Wuquf Di Arafah, Untuk Apa?
|
THE JAMBI TIMES - Wuqûf(un), harfiah menurut kamus, berarti (keadaan) berdiri ; (berdiam dengan)
tenang; tenteram; memperlihatkan; mengenal, dst.
Sedangkan arafah berarti pengetahuan; pengenalan.
Lalu, wuqûf di Arafah itu apa artinya?
Dalam rangkaian manasik (upacara khas) haji, wuqûf di Arafah sering dikatakan sebagai puncak ibadah haji. Dengan kata lain, wuqûf di Arafah adalah pamungkas dari
rangkaian manasik haji, dengan cara berkerumun di tempat (bukit; padang; tanah
lapang) bernama Arafah.
Begitulah memang
tinjauan secara ritualnya.
Dan sering saya
katakan bahwa ritus (kata sifatnya ritual) adalah semacam bahasa isyarat atau
lembang, yang tentu di dalamnya ada sesuatu (makna) yang sengaja
disimpan. Nah, sesuatu yang disimpan ini tentu harus dikeluarkan sesuai waktu
dan tempatnya.
Kapan dan di mana?
Bahasa yang berupa
lambang (seperti huruf-huruf singkatan yang ditulis indah, gambar, pakaian
seragam, gerakan-gerakan tari, gerakan-gerakan dalam ritus), hanya
diperlihatkan sebagai ‘pameran’ dan/atau ‘tontonan’, yang berguna, antara lain,
untuk memperlihatkan identitas, ciri khas, dan sebagainya, dari satu golongan,
kelompok, korp, dan sebagainya di waktu dan tempat tertentu. Dalam hal ini,
ritual-ritual dalam Islam, seperti shalat dan haji, jelas merupakan ciri khas
dan identitas Islam. Tapi, di balik itu, apa yang tersimpan (terkemas)? Inilah
yang tidak diketahui oleh orang awam, dan hanya diketahui sedikit pakar.
Haji adalah ibadah
ritual yang melambangkan kesatuan dan persatuan umat Islam sedunia. Di dalam
kesatuan tentu berpadu keaneka-ragaman. Di dalam persatuan pasti terjadi
‘kemanuggalan’ dari yang beraneka itu.
Bila dalam ritual haji
itu yang terjadi hanya simulasi, yang kemudian membentuk lambang, dalam
kehidupan nyata, simulasi itu harus menjadi kenyataan yang sebenarnya. Bukan
hanya simulasi (permainan sandiwara) lagi. ...
Kembali ke soal wuqûf di Arafah.
Dalam ritual haji
(yang merupakan lambang atau simulasi), wuqûf di Arafah dilakukan sejak terbit sampai tenggelam matahari. Di sana jutaan orang
berkumpul berdoa, berdzikir, dan seterusnya, yang semua merupakan
‘amalan-amalan’ yang boleh dikatakan individual.
Rasanya agak lucu ya?
Semua berkumpul di tempat yang sama, tapi kok yang dilakukan adalah tindakan
yang bersifat perorangan? Memang ada juga sich yang namanya khutbah di sana.
Tapi itu pun dilakukan oleh kelompok-kelompok demi kepentingan kelompok.
Bukankah seharusnya
khutbah di arafah dilakukan oleh seorang khatib demi kepentingan semua?
Misalnya seperti yang dilakukan Rasululah dalam Khutbah Wadâ’ yang terkenal itu?
Isi khutbah Wada
Tanggal 8 Dzulhijjah
tahun ke-10 Hijriyah, Nabi Muhammad berangkat dari Makkah menuju Arafah,
mengendarai untanya yang bernama Al-Qashwâ, diiringi umatnya yang berjumlah
sekitar 140.000 orang. Sampai di Mina, semua mampir dan mendirikan kemah, lalu
bermalam di situ. Esoknya, setelah subuh, perjalanan ke Arafah dilanjutkan. Di
kawasan bukit Arafah, mereka berkemah pula di desa Namirah, di sebelah timur
bukit Arafah. Setelah matahari tergelincir, mereka berangkat ke lembah Bathnul Wâdy, yang terletak di lapangan Urnah. Setelah berwukuf dan memperlihatkan
cara-cara ritual haji, Nabi naik ke punggung untanya, dan kemudian berteriak
sekeras-kerasnya, memanggil berkumpul umatnya. Panggilan Nabi disambung oleh
Rabi’ah bin Umayyah bin Ghalaf dengan sekeras-kerasnya pula (waktu itu belum
ada pengeras suara). Di situlah Nabi berkhutbah, menyampaikan serangkaian
amanat yang kemudian dikenal sebagai Khutbah Wadâ’ (خطبة الوداع).
Ringkasan isinya dapat
diuraikan ke dalam butir-butir (hukum) sebagai berikut:
1.
Darah (jiwa) kalian itu mulia. Demikian juga harta-benda dan harga diri.
2.
Kalian semua akan bertemu dengan Tuhan kalian, dan Dia akan bertanya
tentang amal-amal kalian.
3.
Bila kalian berbuat jahat, kalian harus mempertanggung-jawabkannya sendiri.
4.
Seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya.
5.
Harta seorang muslim haram bagi saudaranya, kecuali bila mendapat ijin
darinya.
6.
Seluruh ajaran Jahiliyah telah hancur di bawah kakiku.
7.
Riba pada zaman jahiliyah telah dihapuskan.
8.
Takutlah pada Allah dalam urusan wanita. Mereka adalah amanat Allah atas
kalian. Kalian mempunyai hak atas istri kalian, dan istri kalian juga mempunyai
hak atas kalian.
9.
Patuhilah pemimpin yang menegakkan kitabullah, walaupun ia (mantan) budak
hitam asal Habsyi (Abesinia).
10. Ahli waris tidak berhak
atas wasiat, dan wasiat (bagi bukan ahli waris) tidak boleh lebih dari
sepertiga kekayaan.
11. Anak adalah milik
suami yang sah, bukan hak bagi pezina.
12. Setan gagal untuk
dipatuhi di negeri ini, tapi mereka cukup puas bila kalian melakukan hal-hal
yang menurut perkiraan kalian penting.
13. Kalian semua berasal
dari Adam, dan Adam dari tanah. Orang yang termulia adalah yang takwa. Tak ada
kelebihan Arab atas non-Arab, selain karena takwa.
Setiap menyelesaikan
butir-butir pernyataannya, Nabi menyelingi dengan pertanyaan, “Sudahkah ini
kusampaikan?”, yang dijawab oleh umat dengan teriakan bahwa Nabi memang telah
menyampaikan. Kemudian Nabi menengadah ke langit sambil berkata, “Ya Allah,
saksikanlah ini!”
Melalui khutbah ini,
kita mendapat kesimpulan tentang inti ajaran yang disampaikan Rasulullah, yakni
inti ajaran Dinul Islam dalam bidang pergaulan kemasyarakatan (social aspects), khususnya antar sesama muslim.
Sekarang Khutbah Wadâ’ seperti tinggal kenangan, bagi yang mengetahuinya. Bagi awam, Khutbah Wadâ’ tak ada dalam ingatan mereka.
Padahal, selayaknya Khutbah Wadâ’ itu diulang, tentu boleh dengan tambahan berbagai variasi sesuai
keadaan zaman. Harapannya, semoga isi khutbah ini diresapkan dan dilaksanakan
umat Islam seluruh penjuru bumi; sehingga kemungkinan-kemungkinan untuk saling
berselisih dapat dihapuskan, dan perasaan sebagai satu umat yang kompak dapat
ditumbuhkan.
Hal terpenting yang
layak dilakukan di Arafah adalah sebagai berikut:
1.
Terjadinya perkenalan resmi (formal) antarbangsa (yang kini dihambat oleh
masalah bahasa).
2.
Terjadinya perkenalan yang mendalam, bukan formalisas, dalam susana yang
tenang dan leluasa (yang kini terhambat oleh terlalu membludaknya manusia yang
ingin jadi haji).
Masalah pertama tentu
bisa diatasi dengan dijadikannya bahasa Al-Qurãn sebagai lingua franca (bahasa pergaulan) umat Islam sedunia. Dengan sendirinya, para guru agama
harus sibuk mengajarkan bahasa Al-Qurãn, bukan hanya mengajarkan tajwid seperti
sekarang.
Masalah kedua, jamaah
haji harus dibatasi, hanya terdiri dari orang-orang yang terpilih sebagai
duta-duta wilayah. Dengan demikian jamaah haji hanya terdiri dari orang-orang
berkualitas, yang menguasai permasalahan wilayah masing-masing, yang bisa
disampaikan ke ‘forum’, untuk diusahakan penyelesaiannya bersama. Dengan
demikian, terwujudlah seperti yang dikonsepkan bahwa al-hajju mu’tamar(un). Haji adalah muktamar. Haji adalah semacam konferensi
umat Islam sedunia.
Ahmad Haes, Bekasi, 11 September 2016