News Breaking
Live
wb_hadi

Breaking News

Penerus Wangsa (Dinasti) Mataram Islam Pasca Sultan Agung Hanyokrokusumo

Penerus Wangsa (Dinasti) Mataram Islam Pasca Sultan Agung Hanyokrokusumo


                       (Foto/ilustrasi)

Oleh Kanjeng Senopati

WANGSA atau Dinasti Mataram Islam berarti kelanjutan kekuasaan pemerintahan Mataram yang dipegang oleh satu garis keturunan (satu keluarga yang sama), yaitu keturunan keluarga Panembahan Senopati dari garis keturunan Bondan Kejawan adalah putra Brawijaya V Majapahit.

Awal peradaban Mataram Islam adalah pada masa Panembahan Senopati. Beliau yang dijuluki dengan _Senopati Inggalogo Sayidin Panotogomo_, adalah eyang kakeknya Sultan Agung Hanyokrokusumo (Pahlawan Nasional).

Sejarah Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat merupakan wangsa Mataram Islam. Berdiri setelah konflik panjang yang terjadi di Kesultanan Mataram Islam. 

Pusat pemerintahan awal Kesultanan Mataram Islam terletak di Mentaok lalu setelah itu Kotagede, Yogyakarta.

Pada tahun 1645-1677, tepatnya pada masa Amangkurat I (Sultan Tegal Arum) putranya Sultan Agung Hanyokrokusumo, pusat pemerintahan tersebut pindah ke Plered yang sekarang ada di Kabupaten Bantul.

Amangkurat I menurunkan putranya sebagai Amangkurat II diKartosuro 1677 - 1703. Kemudian adiknya Amangkurat II bernama Pangeran Puger sebagai Paku Buwono I di Kartosuro 1645 - 1677.  

Kemudian Amangkurat II menurunkan putranya bernama Sunan Mas sebagai Amangkurat III 1703 - 1704. 

Dimasa Amangkurat III, beliau menurunkan Pangeran Teposono (Mbah Slamet), kemudian Pangeran Teposono menurunkan Raden Mas Garendi (Sunan Kuning) di Kartosuro 1742.

Dimasa Amangkurat II Keratonnya di Plered dikuasai pemberontak dan dianggap tidak layak sebagai tempat pemerintahan, Amangkurat II mendirikan kerajaan baru di Wonokarto dan berganti nama menjadi *Kartasura*.


Keraton baru ini dibangun mulai tahun 1679 dan kemudian dikenal dengan nama Kasunanan Kartasura Hadiningrat. Kasunanan ini terus melahirkan penerus tahta hingga Pakubuwono II (1726-1749).

Kemudian kita kembali kepada Paku Buwono I menikah dengan Ratu Pakubuwono asal Blitar menurunkan Amangkurat IV (Amangkurat Jawi) 1719 - 1727.

Amangkurat IV 1719 - 1727 menurunkan tiga putranya, putra pertama sebagai Paku Buwono II di Surakarta 1727 - 1749, putra kedua adalah Pangeran Haryo Mangkunegoro sebagai Adipati Mangkunegaran Surakarta yang menurunkan para kanjeng adipati dstnya. Dan putra ketiga adalah KPH Mangkubumi (Sinuhun Suwargo) sebagai Sri Sultan Hamengkubuwono I. Kemudian HB I menurunkan putranya bernama GRM. Sundoro (Sinuwun Sepuh) sebagai Hamengkubowono II dan menurunkan para sultan raja-raja Jogja dstnya.
Di masa pemerintahan Paku buwono II, yaitu sekitar tahun 1741-1742, terjadi peristiwa berdarah yang dikenal sebagai Geger Pecinan. Peristiwa pembantaian orang-orang TIonghoa oleh Belanda ini berdampak pada hancurnya istana Kasunanan Kartasura Hadiningrat.

Oleh sebab itu, karena situasi yang tidak kondusif, Pakubuwono II memindahkan pusat pemerintahan ke Solo pada tahun 1744 yang dikenal juga dengan nama Surakarta. Dari sinilah sejarah Surakarta Hadiningrat dimulai.

Pada penghujung tahun 1749, Pakubuwono II terserang penyakit sehingga kedaulatan Kasunanan Surakarta Hadiningrat harus dialihkan ke VOC di bawah pimpinan Belanda. Sejak itu, Belanda memegang peran sebagai pemberi izin penobatan raja-raja keturunan Mataram.

Konflik dengan Mataram
Sebelumnya, Pangeran Mangkubumi yang merupakan saudara tiri Pakubuwono II menuntut tahta Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Akan tetapi, karena tidak ingin mengalihkan kekuasaan, Pakubuwono II justru menunjuk Raden Mas Suryadi, putranya, sebagai putra mahkota.

Pada tanggal 15 Desember 1749, sang putra mahkota dilantik oleh VOC yang diwakili oleh Baron von Hohendorff dengan gelar Sri Susuhunan Pakubuwono III sebelum sang ayah meninggal pada 20 Desember 1749 meneruskan sejarah Surakarta.

Tidak terima akan keputusan diangkatnya Raden Mas Suryadi, Pangeran Mangkubumi meninggalkan istana dan mendirikan pemerintahan sendiri di Yogyakarta untuk menandingi Kasunanan Surakarta.

 Kerajaannya terus berkembang apalagi setelah ia bergabung dengan Raden Mas Said.

Di sisi lain, Belanda mulai khawatir akibat meluasnya kekuasaan Pangeran Mangkubumi. Maka dari itu, Belanda mengajukan Perjanjian Giyanti yang dilakukan pada 13 Februari 1755.

Perjanjian ini berisi kesepakatan untuk membagi wilayah Mataram menjadi dua. Menurut sejarah Surakarta Hadiningrat akan berada di bawah pimpinan Sri Susuhunan Pakubuwono III dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat berada di bawah pimpinan Pangeran Mangkubumi.

Pangeran Mangkubumi yang kemudian digelari Sri Sultan Hamengkubuwono I berselisih dengan Raden Mas Said. Ia tidak menerima keputusan ini dan melawan Sri Sultan Hamengku Buwono sambil terus beroposisi dengan Pakubuwono III.

Resah dengan keadaan ini, Belanda kembali ikut campur. Nicholas Hartingh, pemimpin VOC di Semarang, meminta dengan segera supaya Pakubuwono III mengambil jalan damai. Kemudian lahirlah Perjanjian Salatiga pada 17 Maret 1757. Perjanjian ini tidak menguntungkan sejarah Surakarta secara geografis.

SEJARAH PENTING DISINGKIRKANNYA "SANTRI PITU" PADA MASA PAKU BUWONO IV

Pergantian kekuasaan Sejarah Surakarta mengalami babak baru saat penerus tahta Kasunanan Surakarta Hadiningrat berikutnya, Sri Susuhunan Pakubuwono IV menjabat   (1788-1820).

Ia adalah pemimpin yang sangat membenci penjajah. Karena ia berpaham teguh pada syariah Islam, seperti leluhurnya Sultan Agung Hanyokrokusumo yang juga berpegang teguh kepada syariah Islam.

Intinya dalam catatan sejarah raja-raja Mataram yang berani melawan penjajah Belanda adalah pada masa raja-raja yang berpegang teguh kepada syariah Islam.

Namun ada beberapa pejabat istana yang tidak sepaham dengan ajaran luhur syariat Islam yang mereka lebih condong kepada ajaran paganisme  yang karakter mereka lebih condong kepada penjajah Belanda yang kemudian disingkirkan oleh Paku Buwono IV.

Para pejabat istana yang tidak terima akan perlakuan Pakubuwono IV meminta bantuan VOC untuk melawan Pakubuwono IV.

Selama sebelumnya Keraton Kasunanan selama 32 (Tiga Puluh Dua) Tahun keraton Solo Berhukum kepada Syariat Islam setelah sebelumnya pada masa Panembahan Senopati dan Sultan Agung. Puncaknya adalah pada masa Paku Buwono IV.

Di Ceritakan dalam sejarah Kerajaan 
Kasunanan Surakarta Hadiningrat
pernah menerapkan Hukum Syariat Islam di Seluruh Wilayah kekuasaan Kerajaan Surakarta.
Pada masa PB IV ada  Tujuh ulama Pinilih sebagai Pengageng dan penasehat raja  yang terkenal dengan dinamakan 

SANTRI PITU

_Santri Pitu_ adalah Tujuh orang para Tokoh Ulama Keraton Mataram yang ditugaskan membimbing dan mengajarkan ajaran luhur Syari'at Islam di Kasunanan Surakarta.

Beliau Tujuh Ulama ini Adalah  Abdi Dalem Kinasih (terkasih) dari Paku Buwono. IV 

Para Ulama ini terdiri dari :
1. Raden Santri,
2. Pangeran panengah,
3. Raden Wiradigda,
4. Raden Kandhuruhan,
5. Kyai Bahman,
6. Kyai Nursoleh dan 
7. Bagus Murtoyo atau (Kyai Muhammad qorib). 

Ditambah Tokoh kehormatan Kyai Jamsari
(cikal bakal trah pesantren Jamsaren).

Peran Santri Pitu ini sangat Dominan dalam menentukan arah strategi politik dan keamanan Kasunanan Surakarta sehingga Keraton Surakarta saat itu mencapai kegemilangan luar biasa  pemerintahannya.

Tapi ini membuat keresahan penguasa penjajah Belanda dan Santri Pitu begitu sangat disegani Kaum Ningrat di dalam Keraton. 

Beberapa kebijakan dari Sinuhun Paku Buwono IV yg sangat menyolok antara lain: 
"mewajibkan semua  Keluarga Keraton dan Abdi Dalem Untuk Wajib menjalankan syariat luhur Islam yaitu kewajiban Sholat 5 waktu dan Sholat Jum'at  di Masjid Agung Keraton.

Para kerabat keraton dan kawulo keraton dilarang mengKonsumsi tuak atau minuman Keras dan Opium, karena pada saat syariat Islam belum diterapkan banyak kawulo keraton dan kerabat keraton yang mengkomsumsi opium (ganja).

Kemudian Sinuhun Raja Menerapkan dan Menjalankan eksekusi hukum gantung kepada para pelaku kejahatan pembunuhan dengan vonis hukuman mati qishos di pengadilan. Pelaksanaan sidangnya dilaksanakan di Serambi Masjid Agung.

Kemudian PB IV membentuk prajurit Nirbaya (prajurit mujahidin) yang disebut dengan Prajurit Marto lulut Singo Nagoro".

 Barisan Prajurit ini juga yang ditugaskan sebagai Eksekutor Hukuman. 

Kebijakan dan Perintah Raja Paku Buwono IV ini membuat penguasa penjajah Belanda tidak senang. Mereka menyusun rencana untuk menghentikan kebijakan Raja tersebut. 

Pada Pelaksanaan Rencana itulah yang populer dengan terjadilah peristiwa "Pakepung", Yaitu pengepungan Keraton Kasunanan Surakarta dari semua penjuru yang dilakukan oleh pasukan koalisi dari militer penjajah Belanda, Prajurit Kasultanan Ngayogyakarta, Prajurit Mangkunegaran.

Pakepungan" ini terjadi pada tahun 1790. Adalah peran besar atas masukan saran dari Radèn Ngabèhi Yosodipuro I (Kakèk Buyut Radèn Ngabèhi Ronggowarsito). 

Entah kenapa saat itu tiba-tiba beliau Sinuhun Paku Buwono IV berubah sikap terpengaruh saran tersebut dan bersedia menyerahkan para Santri Pitu atau Penasehat utama Kerajaan (Ulama Santri Pitu) kepada Pengeroyok.

Pengepungan ini dikenal dalam sejarah Surakarta sebagai Peristiwa 'Pakepung'. Pada 26 November 1790, Pakubuwono IV kalah dan menyerahkan para penasehatnya untuk diasingkan oleh VOC.

Maka para Ulama "Santri Pitu" yang telah lama berjasa kepada kejayaan dan marwah keraton Surakarya itu semua di penjara oleh penjajah. 

Namun atas permintaan Sinuhun Paku Buwono IV agar _Kanjeng Bagus Murtoyo_ atau saudara angkat sinuhun dibebaskan dari penahanan meski dengan syarat hanya boleh mengajar dipondok pesantren Kyai Abdul Jalil saja di Kaliyoso.

Sedangkan :
1. Raden Santri,
2. Pangeran Panengah,
3. Raden Wirodigdo
4. Raden Kandhuruhan,
5. Kyai Bahman dan 
6. Kyai Nur Shaleh 
Mereka berenam dibawa ke Semarang, lalu ke Batavia untuk menjalani hukum buang keluar Negeri.

Sejak Peristiwa "Pakepungan" tahun 1790 itu seluruh ilmu pengetahuan Islam, kajian-kajian keislaman di keluarga keraton dan kawulo keraton dihilangkan, kitab - kitab hadist para ulama diberangus dibakar oleh Belanda. Dan penerapan Hukum Syariat Islam  Di Kasunanan Surakarta DIHAPUS diganti dengan ajaran feodalisme Belanda dan Kejawen.

Mereka yang melakukan perlawanan terhadap Paku Buwono IV adalah dari Hamengkubuwono I dan Mangkunegara I meminta tolong kepada VOC untuk mengepung istana Kasunanan Surakarta Hadiningrat. 

Setelah Santri Pitu dihilangkan dan ajaran syariah Islam di hapus oleh Belanda Paku Buwono IV mengalami degradasi (penurunan dan kemerosotan) mutu kepemimpinan dan hilangnya marwah keraton Kasunanan Surakarta.

Setelah Paku Buwono ditinggal oleh para ulama atau setelah peristiwa Pakepung pihak pengeroyok menyatakan bahwa tidak boleh ada aksi saling serang yang dinyatakan oleh Hamengkubuwono I dan Mangkunegara I. 

Tapi pihak Pakubuwono IV diam-diam masih berambisi untuk menyatukan wilayah Yogyakarta dan Surakarta dalam satu dinast kerajaan Mataram, membuat sejarah Surakarta Hadiningrat baru.

Pada tahun 1814, Pakubuwono IV bekerjasama dengan tentara Sepoy yang dibawa Inggris untuk melawan Inggris sekaligus menduduki Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.

Pada saat itu, justeru kesultanan Jogja sedang meningkatnya ghirah semangat ajaran syariat Islam di keraton Jogja yang berada di bawah kepemimpinan Sri Sultan Hamengkubuwono III ayahandanya Pangeran Diponegoro.

Aksi ini gagal namun Pakubuwono bisa lolos dari serangan Inggris menurut sejarah Surakarta.

Pakubuwono IV akhirnya meninggal pada Oktober 1820 dan digantikan oleh putranya Raden Mas Sugandi. Akan tetapi, usia pemerintahan Raden Mas Sugandi, yaitu Pakubuwono V di sejarah Surakarta hanya berlangsung selama 3 tahun. Ia wafat pada September 1823.

PAKU BUWONO VI SANG ARSITEK PERANG PASUKAN MUJAHIDIN PANGERAN DIPONEGORO

Kepemimpinan Keraton Surakarta dilanjutkan kembali oleh putra mahkota, yaitu Raden Mas Sapardan yang naik dengan gelar Sri Susuhunan Paku Buwono VI 1823 sebagai penerus sejarah Surakarta beliau termasuk tokoh pahlawan nasional di masa Pangeran Diponegoro.

Beliau Paku Buwono VI adalah seorang raja Surakarta yang diam-diam mempelajari ajaran luhur syariah Islam kembali sebab saat itu keraton Surakarta masih dalam monitor Belanda melarang keras ajaran dan hukum Islam masuk kedalam keluarga keraton Surakarta.

Tapi Paku Buwono VI secara sembunyi-sembunyi belajar syariat Islam kepada gurunya Pangeran Diponegoro sehingga beliau menjadi pribadi seorang raja Surakarta yang spiritual dan sangat religius dan sampai dijuluki dengan nama "Raja Bangun Tapa"_, karena punya hoby beliau sebagai seorang muslim berkhalwat menyendiri untuk berdzikir lama-lama kepada Allaah orang lain menyebutnya bertapa (semedi). 

Dan Paku Buwono VI terkenal sebagai arsitek perangnya pasukan mujahidin keraton pasukan Pangeran Diponegoro karena beliau PB VI selalu bergabung ikut terjun langsung bergerilya dan memerangi Belanda secara sembunyi-sembunyi bersama Pangeran Diponegoro.

Pakubuwono VI sangat mendukung perjuangan jihad Pangeran Diponegoro dalam melawan penjajahan Belanda. Namun, karena terikat kontrak politik dengan Belanda, Pakubuwono VI tidak bisa begitu saja menunjukkan dukungannya.
Ternyata Belanda mencium gerakan Pakubuwono VI bekerjasama dengan Pangeran Diponegoro karena ada seorang penghianat yang melaporkan ke Belanda.

Paku Buwono VI  ditangkap Belanda dan dibuang ke Ambon, diberitakan beliau menghumbuskan nafasnya terakhir di Ambon. 

Jasad Paku Buwono VI ditemukan lubang bersarang di dahinya. Lubang tersebut diduga akibat tembakan eksekusi senapan Baker Riffle. Pakubuwono VI wafat bukan karena kecelakaan, melainkan ditembak.

Kemudian karena Paku Buwono VI saat itu memiliki sang putra mahkota masih kecil belum balig. Maka Belanda menunjuk paman beliau sebagai Paku Buwono VII pengganti Pakubuwono VI. Tentu saja Belanda sebagai oligarki sangat berperan penunjukan raja disini. 

Paman Pakubuwono VI lah yang akhirnya menurut sejarah Surakarta meneruskan tahta. Tapi Paku Buwono VII tidak sampai lama memimpin wafat pada Juli 1858. Dan saat itu seharusnya yang berhak menjadi raja Paku Buwono VIII adalah putra Paku Buwono VI sebagai putra mahkota seorang raja sebagai pewaris tahta. Namun usia putra mahkota masih belum cukup dan layak untuk menjadi seorang raja.

Maka menurut sejarah Surakarta, yang dinobatkan sebagai raja Paku Buwono VIII adalah sang kakak Paku Buwono VII, yaitu Raden Mas Kusen dengan gelar Sri Susuhunan Pakubuwono VIII. 

Tapi masa pemerintahannya Pangeran Kusen sangat singkat berlangsung selama 3 tahun saja. 

Ada isu yang berkembang di tengah masyarakat bahwa Pangeran Kusen memiliki dan menguasai aset dan lahan keraton Surakarta. Bagaimana mungkin bisa mengurusi dan sampai memiliki aset-aset lahan keraton karena urusan interen pemerintahan keraton saja saat itu belum terbenahi 'kecekel', belum teratasi dan terkendali secara sempurna karena tidak lebih dari tiga tahun pada bulan Desember 1861 Paku Buwono VIII sakit dan meninggal dunia.

Pada saat itu putra mahkota raja Paku Buwono VI sudah menginjak dewasa maka penerus tahta sejarah Surakarta Hadiningrat selanjutnya diteruskan kepafa Raden Mas Duksino, putra Pakubuwono VI dinobatkan sebagai Paku Buwono IX.

Pemerintahan Pakubuwono IX ini disebut sebagai zaman yang penuh keadilan dan kebijaksanaan.

Kemudian setelah meninggal, Paku Buwono IX digantikan oleh putra mahkotanya bernama Raden Mas Malikul Kusno, sang putra mahkota yang akhirnya dinobatkan sebagai Paku Buwono X.

MASA PAKU BUWONO X ADALAH MASA EMAS PERADABAN WANGSA MATARAM ISLAM

Pada masa Paku Buwono X mengisi keraton Surakarta adalah masa peradaban baru (reformis) bagi dimensi keraton Mataram Islam dengan kekuasaannya dari seorang raja yang berkarakter spiritual tinggi, religius, cerdas, tajam instingnya, cakap, pandai berlego dengan Belanda, bijasana, sangat mencintai rakyatnya dan berkharisma di mata seluruh rakyat Solo dan Jogja pada masanya hingga legendaris sampai saat ini.

Masa Paku Buwono X adalah masa emasnya kebesaran wangsa Mataram Islam dengan tradisi agama dan budaya sekaligus yang dapat menyatu memulai babak baru bagi sejarah Surakarta Hadiningrat yang memasuki era modern di abad ke-20.

Pada masanya PB X dikembangkan lagi ajaran keluhuran syariat Islam masuk ke keraton Surakarta maka muncul istilah para "Kyai dalem keraton". 

Beliau sejak dini usia 3 tahun yang berhelar Pangeran Malikul Kusno (Paku Buwono X) sudah memiliki kekayaan yang luar biasa berupa aset dan lahan tanah-tanah yang menyebar di seluruh nusantara dan  mendapatkan hadiah kekayaan dari negeri Belanda.

Kebijakan beliau mengikuti jejak para leluhurnya yaitu PB IV dan PB VI. Karena sinuwun berpendapat marwah keraton Mataram akan kembali bercahaya bila seorang rajanya mendekat ke para ulama dan menyuburkan ajaran luhur Islam sebagai cahaya pamor dan identitas kerajaan keraton Mataram Islam. 

Sehingga setiap sholat jum'at berjama'ah di masjid Agung keraton bersama rakyat beliau selalu mengenakan baju jubah putih kesayangannya menunjukkan beliau adalah seorang raja jawa yang beridentitas sebagai seorang muslim.

Pada masa trah Paku Buwono X memang menjadi raja paling istimewa dalam dinasti Mataram Islam khususnya kerajaan keraton Kasunanan Surakarta. Karena PB X juga telah menyuburkan ajaran dakwah Islam subur menyebar ke kawulo mataram dan sekitarnya dengan perlindungan penuh sinuwun PB X.

Paku Buwono X juga berjasa memberikan ruang yang bebas pada gerakan nasional seperti Syariat Islam di Solo dan Boedi Oetomo dapat berkembang dan berkibar dengan perlindungan penuh seorang raja.

Penerus tahta kerajaan keraton Kasunanan Surakarta adalah Raden Mas Antasena adalah penerus sejarah Surakarta selanjutnya sebagai Paku Buwono XI 1886 - 1945.

Beliau dinobatkan dengan gelar Sri Susuhunan Pakubuwono XI 1939. Pada saat itu, tentara Jepang mulai masuk menggantikan Belanda. Pakubuwono XI wafat sesaat sebelum Indonesia merdeka. Ia digantikan oleh putranya, Raden Mas Suryaguritna sebagai Pakubuwono XII.

MASA PAKU BUWONO XII MASA RAJA KONDISI PALING SULIT DALAM SEJARAH RAJA MATARAM

Pakubuwono XII 1925 - 2004, adalah raja terakhir dalam sejarah Surakarta. Berbarengan dengan merdekanya Indonesia, Surakarta Hadiningrat bergabung dengan Indonesia dan secara otomatis tunduk terhadap peraturan republik.

Beliau terkenal dengan julukan sinuhun Hamardika. Karena  Beliau termasuk raja Mataram terakhir yang berkuasa setelah berdirinya kemerdekaan RI, artinya sudah tidak memiliki kekuasaan penuh sebagai penguasa raja.

Paku Buwono XII lah yang memberikan restu, ijin dan mandat kepada presiden Soekarno yang meminta ijin mendirikan Republik Indonesia. Maka hampir seluruh aset kakayaan lahan dan sumber dana kerajaan telah disumbangkan kepada pemerintah Bung Karno saat itu dan kemudian sikap raja Mataram ini diikuti oleh seluruh raja dan sultan kerajaan keraton nusantara.

Semenjak kemerdekaan RI tahun 1945 keraton Surakarta kekuasaannya berkurang drastis karena ternyata setelah itu presiden Soekarno mencabut hak otonom bagi Surakarta sebagai Daerah Istimewa Surakarta (DIS)  dibekukan oleh pemerintah Soekarno dengan alasan instabilatas politik yaitu protesnya kaum proletar kiri (komunis) yang anti kerajaan. 

Padahal dahulu Soekarno meminta-minta restu kepada PB XII lalu diberikan mandat dan diserahkan hampir seluruh harta, dana dan aset-aset lahan keraton Surakarta kepada pemerintah Soekarno.

Kepasrahan PB XII dirasakan oleh para kerabat dan keluarga besar keraton. Diakhir kekuasaannya sudah kehabisan jalan untuk menghidupi keraton beliau mencari sumber dana lain untuk membangun dan menghidupi keraton Surakarta saat itu. 

Saat ini kondisi keraton Surakarta dalam kondisi 'warning' ancaman intervensi dari orang luar keraton untuk menguasi keraton dan kondisi keuangan keraton yang sudah bagaikan 'hantu' tidak tampak, ada tapi tidak bisa dipegang.

Dan ditambah saat ini pemerintah Jokowi yang berkuasa semenjak menjadi walikota Solo akan berjanji memperhatikan dan akan mensuport keraton Surakarta, hingga menjadi presiden sampai saat ini tidak pernah terwujudkan. 

Sekian sejarah singkat raja-raja wangsa Mataram dari trah Keraton Surakarta Hadiningrat semoga bermamfaat untuk para sedulur sekalian.

Penulis adalah : Buyut PB X
Pemerhati Spiritual Geostrategi Geopolitik Indonesia & Pemerhati Kerajaan Keraton Nusantara

Tags

Newsletter Signup

Sed ut perspiciatis unde omnis iste natus error sit voluptatem accusantium doloremque.