Keberhasilan Apa Yang di Capai Sistim Dajjal? bag 3
UMAT ISLAM SEBAGAI PEWARIS AMANAT MUHAMMAD
THE JAMBI TIMES - Sepeninggalan Nabi Muhammad, pemilihan Khalifah
(Kepala Negara) pertama jatuh dalam tangan Abu Bakar. Sampai di manakah
mendalamnya tanggapan tujuan (yang diwariskan oleh Nabi Muhammad) pada Abu
Bakar pertama-tama marilah kita mengikuti pidato pelantikannya sebagai Kepala
Negara. Selesai pemilihan Abu Bakar terus berdiri dan mengatakan:
“Wahai
manusia sekalian! Aku telah dipilih jadi wali (pemegang amanat) yang akan
memimpin kamu,padahal aku bukanlah orang yang terbaik di antaramu. Sebab itu
jika pemerintahanku ada baik, maka sokonglah, tetapi jika tidak baik maka
perbaikilah.
Orang yang lemah diantara kamu adalah kuat pada sisiku, sehingga
aku harus menolongnya mendapatkan haknya, sedang orang kuat di antara kamu
adalah lemah pada sisiku, hingga aku harus mengambil hak orang lain yang berada
padanya, untuk dikembalikan kepada yang berhak semula. Patuhlah kepadaku selama
aku ada patuh kepada Allah dan Rasul-Nya, akantetapi jika aku mendurhakai
Allah, kamu sekalian tak harus patuh lagi padaku.Aku dipilih untuk memimpin
urusan ini, padahal aku enggan menerimanya. Demi Allah aku ingin betul kalau
ada di antaramu orang (yang dimaksud adalah Umar bin Khattab) yang cakap untuk
urusan ini.
Ketahuilah, jika kamu meminta kepadaku agar aku berbuat sebagai
yang telah dibuat oleh Rasulullah s.a.w. sungguh aku tidak dapat
memperkenankannya. Rasulullah adalah seorang hamba Allah yang dapat kurnia
wahyu dari Tuhan, karena itu dia terpelihara dari kesalahan-kesalahan, sedang
aku ini hanyalah manusia biasa yang tidak ada kelebihannya dari seorang pun
juga di antara kamu.”-1)
Lembaran sejarah penuh ternukil betapa bulatnya tanggapan tujuan itu mengalir dalam diri pribadi Abu Bakar. Dia adalah orang yang tertua pertama yang memilih/menerima Islam. Dia adalah seorang hartawan, yang sesudah menerima Islam ia berkata kepada Nabi Muhammad:
“Ya Rasulullah! Ambillah semua hartaku
untuk kepentingan menegakkan Islam.” Nabi Muhammad menjawab: “Hai Abu Bakar!
Apakah lagi yang akan kamu makan bersama keluargamu?”
Dengan tegas Abu Bakar
menjawab:“Aku telah cukup dengan Allah.”Bagaimakah sikap pribadinya Abu Bakar
di kala sudah menjabat Khalifah?
“Setelah Abu Bakar dilantik menjadi Khalifah
maka pada esok harinya orang melihat beliau membawa barang perniagaan ke pasar.
Beberapa orang yang melihat itu lalu mendekati beliau, di antaranya Abu
Ubaidah. Abu Ubaidah ini mendekati beliau seraya berkata:“Urusan Khalifah itu
tidak dapat dicampuri dengan berniaga.” Lalu Abu Bakar bertanya:
“Jadi, dengan
apakah aku hidup, dan bagaimana aku membelanjai rumah tanggaku?”Keadaan ini
mendapat perhatian para sahabat, lalu mereka menentukan tunjangan secukupnya
buat beliau dan buat keluarga beliau, yang diambilkan dari Baitul Mal
(KasNegara).”-2)
Selanjutnya Ahmad Shalaby menceriterakan: “Bagaimana jiwa Abu Bakar-dikala beliau sudah dekat berpulang ke Rahmatullah- tidak merasa enak lantaran mengambil harta kaum Muslimin, sebagai timbalan bagi tenaganya yang dicurahkannya keseluruhannya untuk mengurus kepentingan kaum Muslimin. Beliau berkata:…..
Selanjutnya Ahmad Shalaby menceriterakan: “Bagaimana jiwa Abu Bakar-dikala beliau sudah dekat berpulang ke Rahmatullah- tidak merasa enak lantaran mengambil harta kaum Muslimin, sebagai timbalan bagi tenaganya yang dicurahkannya keseluruhannya untuk mengurus kepentingan kaum Muslimin. Beliau berkata:…..
1.Ahmad Shalaby,Op. Cit., hal. 117.
2.Ibid., hal. 120.
2.Ibid., hal. 120.
..“Kembalikanlah apa yang telah saya ambil dari harta
kaum Muslimin, saya sepatutnya tidak mengambil harta mereka sedikit juga. Tanah
saya yang di sana berikan kepada kaum Muslimin, sebagai timbalan dari harta
mereka yang boleh jadi telah saya ambil. “Dengarlah hai Umar,” ujar Abu Bakar,
“apa yang akan aku katakan ini, dan laksanakanlah. Aku mengharap akan kembali
ke hadirat Allah di hari ini. Sebab itu sebelum matahari terbit esok hari
engkau hendaknya telah mengirim bala bantuan kepada al Mutsanna.
Janganlah hendaknya sesuatu bencana bagaimana pun besarnya dapat
melupakan kamu dari urusan agama dan wasiat Tuhan. Engkau telah melihat akudan
apa yang kuperbuat di kala Rasulullah wafat sedang wafatnya Rasulullah itu
adalah satu bencana yang belum pernah manusia ditimpa bencana yang sebesar itu.
Demi Allah,andaikata di waktu itu aku melalaikan perintah Allah dan Rasul-Nya,
tentu kita telahjatuh, dan mendapat siksaan Tuhan, dan kota Madinah ini telah
jadi lautan api.”-1)
Pemilihan Khalifah kedua jatuh dalam tangan Umar bin Khattab, Singa Islam. Seluruh tubuhnya, di sepanjang hayatnya mengalir tanggapan tujuan Islam. Hal itu ternukil dalam ucapannya: “Telah sampai kepadaku bahwa ada orang yang menaruh dahsyat terhadap kekerasanku.
Mereka takut pada kekerasanku. Mereka
berkata: “Dahulu Umar pernah melakukan kekerasan terhadap itu, padahal
Rasulullah masih berada ditengah-tengah kita, kemudian di masa pemerintahan Abu
Bakar, dia pun melakukan kekerasan sedang Abu Bakar yang jadi Khalifah, bukan
dia, apatah lagi kalau kekuasaan telah berada di tangannya.”“Orang yang berkata
demikian adalah benar. Tadinya aku berada di samping Rasulullah, aku di kala
itu adalah jadi hamba dan khadamnya.
Rasulullah adalah seorang manusia yang tak
dapat seorang juga menandingi kemurahan hati dan kasih sayangnya.Beliau
-seperti yang dilukiskan oleh Tuhan-amat penyantun dan kasih sayang terhadap
orang Mukmin. Sebab itu aku adalah pedang yang terhunus di tangannya,
dimasukkannya ke sarungnya kembali atau dibiarkannya terhunus.
Aku selalu
berada di samping Rasulullah sampai Rasulullah kembali ke hadirat Tuhan, dan
Rasulullah rela dan senang terhadapku. Buat itu sama sekali aku sangat
bersyukur kepada Tuhan dan amat merasa bahagia.Kemudian urusan kaum Muslimin dipegang
oleh Abu Bakar. Beliau adalah seorang yang tidak dapat dimungkiri bagaimana
kesabaran, kemurahan hati, dan kelunakannya.Sebab itu aku pun adalah khadamnya
dan penolongnya. Kupadu kekerasanku dengan kelunakannya. Aku adalah pedang yang
terhunus di tangannya, dimasukkannya kembali ke sarungnya atau dibiarkannya
terhunus.
Demikianlah halku dengan beliau, sampaibeliau kembali ke hadirat
Tuhan. Hati beliau rela dan senang terhadapku. Yang demikian itu aku syukuri
banyak dan aku merasa bahagia dengan itu.Kemudian aku telah diserahi untuk
mengurus halmu sekalian. Maka ketahuilah bahwa kekerasan itu malah telah jadi
bertambah, akan tetapi hanya terhadap orang-orang yang zalim dan melanggar
hak-hak kaum Muslimin. Adapun terhadap orang-orang yang suka damai, beragama
dan adil, maka aku adalah lebih lunak dari pada mereka sesama mereka.
Aku tidak
akan membiarkan seseorang berlaku zalim terhadap sesamanya, atau melanggar hak
orang lain, hanya aku akan meletakkan pipinya di atastanah, kemudian kuletakkan
kakiku di atas pipinya yang sebelah lagi, sampai ia tunduk kepada kebenaran,
dalam pada itu aku pun akan meletakkan pipiku ke atas tanah terhadap
orang-orang yang berhati suci dan tidak tamak.”-2)
1.Ibid.
2.Ibid. hal. 126.
1.Ibid.
2.Ibid. hal. 126.
Pada bagian lain Shalaby mengatakan: “Dengarlah
percakapan antara kedua tokoh Islam (Abu Bakar dan Umar bin Khattab) yang besar
ini, di waktu perdebatan di Balai Saidah (waktu pemilihan Khalifah Abu Bakar)
telah demikian sengitnya.
“Ulurkan tanganmu, kami semua mengangkatmu jadi
Khalifah,” ujar Abu Bakar kepada Umar.“Engkau lebih utama dari padaku,” jawab
Umar.“Akan tetapi engkau lebih kuat dari padaku,” ujar Abu Bakar.“Kekuatanku
aku sumbangkan kepadamu, di samping keutamaanmu,” jawab Umar.Dengan demikian
tak salahlah kalau kita katakan bahwa kursi Khalifah dalam waktu yang satu
telah diisi dengan keutamaan Abu Bakar dan kekuatan Umar. Kaum Muslimin
mengetahui hal itu. Mereka merasakan kekuasaan Umar dan pengaruh beliau di masa
pemerintahan ash-Shidiq yang agung itu, sehingga ada di antara mereka berkata
kepada Abu Bakar:
“Demi Allah, tidak tahulah kami, engkaukah yang jadi Khalifah
atau Umarkah?Abu Bakar menjawab: “Dia, andaikata dia mau!”Itulah Umar bin
Khattab, pedang terhunus dari kebenaran yang ditempa oleh atom dan kilat Islam.
Dalam pidato pelantikannnya sebagai Khalifah, ia berkata: “Wahai manusia
sekalian! Aku telah dipilih jadi Khalifah. Kiranya kalau tidak mengharapkan
bahwa aku adalah orang yang terbaik di antaramu dan pula lebih mampu untuk
memikul urusan kamu yang penting-penting, tidaklah aku diangkat untuk jabatan
ini. Andaikata aku tahu bahwa ada orang yang lebih kuat dari padaku untuk
memikul jabatan ini, maka memberikan leherku untuk dipotong lebih aku sukai
dari pada memikul jabatan ini.”-1)
Selanjutnya Shalaby menceriterakan: “Pernah beliau berkata: “Bagaimanakah fikiranmu, kalau aku telah mengangkat orang-orang yang paling baik di antaramu, dantelah pula aku nasehati supaya mereka berlaku adil dan bijaksana, apakah aku telah menunaikan kewajibanku? “Sudah!” Jawab mereka. Umar berkata: “Belum.
Aku
belum menunaikan kewajibanku, sebelum aku periksa apakah mereka ada menjalankan
apayang aku nasehatkan kepadanya atau tidak!”“Saiful Islam Khalid ibnul Walid
seorang panglima yang belum pernah kalah dalam medan peperangan, dan yang telah
mendapat hasil yang gilang-gemilang dalam menegakkan Islam, ada di antara
tindakannya yang tidak baik menurut pandangan Umar,sebab itu Umar membawanya ke
Majelis Umum untuk diadili, dan dia dipecat oleh Umardari jabatannya.
”Betapa
membulat dan membajanya tujuan Islam menanggap kehidupan Umar bin Khattab
sehingga bergelora dan terpancar dalam kehidupannya sehari-hari akan
terbuktilah dari “riwayat Sa’id bin Abi Mansur, Abu Bakar bin Ali Syaibiyah dan
Baihaqi,tentang dirinya Abdullah putera Khalifah II Umar bin Khattab.
Dia
berceritera bahwa dia pernah membeli seekor unta yang digembalakannya di tanah
yang subur, sehingga untukitu gemuk. Pada suatu hari, unta itu dibawanya ke
pasar untuk dijualnya kembali.Kebetulan ayahandanya Saidina Umar pergi pula ke
pasar, dan menampak unta itu yang tergemuk dari segala unta yang lainnya.
Baginda menghampiri unta itu sambil bertanya:“Kepunyaan siapakah unta ini?
“Kepunyaan putera Khalifah, Abdullah,” jawab orang banyak. Lalu beliau
mendekatiputeranya itu sambil bertanya:
1.Ibid., hal. 126 et seqq., dan hal. 132.
“Hai Abdullah, putera Khalifah!”“Ada apa,
Tuanku?”“Dari manakah kamu dapat unta ini?”“Unta ini dulunya saya beli,
kemudian saya gembalakan di tempat yang subur,sehingga dia menjadi gemuk
seperti sekarang. Maka hari ini saya mau jual kembali,sebagai halnya
masing-masing orang Islam berhak melakukannya.
”“Ya, tetapi semua orang
memanggilkan bahwa ini adalah untanya putera Khalifah,dan mereka berkata
berilah makan atau minum akan untanya putera Khalifah.” Beliau mengatakan
demikian dengan perasaan yang sangat kesal, karena tidaklah adil kalauunta itu
gemuk disebabkan karena orang banyak menghormati puteranya Khalifah. Akhirnya
Saidina Umar berkata: “Hai Abdullah! Juallah lekas untamu ini, ambillah sekadar
modal pembelian kamu dulu, sedang uang selebihnya yang menjadi
keuntungan,haruslah kamu serahkan kepada Baitul Mal (Kas Negara) menjadi
miliknya negara danumat Islam seluruhnya.”-1)
“Ada lagi yang lebih menarik hati, ialah riwayat Daimuri dari Malik bin Aus bin Hadstan. Sewaktu delegasi Kaisar Romawi datang menghadap Khalifah II Umar bin Khattab, kesempatan yang baik ini dipergunakan oleh isteri beliau.
Dia meminjam
uang sedinar untuk membeli satu botol minyak wangi yang akan dikirimkannya
sebagai bingkisan persahabatan kepada permaisuri Kaisar Romawi. Dengan tidak
disangka-sangka,setelah Kaisar Romawi itu datang lagi buat kedua kalinya,
mereka membawa satu bingkisan dari permaisuri Kaisar untuk isteri Khalifah,
sebagi balas tanda persahabatan.
Apakah bingkisan itu? Ialah botol minyak wangi
dulu berganti dengan sebotol permata berlian yang sangat mahal harganya.
Sewaktu itu dipersembahkan kepada Khalifah dan disampaikan bahwa kiriman itu
adalah untuk isteri baginda, maka baginda suruh buka. Setelah baginda melihat
isinya yang sangat berharga itu, dengan sangatterkejut baginda berkata:“Apakah
ini?”
“Kiriman permaisuri Romawi kepada isteri Tuanku, sebagai balas tanda
persahabatan yang baik.”Baginda memanggil isterinya seraya menanyakan bagaimana
asal usul kiriman bingkisan itu. Setelah dimaklumi oleh baginda akan
kejadiannya, mengertilah baginda bahwa balasan bingkisan itu tidaklah sepadan
dengan pokok kiriman dulu, ialah sebotol permata berlian dengan sebotol minyak
wangi.Hukum keadilan tidaklah mengizinkan kalau semua berlian itu diserahkan
kepada isterinya.
Kelebihan harga bingkisan balasan itu lain tidak adalah
karena menghargakan isterinya sebagai isteri seorang Khalifah, Kepala Negara
Islam. Baginda memerintahkan supaya segala berlian itu dijual semuanya. Sekadar
harga minyak wangi yang dikirim dulu, diserahkannya kepada isterinya, sedang
selebihnya yang berlipat ganda banyaknya itu dimasukkan baginda ke dalam Baitul
Mal, Kas Negara.”-2)
Demikianlah political philosophy atau philosophy of government sebagai tanggapan tujuan Islam membakar kehidupan setiap muslim yang, “penaka kilat mendahuluiguntur,”-3) bergeledek dalam kegiatan hidup sehari-hari. Kegiatan hidup muslim di masa
1.Z. A. Ahmad,Op. Cit., hal. 49 et seq.
2.Ibid., hal. 50et seq
3.Moh. Iqbal,Op. Cit., hal. 16
2.Ibid., hal. 50et seq
3.Moh. Iqbal,Op. Cit., hal. 16
Umar bin Khattab adalah guntur dari kilat “asas pokok
persamaan dalam bentuk atau susunannya yang seperti Organisme.” “Kalau saya
tidak dapat menolong rakyatku lagihanya dengan jalan memasukkan kepada
tiap-tiap rumah sebanyak jumlah keluarga yang menghuni rumah itu, hingga dengan
demikian mereka akan mengambil seperdua dari makanan keluarga yang berada di
rumah itu,” demikian pendirian politik Umar binKhattab, yang berkata
selanjutnya, “maka akan kukerjakan semacam itu, sampai Tuhan mendatangkan
kelapangan, karena aku yakin bahwa orang belum akan tewas dengan memakan separo
makanannya yang biasa.”-1)
Kilat itu terus menyala menyinari seluruhhidup dalam berbagai-bagai kegiatan. Teori dan praktek menjadi harmonis, tidak adaparadoksal. Itulah api sebagai kekuatan yang membangkitkan dunia Islam sehingga seluruh dunia menjadi bangun karenanya.Sungguh tidak cukup pena dan tinta untuk melukiskan kilat atau kebenaran Allah,yang setelah menyelinap kemudian terus-menerus terpancar lagi dalam kegiatan sehari-hari dari hidup Umar bin Khattab. Api Allah yang telah membakar kepribadian Muhammad bin Abdullah, “telah diberikan selebihnya kepada Umar bin Khattab.”-2)
Apakah sebab-sebabnya maka, selanjutnya, umat Islam dalam arus sejarah perkembangan sosial terus menerus berpecah-belah dan akhirnya terjerembab di tepi samudera penghinaan, bagaikan pasir di tepi pantai? Dengan hancurnya Nasionalisme Quraisy dalam tahun 632 M maka pemeluk-pemeluk Islam menjadi massal. Mereka, sisa-sisa Nasionalis Quraisy, menerima Islam bukannya dengan kesadaran yang membulat,tetapi karena tidak ada jalan lain atau hanya menyesuaikan diri saja, “tidak sepenuhhati”, kata Ahmad Shalaby.
Kilat itu terus menyala menyinari seluruhhidup dalam berbagai-bagai kegiatan. Teori dan praktek menjadi harmonis, tidak adaparadoksal. Itulah api sebagai kekuatan yang membangkitkan dunia Islam sehingga seluruh dunia menjadi bangun karenanya.Sungguh tidak cukup pena dan tinta untuk melukiskan kilat atau kebenaran Allah,yang setelah menyelinap kemudian terus-menerus terpancar lagi dalam kegiatan sehari-hari dari hidup Umar bin Khattab. Api Allah yang telah membakar kepribadian Muhammad bin Abdullah, “telah diberikan selebihnya kepada Umar bin Khattab.”-2)
Apakah sebab-sebabnya maka, selanjutnya, umat Islam dalam arus sejarah perkembangan sosial terus menerus berpecah-belah dan akhirnya terjerembab di tepi samudera penghinaan, bagaikan pasir di tepi pantai? Dengan hancurnya Nasionalisme Quraisy dalam tahun 632 M maka pemeluk-pemeluk Islam menjadi massal. Mereka, sisa-sisa Nasionalis Quraisy, menerima Islam bukannya dengan kesadaran yang membulat,tetapi karena tidak ada jalan lain atau hanya menyesuaikan diri saja, “tidak sepenuhhati”, kata Ahmad Shalaby.
Dengan demikian terdapatlah
massal umat Islam, yang tanggapan tujuan umat Islam tidak pernah ada
“kekuatannya” dalam kesadaran mereka.Ke-Islam-an mereka tidak memiliki
kesadaran tujuan Islam yang bulat. Dengan demikian masyarakat Islam sudah
dihinggapi oleh penyakit kejahilan tujuan. Tidak ada kata-kata lain yang lebih
tepat untuk menggambar keadaan itu selain ucapan Saidina Ali bin AbiThalib
sendiri: “Seluruh penjuru sudah gelap gulita, dan segala keadaan sudah berubah
mukanya.”-3)
Sebaliknya, keadaan yang demikian tidak pernah mengakibatkan chaos, tetapi dapat ditertibkan di zamannya Khalifah Abu Bakar dan Umar bin Khattab, disebabkan oleh karena adanya “satu golongan manusia yang cukup kuat terikat oleh tanggapan tujuan Islam,”-4) sehingga walaupun “jumlahnya kecil dapat menguasai massa yang banyak jumlahnya.”-5)
“Perang Yamamah yang meminta korban 1200 orang -termasuk di antaranya 73 orang sahabat yang besar-besar-”-6)dan akhir sekali hilangnya Abu Bakar dan Umar binKhattab dapatlah dikatakan bahwa dengan peristiwa-peristiwa tersebut masyarakat Islam ketika itu telah hilang kesetimbangannya sebagai syarat mutlak yang diperlukan bagi dapat terujudnya tujuan Islam.
Sebaliknya, keadaan yang demikian tidak pernah mengakibatkan chaos, tetapi dapat ditertibkan di zamannya Khalifah Abu Bakar dan Umar bin Khattab, disebabkan oleh karena adanya “satu golongan manusia yang cukup kuat terikat oleh tanggapan tujuan Islam,”-4) sehingga walaupun “jumlahnya kecil dapat menguasai massa yang banyak jumlahnya.”-5)
“Perang Yamamah yang meminta korban 1200 orang -termasuk di antaranya 73 orang sahabat yang besar-besar-”-6)dan akhir sekali hilangnya Abu Bakar dan Umar binKhattab dapatlah dikatakan bahwa dengan peristiwa-peristiwa tersebut masyarakat Islam ketika itu telah hilang kesetimbangannya sebagai syarat mutlak yang diperlukan bagi dapat terujudnya tujuan Islam.
Dengan demikian kemungkinan timbulnya, yang
tadidisebut ‘segala keadaan sudah berubah mukanya’, sudah tidak dapat
dihindarkan lagi.Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib, selanjutnya, hanya
merupakan dua pelita saja di dalam ‘seluruh penjuru … gelap gulita’. Masyarakat
Islam dan seluruh anggotanya diliputi kabut malam, ‘gelap gulita’ yang menutupi
pandangan terhadap sinar surya…….
1.Ahmad Shalaby,Op. Cit., hal. 142.
2.M. Zainuddin cs,Shahih Bukhari, jilid I, terjemahan, hal. 29 dan 36.
3.Z. A. Ahmad,Op. Cit., hal. 293.
4.QS. Ali Imran ayat 104.
5.QS. al-Baqarah ayat 249.
6.Ahmad Shalaby,Op. Cit., hal. 122 et seq. tujuan Islam, yang semestinya harus disinari oleh beribu-ribu bintang-bintang yang gemerlapan, dalam menantikan sinar surya di esok pagi. Peristiwa-peristiwa yang terjadidi masa Khalifah Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib cukup memberi penjelasan terhadap persoalan ini.Masyarakat Islam -sepeninggalan Nabi Muhammad, Abu Bakar dan Umar bin Khattab,dan oleh akibat perang Yamamah- telah menjadi terombang-ambing karena sudah hilangkesetimbangan sosialnya. Mulai dalam zaman Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib, dan selanjutnya, mesin sosial Islam tidak lagi berputar atas sumbu “asas pokok persamaan dalam bentuk atau susunannya yang seperti Organisme,” sehingga mengakibatkan‘berubah mukanya’. Sebab tujuan atau tanggapan tujuan itu telah lena dari kesadaran mereka. Seluruh kegiatan hidup mereka itu sudah tidak lagi disetir oleh ide tujuan hakiki, tetapi kini ia disetir oleh sesendok samin, sebutir korma, sekerat emas, dan olehemosi mabuk gila kehormatan. Kesadaran tujuan telah ciut -lepaslah semua rem-rem-dan oleh sebab itu melonjaklah kegiatan-kegiatan yang disebabkan oleh dorongan biologis. “Kehidupan menurut hukum sekunder,”
2.M. Zainuddin cs,Shahih Bukhari, jilid I, terjemahan, hal. 29 dan 36.
3.Z. A. Ahmad,Op. Cit., hal. 293.
4.QS. Ali Imran ayat 104.
5.QS. al-Baqarah ayat 249.
6.Ahmad Shalaby,Op. Cit., hal. 122 et seq. tujuan Islam, yang semestinya harus disinari oleh beribu-ribu bintang-bintang yang gemerlapan, dalam menantikan sinar surya di esok pagi. Peristiwa-peristiwa yang terjadidi masa Khalifah Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib cukup memberi penjelasan terhadap persoalan ini.Masyarakat Islam -sepeninggalan Nabi Muhammad, Abu Bakar dan Umar bin Khattab,dan oleh akibat perang Yamamah- telah menjadi terombang-ambing karena sudah hilangkesetimbangan sosialnya. Mulai dalam zaman Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib, dan selanjutnya, mesin sosial Islam tidak lagi berputar atas sumbu “asas pokok persamaan dalam bentuk atau susunannya yang seperti Organisme,” sehingga mengakibatkan‘berubah mukanya’. Sebab tujuan atau tanggapan tujuan itu telah lena dari kesadaran mereka. Seluruh kegiatan hidup mereka itu sudah tidak lagi disetir oleh ide tujuan hakiki, tetapi kini ia disetir oleh sesendok samin, sebutir korma, sekerat emas, dan olehemosi mabuk gila kehormatan. Kesadaran tujuan telah ciut -lepaslah semua rem-rem-dan oleh sebab itu melonjaklah kegiatan-kegiatan yang disebabkan oleh dorongan biologis. “Kehidupan menurut hukum sekunder,”
-1) yang telah dibina oleh Nabi Muhammaddan dilanjutkan oleh para
sahabat, menjadi rusak dan kembali lagi kepada keadaan‘hukum primer’, keadaan
jahiliah di mana elemen-elemen biologis semata-matalah yang menjadi dinamika
hidup mereka. Di sinilah letaknya pokok pangkal kejatuhan dan kehancuran umat
Islam dari kejayaannya.Di bawah pemerintahan Usman bin Affan hantu
‘gelap-gulita’ dari tujuan itu telahmulai memperlihatkan giginya dalam bentuk
‘birokrasi famili sistem’. Amanat Umar binKhattab, yang oleh Z.A. Ahmad
dikatakan, “janganlah sekali-kali mengangkat familimereka”
-2)semata-mata, telah lena dari kesadaran mereka, dan hanya ambisi biologislah
yang menonjol ke depan. Khalifah Usman -ibarat sebuah pelita di ‘gelap-gulita’-
tidak berdaya apa-apa.
Akhirnya Ali bin Abi Thalib pun mengalami nasib yang
serupa. Malah lebih jauh lagi, kedua beliau tidak dapat luput terjerat oleh
akibat-akibat tersebut.Keseluruhan umat Islam sudah terjerumus ke dalam lembah
kebatilan sepenuhnya. Masyarakat umat Islam akan terus menerus tergelincir
lebih dalam lagi dan oleh segala akibat-akibatnya. Tidak seorang pun,
kelihatannya, dapat bebas dari kenyataan-kenyataan itu. Umat Islam sedang
diliputi sejarah malam di mana sukar sekali munculnya bintang-bintang
gemerlapan yang sanggup menerobos kegelapan tujuan itu.
Ceritera ‘gelap-gulita’ tujuan dari umat Islam
akhirnya dikonstruksikan dalam lakon‘feodalisme dalam bentuk sosial piramida’
oleh Mu’awiyah dengan judul “DinastiMu`awiyah”. Menjelmalah kini sistem sosial
piramida yang sangat bertentangan dengan‘asas pokok persamaan dalam bentuk atau
susunannya yang seperti Organisme.’-3)
Mu’awiyah adalah seorang pemimpin ulung, orang yang mempunyai kemampuan lebih besar dari Lenin, Hitler, Musolini, malah lebih besar lagi dari Bung Karno,dsb.- karena kesanggupannya “telah membalik kebenaran dalam bentuk perujudannya yang batil”.-4)
Daging-daging, tulang-tulang dan darah-darah seluruh umat Islam telah dikorbankannya sebagai ongkos untuk membiayai anjing-anjing buruannya.
Dan
dengan demikian tanggapan tujuan umat Islam telah dirusakkan sepenuhnya dalam
keseluruhan.Inilah pokok pangkal yang mengakibatkan umat Islam, akhirnya,
terbelenggu dalam lembah kesesatan selama 14 abad, sampai sekarang ini.
1.Bu’itstu li utammima makarimal akhlaq, (al-Hadits, rawahu ….).
2.Z. A. Ahmad,Op. Cit., hal. 289.
3.QS. Ali Imran ayat 64; dan Hadist: al-Muslimuna ka rajulin wahid (rawahu …).
4.QS. al-Baqarah ayat 16, 175, dan QS. al-Ahzab ayat 36.
Dalam babak kedua -lakonnya tetap sama saja yaitu
feodalisme dalam bentuk sosial-piramida- dipertunjukkanlah dengan judulnya
“Abbasiyah” di atas panggung Mesopotomia.
Dengan ini kerusakan pandangan hidup
umat Islam bertambah-tambahparah lagi. Umat Islam kian lebih diliputi oleh
kebingungan disebabkan oleh dua pertunjukan yang sama lakonnya, yaitu sama-sama
feodalisme dalam bentuknya yang sosial piramida tetapi disutradarakan oleh dua
saudara yang tujuannya saling menghancurkan yang satu terhadap yang lain,
masing-masing di Bagdad dan Cordova.Dalam hubungan ini roman “Banjir Darah di
Sungai Loire” dan “Bendera Hitam diKhurrasan” sungguh-sungguh sangat menarik
hati.
Hal yang demikian dengan tidak dapat disangsikan akan mempengaruhi
seluruh literatur yang mempersoalkan Islam.Drama ‘gelap-gulita’ umat Islam
belum berakhir. Babak terakhir dari lakon‘feodalisme dalam bentuk sosial
piramida’ -menggantikan lakon sosial piramida ala Kristenisme- dipentaskan di
atas panggung Selat Dardanela dan Selat Bosporus denganjudul “Usmaniyah”.
Dan
di atas panggung itu, mulai saat itu dan seterusnya sampai sekarang ini,
mulailah dikibarkan bendera bulan-bintang menggantikan bendera yang bertulisan
“La ilaha illallah, Muhammadur Rasulullah”. Kagum dan menggemparkan seluruh
dunia, “seolah-olah Dunia Barat mau kiamat, menurut perasaan orang Barat,tetapi
mereka tidak tahu,” demikian Bertrand Russel, filosuf Inggris berkata
selanjutnya,“bahwa kemenangan-kemenangan umat Islam itu membawa peradaban
baru,membangkitkan Eropa Modern.
” Demikianlah kata-kata yang keluar dari mulut
Russel dalam ia berpolemik dengan seorang sarjana atom Amerika berkenaan dengan
halnya ia duduk dalam Dewan Perdamaian Dunia.Di seling-seling pertunjukan itu,
dan akhirnya, karena sudah lesu dan tidak berdayalagi massa umat Islam itu
terpecah-belahlah, dan masing-masing firqah mereka digiringdan dihalau ke dalam
kandang-kandang Liberalisme. Dan terserahlah kepada mereka masing-masing untuk
menentukan nasib peruntungannya sendiri-sendiri.
Dalam dua hal kesemua mereka
berjasa besar kepada umat manusia, dan harusbegitu besarkah ongkosnya?
Pertama-tama mereka telah berhasil memindahkan isi al-Quran dan Sunnah Rasul ke
dalam otak manusia sehingga atas dasar itu berkembanglah ilmu pengetahuan yang,
melalui kebangkitan Eropa, kita miliki sekarang ini, sungguh pun arahnya telah
sesat.
Kedua, walaupun dengan jalan yang penuh tantangan dan celaan,mereka
telah berjasa besar dalam menunaikan dakwah, menyampaikan kebenaran Allah
kepada seluruh manusia, sehingga di dalam tubuh masing-masing kita, di seluruh
pelosok dunia, sekarang ini, mengalir dan mendesir irama Islam, kendati pun
penuh kekaburan dan bercampur khurafat.
Quran dan Sunnah Rasul yang juga masih
utuh dewasa ini dapat kita baca kembali -apakah memang ada dalam senandung
mereka?- semoga dengan itukita dapat menggali kembali api Islam yang sebenarnya
dikurniai oleh Allah kepada umat manusia.
Dalam keadaan yang demikianlah Islam
masuk ke Indonesia. Dan oleh karena hal yang demikian pula, Islam diterima
dengan kekaburan dan khurafat, maka di Indonesiapun kehidupan umat Islam menjelma
dalam bentuk sosial piramida. Sejarah Mataram,Demak, Banten, Iskandar Muda,
Imam Bonjol, Hasanuddin, dan sebagainya, cukuplah memberi penjelasan untuk hal
yang dimaksud.Lebih jelas lagi, betapa kaburnya tanggapan umat Islam terhadap
tujuan Islam-berlaku di seluruh dunia dan tidak kecuali Mesir dan Arabia- ialah
jika kita perhatikanliteratur-literatur yang mereka tinggalkan. Kita belum
pernah menemukannya, gambaran cita-sosial yang menjadi tujuan Islam, seperti
yang kita kemukakan terdahulu, sebagai lambang dari yang hidup dalam pikiran
mereka itu. Kitab-kitab apa pun yang di bacamaka akan jelas terlihatlah betapa
pandangan para penulisnya pecah berderai.
Cita-sosial Islam sebagai tumpuan
pokok, ke dalam mana seharusnya disusur-galurkan segalabentuk kegiatan yang
diharuskan dan dibolehkan, tidak pernah terlihat dalam pandangan mereka. Dan
akibatnya ialah bahwa, akhirnya, pandangan mereka terjerumus ke dalam
keping-keping, yang satu sama lain sama sekali hubungannya terputus dari
tumpuan pokoknya, menyebabkan gambarannya itu tidak mempunyai harga dan nilai
menurut pandangan Islam yang bulat.
Di atas dasar itulah political philosophy
dari kenyataan sosial umat Islam berputar dan berkisar. Akan berputar dan
berkisar ke dalam perujudan sosial piramida.
Dan akhirnya sandiwara ‘feodalisme
dalam bentuk yang sosial piramida’dari umat Islam di Indonesia pun berkesudahan
bagaikan kambing-kambing yang dihalau dan digiring ke dalam kandang-kandang
singa Liberalisme.Dalam satu hal ke semua mereka yang di Indonesia pun berjasa
besar sehingga kita sebagai cucu-cucunya sekarang ini telah memiliki Islam,
dengan Quran dan Sunnah Rasul-Nya yang masih utuh sebagai sedia kala, meskipun
pengertian kita tentang hal itu penuhkekaburan dan bercampur khurafat.
Keterangan-keterangan tentang hal tersebut
kian menjadi lebih jelas jika kita memperlajari sejarah perjuangan umat Islam
di Indonesia beserta faktor-faktor yang dihadapinya.Penduduk Indonesia 90%
terdiri dan atau mengaku beragama Islam. Tetapi hasil pemilihan umum tahun 1955
di mana partai-partai Islam hanya mendapat suara 40% saja sudah cukup menjadi
bukti, betapa adanya kejahilan tujuan yang massal pada tubuh umat Islam di
Indonesia. Semboyan tujuan partai-partai Islam -jika kita ambil pendiriandi
atas sebagai ukuran- sudah cukup pula menjadi bukti betapa ‘gelap gulita’-nya
tujuanyang sekarang ini menjerat kehidupan umat Islam di Indonesia.
Di sinilah
letaknya pokok pangkal kekalahan menyolok yang diderita oleh umat Islam di
Indonesia, juga di seluruh dunia. Dan untuk lebih memperjelas pendapat kita
tentang hal yang dimaksud marilahkita mengambil beberapa literatur -sebagai
gambaran dari apa yang hidup dalam pikiran penulisnya mewakili atau membimbing
publik opini- sebagai sasaran kita.“Makna ideologi: pandangan hidup, dasar
pendirian, dasar paham tentang penghidupan manusia, masyarakat, negara, dunia
dan akhirat.”-1)
Dengan demikian maka ideologi Islam ialah pandangan hidup, dasar paham tentang penghidupan manusia,masyarakat, negara, dunia dan akhirat, menurut Islam. “Bagaimanakah masyarakat yangdituju umat Islam?” Tanya Z.A. Ahmad.-2)
Jawabnya “Ialah Masyarakat Darul Islam atau Baldatun thayyibatun warabbun ghafur .” Dan pada bagian lain-3)
diuraikannyalah bahwa“Jika semuanya kita simpulkan,” demikian katanya selanjutnya, “maka terpakailah beberapa perkataan yang menuju kepada dua lapangan:
1.lapangan politik didapat dalam perkataan khilafah, dan
2.lapangan sosial dan ekonomi, didapat dalam perkataan ‘Darul Islam’ danperkataan ‘
Baldatun thayyibatun warabbun ghafur
’.”Pada bagian ke IV pasal 3, “Ideologi Islam” halaman 154 dari bukunya tersebut Z.A.Ahmad berceritera: “Ideologi negara yang dibawa oleh agama Islam bukanlah satuideologi yang terbatas, yang hanya untuk kepentingan nasional Arab. Ideologi Islamadalah suatu ideologi internasional. Dia bisa dipegang dan dipraktekkan oleh segala bangsa, baik untuk bangsanya masing-masing, maupun untuk organisasi kenegaraan, yang…..
1.Adinegoro, Ensiklopedi Indonesia(Jakarta: Penerbit Bulan Bintang, 1954), hal. 168.
2.Z. A. Ahmad,Op. Cit., hal. 29.
3.Ibid., hal. 27 et seq.meliputi seluruh dunia internasional. Bangsa Arab dengan bangsa ajam, kulit putih dengan kulit hitam, kuning, merah dan sawo matang, semuanya memiliki ideologi negara dari Islam itu.”Apakah yang dimaksud dengan “Darul Islam” atau “Baldatun thayyibatun warabbun ghafur ” itu sebagai ‘pandangan hidup, paham tentang penghidupan manusia dan masyarakat’?
Pada
halaman 27, Z.A. Ahmad berceritera lagi bahwa “Baldatun thayyibatun warabbun
ghafur (negara yang aman makmur dengan ampunan Tuhan), …menceriterakan bangsa
Saba’ di zaman purbakala. Mereka telah hidup di dalam kenikmatan dan
kemakmuran, aman dan senang sentosa, berkat keteguhan mereka beragama dan
bernegara.” Dengan demikian masyarakat Islam yang dimaksud, bagi Z.A.Ahmad, adalah
seperti masyarakat Saba’, yang hidup kira-kira 1000 tahun Sebelum-Masehi.
Bagainamakah masyarakat Saba’ itu dan atas pola apakah ia berkisar? Atastumpuan
Kapitalisme-kah, Komunisme-kah, atau Nasionalisme-kah, yang menjadi political
philosophy mereka? Dalam hal ini kita tidak memperoleh jawaban dalam bukuZ.A.
Ahmad.Dan di lain pihak kita mendapat kesimpulan bahwa, menurut pandangan
Z.A.Ahmad, negara dan masyarakat adalah identik. Dengan demikian, sebagai telah
kita buktikan terdahulu -Madinatul Munawwarah sebagai “perjanjian antara para
mukminin dan muslimin dari suku Quraisy dan antara penduduk Yatsrib beserta
pengikut-pengikutnya yang menggabungkan diri kepada mereka”
-1 atau “Negara
sebagai ikatan golongan”
-2 saudara kita itu tidak mempunyai kemampuan yang cukup untuk membeda-bedakan
Negara Islam sebagai alat dan satu pergaulan hidup “yang seperti organisme”-3
atas asas “pokok persamaan,
-4 satu “sistem perdamaian hidup,”
-5 yang menjadi
tujuan Islam, yang dibawa oleh Muhammad, yang menjadi senandung hidup setiap
Muslim, yang untuk tujuan itu diperlukan negara, yaitu Negara Islam sebagai
alatnya di mana lembaga pemerintahan hanyalah salah satu saja dalam sistem
Islam keseluruhannya, yang tediridari berbagai-bagai lembaga. Oleh karena itu
maka dalil “Darul Islam” atau “Baldatun thayyibatun warabbun ghafur ” hanyalah
satu petitio principii.
Pada tempat ini “sdr. Z.A.Ahmad” membuat kesalahan
secara ‘konteoritis’ yang pokok dengan menarik kesimpulan dari ‘zijns-oordeel’
hingga kepada ‘waarderings-oordeel’, dan dengan demikian tidakcukup
membeda-bedakan antara-6 alat dan apa yang menjadi tujuannya. Dan oleh
kesalahan yang pokok ini, sebagai terlihat hampir dalam keseluruhan
uraiannya,menyebabkan pandangannya itu terombang-ambing oleh pengaruh
lingkungan yang menuntutnya untuk memberi jawaban.
Dalam bentuk atau susunan yang bagaimanakah kegiatan
“Darul Islam” atau “Baldatun thayyibatun warabbun ghafur” itu “harus dijalin di
dalam sarang grup keseluruhannya … sebagaimana halnya laba-laba menenun
suteranya,”-7) yang oleh MacIver dikatakan “the very texture of human society
.” Dengan lain perkataan, apa dan bagaimana mitos “Darul Islam” atau “
Baldatun thayyibatun warabbun ghafur ” itu? Berdasarkan pola Universal-Individualisme-kah, Organisme-Komunistis-kah, atau berdasarkan pola Nasionalisme-kah? Jawaban dari pertanyaan tersebut tidak pernah kita jumpai di dalam bukunya itu.
1.Z. A. Ahmad,Op. Cit., hal. 29.
2.Kranenburg,Op. Cit., hal. 47.
3.al-Muslimuna ka rajulin wahid ….(al-Hadits, rawahu …).
4.QS. Ali Imran ayat 64.
5.QS. Muhammad ayat 35 dan QS. al-Maidah ayat 3.
6.Kranenburg,Op. Cit., hal. 12.
7.R.M. Mac Iver,Op. Cit , hal. 5.
Di satu pihak ia tidak pernah mengemukakan pandangan
atas dasar polanya tersendiri, yang dimaksud ialah Islam. Di lain pihak secara
negatif dengan gigih iamenolak segala pola-pola yang lain. Dengan demikian
menjadi jelaslah betapa terombang-ambingnya pandanganannya itu.Sebagai anak
dari zamannya Z.A. Ahmad dihadapi oleh bermacam-macam mitos,Nasionalisme,
Liberalisme dan Marxisme. “Perang tak lain dan tak bukan,” demikian kataKarl
von Clausewitz selanjutnya, “adalah lanjutan daripada politik dengan cara-cara
lain.”-1)
Oleh sebab itu maka pertarungan politik dapat dikatakan sebagai perang ideologi.
Dan karenanya Z.A. Ahmad sebagai seorang politisi, seorang prajurit di
medanpertempuran ideologi, adalah ibarat seorang prajurit di medan pertempuran,
yangbaginya tidak mempunyai tanggapan tujuan yang jelas, untuk apa, bagaimana
dan dalam bentuk situasi apakah, ia harus menghadapi musuhnya. Pandangannya
terus terombang-ambing dan dengan demikian seluruh strategi dan taktik serta
segala tembakannya pasti tidak dapat mengenai sasaran yang dituju.
Oleh sebab
itu maka segala aktifitasnya pun hanyalah semata-mata reaksioner, segala aksi
dan kegiatan yang bukan dibimbing oleh kesadaran tujuan, yang seperti Organisme
atas asas pokok persamaan di Wajah Allah.Sikap hidup sehari-hari sebagai
seorang politisi, pendukung ideologi yang semestinya,saya kira, sudah cukup
untuk memberi penjelasan bagi hal yang dimaksud, yaitu “satutitik berat yang
sangat tergantung dari kedudukan sosial pembela”-2)
pandangan itusendiri.Apakah kenyataan yang dihadapi sekarang ini? Dan bagaimanakah jalan keluar dari padanya untuk sampai kepada apa yang ditujui?
pandangan itusendiri.Apakah kenyataan yang dihadapi sekarang ini? Dan bagaimanakah jalan keluar dari padanya untuk sampai kepada apa yang ditujui?
Dalam Pembuka Kata Z.A. Ahmad menegaskan: “bahwa zaman kita ini adalah Zaman
Jahiliah modern.” “Menurut pendapat saya” katanya lagi di bagian lain,
“Republik Indonesia yang kita miliki sekarang yang sudah kita perjuangkan lebih
10 tahun lamanya mempunyai cukup syarat-syarat untuk mencapai cita-cita Islam.
Hampir dalam segala lapangan, negara dan masyarakat kita mempunyai bakat dan
syarat yang cukup untuk menjadi dasar bagi pembentukan Negara Islam.” Dengan
demikian menjadi jelas pula bahwa pembentukan Negara Islam sebagai“ Ja-al haqqu
wazahaqal bathil …,” bagi Z.A. Ahmad, bukan berdasarkan “ Al haqqu minrabbika
fala takunanna minal mumtarin,” tetapi berdasarkan “Hampir dalam segala
lapangan, negara dan masyarakat kita mempunyai bakat dan syarat yang cukup
untuk menjadi dasar.” “Satu petitio principii,” untuk mempertahankan dan untuk
terus hendak melanjutkan kesesatan yang menyesatkan.
Dan ayat-ayat Allah pada
Surat al-Muddatstsir(1,2,3, dst.), Surat Ali Imran ayat 60, Surat al-Baqarah
ayat 147 dan surat Bani Israil ayat81 dan 82, sudah tidak pernah terlihat
menyala di dalam pandangannya itu, sehingga ucapannya sendiri, yang tadi saya
sebut, “Bahwa zaman kita ini adalah Zaman Jahiliah modern” hendak dijadikan
dasar evolusional bagi pembentukan Negara Islam. Sungguh satu pandangan yang
cukup menyesatkan, tidak tahu diri di mana ia berada, apa yang dihadapi dan
dengan ukuran apa seharusnya ia berbuat.Kelihat kepada Kata-kata Sambutan,_3)
yang diberikan oleh tokoh-tokoh politik -yang hampir kesemuanya adalah
pemimpin-pemimpin dari semua partai-partai Islam- yang,antara lain mengatakan:
“Tulisan sdr. Zainal Abidin Ahmad ini akan memenuhi hajat dari pada masyarakat
kita yang mulai sadar akan kewajibannya sebagai warga negara Republik Indonesia
dan sebagai muslimin yang ingin menumpahkan kecintaannya kepada tanah air
dengan berusaha aktif dalam pembinaan negara kita ini ‘negara yang adil dan
makmur, serta diliputi keridhaan Ilahi’,” demikian tulis M.Natsir, menyambut
baik………
1.Karl von Clausewitz,Tentang Perang , terj. R. Soesatyo, Mayor Inf (Jakata: Penerbit Pembimbing), hal. 127.
2.P.J. Bouman,Op. Cit., hal. 158.
3.Z.A. Ahmad,Op. Cit., hal. 5 et seqq
pandangan tersebut, yang penuh kekaburan, maka dapat
dipastikan bahwa pandangan tersebut jualah yang menjadi anutan partai-partai
Islam di Indonesia. Itulah yang kita maksdukan dengan perkataan “umat Islam
seumumnya, khususnya yang di Indonesia,sedang diliputi oleh kejahilan massal
terhadap tujuan.” Atau jika hendak kita meminjamkan kata-kata Saidina Ali bin
Abi Thalib, yang di atas telah pernah kita sitir,mengatakan: “Seluruh penjuru
sudah gelap-gulita, dan seluruh keadaan telah berubah muka.
”Buku Z.A. Ahmad “Membentuk
Negara Islam”, dipandang dari sudut zamannya,tidak mempunyai standar ilmiah.
Malah menyesatkan pandangan umat dari yang semestinya menurut Quran dan Sunnah
Rasul. Tetapi sebagai kumpulan bahan-bahan,yang masih harus diteliti lagi
sebagiannya, buku tersebut banyak gunanya bagi semua orang yang ingin
memperdalam studinya tentang Islam. Pandangan dalam buku tersebut,“Membentuk
Negara Islam”, sangat berat sebelah, yaitu terlalu terpesona dengan dayaalat
sehingga hampir sama sekali melupakan apa yang menjadi tujuan dari alat
itusendiri. Satu pandangan yang “separo benar, lantaran itu: tidak benar.”-1)
Satu buku, yang mencerminkan tanggapan umat Islam di luar Indonesia, yang dalam hubungannya dewasa ini menjadi bahan studi di Indonesia ialah “Masyarakat Islam”,karangan Prof. Dr.Ahmad Shalaby terjemahan Prof. Muchtar Yahya.
Dalam Kata Pendahuluannya
kita dapat membaca pandangan penulisnya mengenai kualifikasi beliau terhadap
‘tanggapan tujuan Islam di Indonesia’, yang pada klimaksnya terpancarlah
ego-Mesir-nya dalam perkataanya “Bagaimanakah jalannya bagiku untuk ikut serta
bersama-sama dengan pembahas-pembahas dari bangsa Indonesia buat memperlihatkan
kebaikan-kebaikan Islam dan melukiskan prinsip-prinsipnya yang ramahitu?
Bagaimanakah jalannya bagiku untuk menyokong tenaga bermilyun pemuda Islam yang
telah bangkit dengan imannya yang penuh, dan persatuan yang kokoh, serta tekad
yang kuat menuju ke arah tujuan Islam yang diidam-idamkan?”-2)
Dipandang dari sudut sistematik, buku tersebut cukup rapi susunannya. Tetapi pandangannya dalam menguraikan sangat terpesona oleh yang detail, sehingga “arah tujuan Islam yang diidam-idamkan” sebagai tumpuan pokok, yang tadi kita sebut ‘thevery texture of human society ,’ yaitu mitosnya, menjadi kabur sama sekali. Cara meninjau (1) memandang keseluruhan dengan tidak melupakan bagian-bagiannya, atau(2) memandang bagiannya dalam keseluruhan, tampaknya tidak berlaku pada pemikiran Ahmad Shalaby.
Sehingga uraiannya terlalu menjurus
ke dalam detail, yang tidak terjalin dan atau hampir-hampir tidak ada hubungan
dalam pokok keseluruhannya. Di sinilah letaknya kekeliruan yang mengacaukan
pandangan Ahmad Shalaby sehingga beliau terus bertele-tele dengan spesifik yang
membangkitkan emosi belaka.
Dalam Bab I, menurut sistematik bukunya, Ahmad
Shalaby mengemukakan “AgamaKristen di negeri Romawi dan Eropa,” “Kehidupan di
Persia” … dan “Bangsa Arab,” dimana sebab-sebab dari kenyataan sosial di kala
Muhammad datang, katanya, “adalah agama Kristen, agama-agama Manu dan Masdak
sebagai penyelewengan dari Zoroaster-isme, dan tradisi-tradisi yang jelek dari
bangsa Arab.” Padahal semua orang mengetahui bahwa oleh peristiwa Alaric dalam
tahun 476 M di mana Agustinus telah mengemukakan teori pemisahan antara agama
dan negara dan di atas dasar mana barulah agama Kristen………..
1.Mohd. Natsir,Capita Selecta, hal. 63.
2.Ahmad Shalaby,Op. Cit., hal 10.
diterima atau dianut oleh pembesar-pembesar Romawi.
Oleh sebab itu, berdasarkan keterangan dalam bagian ke 2 dari buku ini, menjadi
jelaslah bahwa Ahmad Shalaby tidak mempunyai kemampuan untuk memahami bahwa
political philosophy dari kenyataansosial terhadap mana Muhammad diutus oleh
Allah, adalah -bukan agama Kristen sebagai pokoknya- tetapi perpaduan dari
peradaban Yunani, yang menjurus ke dalam dua pola,yang pertama
Universalis-Naturalisme dalam bentuknya yang tertinggi Individualisme berpadu
dengan Kristen, yang menjurus ke Idealisme, dan di atas pola mana tegaklah
Romawi.
Yang ke dua Materialisme Aristoteles, yang melalui Alexander the
Great,menjalar ke Timur Tengah, dan ke dalam mana sebagai wadah diisilah
Zoroaster-isme dll., sehingga di atas pola itu tampillah Persia Baru. Dan
faktor yang ke tiga ialah Nasionalisme, sebagai takrif terdahulu. Tumpuan atau
pola-pola yang kita kemukakan itu agaknya tidak pernah beradu dengan kesadaran
Ahmad Shalaby, sehingga kelihatanlah bahwa beliau terlalu serampangan saja
dalam menguraikan hal yang dimaksud.Dalam Bab II.
“Pembentukan Pribadi Muslim”
ia mengatakan: “Masyarakat Islam mula-mula terbentuk di Madinah.”-1) “Ada satu
hal yang penting yang mulai timbul sejak di Mekkah,” katanya lagi,“Yakni
pembentukan pribadi muslim yang kelak merupakan unsur bagi pembentukan
masyarakat Islam. Dan pembentukan pribadi muslim di Mekkah itu adalah satu
proses yang sangat penting dalam sejarah.”“Dari mata pedang ke jalan
damai.
”“Dari kekuatan ke undang-undang.”“Dari balas dendam ke hukum pampasan
(qishash).”“Dari serba halal ke kesucian.”“Dari sifat suka merampas ke
kepercayaan.”“Dari sifat suka mengasingkan diri ke arah dapat menguasai negeri
Persi dan Romawi.”“Dari kehidupan kesukuan berganti dengan rasa tanggung jawab
pribadi.”“Dari penyembahan berhala ke ‘Akidah Tauhid’.”“Dari memandang rendah
kaum wanita menjadi pemuliaannya.”“Dari sistem berkasta-kasta ke persamaan.”
Apa yang dikemukakan di atas sudah merupakan kepastian
sejarah dan kenyataan yang relatif, berdasarkan tebal atau tipisnya iman
seseorang, menjadi tetap. Tetapi satupertanyaan yang sangat fundamental, yang
tidak pernah kita temui jawabannya di dalam buku Ahmad Shalaby ialah, ke arah
pola atau tumpuan apakah proses itu tertuju?”
“Kepersamaan”, kata Ahmad
Shalaby. Apakah polanya “persamaan” itu? Yang di dalam bagian ke 2 dari buku
ini telah kita kemukakan bahwa “susunan masyarakat Islam adalah seperti
Organisme atas dasar asas pokok persamaan di Wajah Allah,” kelihatannya tidak
pernah beradu dengan kesadaran Ahmad Shalaby, sehingga gaya berpikirnya pun
terus menerawang tanpa mempunyai tumpuan pasti.
Terlepasnya pengertian ini dari
kesadaran Ahmad Shalaby menyebabkan pandangan dan tinjauannya kacau balau, yang
sebenarnya menurut sistematiknya sudah teratur rapi.Sebagai anak dari zamannya
Ahmad Shalaby termasuk generasi yang sepenuhnya“mengalami akibat-akibat
Liberalisme di mana perkembangan Marxisme memberi daya balik bagi kebangkitan
Nasionalisme, yang di bawah purnamanya sebagai sinar balik menggelorakan
kesadaran kembali kepada ciri-ciri Islam,”-2) yang hampir-hampir sudah……..
1.Ibid., hal. 20 et seqq.
2.Perhatikanlah QS. ar-Ruum ayat 41 dan QS. al-Hujurat ayat 5-6.
lepas sama sekali dari tumpuan pokoknya. Pandangan
Gamal Abdul Naser, NasionalismeArab yang tulen, adalah contoh yang baik sekali
untuk penjelasan soal ini.
Dan mengingat Ahmad Shalaby adalah pendukung yang
paling konsekwen dari Naser-isme maka ke dalam hubungan ini pulalah harus kita
pertautkan sebab-sebab kacau-balaunya pemikirannya,yang terombang ambing oleh
Nasionalisme, anti-Liberalisme dan anti-Marxisme, tetapi tidak mampu menemui
tumpuan pokok atau polanya sendiri, yang dimaksud ialah Islam.Dalam beberapa
hal, baik Ahmad Shalaby maupun Z.A. Ahmad, cukup berjasa karena karyanya itu
telah mengumpulkan bahan-bahan yang sangat penting sekali bagi siapa saja yang
mempunyai keinginan untuk memperdalam studi tentang Islam.
Dan untuk itu kita
semua harus berterima kasih atas segala jasa-jasa mereka.Dipandang dari sudut
zamannya juga, buku “Islam dan Sosialisme” karangan H.O.S.Tjokroaminoto sungguh
sangat mengagumkan. Tjokroaminoto adalah anak dari zamannya, yaitu zaman
dahsyatnya penindasan oleh Liberalisme di mana response Marxisme mendapat tanah
yang paling subur bagi aspirasi kebangkitan Nasionalisme.Dalam suasana itulah
Tjokroaminoto hidup, bergerak sebagai challenge yang diminta olehlingkungan
hidupnya.
Dari kalimat “bahwa sekalian anak Adam itu ialah anggotanya satu badan
yang beraturan (organisch ligaam), karena mereka itu telah dijadikan dari pada
tubuh yangsatu asal. Apabila salah satu anggotanya mendapat sakit, maka
sakitnya itu menjadikan rusak teraturnya segenap badan (Organisme),”-1) kita
memperoleh penjelasan yang sangat berguna dari keterangan mana dapat ditarik
kesimpulan bahwa mitos-sosiologis Islambagi H.O.S. Tjokroaminoto ialah
Organisme.
Dengan demikian beliau sama sekali terpengaruh oleh ajaran Marxisme,
yang merupakan lanjutan dari ajaran Organisme,sehingga dalam usahanya
memperbandingkan Sosialisme dan Islam, yang sebenarnya hendak menggambarkan
Islam, tetapi akhirnya tanpa disadari beliau sendiri telah tersesat ke dalam
dan atau berpegang kepada pandangan Organisme oleh sikapnya yang tidak bisa
ditawar anti Kapitalisme.Dari sudut yang pokok ini “the very texture of human
society ,” yaitu mitos sosialIslam, yang tadi kita sebut “seperti Organisme
atas dasar asas pokok persamaan di Wajah-Allah,” beliau telah membuat kesalahan
yang besar sekali. Yaitu, pertama, telah menjadikan suatu unsur, yang
semestinya hanya bagian dari padanya, menjadi tumpuan pokok atau polanya.
Kedua, tumpuan pokok itu yang dibuat menurutkan kemauannya sendiri itu yaitu
“Kanannasu ummatan wahidatan,” kemudian diuraikannya dengan sepotong dari
Hadits “idzasytaka ‘udhwun isytaka sairul jasadi kullihi bissahariwalhuma,”
yang pokoknya Hadits “al-muslimuna kaljasadil wahid ,” telah dibuang sama sekali, sehingga dengan
jalan begitu terbentuklah pandangannya yang Organisme itu.Satu kesalahan yang
cukup besar, kesesatan yang menyesatkan keseluruhannya.
Dan akibatnya pun jauh
sekali sehingga “haruslah perusahaan-perusahaan menuju maksud yang demikian,
dilakukan oleh kerajaan (staat) dengan pengawasan sepenuhnya olehrakyat,”-2) persis
identik dengan Komunisme. Oleh sebab itu dan jika dewasa ini kitamelihat ada
beberapa di antara bekas kadernya bekerja sama atau mendukung Dewan Perdamaian
Dunia (ciptaan Komunis) maka hal itu adalah konsekwensi yang logis dari ajaran
Tjokroaminoto, yang cukup menyesatkan itu. Pandangan Tjokroaminoto lebih
mengagumkan dibandingkan dengan pandangan Ahmad Shalaby, oleh karena ia ditulis
dalam zaman yang berbeda, dan lebih-lebih…….
1.H.O.S. Tjokroaminoto, Islam dan Sosialisme, hal. 50 et seq.
2.Tafsir Program, Asas dan Program Tandhim
(Jakarta: Penerbit Pucuk Pimpinan P.S.I.I.), hal. 50 dan 51
mengagumkan lagi dibanding dengan pandangan Z.A.
Ahmad. Bukunya, baik sistematik maupun mutunya, mempunyai standar ilmiah,
sekali pun menyesatkan.
Dan juga akan menyesatkan segenap orang yang membaca
dan berpegang dengannya tanpa kritik.Namun demikian bahan-bahan yang
dikumpulkan oleh Tjokroaminoto sebagai hasil karyanya sangat berguna sekali
untuk melanjutkan studi tentang Islam.Ke semua itu, sebagai langgam dari
tanggapan-tanggapan tujuan hingga sekarang ini, kiranya menjadi beralasanlah
pendapat kami bahwa “Masyarakat umat Islam umumnya, yang di Indonesia
khususnya, sedang diliputi oleh kejahilan massal terhadap tujuan.” Atau, jika
hendak kita pakai ucapan Ali bin Abi Thalib,
“Seluruh penjuru
sudahgelap-gulita, dan ke segala keadaan sudah berubah muka.”Sebagai penutup
dari uraian ini timbullah pertanyaan, apakah memang menjadi keharusan sejarah
perkembangan manusia bahwa untuk dapat memahami sepenuhnya“yang seperti
Organisme,” terlebih dahulu diperlukan satu tingkat perkembangan tertentu dari
‘yang Organisme’? Yang sudah pasti ialah “bahwa untuk dapat memahami Islam
diperlukan suatu tingkat kecerdasan akal.”-1). author @qms_r.(by unnanoche)