News Breaking
Live
wb_hadi

Breaking News

Demokrasi dan Konvensi Rakyat, Menyongsong 2014

Demokrasi dan Konvensi Rakyat, Menyongsong 2014


  The Jambi Times - Sejatinya, sistem demokrasi adalah pemerintahan yang dijalankan melalui sebuah diskusi publik atau penalaran publik (government by public discussion). Legitimasi kekuasaan hanya mungkin jika sambungan antara pemilik kedaulatan dan yang diamanatkan untuk berkuasa tetap tersambung. Jika sambungan itu terputus maka demokrasi yang berjalan sebenarnya tengah mengalami krisis paling mendasar. Sejak reformasi, sistem politik di negeri ini telah mengalami banyak perubahan.

Salah satu perubahan penting itu adalah sistem rekrutmen pemimpin, baik pada level nasional maupun level daerah. Kepala negara dan kepala daerah kini dipilih secara langsung oleh rakyat. Sistem ini tentu saja baik, dalam arti memungkinkan rakyat memilih pemimpin yang sesuai dengan aspirasi mereka secara langsung tanpa perwakilan. Rekrutmen pemimpin mulai bermasalah ketika calon yang diajukan justru tidak
merefleksikan aspirasi yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Hal ini tentu terkait dengan hak partai politik mengajukan dan menentukan calon pemimpin. Tentu saja partai politik memiliki klaim sah atas penentuan, karena dalam sistem demokrasi, partai menjadi mesin kaderisasi para eksekutor dan legislator.

Namun justru di situ letak masalahnya. Partai politik di Indonesia tidak menjalankan fungsi utamanya, yakni melahirkan para eksekutif dan legislatif yang berkualitas. Partai politik terjebak dalam perilaku memajang wajah tokoh populer, cantik atau kaya raya seraya menomorduakan fungsi utama kapasitas sang calon.

Maka tidak heran jika sistem demokrasi kita hanya menghasilkan para pemimpin dan pembuat undang-undang yang pandai bersolek layaknya seorang selebritis, namun gagap jika bicara tentang kebijakan publik yang mengabdi pada kebaikan bersama (common good). Kondisi partai politik semacam ini diperparah dengan kepemilikan kekuasaan yang besar oleh partai politik. Kekuasaan besar yang dimiliki oleh lembaga yang tidak berkualitas adalah sebuah bencana besar. Ini menjadi semacam penegasan ucapan Lord Acton, “power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely”. Maka tidaklah terlalu mengherankan jika sumber kerusakan negara banyak berasal dari kesalahan yang dilakukan oleh partai politik. Tidak ada cara lain bagi kita kecuali melakukan evaluasi. Memberikan kekuasaan yang besar kepada lembaga partai politik memiliki makna ganda. Itu “menyenangkan” karena para politisi memiliki kekuasaan besar, namun ia sekaligus juga menyengsarakan karena nasib bangsa ini diberikan kepada mereka yang tidak memiliki kapasitas untuk menanggungnya.

Menangkap Suara Publik Demokrasi bukan hanya sekadar pemilihan umum. Esensi demokrasi adalah menyambungkan putusan publik dengan publik itu sendiri. Dalam upaya itu, menangkap aspirasi dan masalah yang dihadapi oleh masyarakat, dan kemudian mencarikan solusi untuk mengatasi masalah menjadi hakikat dari kehidupan politik sebagai pengabdian pada common good. Sejauhmana politik di Indonesia melakukan tugas itu? Jika politik, yang dilembagakan oleh partai politik, tidak melakukan tugasnya maka sambungan antara publik dan putusan publik kemudian terputus. Pada titik inilah, publik atau masyarakat menjadi putus asa atas keberadaan lembaga politik yang tidak melakukan fungsinya. Orang menjadi skeptis terhadap semua yang berbau politik, karena politik tidak lebih dari sekadar jual-beli suara, bukan perjuangan suara.
Rekrutmen legislatif dan eksekutif pada 2014 tampaknya hanya menjadi arena besar jual-beli suara. Budaya politik di era reformasi belum menghadirkan budaya demokrasi yang berkualitas. Kepentingan dan aspirasi publik tidak dilihat sebagai demand yang menuntut partai politik memberikan supply seperti yang diminta publik. Yang terjadi justru kecenderungan memanipulasi agar demand masyarakat disesuaikan dengan supply yang bisa diberikan oleh partai politik. Maka tidak heran bila ada beberapa calon partai politik yang mencoba memaksakan stok yang mereka punya, namun sebenarnya tidak menjawab kebutuhan publik.

Bayangkan, dari 240 juta warga Indonesia, calon yang diajukan hanya itu-itu saja. Dengan kata lain, lu lagi, lu lagi. Apakah tidak ada orang yang kompeten di Indonesia? Masalahnya tidak terletak di situ! Ini terjadi karena hak rekrutmen dilakukan oleh lembaga politik yang tidak lagi memiliki sambungan antara publik dan putusan publik.

Cepat atau lambat, jika situasi ini terus berlangsung, masyarakat akan semakin anti terhadap praktik politik karena tidak menyuarakan aspirasi publik (sesuatu yang sebenarnya sudah terjadi!). Karena itu, langkah cepat harus dilakukan untuk menyelamatkan politik dari korsleting antara arus publik dan keputusan publik. Institusi-institusi politik harus menyambungkan “kabel” yang terputus. Ide mengenai konvensi rakyat untuk mencari pimpinan nasional adalah salah satu cara untuk membantu partai politik menemukan “kabel” yang sementara ini terputus. Putusan-putusan yang dibuat oleh partai politik harus merefleksikan kepentingan yang ada di dalam masyarakat. Partai politik tidak boleh lagi menutup mata dan telinga, bahwa apa yang mereka reproduksi selama ini bukan hasil dari penelusuran yang betul-betul jernih dan terbuka terhadap kehendak masyarakat ataupun masalah yang dihadapi masyarakat.

Selama ini partai politik sebenarnya tengah memanipulasi kepentingannya sendiri agar menjadi kepentingan masyarakat. Logika yang tentu saja sesat, karena demokrasi adalah pemerintahan yang diasalkan dari suara rakyat. Namun itulah yang terjadi selama ini. Karena itu upaya koreksi harus dilakukan. Melalui konvensi rakyat, ide yang tentu saja belum lazim di Indonesia, diikhtiarkan sebagai upaya mencari calon pemimpin yang memiliki kapasitas untuk mengatasi masalah bangsa dan negara. Dalam prosesnya, konvensi harus jernih dan terbuka dalam menangkap aspirasi yang berkembang di dalam masyarakat.

Sehingga pada gilirannya akan menghasilkan sosok kandidat yang berintegritas (integrity), mampu (capable) sekaligus diterima (acceptable). Ini merupakan langkah awal dan menjadi trigger bagi partai politik untuk melakukan tugasnya, karena pekerjaan menangkap aspirasi publik adalah tugas partai politik. Dalam konteks pemilu presiden 2014, konvensi rakyat mengupayakan agar putusan publik lembaga politik selalu diasalkan pada aspirasi yang berkembang di publik. Dengan upaya ini, kita berharap demokrasi di Indonesia dapat berjalan sebagaimana mestinya.

(Agoeng Pratomo, Pemerhati Sosial & Politik, associate Freedom Foundation and PSIK Univ.Paramadina)(rmnws)

Tags

Newsletter Signup

Sed ut perspiciatis unde omnis iste natus error sit voluptatem accusantium doloremque.