News Breaking
Live
wb_hadi

Breaking News

Keberhasilan Apa Yang di Capai Sistim Dajjal? bag 3

Keberhasilan Apa Yang di Capai Sistim Dajjal? bag 3





UMAT ISLAM SEBAGAI PEWARIS AMANAT MUHAMMAD



THE JAMBI TIMES - Sepeninggalan Nabi Muhammad, pemilihan Khalifah (Kepala Negara) pertama jatuh dalam tangan Abu Bakar. Sampai di manakah mendalamnya tanggapan tujuan (yang diwariskan oleh Nabi Muhammad) pada Abu Bakar pertama-tama marilah kita mengikuti pidato pelantikannya sebagai Kepala Negara. Selesai pemilihan Abu Bakar terus berdiri dan mengatakan: 

“Wahai manusia sekalian! Aku telah dipilih jadi wali (pemegang amanat) yang akan memimpin kamu,padahal aku bukanlah orang yang terbaik di antaramu. Sebab itu jika pemerintahanku ada baik, maka sokonglah, tetapi jika tidak baik maka perbaikilah. 

Orang yang lemah diantara kamu adalah kuat pada sisiku, sehingga aku harus menolongnya mendapatkan haknya, sedang orang kuat di antara kamu adalah lemah pada sisiku, hingga aku harus mengambil hak orang lain yang berada padanya, untuk dikembalikan kepada yang berhak semula. Patuhlah kepadaku selama aku ada patuh kepada Allah dan Rasul-Nya, akantetapi jika aku mendurhakai Allah, kamu sekalian tak harus patuh lagi padaku.Aku dipilih untuk memimpin urusan ini, padahal aku enggan menerimanya. Demi Allah aku ingin betul kalau ada di antaramu orang (yang dimaksud adalah Umar bin Khattab) yang cakap untuk urusan ini. 

Ketahuilah, jika kamu meminta kepadaku agar aku berbuat sebagai yang telah dibuat oleh Rasulullah s.a.w. sungguh aku tidak dapat memperkenankannya. Rasulullah adalah seorang hamba Allah yang dapat kurnia wahyu dari Tuhan, karena itu dia terpelihara dari kesalahan-kesalahan, sedang aku ini hanyalah manusia biasa yang tidak ada kelebihannya dari seorang pun juga di antara kamu.”-1)

Lembaran sejarah penuh ternukil betapa bulatnya tanggapan tujuan itu mengalir dalam diri pribadi Abu Bakar. Dia adalah orang yang tertua pertama yang memilih/menerima Islam. Dia adalah seorang hartawan, yang sesudah menerima Islam ia berkata kepada Nabi Muhammad:

 “Ya Rasulullah! Ambillah semua hartaku untuk kepentingan menegakkan Islam.” Nabi Muhammad menjawab: “Hai Abu Bakar! Apakah lagi yang akan kamu makan bersama keluargamu?” 

Dengan tegas Abu Bakar menjawab:“Aku telah cukup dengan Allah.”Bagaimakah sikap pribadinya Abu Bakar di kala sudah menjabat Khalifah?

 “Setelah Abu Bakar dilantik menjadi Khalifah maka pada esok harinya orang melihat beliau membawa barang perniagaan ke pasar. Beberapa orang yang melihat itu lalu mendekati beliau, di antaranya Abu Ubaidah. Abu Ubaidah ini mendekati beliau seraya berkata:“Urusan Khalifah itu tidak dapat dicampuri dengan berniaga.” Lalu Abu Bakar bertanya:

“Jadi, dengan apakah aku hidup, dan bagaimana aku membelanjai rumah tanggaku?”Keadaan ini mendapat perhatian para sahabat, lalu mereka menentukan tunjangan secukupnya buat beliau dan buat keluarga beliau, yang diambilkan dari Baitul Mal (KasNegara).”-2)
Selanjutnya Ahmad Shalaby menceriterakan: “Bagaimana jiwa Abu Bakar-dikala beliau sudah dekat berpulang ke Rahmatullah- tidak merasa enak lantaran mengambil harta kaum Muslimin, sebagai timbalan bagi tenaganya yang dicurahkannya keseluruhannya untuk mengurus kepentingan kaum Muslimin. Beliau berkata:…..
1.Ahmad Shalaby,Op. Cit., hal. 117.
2.Ibid., hal. 120.


..“Kembalikanlah apa yang telah saya ambil dari harta kaum Muslimin, saya sepatutnya tidak mengambil harta mereka sedikit juga. Tanah saya yang di sana berikan kepada kaum Muslimin, sebagai timbalan dari harta mereka yang boleh jadi telah saya ambil. “Dengarlah hai Umar,” ujar Abu Bakar, “apa yang akan aku katakan ini, dan laksanakanlah. Aku mengharap akan kembali ke hadirat Allah di hari ini. Sebab itu sebelum matahari terbit esok hari engkau hendaknya telah mengirim bala bantuan kepada al Mutsanna. 

Janganlah hendaknya sesuatu bencana bagaimana pun besarnya dapat melupakan kamu dari urusan agama dan wasiat Tuhan. Engkau telah melihat akudan apa yang kuperbuat di kala Rasulullah wafat sedang wafatnya Rasulullah itu adalah satu bencana yang belum pernah manusia ditimpa bencana yang sebesar itu. Demi Allah,andaikata di waktu itu aku melalaikan perintah Allah dan Rasul-Nya, tentu kita telahjatuh, dan mendapat siksaan Tuhan, dan kota Madinah ini telah jadi lautan api.”-1)

Pemilihan Khalifah kedua jatuh dalam tangan Umar bin Khattab, Singa Islam. Seluruh tubuhnya, di sepanjang hayatnya mengalir tanggapan tujuan Islam. Hal itu ternukil dalam ucapannya: “Telah sampai kepadaku bahwa ada orang yang menaruh dahsyat terhadap kekerasanku. 

Mereka takut pada kekerasanku. Mereka berkata: “Dahulu Umar pernah melakukan kekerasan terhadap itu, padahal Rasulullah masih berada ditengah-tengah kita, kemudian di masa pemerintahan Abu Bakar, dia pun melakukan kekerasan sedang Abu Bakar yang jadi Khalifah, bukan dia, apatah lagi kalau kekuasaan telah berada di tangannya.”“Orang yang berkata demikian adalah benar. Tadinya aku berada di samping Rasulullah, aku di kala itu adalah jadi hamba dan khadamnya. 

Rasulullah adalah seorang manusia yang tak dapat seorang juga menandingi kemurahan hati dan kasih sayangnya.Beliau -seperti yang dilukiskan oleh Tuhan-amat penyantun dan kasih sayang terhadap orang Mukmin. Sebab itu aku adalah pedang yang terhunus di tangannya, dimasukkannya ke sarungnya kembali atau dibiarkannya terhunus. 

Aku selalu berada di samping Rasulullah sampai Rasulullah kembali ke hadirat Tuhan, dan Rasulullah rela dan senang terhadapku. Buat itu sama sekali aku sangat bersyukur kepada Tuhan dan amat merasa bahagia.Kemudian urusan kaum Muslimin dipegang oleh Abu Bakar. Beliau adalah seorang yang tidak dapat dimungkiri bagaimana kesabaran, kemurahan hati, dan kelunakannya.Sebab itu aku pun adalah khadamnya dan penolongnya. Kupadu kekerasanku dengan kelunakannya. Aku adalah pedang yang terhunus di tangannya, dimasukkannya kembali ke sarungnya atau dibiarkannya terhunus. 

Demikianlah halku dengan beliau, sampaibeliau kembali ke hadirat Tuhan. Hati beliau rela dan senang terhadapku. Yang demikian itu aku syukuri banyak dan aku merasa bahagia dengan itu.Kemudian aku telah diserahi untuk mengurus halmu sekalian. Maka ketahuilah bahwa kekerasan itu malah telah jadi bertambah, akan tetapi hanya terhadap orang-orang yang zalim dan melanggar hak-hak kaum Muslimin. Adapun terhadap orang-orang yang suka damai, beragama dan adil, maka aku adalah lebih lunak dari pada mereka sesama mereka. 

Aku tidak akan membiarkan seseorang berlaku zalim terhadap sesamanya, atau melanggar hak orang lain, hanya aku akan meletakkan pipinya di atastanah, kemudian kuletakkan kakiku di atas pipinya yang sebelah lagi, sampai ia tunduk kepada kebenaran, dalam pada itu aku pun akan meletakkan pipiku ke atas tanah terhadap orang-orang yang berhati suci dan tidak tamak.”-2)

1.Ibid.
2.Ibid. hal. 126.
Pada bagian lain Shalaby mengatakan: “Dengarlah percakapan antara kedua tokoh Islam (Abu Bakar dan Umar bin Khattab) yang besar ini, di waktu perdebatan di Balai Saidah (waktu pemilihan Khalifah Abu Bakar) telah demikian sengitnya.

“Ulurkan tanganmu, kami semua mengangkatmu jadi Khalifah,” ujar Abu Bakar kepada Umar.“Engkau lebih utama dari padaku,” jawab Umar.“Akan tetapi engkau lebih kuat dari padaku,” ujar Abu Bakar.“Kekuatanku aku sumbangkan kepadamu, di samping keutamaanmu,” jawab Umar.Dengan demikian tak salahlah kalau kita katakan bahwa kursi Khalifah dalam waktu yang satu telah diisi dengan keutamaan Abu Bakar dan kekuatan Umar. Kaum Muslimin mengetahui hal itu. Mereka merasakan kekuasaan Umar dan pengaruh beliau di masa pemerintahan ash-Shidiq yang agung itu, sehingga ada di antara mereka berkata kepada Abu Bakar:

 “Demi Allah, tidak tahulah kami, engkaukah yang jadi Khalifah atau Umarkah?Abu Bakar menjawab: “Dia, andaikata dia mau!”Itulah Umar bin Khattab, pedang terhunus dari kebenaran yang ditempa oleh atom dan kilat Islam. 

Dalam pidato pelantikannnya sebagai Khalifah, ia berkata: “Wahai manusia sekalian! Aku telah dipilih jadi Khalifah. Kiranya kalau tidak mengharapkan bahwa aku adalah orang yang terbaik di antaramu dan pula lebih mampu untuk memikul urusan kamu yang penting-penting, tidaklah aku diangkat untuk jabatan ini. Andaikata aku tahu bahwa ada orang yang lebih kuat dari padaku untuk memikul jabatan ini, maka memberikan leherku untuk dipotong lebih aku sukai dari pada memikul jabatan ini.”-1)

Selanjutnya Shalaby menceriterakan: “Pernah beliau berkata: “Bagaimanakah fikiranmu, kalau aku telah mengangkat orang-orang yang paling baik di antaramu, dantelah pula aku nasehati supaya mereka berlaku adil dan bijaksana, apakah aku telah menunaikan kewajibanku? “Sudah!” Jawab mereka. Umar berkata: “Belum. 

Aku belum menunaikan kewajibanku, sebelum aku periksa apakah mereka ada menjalankan apayang aku nasehatkan kepadanya atau tidak!”“Saiful Islam Khalid ibnul Walid seorang panglima yang belum pernah kalah dalam medan peperangan, dan yang telah mendapat hasil yang gilang-gemilang dalam menegakkan Islam, ada di antara tindakannya yang tidak baik menurut pandangan Umar,sebab itu Umar membawanya ke Majelis Umum untuk diadili, dan dia dipecat oleh Umardari jabatannya.

”Betapa membulat dan membajanya tujuan Islam menanggap kehidupan Umar bin Khattab sehingga bergelora dan terpancar dalam kehidupannya sehari-hari akan terbuktilah dari “riwayat Sa’id bin Abi Mansur, Abu Bakar bin Ali Syaibiyah dan Baihaqi,tentang dirinya Abdullah putera Khalifah II Umar bin Khattab. 

Dia berceritera bahwa dia pernah membeli seekor unta yang digembalakannya di tanah yang subur, sehingga untukitu gemuk. Pada suatu hari, unta itu dibawanya ke pasar untuk dijualnya kembali.Kebetulan ayahandanya Saidina Umar pergi pula ke pasar, dan menampak unta itu yang tergemuk dari segala unta yang lainnya. Baginda menghampiri unta itu sambil bertanya:“Kepunyaan siapakah unta ini? “Kepunyaan putera Khalifah, Abdullah,” jawab orang banyak. Lalu beliau mendekatiputeranya itu sambil bertanya:

1.Ibid., hal. 126 et seqq., dan hal. 132.

“Hai Abdullah, putera Khalifah!”“Ada apa, Tuanku?”“Dari manakah kamu dapat unta ini?”“Unta ini dulunya saya beli, kemudian saya gembalakan di tempat yang subur,sehingga dia menjadi gemuk seperti sekarang. Maka hari ini saya mau jual kembali,sebagai halnya masing-masing orang Islam berhak melakukannya.

”“Ya, tetapi semua orang memanggilkan bahwa ini adalah untanya putera Khalifah,dan mereka berkata berilah makan atau minum akan untanya putera Khalifah.” Beliau mengatakan demikian dengan perasaan yang sangat kesal, karena tidaklah adil kalauunta itu gemuk disebabkan karena orang banyak menghormati puteranya Khalifah. Akhirnya Saidina Umar berkata: “Hai Abdullah! Juallah lekas untamu ini, ambillah sekadar modal pembelian kamu dulu, sedang uang selebihnya yang menjadi keuntungan,haruslah kamu serahkan kepada Baitul Mal (Kas Negara) menjadi miliknya negara danumat Islam seluruhnya.”-1)

“Ada lagi yang lebih menarik hati, ialah riwayat Daimuri dari Malik bin Aus bin Hadstan. Sewaktu delegasi Kaisar Romawi datang menghadap Khalifah II Umar bin Khattab, kesempatan yang baik ini dipergunakan oleh isteri beliau. 

Dia meminjam uang sedinar untuk membeli satu botol minyak wangi yang akan dikirimkannya sebagai bingkisan persahabatan kepada permaisuri Kaisar Romawi. Dengan tidak disangka-sangka,setelah Kaisar Romawi itu datang lagi buat kedua kalinya, mereka membawa satu bingkisan dari permaisuri Kaisar untuk isteri Khalifah, sebagi balas tanda persahabatan. 

Apakah bingkisan itu? Ialah botol minyak wangi dulu berganti dengan sebotol permata berlian yang sangat mahal harganya. Sewaktu itu dipersembahkan kepada Khalifah dan disampaikan bahwa kiriman itu adalah untuk isteri baginda, maka baginda suruh buka. Setelah baginda melihat isinya yang sangat berharga itu, dengan sangatterkejut baginda berkata:“Apakah ini?”

“Kiriman permaisuri Romawi kepada isteri Tuanku, sebagai balas tanda persahabatan yang baik.”Baginda memanggil isterinya seraya menanyakan bagaimana asal usul kiriman bingkisan itu. Setelah dimaklumi oleh baginda akan kejadiannya, mengertilah baginda bahwa balasan bingkisan itu tidaklah sepadan dengan pokok kiriman dulu, ialah sebotol permata berlian dengan sebotol minyak wangi.Hukum keadilan tidaklah mengizinkan kalau semua berlian itu diserahkan kepada isterinya. 

Kelebihan harga bingkisan balasan itu lain tidak adalah karena menghargakan isterinya sebagai isteri seorang Khalifah, Kepala Negara Islam. Baginda memerintahkan supaya segala berlian itu dijual semuanya. Sekadar harga minyak wangi yang dikirim dulu, diserahkannya kepada isterinya, sedang selebihnya yang berlipat ganda banyaknya itu dimasukkan baginda ke dalam Baitul Mal, Kas Negara.”-2)

Demikianlah political philosophy atau philosophy of government sebagai tanggapan tujuan Islam membakar kehidupan setiap muslim yang, “penaka kilat mendahuluiguntur,”-3) bergeledek dalam kegiatan hidup sehari-hari. Kegiatan hidup muslim di masa

1.Z. A. Ahmad,Op. Cit., hal. 49 et seq.
2.Ibid., hal. 50et seq
3.Moh. Iqbal,Op. Cit., hal. 16


Umar bin Khattab adalah guntur dari kilat “asas pokok persamaan dalam bentuk atau susunannya yang seperti Organisme.” “Kalau saya tidak dapat menolong rakyatku lagihanya dengan jalan memasukkan kepada tiap-tiap rumah sebanyak jumlah keluarga yang menghuni rumah itu, hingga dengan demikian mereka akan mengambil seperdua dari makanan keluarga yang berada di rumah itu,” demikian pendirian politik Umar binKhattab, yang berkata selanjutnya, “maka akan kukerjakan semacam itu, sampai Tuhan mendatangkan kelapangan, karena aku yakin bahwa orang belum akan tewas dengan memakan separo makanannya yang biasa.”-1)
Kilat itu terus menyala menyinari seluruhhidup dalam berbagai-bagai kegiatan. Teori dan praktek menjadi harmonis, tidak adaparadoksal. Itulah api sebagai kekuatan yang membangkitkan dunia Islam sehingga seluruh dunia menjadi bangun karenanya.Sungguh tidak cukup pena dan tinta untuk melukiskan kilat atau kebenaran Allah,yang setelah menyelinap kemudian terus-menerus terpancar lagi dalam kegiatan sehari-hari dari hidup Umar bin Khattab. Api Allah yang telah membakar kepribadian Muhammad bin Abdullah, “telah diberikan selebihnya kepada Umar bin Khattab.”-2)
Apakah sebab-sebabnya maka, selanjutnya, umat Islam dalam arus sejarah perkembangan sosial terus menerus berpecah-belah dan akhirnya terjerembab di tepi samudera penghinaan, bagaikan pasir di tepi pantai? Dengan hancurnya Nasionalisme Quraisy dalam tahun 632 M maka pemeluk-pemeluk Islam menjadi massal. Mereka, sisa-sisa Nasionalis Quraisy, menerima Islam bukannya dengan kesadaran yang membulat,tetapi karena tidak ada jalan lain atau hanya menyesuaikan diri saja, “tidak sepenuhhati”, kata Ahmad Shalaby. 

Dengan demikian terdapatlah massal umat Islam, yang tanggapan tujuan umat Islam tidak pernah ada “kekuatannya” dalam kesadaran mereka.Ke-Islam-an mereka tidak memiliki kesadaran tujuan Islam yang bulat. Dengan demikian masyarakat Islam sudah dihinggapi oleh penyakit kejahilan tujuan. Tidak ada kata-kata lain yang lebih tepat untuk menggambar keadaan itu selain ucapan Saidina Ali bin AbiThalib sendiri: “Seluruh penjuru sudah gelap gulita, dan segala keadaan sudah berubah mukanya.”-3)
Sebaliknya, keadaan yang demikian tidak pernah mengakibatkan chaos, tetapi dapat ditertibkan di zamannya Khalifah Abu Bakar dan Umar bin Khattab, disebabkan oleh karena adanya “satu golongan manusia yang cukup kuat terikat oleh tanggapan tujuan Islam,”-4) sehingga walaupun “jumlahnya kecil dapat menguasai massa yang banyak jumlahnya.”-5)
“Perang Yamamah yang meminta korban 1200 orang -termasuk di antaranya 73 orang sahabat yang besar-besar-”-6)dan akhir sekali hilangnya Abu Bakar dan Umar binKhattab dapatlah dikatakan bahwa dengan peristiwa-peristiwa tersebut masyarakat Islam ketika itu telah hilang kesetimbangannya sebagai syarat mutlak yang diperlukan bagi dapat terujudnya tujuan Islam. 

Dengan demikian kemungkinan timbulnya, yang tadidisebut ‘segala keadaan sudah berubah mukanya’, sudah tidak dapat dihindarkan lagi.Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib, selanjutnya, hanya merupakan dua pelita saja di dalam ‘seluruh penjuru … gelap gulita’. Masyarakat Islam dan seluruh anggotanya diliputi kabut malam, ‘gelap gulita’ yang menutupi pandangan terhadap sinar surya…….

1.Ahmad Shalaby,Op. Cit., hal. 142.
2.M. Zainuddin cs,Shahih Bukhari, jilid I, terjemahan, hal. 29 dan 36.
3.Z. A. Ahmad,Op. Cit., hal. 293.
4.QS. Ali Imran ayat 104.
5.QS. al-Baqarah ayat 249.
6.Ahmad Shalaby,Op. Cit., hal. 122 et seq.
tujuan Islam, yang semestinya harus disinari oleh beribu-ribu bintang-bintang yang gemerlapan, dalam menantikan sinar surya di esok pagi. Peristiwa-peristiwa yang terjadidi masa Khalifah Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib cukup memberi penjelasan terhadap persoalan ini.Masyarakat Islam -sepeninggalan Nabi Muhammad, Abu Bakar dan Umar bin Khattab,dan oleh akibat perang Yamamah- telah menjadi terombang-ambing karena sudah hilangkesetimbangan sosialnya. Mulai dalam zaman Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib, dan selanjutnya, mesin sosial Islam tidak lagi berputar atas sumbu “asas pokok persamaan dalam bentuk atau susunannya yang seperti Organisme,” sehingga mengakibatkan‘berubah mukanya’. Sebab tujuan atau tanggapan tujuan itu telah lena dari kesadaran mereka. Seluruh kegiatan hidup mereka itu sudah tidak lagi disetir oleh ide tujuan hakiki, tetapi kini ia disetir oleh sesendok samin, sebutir korma, sekerat emas, dan olehemosi mabuk gila kehormatan. Kesadaran tujuan telah ciut -lepaslah semua rem-rem-dan oleh sebab itu melonjaklah kegiatan-kegiatan yang disebabkan oleh dorongan biologis. “Kehidupan menurut hukum sekunder,”

-1) yang telah dibina oleh Nabi Muhammaddan dilanjutkan oleh para sahabat, menjadi rusak dan kembali lagi kepada keadaan‘hukum primer’, keadaan jahiliah di mana elemen-elemen biologis semata-matalah yang menjadi dinamika hidup mereka. Di sinilah letaknya pokok pangkal kejatuhan dan kehancuran umat Islam dari kejayaannya.Di bawah pemerintahan Usman bin Affan hantu ‘gelap-gulita’ dari tujuan itu telahmulai memperlihatkan giginya dalam bentuk ‘birokrasi famili sistem’. Amanat Umar binKhattab, yang oleh Z.A. Ahmad dikatakan, “janganlah sekali-kali mengangkat familimereka”

-2)semata-mata, telah lena dari kesadaran mereka, dan hanya ambisi biologislah yang menonjol ke depan. Khalifah Usman -ibarat sebuah pelita di ‘gelap-gulita’- tidak berdaya apa-apa. 

Akhirnya Ali bin Abi Thalib pun mengalami nasib yang serupa. Malah lebih jauh lagi, kedua beliau tidak dapat luput terjerat oleh akibat-akibat tersebut.Keseluruhan umat Islam sudah terjerumus ke dalam lembah kebatilan sepenuhnya. Masyarakat umat Islam akan terus menerus tergelincir lebih dalam lagi dan oleh segala akibat-akibatnya. Tidak seorang pun, kelihatannya, dapat bebas dari kenyataan-kenyataan itu. Umat Islam sedang diliputi sejarah malam di mana sukar sekali munculnya bintang-bintang gemerlapan yang sanggup menerobos kegelapan tujuan itu.

Ceritera ‘gelap-gulita’ tujuan dari umat Islam akhirnya dikonstruksikan dalam lakon‘feodalisme dalam bentuk sosial piramida’ oleh Mu’awiyah dengan judul “DinastiMu`awiyah”. Menjelmalah kini sistem sosial piramida yang sangat bertentangan dengan‘asas pokok persamaan dalam bentuk atau susunannya yang seperti Organisme.’-3)

Mu’awiyah adalah seorang pemimpin ulung, orang yang mempunyai kemampuan lebih besar dari Lenin, Hitler, Musolini, malah lebih besar lagi dari Bung Karno,dsb.- karena kesanggupannya “telah membalik kebenaran dalam bentuk perujudannya yang batil”.-4)

Daging-daging, tulang-tulang dan darah-darah seluruh umat Islam telah dikorbankannya sebagai ongkos untuk membiayai anjing-anjing buruannya.

 Dan dengan demikian tanggapan tujuan umat Islam telah dirusakkan sepenuhnya dalam keseluruhan.Inilah pokok pangkal yang mengakibatkan umat Islam, akhirnya, terbelenggu dalam lembah kesesatan selama 14 abad, sampai sekarang ini.
 

1.Bu’itstu li utammima makarimal akhlaq, (al-Hadits, rawahu ….).
2.Z. A. Ahmad,Op. Cit., hal. 289.
3.QS. Ali Imran ayat 64; dan Hadist: al-Muslimuna ka rajulin wahid (rawahu …).
4.QS. al-Baqarah ayat 16, 175, dan QS. al-Ahzab ayat 36.
Dalam babak kedua -lakonnya tetap sama saja yaitu feodalisme dalam bentuk sosial-piramida- dipertunjukkanlah dengan judulnya “Abbasiyah” di atas panggung Mesopotomia. 

Dengan ini kerusakan pandangan hidup umat Islam bertambah-tambahparah lagi. Umat Islam kian lebih diliputi oleh kebingungan disebabkan oleh dua pertunjukan yang sama lakonnya, yaitu sama-sama feodalisme dalam bentuknya yang sosial piramida tetapi disutradarakan oleh dua saudara yang tujuannya saling menghancurkan yang satu terhadap yang lain, masing-masing di Bagdad dan Cordova.Dalam hubungan ini roman “Banjir Darah di Sungai Loire” dan “Bendera Hitam diKhurrasan” sungguh-sungguh sangat menarik hati. 

Hal yang demikian dengan tidak dapat disangsikan akan mempengaruhi seluruh literatur yang mempersoalkan Islam.Drama ‘gelap-gulita’ umat Islam belum berakhir. Babak terakhir dari lakon‘feodalisme dalam bentuk sosial piramida’ -menggantikan lakon sosial piramida ala Kristenisme- dipentaskan di atas panggung Selat Dardanela dan Selat Bosporus denganjudul “Usmaniyah”. 

Dan di atas panggung itu, mulai saat itu dan seterusnya sampai sekarang ini, mulailah dikibarkan bendera bulan-bintang menggantikan bendera yang bertulisan “La ilaha illallah, Muhammadur Rasulullah”. Kagum dan menggemparkan seluruh dunia, “seolah-olah Dunia Barat mau kiamat, menurut perasaan orang Barat,tetapi mereka tidak tahu,” demikian Bertrand Russel, filosuf Inggris berkata selanjutnya,“bahwa kemenangan-kemenangan umat Islam itu membawa peradaban baru,membangkitkan Eropa Modern.

” Demikianlah kata-kata yang keluar dari mulut Russel dalam ia berpolemik dengan seorang sarjana atom Amerika berkenaan dengan halnya ia duduk dalam Dewan Perdamaian Dunia.Di seling-seling pertunjukan itu, dan akhirnya, karena sudah lesu dan tidak berdayalagi massa umat Islam itu terpecah-belahlah, dan masing-masing firqah mereka digiringdan dihalau ke dalam kandang-kandang Liberalisme. Dan terserahlah kepada mereka masing-masing untuk menentukan nasib peruntungannya sendiri-sendiri.

Dalam dua hal kesemua mereka berjasa besar kepada umat manusia, dan harusbegitu besarkah ongkosnya? Pertama-tama mereka telah berhasil memindahkan isi al-Quran dan Sunnah Rasul ke dalam otak manusia sehingga atas dasar itu berkembanglah ilmu pengetahuan yang, melalui kebangkitan Eropa, kita miliki sekarang ini, sungguh pun arahnya telah sesat. 

Kedua, walaupun dengan jalan yang penuh tantangan dan celaan,mereka telah berjasa besar dalam menunaikan dakwah, menyampaikan kebenaran Allah kepada seluruh manusia, sehingga di dalam tubuh masing-masing kita, di seluruh pelosok dunia, sekarang ini, mengalir dan mendesir irama Islam, kendati pun penuh kekaburan dan bercampur khurafat.

 Quran dan Sunnah Rasul yang juga masih utuh dewasa ini dapat kita baca kembali -apakah memang ada dalam senandung mereka?- semoga dengan itukita dapat menggali kembali api Islam yang sebenarnya dikurniai oleh Allah kepada umat manusia.

Dalam keadaan yang demikianlah Islam masuk ke Indonesia. Dan oleh karena hal yang demikian pula, Islam diterima dengan kekaburan dan khurafat, maka di Indonesiapun kehidupan umat Islam menjelma dalam bentuk sosial piramida. Sejarah Mataram,Demak, Banten, Iskandar Muda, Imam Bonjol, Hasanuddin, dan sebagainya, cukuplah memberi penjelasan untuk hal yang dimaksud.Lebih jelas lagi, betapa kaburnya tanggapan umat Islam terhadap tujuan Islam-berlaku di seluruh dunia dan tidak kecuali Mesir dan Arabia- ialah jika kita perhatikanliteratur-literatur yang mereka tinggalkan. Kita belum pernah menemukannya, gambaran cita-sosial yang menjadi tujuan Islam, seperti yang kita kemukakan terdahulu, sebagai lambang dari yang hidup dalam pikiran mereka itu. Kitab-kitab apa pun yang di bacamaka akan jelas terlihatlah betapa pandangan para penulisnya pecah berderai. 

Cita-sosial Islam sebagai tumpuan pokok, ke dalam mana seharusnya disusur-galurkan segalabentuk kegiatan yang diharuskan dan dibolehkan, tidak pernah terlihat dalam pandangan mereka. Dan akibatnya ialah bahwa, akhirnya, pandangan mereka terjerumus ke dalam keping-keping, yang satu sama lain sama sekali hubungannya terputus dari tumpuan pokoknya, menyebabkan gambarannya itu tidak mempunyai harga dan nilai menurut pandangan Islam yang bulat. 

Di atas dasar itulah political philosophy dari kenyataan sosial umat Islam berputar dan berkisar. Akan berputar dan berkisar ke dalam perujudan sosial piramida. 

Dan akhirnya sandiwara ‘feodalisme dalam bentuk yang sosial piramida’dari umat Islam di Indonesia pun berkesudahan bagaikan kambing-kambing yang dihalau dan digiring ke dalam kandang-kandang singa Liberalisme.Dalam satu hal ke semua mereka yang di Indonesia pun berjasa besar sehingga kita sebagai cucu-cucunya sekarang ini telah memiliki Islam, dengan Quran dan Sunnah Rasul-Nya yang masih utuh sebagai sedia kala, meskipun pengertian kita tentang hal itu penuhkekaburan dan bercampur khurafat. 

Keterangan-keterangan tentang hal tersebut kian menjadi lebih jelas jika kita memperlajari sejarah perjuangan umat Islam di Indonesia beserta faktor-faktor yang dihadapinya.Penduduk Indonesia 90% terdiri dan atau mengaku beragama Islam. Tetapi hasil pemilihan umum tahun 1955 di mana partai-partai Islam hanya mendapat suara 40% saja sudah cukup menjadi bukti, betapa adanya kejahilan tujuan yang massal pada tubuh umat Islam di Indonesia. Semboyan tujuan partai-partai Islam -jika kita ambil pendiriandi atas sebagai ukuran- sudah cukup pula menjadi bukti betapa ‘gelap gulita’-nya tujuanyang sekarang ini menjerat kehidupan umat Islam di Indonesia. 

Di sinilah letaknya pokok pangkal kekalahan menyolok yang diderita oleh umat Islam di Indonesia, juga di seluruh dunia. Dan untuk lebih memperjelas pendapat kita tentang hal yang dimaksud marilahkita mengambil beberapa literatur -sebagai gambaran dari apa yang hidup dalam pikiran penulisnya mewakili atau membimbing publik opini- sebagai sasaran kita.“Makna ideologi: pandangan hidup, dasar pendirian, dasar paham tentang penghidupan manusia, masyarakat, negara, dunia dan akhirat.”-1)

Dengan demikian maka ideologi Islam ialah pandangan hidup, dasar paham tentang penghidupan manusia,masyarakat, negara, dunia dan akhirat, menurut Islam. “Bagaimanakah masyarakat yangdituju umat Islam?” Tanya Z.A. Ahmad.-2)

Jawabnya “Ialah Masyarakat Darul Islam atau Baldatun thayyibatun warabbun ghafur .” Dan pada bagian lain-3)
diuraikannyalah bahwa“Jika semuanya kita simpulkan,” demikian katanya selanjutnya, “maka terpakailah beberapa perkataan yang menuju kepada dua lapangan:
1.lapangan politik didapat dalam perkataan khilafah, dan
2.lapangan sosial dan ekonomi, didapat dalam perkataan ‘Darul Islam’ danperkataan ‘

Baldatun thayyibatun warabbun ghafur
’.”Pada bagian ke IV pasal 3, “Ideologi Islam” halaman 154 dari bukunya tersebut Z.A.Ahmad berceritera: “Ideologi negara yang dibawa oleh agama Islam bukanlah satuideologi yang terbatas, yang hanya untuk kepentingan nasional Arab. Ideologi Islamadalah suatu ideologi internasional. Dia bisa dipegang dan dipraktekkan oleh segala bangsa, baik untuk bangsanya masing-masing, maupun untuk organisasi kenegaraan, yang…..

1.Adinegoro, Ensiklopedi Indonesia(Jakarta: Penerbit Bulan Bintang, 1954), hal. 168.
2.Z. A. Ahmad,Op. Cit., hal. 29.
3.Ibid., hal. 27 et seq.
meliputi seluruh dunia internasional. Bangsa Arab dengan bangsa ajam, kulit putih dengan kulit hitam, kuning, merah dan sawo matang, semuanya memiliki ideologi negara dari Islam itu.”Apakah yang dimaksud dengan “Darul Islam” atau “Baldatun thayyibatun warabbun ghafur ” itu sebagai ‘pandangan hidup, paham tentang penghidupan manusia dan masyarakat’?

Pada halaman 27, Z.A. Ahmad berceritera lagi bahwa “Baldatun thayyibatun warabbun ghafur (negara yang aman makmur dengan ampunan Tuhan), …menceriterakan bangsa Saba’ di zaman purbakala. Mereka telah hidup di dalam kenikmatan dan kemakmuran, aman dan senang sentosa, berkat keteguhan mereka beragama dan bernegara.” Dengan demikian masyarakat Islam yang dimaksud, bagi Z.A.Ahmad, adalah seperti masyarakat Saba’, yang hidup kira-kira 1000 tahun Sebelum-Masehi. 

Bagainamakah masyarakat Saba’ itu dan atas pola apakah ia berkisar? Atastumpuan Kapitalisme-kah, Komunisme-kah, atau Nasionalisme-kah, yang menjadi political philosophy mereka? Dalam hal ini kita tidak memperoleh jawaban dalam bukuZ.A. Ahmad.Dan di lain pihak kita mendapat kesimpulan bahwa, menurut pandangan Z.A.Ahmad, negara dan masyarakat adalah identik. Dengan demikian, sebagai telah kita buktikan terdahulu -Madinatul Munawwarah sebagai “perjanjian antara para mukminin dan muslimin dari suku Quraisy dan antara penduduk Yatsrib beserta pengikut-pengikutnya yang menggabungkan diri kepada mereka”

-1 atau “Negara sebagai ikatan golongan”

-2 saudara kita itu tidak mempunyai kemampuan yang cukup untuk membeda-bedakan Negara Islam sebagai alat dan satu pergaulan hidup “yang seperti organisme”-3 atas asas “pokok persamaan,

-4 satu “sistem perdamaian hidup,”

-5 yang menjadi tujuan Islam, yang dibawa oleh Muhammad, yang menjadi senandung hidup setiap Muslim, yang untuk tujuan itu diperlukan negara, yaitu Negara Islam sebagai alatnya di mana lembaga pemerintahan hanyalah salah satu saja dalam sistem Islam keseluruhannya, yang tediridari berbagai-bagai lembaga. Oleh karena itu maka dalil “Darul Islam” atau “Baldatun thayyibatun warabbun ghafur ” hanyalah satu petitio principii. 

Pada tempat ini “sdr. Z.A.Ahmad” membuat kesalahan secara ‘konteoritis’ yang pokok dengan menarik kesimpulan dari ‘zijns-oordeel’ hingga kepada ‘waarderings-oordeel’, dan dengan demikian tidakcukup membeda-bedakan antara-6 alat dan apa yang menjadi tujuannya. Dan oleh kesalahan yang pokok ini, sebagai terlihat hampir dalam keseluruhan uraiannya,menyebabkan pandangannya itu terombang-ambing oleh pengaruh lingkungan yang menuntutnya untuk memberi jawaban.


Dalam bentuk atau susunan yang bagaimanakah kegiatan “Darul Islam” atau “Baldatun thayyibatun warabbun ghafur” itu “harus dijalin di dalam sarang grup keseluruhannya … sebagaimana halnya laba-laba menenun suteranya,”-7) yang oleh MacIver dikatakan “the very texture of human society .” Dengan lain perkataan, apa dan bagaimana mitos “Darul Islam” atau “

Baldatun thayyibatun warabbun ghafur ” itu? Berdasarkan pola Universal-Individualisme-kah, Organisme-Komunistis-kah, atau berdasarkan pola Nasionalisme-kah? Jawaban dari pertanyaan tersebut tidak pernah kita jumpai di dalam bukunya itu.

1.Z. A. Ahmad,Op. Cit., hal. 29.
2.Kranenburg,Op. Cit., hal. 47.
3.al-Muslimuna ka rajulin wahid ….(al-Hadits, rawahu …).
4.QS. Ali Imran ayat 64.
5.QS. Muhammad ayat 35 dan QS. al-Maidah ayat 3.
6.Kranenburg,Op. Cit., hal. 12.
7.R.M. Mac Iver,Op. Cit , hal. 5.


Di satu pihak ia tidak pernah mengemukakan pandangan atas dasar polanya tersendiri, yang dimaksud ialah Islam. Di lain pihak secara negatif dengan gigih iamenolak segala pola-pola yang lain. Dengan demikian menjadi jelaslah betapa terombang-ambingnya pandanganannya itu.Sebagai anak dari zamannya Z.A. Ahmad dihadapi oleh bermacam-macam mitos,Nasionalisme, Liberalisme dan Marxisme. “Perang tak lain dan tak bukan,” demikian kataKarl von Clausewitz selanjutnya, “adalah lanjutan daripada politik dengan cara-cara lain.”-1)

Oleh sebab itu maka pertarungan politik dapat dikatakan sebagai perang ideologi.

Dan karenanya Z.A. Ahmad sebagai seorang politisi, seorang prajurit di medanpertempuran ideologi, adalah ibarat seorang prajurit di medan pertempuran, yangbaginya tidak mempunyai tanggapan tujuan yang jelas, untuk apa, bagaimana dan dalam bentuk situasi apakah, ia harus menghadapi musuhnya. Pandangannya terus terombang-ambing dan dengan demikian seluruh strategi dan taktik serta segala tembakannya pasti tidak dapat mengenai sasaran yang dituju. 

Oleh sebab itu maka segala aktifitasnya pun hanyalah semata-mata reaksioner, segala aksi dan kegiatan yang bukan dibimbing oleh kesadaran tujuan, yang seperti Organisme atas asas pokok persamaan di Wajah Allah.Sikap hidup sehari-hari sebagai seorang politisi, pendukung ideologi yang semestinya,saya kira, sudah cukup untuk memberi penjelasan bagi hal yang dimaksud, yaitu “satutitik berat yang sangat tergantung dari kedudukan sosial pembela”-2)
pandangan itusendiri.Apakah kenyataan yang dihadapi sekarang ini? Dan bagaimanakah jalan keluar dari padanya untuk sampai kepada apa yang ditujui? 

Dalam Pembuka Kata Z.A. Ahmad menegaskan: “bahwa zaman kita ini adalah Zaman Jahiliah modern.” “Menurut pendapat saya” katanya lagi di bagian lain, “Republik Indonesia yang kita miliki sekarang yang sudah kita perjuangkan lebih 10 tahun lamanya mempunyai cukup syarat-syarat untuk mencapai cita-cita Islam. 

Hampir dalam segala lapangan, negara dan masyarakat kita mempunyai bakat dan syarat yang cukup untuk menjadi dasar bagi pembentukan Negara Islam.” Dengan demikian menjadi jelas pula bahwa pembentukan Negara Islam sebagai“ Ja-al haqqu wazahaqal bathil …,” bagi Z.A. Ahmad, bukan berdasarkan “ Al haqqu minrabbika fala takunanna minal mumtarin,” tetapi berdasarkan “Hampir dalam segala lapangan, negara dan masyarakat kita mempunyai bakat dan syarat yang cukup untuk menjadi dasar.” “Satu petitio principii,” untuk mempertahankan dan untuk terus hendak melanjutkan kesesatan yang menyesatkan. 

Dan ayat-ayat Allah pada Surat al-Muddatstsir(1,2,3, dst.), Surat Ali Imran ayat 60, Surat al-Baqarah ayat 147 dan surat Bani Israil ayat81 dan 82, sudah tidak pernah terlihat menyala di dalam pandangannya itu, sehingga ucapannya sendiri, yang tadi saya sebut, “Bahwa zaman kita ini adalah Zaman Jahiliah modern” hendak dijadikan dasar evolusional bagi pembentukan Negara Islam. Sungguh satu pandangan yang cukup menyesatkan, tidak tahu diri di mana ia berada, apa yang dihadapi dan dengan ukuran apa seharusnya ia berbuat.Kelihat kepada Kata-kata Sambutan,_3) yang diberikan oleh tokoh-tokoh politik -yang hampir kesemuanya adalah pemimpin-pemimpin dari semua partai-partai Islam- yang,antara lain mengatakan:

 “Tulisan sdr. Zainal Abidin Ahmad ini akan memenuhi hajat dari pada masyarakat kita yang mulai sadar akan kewajibannya sebagai warga negara Republik Indonesia dan sebagai muslimin yang ingin menumpahkan kecintaannya kepada tanah air dengan berusaha aktif dalam pembinaan negara kita ini ‘negara yang adil dan makmur, serta diliputi keridhaan Ilahi’,” demikian tulis M.Natsir, menyambut baik………
 

1.Karl von Clausewitz,Tentang Perang , terj. R. Soesatyo, Mayor Inf (Jakata: Penerbit Pembimbing), hal. 127.
2.P.J. Bouman,Op. Cit., hal. 158.
3.Z.A. Ahmad,Op. Cit., hal. 5 et seqq


pandangan tersebut, yang penuh kekaburan, maka dapat dipastikan bahwa pandangan tersebut jualah yang menjadi anutan partai-partai Islam di Indonesia. Itulah yang kita maksdukan dengan perkataan “umat Islam seumumnya, khususnya yang di Indonesia,sedang diliputi oleh kejahilan massal terhadap tujuan.” Atau jika hendak kita meminjamkan kata-kata Saidina Ali bin Abi Thalib, yang di atas telah pernah kita sitir,mengatakan: “Seluruh penjuru sudah gelap-gulita, dan seluruh keadaan telah berubah muka.

”Buku Z.A. Ahmad “Membentuk Negara Islam”, dipandang dari sudut zamannya,tidak mempunyai standar ilmiah. Malah menyesatkan pandangan umat dari yang semestinya menurut Quran dan Sunnah Rasul. Tetapi sebagai kumpulan bahan-bahan,yang masih harus diteliti lagi sebagiannya, buku tersebut banyak gunanya bagi semua orang yang ingin memperdalam studinya tentang Islam. Pandangan dalam buku tersebut,“Membentuk Negara Islam”, sangat berat sebelah, yaitu terlalu terpesona dengan dayaalat sehingga hampir sama sekali melupakan apa yang menjadi tujuan dari alat itusendiri. Satu pandangan yang “separo benar, lantaran itu: tidak benar.”-1)

Satu buku, yang mencerminkan tanggapan umat Islam di luar Indonesia, yang dalam hubungannya dewasa ini menjadi bahan studi di Indonesia ialah “Masyarakat Islam”,karangan Prof. Dr.Ahmad Shalaby terjemahan Prof. Muchtar Yahya.

Dalam Kata Pendahuluannya kita dapat membaca pandangan penulisnya mengenai kualifikasi beliau terhadap ‘tanggapan tujuan Islam di Indonesia’, yang pada klimaksnya terpancarlah ego-Mesir-nya dalam perkataanya “Bagaimanakah jalannya bagiku untuk ikut serta bersama-sama dengan pembahas-pembahas dari bangsa Indonesia buat memperlihatkan kebaikan-kebaikan Islam dan melukiskan prinsip-prinsipnya yang ramahitu? Bagaimanakah jalannya bagiku untuk menyokong tenaga bermilyun pemuda Islam yang telah bangkit dengan imannya yang penuh, dan persatuan yang kokoh, serta tekad yang kuat menuju ke arah tujuan Islam yang diidam-idamkan?”-2)

Dipandang dari sudut sistematik, buku tersebut cukup rapi susunannya. Tetapi pandangannya dalam menguraikan sangat terpesona oleh yang detail, sehingga “arah tujuan Islam yang diidam-idamkan” sebagai tumpuan pokok, yang tadi kita sebut ‘thevery texture of human society ,’ yaitu mitosnya, menjadi kabur sama sekali. Cara meninjau (1) memandang keseluruhan dengan tidak melupakan bagian-bagiannya, atau(2) memandang bagiannya dalam keseluruhan, tampaknya tidak berlaku pada pemikiran Ahmad Shalaby. 

Sehingga uraiannya terlalu menjurus ke dalam detail, yang tidak terjalin dan atau hampir-hampir tidak ada hubungan dalam pokok keseluruhannya. Di sinilah letaknya kekeliruan yang mengacaukan pandangan Ahmad Shalaby sehingga beliau terus bertele-tele dengan spesifik yang membangkitkan emosi belaka.

Dalam Bab I, menurut sistematik bukunya, Ahmad Shalaby mengemukakan “AgamaKristen di negeri Romawi dan Eropa,” “Kehidupan di Persia” … dan “Bangsa Arab,” dimana sebab-sebab dari kenyataan sosial di kala Muhammad datang, katanya, “adalah agama Kristen, agama-agama Manu dan Masdak sebagai penyelewengan dari Zoroaster-isme, dan tradisi-tradisi yang jelek dari bangsa Arab.” Padahal semua orang mengetahui bahwa oleh peristiwa Alaric dalam tahun 476 M di mana Agustinus telah mengemukakan teori pemisahan antara agama dan negara dan di atas dasar mana barulah agama Kristen………..

1.Mohd. Natsir,Capita Selecta, hal. 63.
2.Ahmad Shalaby,Op. Cit., hal 10.

diterima atau dianut oleh pembesar-pembesar Romawi. Oleh sebab itu, berdasarkan keterangan dalam bagian ke 2 dari buku ini, menjadi jelaslah bahwa Ahmad Shalaby tidak mempunyai kemampuan untuk memahami bahwa political philosophy dari kenyataansosial terhadap mana Muhammad diutus oleh Allah, adalah -bukan agama Kristen sebagai pokoknya- tetapi perpaduan dari peradaban Yunani, yang menjurus ke dalam dua pola,yang pertama Universalis-Naturalisme dalam bentuknya yang tertinggi Individualisme berpadu dengan Kristen, yang menjurus ke Idealisme, dan di atas pola mana tegaklah Romawi. 

Yang ke dua Materialisme Aristoteles, yang melalui Alexander the Great,menjalar ke Timur Tengah, dan ke dalam mana sebagai wadah diisilah Zoroaster-isme dll., sehingga di atas pola itu tampillah Persia Baru. Dan faktor yang ke tiga ialah Nasionalisme, sebagai takrif terdahulu. Tumpuan atau pola-pola yang kita kemukakan itu agaknya tidak pernah beradu dengan kesadaran Ahmad Shalaby, sehingga kelihatanlah bahwa beliau terlalu serampangan saja dalam menguraikan hal yang dimaksud.Dalam Bab II.

 “Pembentukan Pribadi Muslim” ia mengatakan: “Masyarakat Islam mula-mula terbentuk di Madinah.”-1) “Ada satu hal yang penting yang mulai timbul sejak di Mekkah,” katanya lagi,“Yakni pembentukan pribadi muslim yang kelak merupakan unsur bagi pembentukan masyarakat Islam. Dan pembentukan pribadi muslim di Mekkah itu adalah satu proses yang sangat penting dalam sejarah.”“Dari mata pedang ke jalan damai.

”“Dari kekuatan ke undang-undang.”“Dari balas dendam ke hukum pampasan (qishash).”“Dari serba halal ke kesucian.”“Dari sifat suka merampas ke kepercayaan.”“Dari sifat suka mengasingkan diri ke arah dapat menguasai negeri Persi dan Romawi.”“Dari kehidupan kesukuan berganti dengan rasa tanggung jawab pribadi.”“Dari penyembahan berhala ke ‘Akidah Tauhid’.”“Dari memandang rendah kaum wanita menjadi pemuliaannya.”“Dari sistem berkasta-kasta ke persamaan.”


Apa yang dikemukakan di atas sudah merupakan kepastian sejarah dan kenyataan yang relatif, berdasarkan tebal atau tipisnya iman seseorang, menjadi tetap. Tetapi satupertanyaan yang sangat fundamental, yang tidak pernah kita temui jawabannya di dalam buku Ahmad Shalaby ialah, ke arah pola atau tumpuan apakah proses itu tertuju?”

 “Kepersamaan”, kata Ahmad Shalaby. Apakah polanya “persamaan” itu? Yang di dalam bagian ke 2 dari buku ini telah kita kemukakan bahwa “susunan masyarakat Islam adalah seperti Organisme atas dasar asas pokok persamaan di Wajah Allah,” kelihatannya tidak pernah beradu dengan kesadaran Ahmad Shalaby, sehingga gaya berpikirnya pun terus menerawang tanpa mempunyai tumpuan pasti. 

Terlepasnya pengertian ini dari kesadaran Ahmad Shalaby menyebabkan pandangan dan tinjauannya kacau balau, yang sebenarnya menurut sistematiknya sudah teratur rapi.Sebagai anak dari zamannya Ahmad Shalaby termasuk generasi yang sepenuhnya“mengalami akibat-akibat Liberalisme di mana perkembangan Marxisme memberi daya balik bagi kebangkitan Nasionalisme, yang di bawah purnamanya sebagai sinar balik menggelorakan kesadaran kembali kepada ciri-ciri Islam,”-2) yang hampir-hampir sudah……..

1.Ibid., hal. 20 et seqq.
2.Perhatikanlah QS. ar-Ruum ayat 41 dan QS. al-Hujurat ayat 5-6.
lepas sama sekali dari tumpuan pokoknya. Pandangan Gamal Abdul Naser, NasionalismeArab yang tulen, adalah contoh yang baik sekali untuk penjelasan soal ini. 

Dan mengingat Ahmad Shalaby adalah pendukung yang paling konsekwen dari Naser-isme maka ke dalam hubungan ini pulalah harus kita pertautkan sebab-sebab kacau-balaunya pemikirannya,yang terombang ambing oleh Nasionalisme, anti-Liberalisme dan anti-Marxisme, tetapi tidak mampu menemui tumpuan pokok atau polanya sendiri, yang dimaksud ialah Islam.Dalam beberapa hal, baik Ahmad Shalaby maupun Z.A. Ahmad, cukup berjasa karena karyanya itu telah mengumpulkan bahan-bahan yang sangat penting sekali bagi siapa saja yang mempunyai keinginan untuk memperdalam studi tentang Islam. 

Dan untuk itu kita semua harus berterima kasih atas segala jasa-jasa mereka.Dipandang dari sudut zamannya juga, buku “Islam dan Sosialisme” karangan H.O.S.Tjokroaminoto sungguh sangat mengagumkan. Tjokroaminoto adalah anak dari zamannya, yaitu zaman dahsyatnya penindasan oleh Liberalisme di mana response Marxisme mendapat tanah yang paling subur bagi aspirasi kebangkitan Nasionalisme.Dalam suasana itulah Tjokroaminoto hidup, bergerak sebagai challenge yang diminta olehlingkungan hidupnya.

Dari kalimat “bahwa sekalian anak Adam itu ialah anggotanya satu badan yang beraturan (organisch ligaam), karena mereka itu telah dijadikan dari pada tubuh yangsatu asal. Apabila salah satu anggotanya mendapat sakit, maka sakitnya itu menjadikan rusak teraturnya segenap badan (Organisme),”-1) kita memperoleh penjelasan yang sangat berguna dari keterangan mana dapat ditarik kesimpulan bahwa mitos-sosiologis Islambagi H.O.S. Tjokroaminoto ialah Organisme. 

Dengan demikian beliau sama sekali terpengaruh oleh ajaran Marxisme, yang merupakan lanjutan dari ajaran Organisme,sehingga dalam usahanya memperbandingkan Sosialisme dan Islam, yang sebenarnya hendak menggambarkan Islam, tetapi akhirnya tanpa disadari beliau sendiri telah tersesat ke dalam dan atau berpegang kepada pandangan Organisme oleh sikapnya yang tidak bisa ditawar anti Kapitalisme.Dari sudut yang pokok ini “the very texture of human society ,” yaitu mitos sosialIslam, yang tadi kita sebut “seperti Organisme atas dasar asas pokok persamaan di Wajah-Allah,” beliau telah membuat kesalahan yang besar sekali. Yaitu, pertama, telah menjadikan suatu unsur, yang semestinya hanya bagian dari padanya, menjadi tumpuan pokok atau polanya. Kedua, tumpuan pokok itu yang dibuat menurutkan kemauannya sendiri itu yaitu “Kanannasu ummatan wahidatan,” kemudian diuraikannya dengan sepotong dari Hadits “idzasytaka ‘udhwun isytaka sairul jasadi kullihi bissahariwalhuma,” yang pokoknya Hadits “al-muslimuna kaljasadil wahid ,” telah dibuang sama sekali, sehingga dengan jalan begitu terbentuklah pandangannya yang Organisme itu.Satu kesalahan yang cukup besar, kesesatan yang menyesatkan keseluruhannya. 

Dan akibatnya pun jauh sekali sehingga “haruslah perusahaan-perusahaan menuju maksud yang demikian, dilakukan oleh kerajaan (staat) dengan pengawasan sepenuhnya olehrakyat,”-2) persis identik dengan Komunisme. Oleh sebab itu dan jika dewasa ini kitamelihat ada beberapa di antara bekas kadernya bekerja sama atau mendukung Dewan Perdamaian Dunia (ciptaan Komunis) maka hal itu adalah konsekwensi yang logis dari ajaran Tjokroaminoto, yang cukup menyesatkan itu. Pandangan Tjokroaminoto lebih mengagumkan dibandingkan dengan pandangan Ahmad Shalaby, oleh karena ia ditulis dalam zaman yang berbeda, dan lebih-lebih…….

1.H.O.S. Tjokroaminoto, Islam dan Sosialisme, hal. 50 et seq.
2.Tafsir Program, Asas dan Program Tandhim
(Jakarta: Penerbit Pucuk Pimpinan P.S.I.I.), hal. 50 dan 51
mengagumkan lagi dibanding dengan pandangan Z.A. Ahmad. Bukunya, baik sistematik maupun mutunya, mempunyai standar ilmiah, sekali pun menyesatkan. 

Dan juga akan menyesatkan segenap orang yang membaca dan berpegang dengannya tanpa kritik.Namun demikian bahan-bahan yang dikumpulkan oleh Tjokroaminoto sebagai hasil karyanya sangat berguna sekali untuk melanjutkan studi tentang Islam.Ke semua itu, sebagai langgam dari tanggapan-tanggapan tujuan hingga sekarang ini, kiranya menjadi beralasanlah pendapat kami bahwa “Masyarakat umat Islam umumnya, yang di Indonesia khususnya, sedang diliputi oleh kejahilan massal terhadap tujuan.” Atau, jika hendak kita pakai ucapan Ali bin Abi Thalib, 


“Seluruh penjuru sudahgelap-gulita, dan ke segala keadaan sudah berubah muka.”Sebagai penutup dari uraian ini timbullah pertanyaan, apakah memang menjadi keharusan sejarah perkembangan manusia bahwa untuk dapat memahami sepenuhnya“yang seperti Organisme,” terlebih dahulu diperlukan satu tingkat perkembangan tertentu dari ‘yang Organisme’? Yang sudah pasti ialah “bahwa untuk dapat memahami Islam diperlukan suatu tingkat kecerdasan akal.”-1). author @qms_r.(by unnanoche)

Tags

Newsletter Signup

Sed ut perspiciatis unde omnis iste natus error sit voluptatem accusantium doloremque.