sebuah supra struktur, yang disini dibatasi dalam pengertian jama’ah, dengan catatan bahwa jama’ah ini adalah komunitas (Ing.: community) khusus para mu’min.

Sedangkan masyarakat Madinah yang agak heterogen disebut Nabi dalam Piagam Madinah sebagai ummah (umat).

Perhatikanlah redaksi Nabi, dalam Hadis Jibril, ketika menjelaskan Al-Islãm, Al-Imãn, dan seterusnya, yang secara keseluruhan mengunakan kata kerja berisi kata ganti anta (anda). Ini adalah isyarat bahwa dalam pembicaraannya Nabi memberi penekanan pada faktor manusia, yaitu manusia yang ber-Al-Islãm, ber-Al-Imãn, dst.

Jelasnya, Al-Islãm itu baru bisa muncul bila ada manusia yang bersyahadat, manusia yang shalat, dst. Dengan kata lain, Al-Islãm dalam konteks hadis itu, adalah sebuah “kumpulan (jama’ah) manusia”.

Tentu saja mereka berkumpul bukan asal berkumpul, tapi berkumpul secara tertata, tersusun, alias terstruktur, bahkan juga terikat dalam suatu “sistem komando”. Jangankan berkumpul dalam jumlah banyak, bahkan dalam jumlah kecil pun harus dipastikan strukturnya, seperti kata Nabi dalam sebuah hadis bahwa dalam ‘rombongan’ yang terdiri dari dua orang pun harus dipastikan siapa yang menjadi pemimpin.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kelima unsur dalam Al-Islãm itu disebutkan bukan dalam konteks ritual, tapi dalam konteks organisasi. Alhasil, pengertian kelima unsur didalamnya adalah:

1. Syahadat: bay’at (sumpah setia, yang dilakukan secara formal) terhadap pemimpin, yakni Allah, melalui rasulnya.

2. Shalat (= ad-du’a, harapan; cita-cita; obsesi) pemantapan tekad atau cita-cita dalam diri setiap anggota (mu’min) untuk menegakkan ajaran Allah (Al-Qurãn), dengan melakukan proses pembatinan (internalisasi) yang terus-menerus, melalui pelaksanaan shalat ritual, terutama yang dilakukan secara bersama-sama (berjama’ah). Shalat jama’ah ini bahkan merupakan lambang dari shaff (barisan) yang disebut bun-yãnun marshûsh itu.

3. Zakat: penyerahan sebagian harta untuk kepentingan organisasi (jama’ah), minimal 2½ persen kekayaan pribadi, dan maksimal tak terbatas.

4. Shaum Ramadhan: sarana pembinaan ketahanan fisik dan mental setiap anggota jama’ah, untuk membuktikan bahwa mereka benar-benar hanya bertuhan Allah, sehingga mereka siap menghadapi segala godaan dan kesulitan dalam perjuangan.

5. Haji: Sarana pembinaan hubungan internasional antar umat Islam  yang tinggal di berbagai belahan bumi .

Pembahasan berikutnya dalam Hadis Jibril adalah Al-Imãn, yang juga harus diingat bahwa istilah ini disebut dalam konteks organisasi. Melalui hadis inilah kita bisa melihat perbedaan makna antara islãm dan imãn secara tegas (definitif), seperti yang diisyaratkan Allah dalam surat Al-Hujurat ayat 14-15:

قالت الأعراب آمنّا قل لم تؤمنوا ولكن قولوا أسلمنا ولمّا يدخل الإيمان فى قلوبكم وإن تطيعوا الله ورسوله لا يلتكم مِن أعمالكم شيئا إنّ الله غفور رحيم – إنّما المؤمنون الذين آمنوا بالله ورسوله ثمّ لم يرتابوا وجاهدوا بأموالهم وأنفسهم فى سبل الله أولئك هم الصادقون

Orang-orang Arab (Makkah, pada masa Futuh Makkah) menyatakan (kepada Rasulullah).

 “Kami beriman!”.

 Kata Allah kepada rasulnya:

 “Tegaskan: mereka belum beriman! 

Sebaliknya, suruh mereka untuk mengatakan:

‘kami menyerah (takluk)’; karena iman itu belum masuk ke dalam jiwa kalian.

Namun bila kalian (dalam keadaan demikian itu) mematuhi Allah dengan mengikuti perintah dan keteladanan rasulnya, maka segala amal kalian tidak akan disepelekan; karena Allah (melalui ajaranNya) maha penutup (kejahatan masa lalu kalian) dan maha perwujud kehidupan kasih sayang.”

Sebenarnya para mu’min adalah orang-orang yang beriman (hidup) dengan ajaran Allah dengan cara meneladani rasulnya, sehingga dalam diri mereka tak ada keraguan lagi, dan selanjutnya mereka berjihad mempertaruhkan harta dan nyawa dalam rangka menegakkan ajaran Allah. Mereka itulah yang benar-benar beriman.

Harap dicatat bahwa Surat Al-Hujurãt (‘kamar-kamar’) adalah surat Madaniah; sebuah surat yang mengisyaratkan bahwa wilayah (negara) Madinah – ibarat rumah – dibagi menjadi sejumlah ‘kamar’, yakni lingkungan internal khusus, yang secara ‘alami’ terbentuk mengikuti keanekaragaman tradisi masyarakat, dan keberadaannya disahkan Rasulullah melalui Piagam Madinah.

Secara garis besar, Madinah terbagi menjadi tiga ‘kamar’, yang masing-masing ditempati oleh:

 (1) kaum Muhajirin dan Anshar, 

(2) kaum Musyrik, dan 

(3) kaum Yahudi. 

Begitulah keadaan de facto masyarakat Madinah, yang selanjutnya – de jure – keadaan mereka bahkan diperinci dan disahkan secara hukum melalui Piagam Madinah, yang membagi ‘kamar-kamar’ itu menjadi bagian-bagian yang lebih kecil lagi berdasar suku-suku yang menjadi warga negara.

Dalam konteks Piagam Madinah, kaum Muhajirin (yang didalamnya ada Rasulullah) dan Anshar adalah para mu’min. 

Selainnya, yakni kaum Musyrik dan Yahudi, dalam arti “orang-orang yang menyatakan kepatuhan terhadap hukum (sistem) yang berlaku di Madinah, khususnya yang disahkan melalui Piagam Madinah”.

Kedua ayat diatas, agaknya, mengajukan suatu kasus ketika Rasulullah memimpin penaklukan Makkah (Futuh Makkah) pada tahun ke-8 Hijrah. Pada saat itulah warga Makkah, yang sebelumnya merupakan musuh yang sangat keras bagi Rasulullah, mengakui kekalahan. Pengakuan itulah, agaknya, yang mereka ungkapkan dengan kata ãmannã. 

Artinya

"Mulai saat ini kami beriman". 

Namun, pengakuan itu ditentang dan dikoreksi oleh Allah, karena mereka menggunakan suatu ungkapan istilahi (terminologis) yang salah.

Kemudian, melalui ayat 15, Allah menegaskan bahwa yang dimaksud dengan iman yang benar adalah masuknya ajaran Allah  yang disampaikan dan dicontohkan rasulnya – ke dalam jiwa (pikiran dan perasaan) manusia, sehingga mendorongnya untuk berjuang secara habis-habisan (total) untuk menegakkan ajaran Allah. 

Masuknya ajaran Allah (Alquran) tentu harus melalui proses belajar, yakni lewat pelaksanaan perintah rattil dan shalat malam, seperti dirumuskan dalam surat Al-Muzzammil;  tidak mungkin serta-merta masuk melalui sebuah pengakuan.

Dalam Hadis Jibril bahkan ditegaskan bahwa ajaran Allah itu, harus menjelma menjadi sebuah “teori nilai”, yang disitu disebut dengan istilah al-qadru.

Padahal, Nabi sendiri, ketika bicara tentang iman, tidak pernah membahas tentang obyek-obyek kepercayaan, tapi tentang apa yang masuk ke dalam kalbu, yang selanjutnya mempengaruhi ucapan dan perbuatan, bahkan – lebih jauh lagi – membentuk kepribadian atau akhlak (عقد بالقلب وإقرار باللسان وعمل بالأركان).. Lagi pula, sungguh tidak realistis bila bagian Hadis Jibril yang membahas iman itu dipahami sebagai pembagian kepercayaan ke dalam obyek-obyek tertentu, yang bahkan jumlahnya dibatasi hanya sebanyak enam obyek. 

Hadis Jibril berbicara tentang Dinul-Islam dalam konteks sebuah ‘bangunan’, alias organisasi. 

Di sini, faktor manusia adalah yang terpenting; dan yang lebih penting lagi adalah faktor mentalnya, khususnya faktor sikap terhadap organisasi. Dalam pembahasan tentang al-islãm, terkesan bahwa untuk membangun Dinul-Islam menjadi sebuah organisasi, pertama, harus ada pendaftaran anggota (rekrutmen; recruitment). Itulah yang terkesan dari syahadah/bay’ah. 

Setelah itu, sang anggota harus mendalami cita-cita dan haluan organisasi (shalat), harus ikut mendanai sesuai  kemampuan (zakat), harus membentuk ketahanan fisik dan metal (shaum ramadhan), dan harus berwawasan dan membina hubungan internasional (haji).

Selanjutnya, pembahasan tentang al-ïmãn terpusat pada cikal-bakal terbentuk-nya organisasi itu, yaitu ajaran Allah, yang berpadu dengan kemauan manusia untuk menjadikannya sebagai pedoman.

Perhatikan kembali teksnya:

قال, “فأخبرنى عن الإيمان.” قال, “أن تؤمن بالله وملائكته وكتبه ورسله واليوم الآخر وتؤمن بالقدر خيره وشرّه.”

Dia (Jibril) berkata:

 “Terangkan padaku tentang al-ïman”. 

Nabi menjawab,:

“(al-ïman) adalah anda meyakini (ajaran) Allah, yang diturunkan melalui malaikatnya, yang diterima para rasulnya, sehingga (anda) sampai pada suatu tahap akhir, yakni anda hidup berdasar ketentuan (al-qadru) baik dan buruk menurutnya (Allah)."

Sekali lagi, ini bukan pembahasan tentang obyek-obyek kepercayaan, tapi tentang dasar dari Dinul-Islam sebagai organisasi.

Dasarnya adalah sebuah konsep, yakni ajaran Allah, yang dari masa ke masa diturunkan Allah melalui malaikatNya, dan diterima serta diajarkan melalui rasul-rasulnya, secara bertahap. 

Tahap akhir (puncak) dari proses belajar itu adalah menjadikannya sebagai sebuah “teori nilai” (al-qadru), untuk membedakan baik dan buruk segala sesuatu berdasar konsep itu. 

Dalam konteks pribadi,  teori nilai itu pada awalnya menjadi sebuah “pengetahuan teoritis”, yang selanjutnya menjelma menjadi “pandangan hidup”. 

Dalam konteks individu sebagai bagian dari organisasi, ia akan menjelma menjadi pribadi-pribadi yang beramal shalih, yaitu berbuat tepat, sesuai kemampuan masing-masing, untuk berperan sebaik-baiknya demi tercapainya tujuan organisasi, yaitu menjadikan ajaran Allah sebagai sebuah taqdïr (hukum) yang berlaku dalam suatu lingkungan masya-rakat (negara dsb).

Taqdïr adalah kata lain dari qadr, yang pengertian harfiahnya antara lain ukuran, batasan, timbangan, ketentuan, dll. Tapi, dalam bentuk ma’rifah (definitif), yaitu at-taqdïru/al-qadru, keduanya adalah sebutan lain bagi Alquran. Uraian Nabi tentang al-ïman, dalam konteks Hadis Jibril, yang dihubungkan dengan surat Al-Hujarat ayat 14-15 dan beberapa hadis lain, menegaskan bahwa iman itu baru terbentuk bila ajaran Allah (Alquran) sudah masuk ke dalam diri seseorang, sehingga akhirnya menjadi alat ukur baginya, untuk menentukan baik-buruk atau benar-salahnya segala sesuatu.

Dengan kata lain, iman itu baru terbentuk dalam diri seseorang bila ajaran Allah sudah menjelma menjadi suatu “kesadaran hukum” (legal aware).

Dengan demikian, nampak jelas ngawur-nya para pakar yang membawa istilah taqdïr ke dalam konteks teologis ilmu tauhid, sehingga mereka sendiri mengaku bahwa pembicaraan tentang taqdïr itu tidak pernah selesai. Bagaimana bisa selesai bila pembicaraan tentang taqdïr justru difokuskan pada kehendak pribadi Allah, yang tentu menjadi teka-teki maha besar?

Masalah taqdïr baru akan selesai bila mereka mau menyadari bahwa yang dimaksud dengan kehendak Allah itu tidak lain adalah segala yang dinyatakanNya sendiri melalui wahyu, yang sekarang telah menjelma menjadi sebuah kitab bernama Alquran!

Ihsan sebagai teori amal shalih

Pertanyaan berikutnya dari Jibril adalah tentang al-ihsan; dijawab oleh Nabi dengan kalimat:

أن تعبد الله كأنّك تراه وإن لم تكن تراه فإنّه يراك

Harfiah: '(Yaitu) bahwa anda mengabdi Allah seolah-oleh melihatNya. Dan walaupun anda tidak melihatnya, sebenarnya Dia melihat anda".

Biasanya orang mengaitkan perkataan Nabi ini dengan shalat ritual, sehingga terjemahannya adalah:  (Ihsan adalah) bahwasanya engkau menyembah Allah seakan-akan melihat-Nya, dan bila tidak bisa melihatnya (dan memang tidak akan bisa) maka (ingatlah) bahwa Dia melihatmu.

Kekeliruan mendasar dari terjemahan itu adalah kata  ta’buda diartikan secara sangat sempit sebagai engkau menyembah, sesuai dengan pemahaman bahwa shalat sama dengan sembahyang. Padahal, terjemahan yang benar adalah anda mengabdi.

Terjemahan ini bukan hanya benar secara harfiah, tapi juga sesuai dengan gagasan bahwa manusia diciptakan untuk menjadi abdi (hamba) Allah.

Dalam pengertian harfiah, al-ihsan adalah kebaikan. Tapi, dalam pengertian istilahi, tentu ada perbedaan. Melalui sebuah hadis lain (riwayat Muslim dll), Nabi menggambarkan pengertian al-ihsan dalam bahasa yang gamblang:

إنّ الله كَتب الإحسانَ على كلّ شيئ. فإذا قتلتم فأحسِنوا القِتلَةَ وإذا ذبحْتم فأحسِنوا الذَّبْحَ ولْيُحِدَّ أحدُكم شَفْرتَه فلْيُرِحْ ذبِيحَتَه.

Sebenarnya Allah menetapkan al-ihsan atas segala sesuatu. Jika kalian membunuh, lakukanlah pembunuhan itu secara Ihsan; yaitu bila kalian menyembelih (hewan), lakukanlah penyembelihan itu secara Ihsan; yakni hendaklah pelaku penyembelihan itu menajamkan parangnya, sehingga dengan demikian hewan sembelihannya jadi cepat mati.

Dalam konteks Hadis Jibril, keterangan Nabi tentang al-ihsan adalah kelanjutan (sambungan) dari keterangan tentang al-islami dan al-ïman. Bila dalam keterangan yang pertama Nabi menggambarkan tentang manusia sebagai faktor terbentuknya al-islami sebagai organisasi, dan yang kedua menegaskan tentang konsep yang menjadi dasar bagi pembentukannya, maka keterangan tentang al-ihsan ini, yang disampaikan dalam bahasa kiasan, agaknya menegaskan bahwa sang manusia yang tergabung dalam organisasi itu harus mengabdi dengan cara sedemikian rupa, yang diungkapkan dalam bahasa kiasan: 

(1) membayangkan seolah-olah melihat Allah, 

(2) menyadari bahwa ia dilihat Allah.

Namun, ada satu hal lain yang juga perlu diperhatikan. Nabi, dalam sebuah hadis lain, menyuruh umatnya memikirkan ciptaan Allah, tapi melarang berpikir tentang zat (oknum; pribadi) Allah.

Tapi, dalam penjelasan tentang al-ihsan itu, kenapa Nabi malah seperti menyuruh untuk membayangkan (memikirkan) zat Allah? 

Kenapa ada sabda-sabda Nabi yang (seperti) saling bertentangan (kontradiktif)?

Ada jawaban sederhana: sabda yang satu berupa perintah dan larangan; yang lainnya berbentuk perumpamaan. Seolah-olah melihat Allah tentu tidak sama dengan melihat Allah. Tapi, dengan (berlagak) seolah-olah melihat Allah itu, bukankah berarti memikirkan (membayangkan) juga?

Namun, harus diakui bahwa Nabi sendiri dalam hal ini berbicara dengan bahasa filosofis pula, sehingga menjadi agak sulit untuk dipahami orang awam.

Kenyataannya, Hadis Jibril itu memang mengandung pemikiran (konsep) tingkat tinggi. 

Bila diingat nara sumbernya, Umar bin Khatthab, agaknya menjadi isyarat pula bahwa pertemuan antara Nabi dan Jibril itu hanya terjadi di hadapan para sahabat Nabi sekelas Umar (Abu Bakar, Utsman, Ali, Abu Hurairah, dsb). 

Tepatnya, peristiwa itu terjadi di hadapan tokoh-tokoh yang (memang) pada akhirnya menempati posisi tertinggi dalam struktur pemerintahan Islam (kecuali Abu Hurairah, yang ‘hanya’ menjadi sahabat yang banyak menyampaikan hadis). al-ihsan adalah tujuan, dan as-saah sebagai manajemen.  

Tentu saja konsep manajemen disini tidak sama persis dengan konsep manajemen perusahaan, yang berasal dari Barat. Cuma, boleh juga kita curiga kalau-kalau mereka mengajukan teori manajemen itu justru setelah mempelajari Hadis Jibril. Bila benar, bukan mereka yang salah. Umat Islamlah yang tidak nyambung tentang agama mereka sendiri.

Keterangan tentang al-islami mempunyai kemiripan dengan prinsip organizing (pengorganisasian), sedangkan keterangan tentang al-ïman mirip dengan prinsip planning (perencanaan); dan al-ihsan, agaknya ‘menyenggol’ secara borongan prinsip actuating (pelaksanaan), controling (pengawasan) dan staffing (penempatan SDM), yang keseluruhannya memang harus dilakukan dengan penerapan prinsip al-ihsan itu.

Berbeda dengan konsep manajemen (kapitalis) Barat yang cenderung menempatkan manusia (bawahan) sebagai sapi perahan, konsep manajemen yang diajukan Hadis Jibril justru menonjolkan manusia secara keseluruhan sebagai faktor penentu. Penyebutan tentang manusia sebagai pelaku pengabdian, yang sudah dilakukan sejak awal, menegaskan bahwa faktor staff (SDM) adalah yang terpenting.

Penyebutan tentang cara atau sikap si staff dalam mengabdi, yang terbagi menjadi dua, satu sisi menjadi isyarat tentang adanya perbedaan kemampuan mereka; sisi lainnya menegaskan agar setiap orang memilih posisi masing-masing dengan kesadaran penuh tentang kemampuan dan tanggung-jawab mereka.

Keterangan Nabi tentang al-ihsan pada hakikatnya bisa kita urai demikian:

Melalui kajian sharaf, kita ketahui bahwa kata kerja ini mempunyai empat bentuk masdar, yaitu ra’yan, ru’yatan, râ-atan, ri’yânan (رأيا و رؤية و راءة ورئيانا ). Pengertian harfiahnya adalah melihat dengan mata atau dengan akal (intelektual) [نظر بلعين أو بالعقل] Kedua-duanya, baik melihat dengan mata atau dengan akal (intelektual), tidak bisa dilakukan bila yang menjadi obyeknya adalah zat Allah.  Itu alasan pertama. Alasan berikutnya, menjadikan Allah sebagai obyek adalah suatu kesalahan metodis (ilmiah).

Bila kita ambil salah satu masdar diatas, misalnya ru’yatan (bisa dibaca ru’yah), lalu kita hubungkan dengan hadis Muslim yang bercerita tentang penerimaan wahyu pertama, disitu kita temukan rangkaian kata: كان أوّل مابُدئَ به الرسول الله ص م من الوحي الرؤيا الصاديقةَ (wahyu pertama yang diungkapkan kepada Rasulullah adalah ar-ru’yash-shadiqah). Dalam pengertian harfiah, ar-ru’yash-shadiqah adalah penglihatan yang benar. Tapi, apa yang dilihat? Teks hadis mengatakan bahwa “obyek” yang dilihat itu ‘tampak’ seperti cahaya matahari di waktu subuh (مثل فلق الصبح).

Seperti matahari subuh! Tapi apakah gerangan obyek yang muncul itu?  

Wahyu! Jadi, wahyu – atau tepatnya isyarat bakal turunnya wahyu – muncul dalam rupa seperti matahari subuh alias fajar. Maka jangan heran bila di dalam Alquran ada surat Al-Fajr, dan coba juga perhatikan frasa mathla’i-fajri dalam surat Al-Qadr.

Bila cahaya fajar bisa dilihat dengan mata, lalu dengan apa ‘melihat’ wahyu?

Tentu dengan daya intelektual; sehingga melihat disini berarti “mempersepsi”, yaitu menyadari kehadiran “sesuatu”. Bila sesuatunya adalah benda, maka ia tampak melalui mata. Bila bukan benda (ide dsb), ia ‘tampak’ melalui otak.

Melihat disini bukan melihat dengan mata, dengan zat Allah sebagai obyeknya; tapi ‘melihat’ dengan kemampuan intelektual (daya persepsi). Lantas obyeknya apa?

 Katakanlah, pada tahap belajar, yang menjadi ‘obyek’ (kajian) adalah ajaran Allah (Alquran).

Tapi uraian tentang al-ihsân itu diberikan dalam konteks bekerja, bukan belajar. Dalam konteks kerja, yang menjadi obyek adalah segala permasalahan yang dihadapi. 

Sedangkan ajaran Allah, yang sudah menjelma menjadi sebuah persepsi dalam diri seorang mu’min justru menjadi “alat pandang”, menjadi teori nilai, dan seterusnya melahirkan visi-visi yang mampu menjadi solusi bagi segala permasalahan.

Dalam konteks organisasi, mereka adalah orang-orang yang paling mengenal visi dan missi organisasi. Dalam konteks manajemen, mereka adalah para manajer. Dengan kata lain, secara umum, mereka adalah para pemikir dan atau orang-orang yang memiliki daya intelektual lebih tinggi diatas rata-rata (awam).

Sebaliknya, fa in lam takun tarahu fa innahu yaraka adalah gambaran tentang kelompok orang awam; yang dalam konteks organisasi maupun manajemen menempati posisi sebagai orang-orang yang harus diatur, alias para pelaksana atau pekerja. Dengan catatan bahwa yang mengatur adalah Allah melalui ajarannya, yang dikuasai, dielaborasi, dan di-break down (dirinci) oleh orang-orang khawas itu.

Pengaturan dilakukan agar semua manusia (SDM) bekerja pada bidang masing-masing. Tidak boleh ada orang yang ditugaskan pada tempat yang salah; seperti kata Nabi: "bila suatu urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya". 

Semua harus bekerja dengan sebaik-baiknya, seperti dikatakan Nabi, dalam hadis diatas, bahwa Allah menetapkan al-ihsân dalam segala urusan.

As-sâ’ah

As-sâ’ah diajukan Jibril sebagai pertanyaan terakhir. Kalimat pertanyaannya menurut versi Umar adalah: Akhbirni ‘anis-sâ’ah (terangkan padaku tentang as-sâ’ah).

Sementara dalam versi Abu Hurairah pertanyaan itu berbunyi: Mattas-sâ’ah (kapankah – tibanya –  as-sâ’ah). Dengan kata lain, konotasi kalimat versi Umar adalah mempertanyakan definisi (apa itu as-sâ’ah); sedangkan versi Abu Hurairah mempertanyakan momentum (kapan munculnya as-sâ’ah).

Padahal, kata kerja atâ – ya’ti/اتى- يأتى adalah kata kerja intransitif (lâzim) alias kata kerja tak berobyek, dan ini jelas tampak pada susunan ayatnya. Jadi, subyeknya, yaitu âtin/ءات bila lelaki (masculine gender) dan âtiyatun/ءاتية bila wanita (feminine gender) berarti  sesuatu yang datang (atau seseorang, bila yang datang adalah orang).

Namun, menghubungkan hadis itu dengan surat Thaha ayat 15 adalah tindakan tepat, karena keduanya saling mendukung:

إِنَّ السَّاعَةَ ءَاتِيَةٌ أَكَادُ أُخْفِيهَا لِتُجْزَى كُلُّ نَفْسٍ بِمَا تَسْعَى

(Hai Musa) as-sâ’ah itu pasti (akan) datang. Aku hampir merahasiakannya, agar setiap manusia diberi ganjaran sesuai apa yang diperbuatnya (tanpa lebih dulu diberi tahu tentang akibat sebuah perbuatan).

Keterangan dalam ayat ini diberikan Allah setelah menyuruh Musa mengabdi kepadanya, dengan lebih dulu membentuk kesadaran dengan ajarannya, melalui proses shalat. 

Bila itu sudah dilakukan, maka as-sâ’ah (= saat, masa) untuk memetik hasilnya adalah sesuatu yang pasti datang. Tapi kapan?

Bila pertanyaannya adalah momentum, Allah tidak menjawab. Tapi, bila yang dipertanyakan adalah apa yang bisa diwujudkan dengan menjalankan ajaran Allah, maka Allah memberikan penjelasan panjang-lebar kepada Musa, antara lain seperti yang terungkap dalam surat Thaha, yang tentu diungkapkan Allah dalam rangka mengajar Nabi Muhammad (dan umatnya).

Musa dan Muhammad adalah rasulullah, yang bertugas menyampaikan ajaran Allah kepada manusia. 

Ketika Jibril bertanya tentang as-sâ’ah, apakah Nabi Muhammad tidak tahu jawabannya? 

Tentu sudah tahu! Selain itu, Jibril bertanya juga hanya sekadar bersandiwara (mengajar dengan metode tanya-jawab).

Nabi Muhammad mengetahui jawaban tentang as-sâ’ah itu, antara lain, tentu melalui surat Thaha. Maka, caranya menjawab Jibril pun menjadi mirip dengan cara Allah menjawab Musa.

Kata Allah kepada Musa:

Aku hampir merahasiakannya.” Berarti tidak benar-benar dirahasiakan. Kata Nabi kepada Jibril.

 “Orang yang ditanya tidak lebih tahu dari yang bertanya. Tapi, akan kuberitahu tanda-tandanya.”

Jelasnya, bicara as-sâ’ah adalah bicara tentang waktu. Adapun yang dimaksud adalah waktu tegaknya Dinul Islam sebagai sebuah konsep menjadi kenyataan. Besar kemungkinan istilah as-sâ’ah adalah ringkasan dari sâ’atul-qiyâmah, yang pengertiannya sama dengan yaumud-dïn (يوم الدين), yaumul-ba’tsi (يوم البعث), dsb.

Jadi, as-sâ’ah sama dengan al-yaum(u). Artinya dalam bahasa Indonesia adalah masa; dalam bahasa Inggris period (periode). Sâ’atul-qiyâmah (lengkapnya: sâ’atul-qiyâmatid-dïni) berarti “masa tegaknya Dinul Islam”, begitu juga  yaumud-dïn dan yaumul-ba’tsi (al-ba’ts adalah sinonim dari al-qiyâmah).

Selain sâ’ah dan yaum, kata lain yang juga sering digunakan dalam Al-Qurân adalah ajal (أجل), yang sayangnya selalu kita artikan sebagai saat kematian seseorang. 

Padahal, ajal secara umum berarti “peluang keberadaan (existence) segala makhluk Allah, sampai batas waktu tertentu”.

Termasuk seorang manusia, sebuah bangsa, sebuah kebudayaan, dan juga sebuah sistem, semua mempunnyai peluang untuk lahir, berkembang, dan akhirnya mati.

Dalam hal kesamaan maksud dari kata sâ’ah dan ajal, surat Al-‘Ankabut ayat 5 memuat susunan kata yang mirip dengan surat Thaha diatas, dengan catatan disini Allah menggunakan kata benda jenis lelaki (آتٍ), bukan perempuan (آتِيَةٌ):

مَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ اللَّهِ فَإِنَّ أَجَلَ اللَّهِ لَآتٍ …

Siapa pun yang mengharapkan perwujudan (ajaran) Allah, maka ajal Allah (waktu yang ditentukan Allah) untuk itu pastilah akan datang…

Jelaslah bahwa pertanyaan tentang as-sâ’ah itu diajukan dalam konteks ajaran Allah dengan pembuktiannya. Sebagai suatu ilmu, ajaran Allah mengandung kemampuan (potensi) untuk mewujud nyata.

Tapi hal itu baru bisa terjadi bila persyaratannya terpenuhi, yaitu adanya manusia-manusia yang ber-Islam (membentuk jama’ah), ber-Iman (menjadikan ajaran Allah sebagai pegangan hidup), dan ber-Ihsan (berbuat tepat sesuai ajaran).

Perlukah disebutkan kapan waktunya? 

 Tidak. Sebab, waktu – seperti halnya ruang – adalah fasilitas yang sudah disediakan Allah. Sedangkan kemauan manusia untuk menjalankan ajaran Allah dengan sebaik-baiknya adalah urusan manusia sendiri.

Tepatnya tinggal bagaimana manusia memanfaatkan segala fasilitas yang diberikan. Jadi, sekali lagi, mempersoalkan tentang waktu adalah tidak ‘nyambung’ (relevan), walaupun dalam suatu perencanaan batas-batas waktu itu tentu bisa dipetakan.

Karena itulah, dalam hadis versi Abu Hurairah, Nabi mengutip surat Luqman ayat 34:

إِنَّ اللَّهَ عِنْدَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ وَيُنَزِّلُ الْغَيْثَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْأَرْحَامِ وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

Hanya Allah yang menguasai ilmu tentang as-sâ’ah. (Dialah yang tahu kapan) akan menurunkan hujan dan apa yang terdapat dalam rahim. Sebaliknya, seorang manusia (siapa pun dia) tidak akan tahu apa yang terjadi besok, juga tidak akan tahu di belahan bumi mana dia akan mati. Hanya Allah yang mengetahui segala sesuatu secara cermat.

Inilah jawaban yang sangat jitu bagi setiap manusia yang cenderung ingin tahu tentang kapan sesuatu akan terjadi, yang mewakili sifat ‘ajulan (عجولا), alias ingin segera tahu hasil tanpa mengindahkan prosedur dan proses. Inilah sikap yang menjadi cikal-bakal kegagalan sebuah proyek! (Termasuk proyek penegakan Alquran!).

Karena itu, kata Allah,

 “Aku hampir merahasiakannya (as-sâ’ah)”. Berarti tidak benar-benar dirahasiakan. Tegasnya,‘separuh’ dari rahasia itu dibongkar oleh Nabi dengan cara mengungkapkan tanda-tanda atau isyaratnya.

Maka, daripada bicara tentang waktu – kapan tegaknya Dinul Islam, lebih baik bicara tentang tanda-tanda atau indikasinya, yang membuktikan Dinul Islam itu sudah tegak, di suatu masa, entah kapan!

Selanjutnya, fokuskan perhatian, minat, harapan, dan obsesi pada pemenuhan syarat-syaratnya. Jangan berharap memetik buah tapi tidak mau berkebun.

Indikasi tegaknya Dinul Islam

Salah satu tanda yang disebutkan Nabi adalah “seorang wanita budak melahirkan (anak) tuannya” (أن تلد الأمة ربّتها).

Selama ini kita mendapat keterangan dari para kiai bahwa perkataan Nabi itu mengisyaratkan tentang keadaan suatu masyarakat yang sudah bejat, dan itu merupakan salah satu tanda bahwa kiamat sudah dekat; dan yang mereka maksud kiamat adalah kehancuran dunia.

Padahal, melalui sebuah hadis dalam kitab Bukhari, Nabi menyatakan demikian:

عن أبى موسى قال قال رسول الله ص م : ثلاثة لهم أجران … رجول كان عنده أمة فأدّبها فأحسن تأديبها و علّمها فأحسن تعليمها ثمّ أعتقَها فتزوّجها فله أجران.

Menurut Abu Musa, Rasulullah pernah mengatakan:

 “Ada tiga golongan yang berhak mendapat dua imbalan … (Salah satunya adalah seorang lelaki yang memiliki budak wanita; kemudian dia mendidik budak itu sebaik-baiknya, dan mengajarinya (Alquran) dengan sebaik-baiknya; setelah itu ia membebaskannya, dan kemudian menikahinya, maka lelaki itu mendapat dua imbalan.

Hadis ini memberikan jawaban gamblang mengapa seorang budak (pembantu) wanita bisa melahirkan anak tuannya. Kelahiran itu bukan terjadi melalui proses kehamilan haram, karena ia diperkosa tuannya, seperti yang sering digambarkan orang selama ini. Hadis ini justru mengisyaratkan tentang keadaan suatu masyarakat yang sudah mencapai tahap ketinggian moral.

Budak wanita, dalam struktur masyarakat yang piramidal, adalah wakil dari lapisan masyarakat yang paling bawah dan lemah.

Sementara tuannya tentu mewakili lapisan masyarakat tertinggi dan berkuasa. Tapi, itu hanya terjadi di masa sebelum Islam. Setelah Islam menjadi “etika masyarakat” (meminjam istilah Nurcholis Madjid), struktur piramidal itu ambruk. Orang Arab tidak lebih mulia dari non-Arab, kata Nabi.

Kemuliaan manusia ditentukan oleh taqwanya. Patuhilah pemimpin, meskipun dia (pada masa lalu) adalah seorang budak hitam.

Jadi, perkataan Nabi itu merupakan isyarat bagi lenyapnya feodalisme dan diskriminasi dalam masyarakat sebagai akibat pengkelasan manusia dalam struktur piramidal. 

Ajaran Islam menghapuskannya bukan melalui pemaksaan, tapi melalui ‘revolusi’ kesadaran. 

Perhatikan bahasa Nabi dalam hadis diatas! Perintah membebaskan budak tidak disampaikan dengan bahasa perintah, tapi melalui ‘rayuan’.

Isyarat berikutnya, bahwa Dinul Islam sudah tegak, akan tampak pada sisi 

Ingat! Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang terpaksa harus ditang-gung oleh golongan masyarakat bawah semata-mata karena mereka dilahirkan sebagai anggota masyarakat kelas bawah.

Kemiskinan yang terlahir berkat jasa feodalisme dan kapitalisme! Biarpun mereka mempunyai fisik yang kuat dan otak yang cerdas, mereka akan tetap miskin, karena berbagai faktor ‘pengubah nasib’ (pendidikan, pasar, kekuasaan, kesempatan dll) dikangkangi oleh golongan atas (kapitalis yang bersekongkol dengan feodalis). Hanya kehancuran sistem kelas (dan modal) itulah yang bisa mengubah nasib mereka.

Kemudian, bila sistem kelas (dan modal) sudah tiada, apakah kemiskinan akan lenyap? 

Tentu tidak. Sebab, dalam masyarakat masih ada manusia-manusia yang memiliki kelemahan obyektif, misalnya cacat fisik/mental, yatim-piatu, jompo, dll. Tapi, keadaan mereka tidak akan terlantar, karena negara melalui sistem zakat menjamin kehidupan mereka, dan sesama anggota masyarakat memperlakukan mereka sebagai saudara.

Dua hal itulah –  lenyapnya sistem piramidal dalam masyarakat dan hilangnya kemiskinan struktural – yang disebutkan Nabi sebagai tanda-tanda tegaknya Dinul Islam. Dengan kata lain, dua hal itulah target besar yang hendak dicapai dengan menjalankan organisasi bernama Dinul Islam.

Bagaimana bisa tercipta jikalau Islam sebagai organisasi tunggal masih saja ada mazhab-mazhab buatan manusia, padahal Nabi tidak memiliki mazhab selain al-Islam (dinun, dinan,din)

Penulis ini telah menyusun dan mengoreksi dari naskah aslinya pada sumber-sumber dan referensi.Sekian dan terima kasih.





Tags

Newsletter Signup

Sed ut perspiciatis unde omnis iste natus error sit voluptatem accusantium doloremque.

Next
This is the most recent post.
Previous
Older Post