Pembelahan Dada & Pencucian Hati Muhammad:Dogeng Berbagai Aneka Sumber
THE JAMBI TIMES - Bangkali
hampir semua Muslim tahu cerita tentang pembedahan dada Nabi Muhammad
di masa kecil (sebelum jadi nabi), untuk mengeluarkan dan mencuci hati
beliau.
Kebanyakan,
mungkin percaya begitu saja, dan menerimanya sebagai salah satu
mu’jizat seorang (bakal) nabi. Sebagian mungkin ragu atau agak
meragukan, dan sebagian lain mungkin menganggapnya omong kosong.
Pembelahan Dada & Pencucian Hati Muhammad: Dongeng Dari Aneka Sumber
Sebagian
ada yang mengajukan pertanyaan begini: Bukankah Nabi Muhammad sebagai
rasul itu harus menjadi contoh taudalan bagi kita semua? Bila untuk
membersihkan hatinya beliau harus menempuh proses pencucian oleh
malaikat, bukankah kita juga membutuhkan hal itu? Bahkan kita jauh lebih
membutuhkan dari beliau, karena hati kita tentunya lebih kotor dari
hati beliau. Terus, karena kita tidak pernah menempuh proses pencucian
hati tersebut, maka tentu menjadi wajar dan pantas bila hati kita
sekarang tidak cenderung patuh kepada Allah, karena kita pun menjadi
tidak cenderung pula kepada ajaranNya (Al-Qurãn).
Kenyataanya,
sosok Muhammad sebagai nabi, sama seperti para nabi dan atau
tokoh-tokoh besar lain dalam sejarah. Kisah mereka selalu diliputi
legenda dan mitos yang berpangkal pada pemujaan dan pengkultusan. Hal
ini juga disadari betul oleh Lesley Hazleton, yang berusaha menulis
sejarah Nabi Muhammad dengan cara pandang yang boleh dikatakan unik. Dan
yang paling menarik dari Lesley Hazleton, ia mampu memandang sejarah
Muhammad dari berbagai sudut pandang, dan mengajak pembacanya untuk
bukan hanya netral tapi juga bersikap cerdas. Di atas segalanya, cara
pandang Hazleton juga mengajak pembaca bersikap adil dan objektif.
Dalam buku Hazleton yang berjudul The First Muslim: The Story of Muhammad (diterjemahkan Adi Toha dan diterbitkan Pustaka Alvabet dengan judul Muslim Pertama…)
terbaca bahwa kisah tersebut mempunyai tiga versi. Versi pertama
dikisahkan Ibnu Ishaq dengan mengacu pada penuturan Halimah. Dua kisah
lainnya, konon, dikisahkan melalui lisan Muhammad sendiri, namun
keduanya mengandung perbedaan; karena yang satu beliau mengatakan kisah
itu terjadi di masa beliau kecil, sedangkan yang lainnya terjadi ketika
beliau sudah dewasa!
Bagaimana mungkin, Rasulullah menceritakan pengalamannya sendiri menjadi dua versi kisah yang berbeda?
Dengan cara pandangnya, Hazleton mengajukan analisis demikian:
1. Kisah
pencucian hati oleh malaikat itu “kurang khas Arab”, alias model kisah
yang tidak biasa ditemukan dalam tradisi Arab. Hazleton mencurigai
adanya peran asing dalam penyusunan kisah itu!
2. Seiring
perjalanan waktu, cerita itu pun mengalami perkembangan. Legenda
pahlawan-pahlawan dari seluruh dunia pun masuk (dimasukkan para
pengarang kisah!).
3. Ada ciri dari legenda dewa Yunani dan Mesir: bejana emas, wajah kucing…
4. Konsep Kristen tentang setan yang melekat di hati seperti gumpalan hitam.
5. Dongeng Yahudi: penyebutan sakinah
(dari kitab Kabbalah Yahudi- shekina) – yang harfiahnya berarti
ketenangan, tapi dalam kisah itu disebutkan sebagai sebentuk roh.
6. Dongeng Buddha: segel kenabian misterius yang terletak di antara tulang belikat.
7. Kisah itu hampir seperti mimpi.
Demikian,
antara lain, contoh kecerdasan dan kecermatan Hazleton dalam menuturkan
sejarah Nabi Muhammad. Ada ribuan, mungkin puluhan ribu, buku yang
ditulis dengan label “Sejarah Nabi Muhammad”. Di antaranya ada yang
begitu jelas menonjolkan pemujaan belaka. Kebanyakan boleh dikatakan
agak atau sangat membosankan. Tapi buku Hazleton ini sangat menarik.
Setidaknya dari cara dia bertutur.▲
Siapa Lesley Hazleton?
Dia terlatih sebagai psikolog dan berpengalaman
sebagai wartawan di Timur Tengah. Dia lahir di Inggris, menghabiskan
sepuluh tahun terakhir hidupnya di tempat
yang merupakan arena silang sengketa politik dan agama tersebut. Dia
menulis sejarah terpilahnya Sunni dan Syi’ah, juga buku-buku tentang
wanita-wanita yang sangat menarik dalam Bibel: Mary dan Jezebel.
Buku terbarunya, The First Muslim, adalah
tinjauan baru atas sejarah Muhammad, pendiri Islam. Dalam rangka riset
bukunya ini, ia duduk bertekun mempelajari Al-Qurãn, kitab yang sering
disalahpahami dan sering dikutip secara salah. Kata Lesley: “Aku selalu
bertanya – bukan untuk menemukan “jawaban-jawaban”, tapi untuk
mengetahui ke mana pertanyaan-pertanyaan itu akan mengarah.
Kadang-kadang menemui jalan buntu? Itu bagus. Arah-arah baru? Itu
menarik.
Pemahaman-pemahaman hebat? Itu terlalu ambisius. Tinjauan ke
sana ke mari? Itu sempurna.”
Ketika ia menulis bigrafi Muhammad, ia selalu
terbentur sesuatu: Pada malam penerimaan wahyu, menurut
penuturan-penuturan awal, reaksi pertama Muhammad adalah ragu,
terpesona, bahkan ketakutan. Namun pengalaman ini menjadi fondasi
kepercayaannya. Hazelton sampai pada kesimpulan bahwa meragukan dan
mempertanyaan sesuatu adalah fondasi iman – dan merupakan akhir dari
segala jenis fundamentalisme.▲(a.h)