Menjadi Mu’min Kãffah Bagaimana Caranya?
Ajakan untuk menjadi mu’min yang kãffah didengungkan Allah melalui surat Al-Baqarah yang 208:
“Hai orang-orang (yang mengaku) mu’min, masuklah kalian ke dalam Islam secara kãffah, dalam arti janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan, karena dia (setan itu) adalah musuh yang nyata bagi kalian.”[1]
Pengertian harfiah dari istilah kãffah adalah keseluruhan atau totalitas (totality). Dengan demikian, menjadi mu’min yang kãffah berarti menjadi mu’min yang total. Dalam ayat di atas ada dua kata yang menarik. Yang pertama adalah kata perintah udkhulû (masuklah kalian), dan yang kedua adalah istilah as-silm(u), yang merupakan sinonim dari as-salãm(u) dan al-islmãm(u), alias agama Islam.
Perintah “masuk” yang dikaitkan dengan “agama Islam” tentu
mengesankan bahwa agama Islam itu adalah sebuah “lembaga”, tepatnya
sebuah “organisasi”. Kenyataannya, secara keseluruhan para pakar
menyatakan bahwa Islam mempunyai sebuah kredo (creed) alias sistem kepercayaan, yaitu syahadat (kesaksian; ikrar) bahwa “tiada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah Rasulullah”.
Bila dikaji secara mendalam, syahadat ini bukan hanya pengakuan atas
Allah sebagai pencipta dan penguasa serta Muhammad sebagai rasulNya tapi
sekaligus juga pengakuan atas sebuah prosedur.
Prosedur tersebut mencakup dua hal. Pertama, dari sisi
organisasi, syahadat pada hakikatnya adalah prosedur pendaftaran diri
sebagai anggota komunitas muslim. Dilihat dari sisi ini, yang disebut
syahadat itu tentu bukan sebuah pengakuan pribadi belaka, tapi harus
dilakukan di hadapan orang lain, supaya orang yang bersangkutan bisa
dituntut pertanggung-jawabannya, dan sebaliknya orang-orang yang
menyaksi-kannya juga bisa diharapkan untuk memberikan dukungan dan
bantuan yang dibutuh-kannya, karena pada hakikatnya menjadi muslim itu
tidak bisa dilakukan sendirian, dan kenyataannya Islam adalah sebuah
agama masyarakat, bukan agama perseorangan.
Kedua, dari sisi ilmiah – dan ini yang tersulit – syahadat tersebut mewakili “sudut pandang ilmu” (scientific approach).
Yaitu bahwa untuk menjadi muslim itu seseorang harus menyadari bahwa
Allah menurunkan ajaran Islam melalui Nabi Muhammad, yang bukan hanya
berkedudukan sebagai penyampai risalah (missi; tesis) tapi juga sebagai
prototipe alias teladan dari perwujudan pribadi muslim yang dimaksud
oleh Allah.
Bahkan lebih lanjut, karena keislaman itu bukan sekadar “urusan
pribadi” untuk menyatakan hubungan batin seseorang dengan Allah saja,
maka keteladanan Rasulullah saw juga tidak terbatas hanya pada
akhlak pribadinya, tapi juga meluas pada masyarakat yang dibentuknya.
Tegasnya, setiap orang yang menyatakan diri sebagai muslim pada
hakikatnya dituntut peran sertanya dalam membentuk sebuah masyarakat
yang Islami, yang berpola pada masyarakat yang pernah dibentuk
Rasulullah saw.
Aspek itulah yang harus digarisbawahi ketika berbicara tentang perintah “masuklah kalian ke dalam agama Islam secara kãffah“. Jadi ini bukan masalah sikap batin belaka, tapi masalah integritas setiap pribadi muslim terhadap komunitasnya.
Pertanyaan kita sekarang adalah: “Komunitas muslim yang mana yang harus kita masuki?”
Bila yang disebut komunitas (= jama’ah) muslim itu kita petakan
berdasar negara-negara di dunia ini dengan penduduk muslim terbanyak,
jelas komunitas muslim kita adalah komunitas muslim (negara) Indonesia.
Tapi kenyataannya kaum muslimin Indonesia (dan begitu juga di
negara-negara lain) bukanlah sebuah komunitas, tapi banyak komunitas.
Jelasnya, kaum muslimin di seluruh dunia bukanlah sebuah kaum yang utuh,
tapi terpecah-pecah menjadi banyak mazhab. Bila menurut sebuah Hadis
pecahan-pecahan itu berjumlah “73”,[2] seorang peneliti konon menemukan data bahwa jumlah mazhab-mazhab itu mencapai 3000an!
Bila demikian, lantas ke dalam “Islam” yang mana diri ini hendak diceburkan?
Lenyapnya Islam warisan rasul
Ketika Allah menurunkan wahyu terakhirNya,[3]
yang menegaskan bahwa agama yang diajarkanNya telah sempurna, dan
dengan demikian anugerahNya telah dianggap cukup, dan Ia telah
menyatakan Islam sebagai agama yang diridhaiNya, Islam yang manakah
gerangan yang dimaksud?
Tentu Islam yang dimaksud adalah Islam yang dijalankan oleh Rasulullah saw, para sahabat beliau, dan umat yang menjadi warga negara Madinah.
Setelah Rasulullah wafat, tampil Abu Bakat sebagai pengganti beliau.
Abu Bakar kemudian digantikan oleh Umar, Umar digantikan Utsman, dan
Utsman digan-tikan oleh Ali bin Abu Thalib.
Suksesi (pergantian pemimpin) menjadi masalah terbesar yang timbul
setelah ketiadaan Rasulullah. Para khalifah setelah Abu Bakar (Umar,
Utsman, Ali), semua wafat karena dibunuh. Dan Khalifah Ali rupanya
merupakan benteng terakhir yang berperan sebagai pengawal Islam warisan
Rasulullah. Setelah Ali tiada, umat Islam terpecah menjadi tiga
kelompok; yaitu kelompok pengikut Ali (Syi’ah), kelompok pendukung
Mu’awiyyah (Murji’ah), dan kelompok yang memisahkan diri dari kelompok
Ali (Khawarij).
Perpecahan karena masalah politik itu mengawali timbulnya perpecahan
teologis. Muncullah aliran-aliran Sunni, Syi’ah, Mu’tazilah, dan
lain-lain. Pertemuan umat Islam dengan berbagai filsafat Yunani pun
membawa pengaruh yang lain, yang semakin meramaikan khilafiyah (perbedaan pendapat) di kalangan umat Islam. Mazhab-mazhab pun tumbuh seperti jamur.
Islam warisan Rasulullah, ibarat sebidang tanah, telah dipecah
menjadi kavling-kavling banyak mazhab, yang masing-masing membentengi
kavling mereka dengan tembok-tembol yang tebal dan tinggi. Sejak saat
itulah “bersyahadat” menjadi orang Islam tidak lagi menjadi tanda
pengenal yang jelas, sebelum ditambahi dengan embel-embel nama mazhab.
Dan bisa jadi dua muslim yang duduk sebangku dalam sebuah kendaraan
tiba-tiba tidak lagi merasa bersaudara setelah keduanya sama-sama tahu
bahwa mereka berbeda mazhab!
Islam Indonesia
Semula para ahli menyebutkan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada
abad ke-13 M. Belakangan mereka menyatakan hal itu terjadi pada abad
ketujuh atau kedelapan Masehi. Ada pula yang memastikan bahwa Islam
mulai merambah Indonesia pada tahun 717 M.
Jangan dilupakan bahwa Islam yang masuk ke Indonesia itu, bila
terjadi pada tahun 717 M (abad ke-8) adalah Islam yang sudah
diputar-balik oleh Muawiyah dan antek-anteknya. Korbannya yang
pertama adalah sebuah kerajaan Melayu Kuno yang berpusat di Jambi dan
Riau, yang semula beragama Buddha, alias sebagai agen bagi dinasti
yang berkuasa di Tiongkok.
Muawiyah menyulap ajaran Islam menjadi madzhab Sunni alias Ahlu
Sunnah Wal-Jama’ah, yang pada hakikatnya melestarikan adat-istiadat
Arab. Masuknya Islam ke Indonesia bukanlah karena motivasi iman (yang
haqq/benar), tapi demi kepentingan imperialisme, yaitu untuk mengeruk
keuntungan material dari bangsa-bangsa yang dikuasai. Perlu dicatat
bahwa pada waktu itu perdagangan rempah-rempah Indonesia dikuasai oleh
Cina (Dinasti Tang). Untuk mengalahkan mereka, Muawiyah mengirim
armadanya ke Indonesia melalui kerajaan Melayu Lama. Tujuannya adalah
merampas dominasi Cina atas bisnis rempah-rempah. Selain mengutus
tentara, Muawiyah juga mengirim ulama-ulamanya ke Jambi dan Riau.
Hasilnya, raja Jambi masuk Islam. Kemudian, pada tahun 725 M Raja
Jambi menundukkan kerajaan Jepara, dan mulai saat itu Raja Jepara pun
masuk Islam.
Penguasaan Arab atas Jambi membuat Cina marah, karena lahan bisnis
mereka direbut. Maka pada tahun 727 M kerajaan Jambi dihancurkan
tentara Cina, yang dibantu bajak laut Cina dari Selat Malaka.
Di atas puing-puing kerajaan Jambi itulah Cina mendirikan kerajaan
baru yang kelak dikenal sebagai Sriwijaya, dengan ibukotanya yang
terletak di Palembang. Kerjaan Sriwijaya maju pesat sehingga sempat
tampil sebagai pusat agama Buddha.
Sisa pasukan Jambi melarikan diri ke Sumatera Barat, dan selanjutnya
mendirikan kerajaan Pagar Ruyung. Di situ mereka melestarikan ‘ajaran
Islam’.
Ketika Dinasti Umayyah ditaklukkan Dinasti Abbasiyah pada
pertengahan abad ke-11 M, Islam masuk ke Indonesia melalui Aceh.
Sementara Islam dari Cina pun masuk pula ke daerah Banten dan Jayakarta,
melalui tentara yang dipimpin Jenderal Samphobo yang bermarkas di
Ancol. Masjid yang dibangunnya sekarang menjadi kelenteng Ancol. Perlu
dicatat bahwa Islam yang masuk kali ini adalah Islam versi Syi’ah, yang
mengembangkan ajaran tentang wali habib, sayyid, dan sebagainya. Para
da’i mereka umumnya mengaku sebagai keturunan Nabi Muhammad.
Merekalah yang mengembangkan ajaran Tasauf dengan berbagai versi
tarekatnya. Namun pada dasarnya ajaran mereka tidak berbeda dengan
ajaran Sunni.
Lengkaplah Islam dari berbagi aliran menyebar di Indonesi berbaur
dengan ajaran Animisme, Hindu, dan Buddha yang telah lebih dulu masuk.
Alhasil, agama Islam di Indonesia tumbuh sebagai Islam yang
mempunyai warna tersendiri, yakni gado-gadi antara Arabisme
Sunni-Syi’ah, Animisme, Hindu, dan Buddha. Selanjutnya lahirlah Islam
Kejawen alias Aliran Kebatinan, yang mewakili kelompok ‘netral’.
Sedangkan kelompok yang menentang Islam secara tegas, di timur
membentuk agama Hindu Bali serta masyarakat Tengger, dan di barat
melahirkan kelompok Baduy.
Kesimpulannya, Islam yang masuk ke Indonesia bukanlah Islam yang
berdasar Quran berpola Rasul, tapi merupakan Islam yang sudah
terkontaminasi (tercemar) oleh Arabisme (Sunni) dan Iranisme (Syi’ah),
yang selanjutnya berbaur dengan berbagai paham yang ada di Indonesia,
yaitu Animisme, Javanisme, Hindu-isme, Buddhisme dan lain-lain.
Penutup
Nabi Muhammad diutus Allah – dengan membawa Al-Qurãn – untuk
menyampaikan missi perdamaian ke tengah masyarakat Arab yang terpecah
belah dan saling baku hantam satu sama lain. Pada saat yang sama, dunia
di sekeliling tanah Arab juga diperebutkan oleh dua blok yang saling
bermusuhan, yaitu Blok Barat (Romawi) dan Blok Timur (Persia).
Dalam perjuangan dakwah yang makan waktu sekitar 20 tahun, Nabi
Muhammad berhasil mendamaikan dan mempersatukan bangsa Arab. Agama Islam
kemudian berkembang ke seluruh dunia. Tapi di balik perkembangan itu
rupanya ada kepentingan lain yang turut bermain. Semangat dakwah berbaur
dengan syahwat politik, kepentingan dinasti, mazhab, dan lain-lain,
yang pada akhirnya mengaburkan missi perdamaian itu sendiri. Karena
itulah Islam tidak lagi tampil sebagai sebuah kekuatan yang
membanggakan, dan yang disebut umat Islam menjadi identik dengan
komunitas-komunitas atau bangsa-bangsa yang terpuruk dalam berbagai
bidang kehidupan.
Keadaan itu tidak akan pernah bisa diperbaiki bila kita, yang mengaku
umat Islam, tidak memiliki semangat perintis dan pejuang untuk
merekonstruksi Islam ke dalam bentuk awalnya, yaitu Islam yang membuat
kita bersatu dalam kedamaian.
Umat Islam yang bersatu tentu akan menjadi kekuatan yang mempunyai
posisi tawar, dan karena itu akan bisa pula menyumbangkan peran aktifnya
dalam menciptakan dunia yang damai.(a.h)