Akademisi IKJ: 'Kantata Takwa' Dianggap Film Aneh
Jakarta -
Seperempat abad berlalu, namun Bambang Supriadi,
Wakil Dekan Institut Kesenian Jakarta (IKJ) yang bertindak sebagai camera operator film Kantata Takwa, masih ingat pengalaman syuting dan menggarap film ini, mulai 1990.
Film itu, papar Bambang kepada CNN Indonesia melalui surel (26/6), melibatkan banyak sekali personel dari kalangan perfilman, juga akademisi Fakultas Film dan Televisi IKJ, termasuk alumni dan pendirinya.
“Soetomo Gandasoebrata, Chalid Arifin, para sinematografer kawakan seperti Soleh Ruslani, Tantra Suryadi, Harry Simon dan lain-lain,” paparnya. Dua nama yang disebut di awal itu sudah mangkat. Selain itu, juga ada sederet seniman musik dan teater.
“W.S.Rendra, Adi Kurdi dengan Bengkel Teater Rendra. Kemudian grup musik Kantata Takwa, seperti Iwan Fals, Sawung Jabo, Setiawan Djody, Yockie Suryoprayogo, Totok Tewel, Inisisri, Embong Rahardjo, Donny Fatah, Raidy Noor dan lain-lain.”
Film itu, papar Bambang kepada CNN Indonesia melalui surel (26/6), melibatkan banyak sekali personel dari kalangan perfilman, juga akademisi Fakultas Film dan Televisi IKJ, termasuk alumni dan pendirinya.
“Soetomo Gandasoebrata, Chalid Arifin, para sinematografer kawakan seperti Soleh Ruslani, Tantra Suryadi, Harry Simon dan lain-lain,” paparnya. Dua nama yang disebut di awal itu sudah mangkat. Selain itu, juga ada sederet seniman musik dan teater.
“W.S.Rendra, Adi Kurdi dengan Bengkel Teater Rendra. Kemudian grup musik Kantata Takwa, seperti Iwan Fals, Sawung Jabo, Setiawan Djody, Yockie Suryoprayogo, Totok Tewel, Inisisri, Embong Rahardjo, Donny Fatah, Raidy Noor dan lain-lain.”
|
Bambang menyebutkan, produksi film yang disutradarai Eros Djarot dan
Gotot Prakosa ini memakan waktu kurang lebih tiga bulan syuting.
Sementara rentang waktu pasca produksi sampai rilis sekitar 17 tahun.
Diproduksi pada 1991, dan dirilis pada 2008.
Untuk merekam aksi musikal-teatrikal grup band Kantata Takwa, tim sineas menggunakan sekitar sembilan kamera film 35 mm dan empat kamera film 16 mm—khususnya syuting konser di Gelora Bung Karno, pada 1991. Tak kurang 600 can film 400 feet digunakan.
Selesai digarap, pada 1991, tapi film Kantata Takwa baru dipertontonkan untuk umum pada 2008 di Blitz Megaplex, Jakarta. Terhitung ada rentang waktu sekitar 17 tahun, melewati tiga rezim presiden, dari Soeharto sampai Susilo Bambang Yudhoyono.
“Tanggapan dari pemerintah ya, netral-netral saja,” Bambang mengisahkan. “Sementara untuk umum ya, mungkin dianggap film yang aneh, karena memang berbeda dengan film-film mainstream.” Film ini tak seperti lazimnya film Hollywood yang mudah dicerna.
Sekalipun bukan penggemar Kantata Takwa, namun demi keperluan syuting, mau tak mau Bambang mendengarkan serta menghayati lagu-lagu grup band yang beranggotakan Iwan Fals, Setiawan Djody, Sawung Jabo, W.S. Rendra dan Yockie Suryoprayogo.
Lama-kelamaan, Bambang mengaku bisa menghayati dan menyenangi musik Kantata Takwa. “Saya pikir yang menonjol pada Kantata Takwa adalah muatan yang terdapat pada lirik serta garapan musiknya sama-sama memiliki bobot.”
Dikerjakan dengan penuh cinta, film ini pun akhirnya menuai apresiasi, antara lain meraih nominasi Hawaii International Film Festival 2008, nominasi Asian Cine Fan, New Delhi India. Di Tanah Air pun, film ini berjaya.
Selain ditabalkan sebagai 10 Film Dokumenter Musik Terbaik di Indonesia versi Majalah Rolling Stone Indonesia, juga penghargaan dari Jogya NETPAC Asian Film Festival, sebagai film terbaik Golden Hanoman Award Asia Pacific Screen Awards 2008.
Seolah sependapat dengan para juri ajang penganugerahan penghargaan itu, Bambang menyatakan, “Hampir di semua scene dalam film itu buat saya merupakan materi yang menarik, walaupun terkadang memang memiliki faktor kesulitan teknis.”
Di mata Bambang, setiap scene dalam film tersebut muncul sebagai ungkapan kreatif dan segar, juga memiliki konteks yang kuat. “Semua scene menantang untuk digarap,” kata Bambang yang berikutnya membuat film dokumenter 100 tahun jazz di Indonesia. (vga/vga/cnnindoensia)
Untuk merekam aksi musikal-teatrikal grup band Kantata Takwa, tim sineas menggunakan sekitar sembilan kamera film 35 mm dan empat kamera film 16 mm—khususnya syuting konser di Gelora Bung Karno, pada 1991. Tak kurang 600 can film 400 feet digunakan.
Selesai digarap, pada 1991, tapi film Kantata Takwa baru dipertontonkan untuk umum pada 2008 di Blitz Megaplex, Jakarta. Terhitung ada rentang waktu sekitar 17 tahun, melewati tiga rezim presiden, dari Soeharto sampai Susilo Bambang Yudhoyono.
“Tanggapan dari pemerintah ya, netral-netral saja,” Bambang mengisahkan. “Sementara untuk umum ya, mungkin dianggap film yang aneh, karena memang berbeda dengan film-film mainstream.” Film ini tak seperti lazimnya film Hollywood yang mudah dicerna.
Sekalipun bukan penggemar Kantata Takwa, namun demi keperluan syuting, mau tak mau Bambang mendengarkan serta menghayati lagu-lagu grup band yang beranggotakan Iwan Fals, Setiawan Djody, Sawung Jabo, W.S. Rendra dan Yockie Suryoprayogo.
Lama-kelamaan, Bambang mengaku bisa menghayati dan menyenangi musik Kantata Takwa. “Saya pikir yang menonjol pada Kantata Takwa adalah muatan yang terdapat pada lirik serta garapan musiknya sama-sama memiliki bobot.”
Dikerjakan dengan penuh cinta, film ini pun akhirnya menuai apresiasi, antara lain meraih nominasi Hawaii International Film Festival 2008, nominasi Asian Cine Fan, New Delhi India. Di Tanah Air pun, film ini berjaya.
Selain ditabalkan sebagai 10 Film Dokumenter Musik Terbaik di Indonesia versi Majalah Rolling Stone Indonesia, juga penghargaan dari Jogya NETPAC Asian Film Festival, sebagai film terbaik Golden Hanoman Award Asia Pacific Screen Awards 2008.
Seolah sependapat dengan para juri ajang penganugerahan penghargaan itu, Bambang menyatakan, “Hampir di semua scene dalam film itu buat saya merupakan materi yang menarik, walaupun terkadang memang memiliki faktor kesulitan teknis.”
Di mata Bambang, setiap scene dalam film tersebut muncul sebagai ungkapan kreatif dan segar, juga memiliki konteks yang kuat. “Semua scene menantang untuk digarap,” kata Bambang yang berikutnya membuat film dokumenter 100 tahun jazz di Indonesia. (vga/vga/cnnindoensia)