100 Hari Bekerja tapi Untuk Siapa? Janji hanya Tinggal Janji yang Kini Terasa Pahit!
Penulis; Roland Pramudiansyah Ketua PERMAHI Jambi
Tanggal 30 Mei 2025 menandai genap 100 hari kerja Gubernur dan Wakil Gubernur Jambi, Al Haris dan Abdullah Sani. Pemerintah Provinsi Jambi membanggakan sederet program yang mereka klaim sebagai capaian luar biasa. Tapi dari sudut pandang rakyat yang hidup di bawah debu truk batu bara dan proyek janji yang tak kunjung ditepati, yang terlihat bukan kerja nyata melainkan panggung pencitraan.
Truk batu bara masih menjadi raja jalanan. Rakyat dari Sarolangun hingga Muaro Jambi masih terkurung dalam kemacetan, polusi, dan risiko kecelakaan yang mengancam nyawa setiap hari. Janji Gubernur untuk menyelesaikan persoalan ini tak lebih dari retorika kampanye yang dikemas ulang dalam narasi 100 hari. Bahkan, pembangunan jalan khusus batu bara yang masuk proyek multiyears masih terjebak tarik-ulur kepentingan elit dan investor, tanpa arah yang jelas dan transparansi anggaran yang tegas.
Di tengah rakyat yang menjerit karena harga pangan dan pengangguran, Pemprov justru sibuk memoles citra dengan program-program populis seperti “Pejabat Tidur di Dusun” (Pertisun) dan “Lapor Wak Dul”. Program ini boleh jadi menyentuh secara emosional, tapi tidak menyentuh akar persoalan struktural Jambi: ketimpangan pembangunan, eksploitasi sumber daya alam, lemahnya tata kelola, dan minimnya partisipasi publik.
Program pelatihan dan mudik gratis tidak akan menyelamatkan masa depan pemuda Jambi, jika ruang kerja, pendidikan vokasi bermutu, dan jaminan perlindungan lingkungan dibiarkan terabaikan. Ini semua ibarat memberi plester pada luka dalam.
Kita juga tidak lupa bagaimana proyek multiyears digunakan sebagai instrumen politik, bukan solusi strategis. Apa yang disebut “investasi pembangunan” justru membuka celah korupsi, mark-up, dan permainan proyek oleh kelompok oligarki daerah. Transparansi pengadaan dan pengawasan proyek-proyek ini nyaris nihil. Rakyat hanya diberi slogan dan baliho, tapi tidak pernah diikutsertakan dalam proses evaluasi.
Lebih pahit lagi, janji manis Al Haris saat kampanye kini terbukti menipu banyak orang. Dari isu pengentasan kemiskinan, pemberdayaan desa, hingga pembangunan berbasis lingkungan hidup semuanya lebih sering muncul dalam video dokumentasi daripada dalam realitas kebijakan.
Jika ini disebut keberhasilan 100 hari, maka kita patut bertanya: keberhasilan untuk siapa? Untuk rakyat, atau untuk membungkus kegagalan dengan narasi sukses semu?
Sebagai mahasiswa hukum dan anak daerah, saya tidak akan diam menyaksikan politik populis membajak ruang publik kita. Pemerintah harus sadar, bahwa rakyat Jambi bukan sekadar penonton yang mudah terbius baliho dan jargon.
Kami akan terus bersuara. Karena kami tahu, mencintai Jambi berarti berani menegur penguasa yang mulai lupa daratan.