News Breaking
Live
wb_hadi

Breaking News

Jangan bermimpi jadi 'Konglomerat Media'

Jangan bermimpi jadi 'Konglomerat Media'


Aku ini lahir dari media maintream, aku juga yang membawa Panji Aliansi idealis.

Ada juga kawan ku yang lahir dari media nasional tapi bukan maintream 

Ada juga yang lahir dari media lokal atau daerah.

Ada juga yang lahir dari dua pasangan antara media dan lembaga.

Ada juga yang lahir bukan dari media dan bukan dari lembaga, mungkin dari ikut-ikutan saja tetapi memiliki kemampuan (') dengan tanda kutip.

Itu semua diatas sudah di atur berdasarkan ketentuan UU Pers.

Semua diatas adalah sahabat seprofesi, tentu memiliki niat yang sama yaitu pasti  bermimpi menjadi konglomerat media.

Jejak itu sudah dibuktikan oleh segelincir manusia biasa di muka bumi ini dan akhirnya berhasil menjadi konglomerat media.

Melahirkan media-media baru milik konglomerat tapi cukup disayangkan hanya segelinciran orang saja yang memiliki usaha media besar tidak di tularkan ke pekerja pers  lain nya.

Dengan dibukanya kran kebebasan berpendapat, berkumpul dan lain sebagainya termasuk Kebebasan  Pers yang kini menjelma menjadi Kemerdekaan Pers.

Siapa saja setiap warga negara berhak menentukan nasibnya sendiri untuk melakukan perubahan hidup dari seorang pekerja pers hingga menjadi pengusaha media.

Dari menyandang jabatan kontributor, koresponden, freelance, atau jabatan strategis di ruang redaksi media mainstream. Semua pasti punya 'MIMPI'.

Ingat, definisi 'MIMPI' itu ada dua kategori dan jangan salah persepsi .

Pertama : Mimpi dalam arti dalam keadaan sadar atau dalam kondisi terbangun .

Kedua: Mimpi dalam kondisi tidak sadar/tertidur.

Yang saya bicarakan ini  'MIMPI' yang pertama yaitu mimpi dalam keadaan sadar.

Berarti 'MIMPI' itu sinonimnya adalah cita-cita atau angan-angan.

Pertanyaan: "boleh dong saya ingin bercita-cita jadi konglomerat media".

Mimpi ini rupanya terbukti yang dulu menjadi jurnalis,wartawan kini menjadi pengusaha media. Bangga sekali  telah terbukti mendirikan perusahaan media tanpa campur tangan orang.

Wah... Sekelas dong dengan media mainstream.

Namun sekelasnya cuma sebatas 63912 dalam istilah KLBI  2019 saja.

Ingat, jangan salah kode kalo mau diakui DEWAN .

Itu berarti memiliki akta khusus satu perintah dan satu tujuan yaitu Perusahaan Pers, begitulah bunyi perintah DEWAN.

Perintah atau arahan ini pun belum jelas, apakah tertulis atau tidak tertulis, ini yang belum terungkap dipermukaan secara terbuka dan rupanya DEWAN masih hobi tutup menutupi.

Maklum, DEWAN ini bukan dewan terhormat seperti Dewan  Perwakilan Rakyat.

Intinya perusahaan tersebut tidak boleh main proyek selain main advetorial, sociaty, iklan dan tulisan. 

Aneh, padahal advetorial, sociaty, iklan dan tulisan itu merupakan jelmaan proyek karena asal usulnya dari APBN dan APBD ,  cuma beda gaya bahasa nya saja.Jika itu mau main proyek Pemerintah.

Lain halnya media maintream yang memiliki belanja iklan nasional  hingga ratusan trilun rupiah per tahun dan kue tersebut hanya di cicipi oleh beberapa media saja.

Biarlah aku sebagai pengusaha media 'biasa' hanya bisa berharap dengan pemerintah  karena kalau berharap dengan swasta ' alasanya selalu 'SAMA' yaitu:

 'kami ini hanya sebatas penjualan dan promosi saja jika ingin kerja sama atau iklan ke kantor pusat saja', begitu katanya.

Atau dengan cara lain yang sebenarnya tidak diatur dalam UU PT, UU Pers. banyak jalan alternatif untuk mendapatkan 'CUAN' demi menghidupkan pekerja.

Padahal  maksud dari 'kantor pusat' itu diatas maksud nya belanja iklan nya sudah di monopoli orang lain jadi tidak kebagian.

"Banyak jalan menuju Roma", istilah ini cocok untuk saya sebagai warga negara  yang taat HUKUM untuk memerangi kejahatan melalui karya jurnastik.

Sinyal itu rupanya membawa berkah tersendiri secara person bukan badan. Yang dibutuhkan adakah penghasilan badan.

Jika bicara kontrak berarti media tersebut bisa dikatakan terupdate ,on air dan breaking news bukan sociaty advetorial terus menerus.

Dengan catatan, jika media itu sehat dalam pengertian perusahaan yang memiliki SDM yang handal dengan ketentuan mendapatkan CUAN sesuai UU.

Bagaimana jika perusahaan media tidak sehat maka peran DEWAN dan pemerintah harus turun tangan, meskipun hanya sebatas regulasi meski pun hanya sebatas  menerapan legal standing saja.

Ini semua disebabkan karena kendala 'pengeluaran lebih besar dari pada pemasukan'. sangat sulit untuk bersaing dengan media mainstream yang memiliki belanja iklan hingga triliunan rupiah itu.

Bayangkan, perusahaan saya ini berani hutang ke bank untuk menghidupkan media, untuk meningkatkan SDM pekerja dan kualitas.

Alih-alih bakal untung berlipat lipat tapi pada kenyataannya justru sebaliknya,'CUAN' pinjaman di bank tak kunjung terbayarkan.

Akhirnya 'Hidup segan mati tak mau' semua serba dipaksakan hingga jadi tidak sehat lagi.

Bagaimana bisa terbayarkan jika pemasukan media bukan sebulan sekali , malah hingga tiga bulan sekali bahkan tidak terbayarkan.

Coba bayangkan! apa jadinya.

Begitulah mimpi seorang  jurnalis yang ingin menjadi konglomerat media.

Mimpi yang sebenarnya jadi kenyataan tetapi ini seperti 'dalam tidur tapi sadar'.

Aneh bin ajaib!

Kok perusahaan terbatas kalah dengan UMKM yang penghasilan nya puluhan juta tiap bulanya.

Kerja sama dengan legislatif, yudikatif, persyaratan dan izin nya berjilid-jilid , yang dulu non PKP kini  murni PKP meskin pun tidak berpenghasilan 4,8 milyar pertahun.

Pokoknya wajib di patuhi jika tidak maka tidak bisa terverifikasi.

Dan harus PKP, padahal PKP itu wajib memiliki nomor seri faktur pajak, laporan tiap bulan dan harus sinkron  dengan pendapatannya.

Tidak ada pilihan lain kecuali harus di ikuti aturan yang sudah dibuat.

Sedangkan pendapatan tiap bulan nya  belum jelas, bagaimana mau membuat laporan tiap bulan jika nilai atau fee advetorial, sociaty dll itu belum ditentukan.

Sedangkan laporan pajak keluar harus dilaporkan jika tidak maka terkena finalty sebesar 500 ribu/bulan.

Coba bayangkan!

Mau tidak mau harus bisa mengatasi masalah itu 

Pokok nya tiap tahun selalu mendapatkan beban berat, soal aturan yang tidak pernah diatur secara terpusat. Anggaran belanja ADV terus menurun dan lain sebagai nya.

Bagaimana kalau tiap tahunnya, angka pendapatan perusahaan terus menurun mengikuti anggaran belanja yang ikut anjlok di tambah media tiap tahun terus bertambah. 

Apa yang terjadi?

Hei teman-teman, seprofesi jangan sibuk dengan pencitraan diri sendiri dong .

Ingat teman-teman, saya ini seorang direktur dan komisaris sesuai AD/ART tapi merangkap dari tahun ke tahun sebagai karyawan dan jurnalis bahkan loper juga kurir yang sebelumnya sebagai konglomerat media yang kaya raya hasil 'CUAN' pinjaman di bank dan akhirnys tak terbayarkan namun kini tinggal menunggu 'sick eror' saja.

Semua itu tidak bisa bayar karyawan sesuai UMP bukan menunggu 'CUAN' cair dari legislatif, eksekutif dan yudikatif.

Wah ini sudah tidak sehat lagi!

Rumah di sulap jadi kantor tapi bukan rukan bukan pula ruko karena DEWAN tidak mau perusahaan pers itu doble job dan murni kantor pers tunggal.

Tidak peduli yang penting perusahaan pers itu seperti media mainstream yang super power yang memiliki gedung bertingkat-tingkat sehingga bisa lolos terverifikasi administrasi faktual secara cepat.

Berguna atau tidak itu urusan belakang karena DEWAN tidak mau perusaan pers itu miskin SDM.

Aku ini memiliki insting yang luar biasa . Insting itu bukan menganggu belanja iklan nasional melainkan  menggangu ADD, CSR, APBN dan APBD semua dinas dan swasta untuk dirumuskan, di payung hukum kan bersama sehingga penghasilan perusahaan pers kita mengalami perubahan pendapatan.

Jawabannya harus bersama-sama secara serentak seperti tragedi ' demo ribuan kepala desa untuk merebut anggaran belanja dan desakan penambahan masa jabatan kades hingga 9 tahun ke PRESIDEN dan akhirnya perjuangan itu berakhir terbukti'.

Bagaimana dengan PERS?

Saya tidak mau lagi hidup sembunyi  dibelakang  media maintream, saya mau mandiri dan jadi 'Konglomerat Media'.

Itu 'MIMPI', saya.

Tapi tanpa teman-teman di organisasi maka MIMPI saya itu  MATI.

Karena 'MIMPI' pertama itu jangan sampai menjad 'MIMPI' kedua maka tidak akan berakhir.

Kalo begini terus, maka perusahaan ku ini tidak akan aku wariskan dengan anak dan cucu ku kecuali untuk perubahan sub bidang di AD/ART.

Begitulah cerita  "MIMPI" ku diatas antara sadar dan tidak sadar  mau jadi seorang 'Konglomerat Media'.

Apakah aku harus keluar dari profesi ku ini menjadi yang tidak aku inginan.

Menjadi UMKM atau membuka warung  klontongan, kontraktor yang semuanya untuk bertahan hidup demi masa depan keluarga tercinta.

Atau Revolusi Pers?

Jika tidak, 'jangan bermimpi mau jadi konglomerat media"

Salam dari aku untuk semua pekerja pers. 


Tags

Newsletter Signup

Sed ut perspiciatis unde omnis iste natus error sit voluptatem accusantium doloremque.