News Breaking
Live
wb_hadi

Breaking News

Rindu "PAHALA" Setelah Tiada

Rindu "PAHALA" Setelah Tiada

 


Ditulis oleh: Zainul Abidin

MAYORITAS mengatakan bahwa hidup ini sebenarnya untuk berlomba-lomba mencari pahala yang nilainya kalau bisa ratusan bahkan hingga ribuan kali lipat. Begitu pun yang MINORITAS, sama keinginan nya tak jauh berbeda meskipun pahala itu kita peroleh setelah kita MATI.

Maksud Mayor dan Minor itu yang memiliki kelompok kecil dan kelompok besar di dalam struktur umat Islam itu sendiri atau juga yang di kenal dengan istilah 'Mazhab'.

Pahala itu dijadikan ganjaran untuk bekal setelah dirinya meninggal dunia. Janji surga yang abadi membuat pikiran dan niat itu mendahulukan pahala ketimbang yang lain.

Yang lain maksudnya adalah dengan tanda kutip 'IMAN',  karena pahala itu erat sekali hubungan dengan Iman makanya akan kita urai sedikit garis besarnya tentang IMAN dibawah ini agar mendapat gambaran secara holistik atau kaffah sehingga surga itu kita miliki 

Untuk mendapatkan nilai pahala, balasan, upah, atau hadiah itu membutuhkan yang namanya proses. Tidak bisa instan dalam pengertian melakukan sesuatu apapun tanpa kerja mungkin tidak akan mendapatkan upah apalagi bonus.

Kerja juga memiliki kriteria, apakah seseorang dalam kinerjanya bagus sesuai SOP perusahaan atau instansi jika di nilai berprestasi maka ganjaran nya atau pahala nya adalah bonus seperti kenaikan jabatan atau pangkat dan juga kenaikan tunjangan gaji dengan mendapatkan fasilitas power full.

Terasa indah, bukan! Bagaimana dengan nilai pahala yang selama ini didapat setelah kita tiada, mungkinkah sesuai harapan  karena pahala setelah mati itu sesuatu serba tak pasti, bisa-bisa lewat akibat salah menatanya.

Harus kita ingat, untuk mendapatkan nilai pahala tidak se-sederhana apa yang kita pikiran atau yang sudah kita perbuat selama ini, semua  harus melalui tahapan terlebih dahulu.

Seperti tahapan Iman, sholat dan zakat (wa aqimus shalata wa atuz zakata) dari ketiga itu mana yang harus di dahului sehingga berjalan dengan konsisten dan mencapai tujuan akhir.

Sekali lagi, kerja dan kerja keras untuk mendapatkan balasan berupa pahala.

Iman itu bukan saja sekedar "percaya" tetapi lebih dari pada itu. Harus ada pembuktian riil dalam menjalani kehidupan ini.

Kata kerja "percaya" berarti menerima suatu kebenaran atau mengandalkan sesuatu, seringkali tanpa bukti kuat atau pemahaman mendalam tentang cara kerjanya, sementara "yakin" atau merujuk pada pemahaman yang lebih dalam, pengertian yang logis, atau keyakinan yang tidak diragukan berdasarkan pengetahuan atau pengalaman. 

Sudah jelas bahwa kebenaran  itu terlebih dahulu diuji agar sesuatu hal memang benar berdasarkan Alquran dan As-Sunnah. Tanpa ada eksperimen mustahil akan berhasil.

Iman itu obyeknya adalah "manusia" yang memiliki empat unsur yaitu:

1.Pikiran

2 Perasaan (hati)

3.Ucapan

4. Tingkah laku perbuatan

لِّسَانِ وَعَمَلٌ بِا لاَرْكَانِ

Artinya : “Iman ialah tambatan hati yang menggema ke dalam seluruh ucapan dan menjelma ke dalam segenap laku perbuatan”. (H.R Ibnu Majah )

اَلاِيْمَانُ تَصْدِيْقُ بِالْجِنَانِ وَاِقْرَارٌبِالِِّسَانِ وَعَمَلٌ بِالاَرْكَانِ (رَوَاهُ البُخَارِى)

Artinya : “Membenarkan dalam hati yang menggema menjadi ucapan dan menjelma menjadi laku perbuatan”. (H.R Bukhari).

IMAN dapat diterjemahkan dengan  Pandangan hidup  dan Sikap hidup .

Komponen Sikap Hidup 

Keyakinan (Beliefs): Apa yang dipercaya benar dan penting dalam hidup.

Persepsi (Perception): Cara seseorang memahami dan menginterpretasikan.

Nilai (Values): Prinsip-prinsip yang memandu tindakan dan penilaian.

Komitmen: Tekad untuk menerapkan keyakinan, persepsi, dan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan.

Pandangan hidup adalah pedoman atau prinsip yang dipegang seseorang atau sekelompok orang untuk memahami dan menjelaskan segala masalah, menentukan nilai-nilai penting, dan memberikan arahan dalam menjalani kehidupan. 

Bagi bangsa Indonesia, pandangan hidup adalah Pancasila, yang berfungsi sebagai dasar negara, identitas bangsa, serta pedoman perilaku dan etika dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Dalam konteks. Al-Islam pandangan hidup adalah berbudaya Alquran  yang menjadi master plan dasar pedoman perilaku secara global.

Dari pikiran turun ke hati lalu ucapan dan direalisasikan melalui perbuatan, ke-semua- nya itu harus sejalan dan konsisten Jika salah satunya ada perbedaan, lain di pikiran, lain di mulut, lain di hati lain pula laku perbuatan nya maka itu  tidak berhasil  dan itu dianggap baru tahap belum ber-Iman masih disebut ngaku-ngaku saja atau dalam bahasa Alquran disebut "yukminu"

Ada tiga pembagian Iman itu, ada yang beriman kepada kebathilan dan ada juga yang beriman kepada yang al-haq. 

Sekali lagi bahwa Al-Haq itu nama lain dari Alquran (kitab pembawa kebenaran).  Jika yang Haq di campur dengan yang Bathil maka disebut kadzdzaba wa tawallâ (mendustakan kebenaran )

PERHATIKAN:

Dalam surat Al-Baqarah ayat (3) dan (4) Allah tidak mengunakan kata Aamana atau aamanu melainkan "yukminu" atau yu ' minuna".

Al-Baqarah ayat 3 adalah: الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ 

Arab-Latin: 

Alladzīna yu'minūna bil ghaybi wa yuqīmūnas shalāta wa min mā razaqnāhum yunfiqūna), yang berarti:

 “(yaitu) orang-orang yang beriman pada yang gaib, menegakkan salat, dan menginfakkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka”.

Baqarah ayat 4 adalah:

Arab-Latin:

Walladzīna yu`minụna bimā unzila ilaika wa mā unzila ming qablik, wa bil-ākhirati hum yụqinụn. 

Artinya:

"Dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al-Qur'an) yang telah diturunkan kepadamu (Muhammad) dan Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat".

Ada seruan Allah kepada orang-orang khusus yang mana seruan itu menyatakan tidak ada lagi keraguan dalam hidup hambanya karena Allah mengunakan kata amanu., seperti kalimah dibawah ini;

Ya ayyuhalladzina amanu" (يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا) secara harfiah berarti "Wahai orang-orang yang beriman".

Kalimat ini menyatakan kesungguhan bahwa orang-orang ini termasuk dalam kategori khusus ini untuk menjadi teladan tuntunan hidup atau Ulil Amri.

INGAT:

Iman itu ada beberapa tahapan ,seperti  yukminu = lagi/akan  ber-iman, Aamana= telah ber-iman dan mukminun= yang ber-iman.

dzâlikal-kitâbu lâ raiba fîh, hudal lil-muttaqîn

"Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan di dalamnya; (ia merupakan) petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa",

Mukminun dan Muttaqin itu memiliki persamaan makna yang artinya: orang-orang yang benar-benar patuh dan  tunduk tidak goyah dari perintah-NYA (Alquran)

Iman yang benar itu menyatu kepada perintah Allah yaitu Alquran secara teori maupun secara praktek dan melakukan rattilil-qur'âna tartîlâ yang tidak terbatas sedangkan Muhammad selama 10 tahun dalam kerasulan nya menempuh untuk memahami Alquran terlebih dahulu setelah itu baru menjalankan perintah sholat melalui Isra dan Miraj.

Penerapan yang dijalankan Muhammad sebagai teladan dan tetap berlaku sepanjang hidup di dunia ini jangan seperti gambaran perumpamaan yang disampaikan  dalam surat Al-Baqarah ayat (17).  Mereka belajar kitab tetapi tidak tahu isinya. 

Dan sebaliknya jika tidak mengerti Alquran berarti tidak ada Iman (mā kunta tadrī mal-kitābu wa lal-īmānu).

Tidak bisa serta-merta lalu mengatakan "kami ini ber-iman" ini namanya ngaku-ngaku saja tanpa diuji terlebih dulu.

Surat Al-Baqarah ayat (8)

wa minan-nâsi may yaqûlu âmannâ billâhi wa bil-yaumil-âkhiri wa mâ hum bimu'minîn

"Di antara manusia ada yang berkata, “Kami beriman kepada Allah dan hari Akhir,” padahal sesungguhnya mereka itu bukanlah orang-orang yang mukmin".

Baca juga ayat keterkaitan nya: 9,10,11,12,13. 15,16,17

Al-Baqarah · Ayat 14

وَاِذَا لَقُوا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا قَالُوْٓا اٰمَنَّاۚ وَاِذَا خَلَوْا اِلٰى شَيٰطِيْنِهِمْۙ قَالُوْٓا اِنَّا مَعَكُمْۙ اِنَّمَا نَحْنُ مُسْتَهْزِءُوْنَ ۝١٤

wa idzâ laqulladzîna âmanû qâlû âmannâ, wa idzâ khalau ilâ syayâthînihim qâlû innâ ma‘akum innamâ naḫnu mustahzi'ûn

"Apabila mereka berjumpa dengan orang yang beriman, mereka berkata, “Kami telah beriman.” Akan tetapi apabila mereka menyendiri dengan setan-setan (para pemimpin) mereka, mereka berkata, “Sesungguhnya kami bersama kamu, kami hanya pengolok-olok.”

Surat Al-‘Ankabut Ayat 2

أَحَسِبَ ٱلنَّاسُ أَن يُتْرَكُوٓا۟ أَن يَقُولُوٓا۟ ءَامَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ

Arab-Latin: A ḥasiban-nāsu ay yutrakū ay yaqụlū āmannā wa hum lā yuftanụn

Artinya: "Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi?

Mereka beranggapan bahwa dengan hanya ketergantungan kepada tokoh agama yang dianggap memiliki ribuan bahkan jutaan follower, lalu mereka merasa yakin dan percaya melalui perantara dirinya(sang figur)  bisa me-rekomendasi-kan atau ada jaminan bakal dapat menyelamatkan dan dapat ganjaran oleh Allah SWT. 

Boleh-boleh saja memiliki pemikiran dan sikap seperti itu. Tetapi lihat dulu, ada beberapa surat yang menentang hal itu.

Tapi harus di ingat juga perintah Alquran tidak demikian.

Sederhananya seperti ini, setiap orang akan bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan dan ditanggung oleh dirinya sendiri. Baik itu berupa dosa maupun pahala.

Dalam ajaran Islam, seorang muslim  sebagai hamba Allah bertanggungjawab sepenuhnya atas tindakannya sendiri, bukan orang lain. 

Jika ia melakukan kebaikan dan amal saleh, maka ia akan mendapatkan ganjaran pahala. Sebaliknya, jika ia melakukan maksiat, maka ia akan memikul beban dosa.

Artinya:

" seseorang tidak akan memikul dosa orang lain, melainkan dosanya sendiri".

Surat Fatir ayat 18, Surat An-Najm ayat 38, dan Al-An'am ayat 164 yang menjelaskan bahwa setiap individu akan bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri dan tidak dapat membebani orang lain dengan dosanya.

Prinsip dasar yang terkandung dalam ayat-ayat diatas adalah keadilan dan per-tanggung-jawab-an individu. Setiap manusia akan dibalas sesuai dengan perbuatannya sendiri, baik amal baik maupun amal buruk.

 Identical synonym atau dalam bahasa Arab disebut maradif(un) mutatabiq(un) مرادف متطابق  sedangkan dalam bahasa Indonesia dikenal dengan sinonim identik dari pahala itu adalah: hadiah, bonus, ganjaran, imbalan, balasan dan upah.

Begitu juga dalam bahasa Arab dinamai dengan Arjun, Tsawab dan  Jaza'.

Arjun:

Secara etimologi lafaz ajr berasal dari akar kata Ajjara – Yu’ajjiru – Ajrun – wa Ujrotun. yang berarti memberi hadiah atau upah.

Kata ajr dalam kitab Tafsir Al-Maraghi yaitu lafaz al-ujur kata jamak dari ajrun. Yang makna asalnya adalah balasan yang diberikan sebagai imbalan dari suatu pekerjaan atau manfaat. 

Pendapat lain menyebutkan bahwa Ulama Ibnu ‘Asyur: ajr adalah imbalan bagi satu pekerjaan walau dalam bentuk pekerjaan yang lain.

Tsawab:

Frasa lain yang memiliki makna serupa dengan kata ajr ialah kata tsawab. Kata tsawab dalam kamus ma’any, ثَوَاب memiliki arti penghargaan, balas jasa, imbalan, dan pahala.

Secara terminologi juga diungkapkan oleh beberapa ulama, salah satunya al-Raghib al Asfahani, pengertian lafaz tsawab adalah:

Sesuatu yang kembali kepada manusia dari balasan pekerjaannya, maka dinamakan dengan balasan pahala, dan tsawab digunakan untuk balasan baik dan buruk namun balasan yang digunakan lebih kepada sesuatu yang bersifat baik.

Maka penamaan balasan dengan kata thawab, dikarenakan untuk menggambarkan bahwa balasan adalah perbuatan itu sendiri (keduanya sama).  

Jaza',:

Kata Jaza' (جَزَاءً) dari bahasa Arab berarti balasan, imbalan, atau pahala yang setimpal dengan amal perbuatan, baik kebaikan maupun keburukan. 

Secara umum, Jaza' menunjukkan makna balasan yang sesuai dengan perbuatan, di mana kebaikan dibalas kebaikan dan keburukan dibalas keburukan.

Dalam bahasa Arab itu tulisan nya Arjun,tsawab dan jaza tetapi dalam bahasa Alquran  beda lagi.

Bahasa Alquran:

Menjadi arjuhum, ajruhuu, ujuurohum, ajrol, arjun, ajron, ajrung, ajr, ajrin,ajriw,ajrow, ajrong

Begitu juga Jaza' dalam tulisan bahasa Arab tetapi dalam bahasa Alquran menjadi jazaaa, 

Tsawab itu dalam tulisan bahasa Arab sedangkan tulisan bahasa Alquran nya yaitu: sawaabal, sawaabad.

Sebagian ahli tafsir mengatakan bahwa bahasa Alquran adalah bahasa Arab tapi ada juga yang mengatakan bahwa bahasa Alquran serumpun, sebangsa, sejenis, segolongan dengan bahasa Arab.

Terlihat sudah, perbedaan yang begitu signifikan antara tulisan yang mengunakan bahasa Arab dan bahasa Alquran.

Karena bahasa Alquran hanya milik Allah dan di-peruntuk-kan , di-khusus-kan kepada para Nabi dan Rasul beserta pengikutnya yang ber-IMAN (mukmin). Jangan salah orang Arab belum tentu  dapat memahami kandungan Alquran.

Baik, kita kembali ke PAHALA. soal ini juga tidak sedikit hadis yang membahas tentang nilai-nilai pahala yang hebatnya pahala dalam hadis tersebut memiliki nilai angka melebihi sepuluh kali lipat seperti yang tertera pada surat Al Anam ayat (160) lebih dari itu tidak ada, apalagi yang pahalanya begitu fantastis sampai lebih dari 100 ×  lipat, berlipat ganda.

Dan berlipat ganda pun  bukan berarti bisa diterjemahkan ratusan hingga ribuan  kali nilai pahalanya  menurut sesuka nafsu kita.

Nadirsyah Hosen Rais Syuriah PCI Nahdlatul Ulama Australia - New Zealand Dosen Senior Law School dan juga Wakil ketua Dewan Pengasuh Pesantren Takhasus IQ Jakarta dalam nadirhosen.net postingan yang di upload pada 28 Juli 2017 lalu dengan judul: "Tidak Semua Hadis Sahih Bisa Langsung Kita Terapkan". 

Secara umum memaparkan tentang hadis yang dianggap salah satu dalil selain Alquran. Beberapa kutipan dibawah ini saya cantumkan sebagai bahan sumber informasi  dalam tulisan ini.

Pemahaman secara tekstual terhadap hadis yang tidak mengandung muatan agama pada gilirannya membuat islam tidak produktif dan akomadatif terhadap perubahan sosial. 

Bahkan hadis seperti ini sering dipelintir dan dipolitisasi oleh sebagian kelompok untuk mempromosikan gerakan dan ideologi mereka.

Memang realitanya banyak sekali hadis yang cenderung dipahami masyarkat awam secara tekstual. Belakangan, juga mulai muncul gejala pemahaman tekstualis di kalangan generasi muda Islam di Indonesia. 

Kutipan hadis yang secara viral menyebar di media sosial seperti instagram banyak di-publish hanya teks saja tanpa penjelasan, 

"Saya kira cukup mengkhawatirkan apa yang sedang terjadi saat ini di tanah air. Masyarakat awam itu taunya kan yang namanya dalil itu hanya Alquran dan Hadis. Seakan-akan di luar itu tidak ada dalil lagi. Kalau sudah mengutip ayat Alquran kemudian Hadis, dianggap sudah selesai permasalahannya.

Sementara para ulama fikih tidak mengatakan begitu. Tidak semua Hadis sahih bisa langsung kita terapkan. Siapa tau Hadis itu sudah di-mansukh (tidak berlaku hukumnya), misalkan. Sedangkan untuk tahu nasikh dan mansukh itu kan harus ada ilmunya. Tapi bagi masyarakat awam asal Hadisnya sahih ya sudah. Simpel.

Nah, perdebatan semacam ini tidak sampai kepada masyarakat awam. Jadi asal ada ayat dan ada Hadisnya, kemudian itu langsung diterima mentah oleh masyarakat awam.

Memang ini cara yang sangat efektif bagi kelompok gerakan yang mempolitisasi Hadis atau gerakan yang ingin kembali kepada Alquran dan Hadis untuk lebih diterima oleh masyarakat. Kenapa? Itu karena tidak njelimet".

Didalam beberapa petikan artikel  almanhaj.or.id dengan tema: Beberapa Contoh Hadis Palsu Dan Lemah Dalam Kitab Ihyâ’ Ulûmiddîn

Di antara kesalahan itu, ada yang berawal dari kesalahan dalil, karena ternyata yang menjadi dalilnya adalah hadis maudhû’ (hadits palsu), seperti hadis :

الْحَدِيْثُ فِي الْمَسْجِدِ يَأْكُلُ الْحَسَنَاتِ كَمَا تَأْكُلُ الْبَهَائِمُ الْحَشِيْشَ

Percakapan dalam masjid akan memakan/menghapus (pahala) kebaikan seperti binatang ternak yang memakan rumput. [Ihyâ’ Ulûmiddîn, 1/152, cet. Darul Ma’rifah, Beirut]

Dari sumbet MUI Digital  berjudul "Hati-hati Hadis Palsu, Begini Cara Identifikasinya".

Prof. KH. Ali Mustafa Yaqub dalam bukunya berjudul: Hadis- Hadis Bermasalah, telah menghimpun tiga puluh hadis yang dapat dikatakan dipermasalahkan oleh kaum muslim. Dari tiga puluh hadis itu, yang dinyatakan palsu atau semi palsu hanya dua puluh enam, itu adalah hadis-hadis yang berkembang di masyarakat.

Dalam buku tersebut disebutkan jika kenyataan ini membuktikan bahwa dibanding dengan hadis-hadis yang shahih, hadis-hadis palsu yang beredar di masyarakat jumlahnya jauh lebih kecil.

Akan tetapi apabila jumlah hadis yang sangat kecil ini dibiarkan, dapat mengotori jumlah yang sangat besar.

Hingga kini, banyak hadis-hadis palsu yang beredar, populer, dan bahkan menjadi pegangan sebagian umat muslim. Keberadaan hadis-hadis palsu ini bisa berpotensi untuk membuat umat tergelincir dan jatuh dalam kesesatan.

Ada beberapa kaidah yang di-himpun-kan oleh ulama yang dijadikan sebagai tanda untuk mengetahui kepalsuan suatu hadis berdasarkan pada matan, di antaranya:

1.Bertentangan dengan nash Alquran.

 Contohnya hadis yang berkenaan dengan umur dunia hanya tujuh ribu tahun, hadis ini merupakan suatu kedustaan karena seandainya hadis tersebut sahih pasti setiap orang akan mengetahui jarak waktu saat ini hingga hari kiamat. 

Hal ini bertentangan dengan ayat Alquran yang menyebutkan bahwa hari kiamat adalah hal gaib yang hanya diketahui oleh Allah.

2. Bertentangan dengan Sunnah. 

Setiap hadis yang memberi makna kepada kerusakan, kezaliman, sia-sia, pujian yang batil, celaan yang benar, semuanya tidak berhubungan dengan Nabi. 

Contohnya hadis tentang orang yang bernama Muhammad dan Ahmad tidak akan masuk Neraka, hadis ini bertentangan dengan ajaran Islam, karena orang tidak dapat diselamatkan dari Neraka hanya karena nama atau gelar, akan tetapi diperoleh melalui iman dan amal salih.

3. Bertentangan dengan ijma.

Setiap hadis yang menyebutkan dengan jelas tentang wasiat Nabi kepada Ali bin Abi Thalib atau pemerintahannya adalah maudhu. 

Karena pada dasarnya Nabi tidak pernah menyebut tentang seorangpun sebagai khalifah setelah wafat.

4. Kandungan hadis yang mengada-ada dalam pemberian pahala terhadap sesuatu amalan kecil dan ancaman yang besar terhadap perbuatan yang buruk.

5. Kandungan hadis yang tidak dapat diterima oleh akal.

Inilah cara yang dilakukan oleh ulama dalam menentukan suatu matan hadis benar-benar seperti yang diucapkan oleh Nabi, yaitu dengan membandingkan riwayat-riwayat yang diterima dengan al-qurn dan hadis-hadis yang sahih.

Jika riwayat tersebut menyalahi Alquran dan hadis yang sahih, dan tidak dapat di-takwil-kan, maka akan dinilai sebagai hadis yang lemah atau maudhu. 

Mereka para ulama juga ada yang saling berbeda pendapat, cara sudut pandang maupun memutuskan sesuatu hadis, apalagi digolongkan sahih, dhaif dan maudhu.

Lahirnya golongan ini membuat kondisi semakin tidak menentu. sibuk mengurus mana itu yang benar, lemah atau palsu.

Disinilah dilemanya atau problemnya!

Meskipun itu tugas ahli hadis, buktinya hadis yang tidak masuk akal terus bergentayangan yang parahnya di-viral-kan lalu dijadikan pedoman hidup. Disinilah perselisihan itu terjadi terus-menerus dan tak kunjung selesai hingga akhir hayat tiba kecuali Inna ilā rabbikar-ruj\'ā (sebenarnya dikembalikan keciptaanNYA yaitu Alquran)

Sepertii 70 atau 100 x lipat hingga ribuan kali lipat nilai pahalanya sedangkan di dalam Alquran kurang lebih 6.666 ayat hanya menjelaskan pahala dua kali lipat (Ajrohaa marrotaini). Ajrohum marrotaini: pahala dua kali (karena beriman kepada Taurat dan Alquran) atau yang ditemukan Ajrohum bighoiri hisaab: pahala tanpa batas atau juga Ajrum ghoiru mamnuun: pahala yang tidak putus-putusnya. Ajrun 'azhiim, Ajron aazhiimaa: pahala besar.

Atau bedasarkan surat Al Anam ayat (160) yang menyatakan,"balasan sepuluh kali lipat" atau juga pada surat Saba ayat (37) yang menyatakan "balasan yang berlipat ganda".

Memang tidak bisa dipungkiri maksud berlipat ganda itu mengatakan arti: banyak, tidak terhitung sama dengan pengertian tidak terbatas.

Namun perlu di ingat juga bahwa ayat yang mengatakan jumlah angka hanya 10x lipat ada pada surat Al-Anam ayat (160) diatas, tidak ada angka yang  lebih dari itu di ayat lain..

Yang namanya pahala atau hadiah dalam kehidupan dunia selalu diterima atau pada saat dengan batasan kurun waktu tertentu, pendek cerita 'idealnya' saat kita HIDUP.

Pasti semua orang mengatakan kehidupan dunia tentu beda dengan kehidupan akhirat dan surga, pasti itu jawaban kebanyakan orang.

Padahal arti surga dan akhirat sudah saya singgung dalam tulisan sebelumnya bahwa asal  kata surga dan akhirat yaitu Yaumil akhir atau sana dengan Yaumil qiammah.

Arti itu rupanya tidak menceritakan kehidupan setelah mati tetapi menceritakan kehidupan dunia saat kita hidup. Jannah bukan surga melainkan kebun atau taman yang rindang.

Alquran secara tegas menceritakan Jannah sesuai dengan konteks ayatnya bukan menceritakan surga.

Isi surga itu tidak bisa diceritakan karena itu urusan Allah. KataNYA: "jangankan terpikir, terlintas dibenak kita pun tidak, terbayang pun tidak". 

Tetapi ada yang menafsirkan kehidupan di surga itu ada bidadari, bidadara, bisa menikah dengan wanita yang perawan terus menerus dan lain sebagainya.

Makanya banyak orang berlomba-lomba untuk mencari pahala untuk bekal matinya nanti.

"Pokoknya cari pahala", padahal untuk mencari pahala itu ada langkah-langkah konkrit, prosedur dan mekanismenya. 

Berkali-kali dikatakan dalam surah diatas jika ingin dapat pahala, konsekuensi nya harus memiliki IMAN jika lolos baru ketahap selanjutnya yaitu sholat, zakat.sedekah plus berbuat baik dan seterusnya.

Jika sudah sesuai dan TEPAT, baru ANDA merasakan bahwa pahala itu di peroleh dengan catatan dirasakan dalam kondisi hidup bukan setelah kita mati. 

Cermin dunia sudah tentu cermin akhirat seperti kita bercermin di kaca dan melihat bayangan kita.

Seperti apa perbuatan dunia seperti itu juga perbuatan kita di akhirat. Fokus DUNIA dulu kira RAIH, otomatisasi PASTI akhirat mengikuti.

"Rabbana atina fiddunya hasanah wa fil akhirati hasanah wa qina 'adzabannar'.

Coba perhatikan contoh hadis yang  diragukan dan perlu di kaji dibawah ini:

Contoh 1:

Shalat Dengan Siwak Lebih Utama 70 Kali Lipat

Nabi ﷺ bersabda:

رَكْعَتَانِ بِالسِّوَاكِ أفضل من سبعين رَكْعَة بِغَيْر سواك

"Dua rakaat dengan siwak lebih utama dari tujuh puluh rakaat tanpa siwak". (HR Abu Nuaim)

Contoh 2:

Shalat Yang Setara Dengan Ibadah Selama 12 Tahun

Nabi ﷺ bersabda:

من صلى بعد الْمغرب سِتّ رَكْعَات لم يتَكَلَّم فِيمَا بَينهُنَّ بِسوء عدلن بِعبَادة ثِنْتَيْ عشرَة سنة

"Siapa yang melakukan shalat setelah Maghrib sebanyak enam rakaat tanpa diselai dengan ucapan yang buruk di antara shalatnya, maka ia setara dengan ibadah selama 12 tahun". (HR Ibnu Majah)

Contoh 3:

Mendapatkan Pahala Bersedekah Setiap Hari Tanpa Bersedekah

Nabi ﷺ bersabda:

‌من ‌أنظر ‌مُعسرا ‌فَلهُ ‌كل ‌يَوْم ‌مثله ‌صَدَقَة

"Siapa yang memberi tempo utang bagi yang tidak mampu, ia akan mendapatkan pahala sedekah senilai utang itu setiap hari".

Apakah hadis diatas itu tergolong sahih,dhaif atau  maudhu. Yang jelas dalam Alquran yang dijadikan dalil yang paling UTAMA  ini tidak sejalan dan sepertinya  saling bertentangan. 

Dan tiga hadis diatas itu merupakan beberapa contoh saja dari sekian banyak hadis yang sulit untuk diterima oleh akal sehat. 

Sekali lagi Alquran itu petunjuk bagi orang-orang yang benar-benar ber-iman bukan yang ngaku-ngaku atau "Aku sudah ber-iman" sehingga tidak bisa menyimpulkan mana hadis yang sejalan dengan Alquran mana yang tidak.

Orang yang benar-benar ber-IMAN-lah yang dapat mengakui bahwa hadis tersebut benar nenurut Alquran.

"LEBIH BAIK RINDU "PAHALA" SEBELUM TIADA"! dari pada...

RINDU "PAHALA SETELAH TIADA"


Penulis telah menyusun sesuai referensi dari beberapa sumber yang shahih, Demikian semoga tulisan ini bermanfaat.



Tags

Newsletter Signup

Sed ut perspiciatis unde omnis iste natus error sit voluptatem accusantium doloremque.

Next
This is the most recent post.
Previous
Older Post