Fatwa: Yang Resmi, Asal Bunyi, Dan Yang Dibutuhkan
THE JAMBI TIMES - Sebelum Pemilu caleg beberapa waktu lalu, beredar (isu) fatwa MUI yang – konon – mengharamkan golput (golongan putih).
Setelah itu, beredar pula isu tentang fatwa pengharaman Facebook (yang kemudian dibantah oleh MUI).
Dulu, gara-gara Akademi Fantasi Indosiar (AFI), populerlah istilah pitch control
yang menjadi ciri sang juri tetap acara itu, Trie Utami. Trie utami
sendiri mengaku bangga bisa memperkenalkan salah satu istilah musik.
Sebaliknya, anak-anak muda penggemar AFI tak banyak yang peduli dengan
pengertian istilah itu. Yang penting ikut mengucapkan, dan merasa keren.
Di lain pihak, gara-gara dua pemilu di tanah air (1999, 2004), sejumlah kiai pun mempopulerkan istilah fatwa.
Akibatnya, di mana-mana orang menyebut kata fatwa, walau tak tahu betul
pengertian yang sebenarnya. Yang pasti, dalam bayangan mereka, fatwa
adalah sesuatu yang merupakan urusan orang-orang ‘atas’ (kiai) dan
karena itu jadi bersifat resmi.
Sama dengan curhat?
Bagi Mujtaba Hamdi, istilah fatwa sama sekali jauh
dari bayangan ‘resmi’ yang bersifat institusional, kelembagaan. Dengan
mengajukan kasus Yusuf dan Ratu Balqis dalam Al-Qurãn, Pemimpin
Redaksi/Penanggung Jawab majalah Syir’ah itu menulis dalam majalahnya (edisi Juni 2004) bahwa “fatwa di situ (dalam Al-Qurãn) tak ubahnya sharing, atau – istilah anak mudanya – curhat.”
Selanjutnya, ia pun berfatwa bahwa berdasar kajiannya atas sejumlah ayat Al-Qurãn istilah fatwa menunjuk pada suatu dialog, tanya-jawab, bahkan kadang diwarnai perdebatan. Tapi, katanya pula, itulah fatwa
dalam Al-Qurãn. Sebaliknya, dalam sejarah umat Islam, fatwa bersifat
yuridis dan istitusional, yang hanya berasal dari ‘suara resmi’, suara
sosok berstatus ‘mufti’ yang sudah lolos seabrek persyaratan atau
‘berijazah’.
Kata fatwa yang kita dengar selama ini memang
selalu berwarna resmi, karena keluar dari kalangan, atau lembaga, atau
majlis yang resmi, katakanlah seperti Majlis Ulama Indonesia (MUI), dan
fatwa yang dikeluarkan biasanya selalu bersifat memungkas perkara,
bersifat vonis, sehingga tentu tidak ada ruang untuk perdebatan.
Maksudnya, tak ada perdebatan antara pemberi (ahli) dan peminta fatwa
(awam). Tapi, perdebatan di kalangan para ahli biasanya sering terjadi.
Karena itulah timbul masalah-masalah yang dikatakan khilafiyyah,
masalah-masalah yang kata putusnya tidak disepakati para ahli (ulama).
Dari situlah timbul mazhab-mazhab. Kita, sebagai orang awam, tak usah
bingung. Pilih saja salah satu mazhab yang kita suka.
Pada hakikatnya fatwa, kendati sudah kita Indonesiakan menjadi petua atau petuah
yang berarti nasihat, konotasinya memang selalu berat ke masalah hukum.
Mungkin karena itu pula lantas ada orang atau pihak yang merasa
‘terhukum’.
Dalam tradisi pengguna aslinya, bangsa Arab, kata fatwa selalu terletak di antara al-qaum(u) dan al-‘alïm(u), selalu
ada di tengah masyarakat awam yang mempertanyakan ‘hukum’ sesuatu dan
ahli ilmu yang memberikan jawaban, yang selanjutnya menjadi hukum.
Karena itu, kata mufti yang merupakan subyek dari kata kerja aftã
(memberi fatwa) didefinsikan Louis Ma’luf dalam kamus Al-Munjid sebagai
“orang yang amat faham, yang darinya keluar fatwa, yang menjawab
persoalan syari’ah yang ditanyakan kepadanya” (al-faqïhul-ladzi yu’thïl-fatwã wa yajïbu ‘amma ulqiya ‘alaihi minal-masã-ilil-muta’alliqati bisy-syarï’ati).
Lalu bagaimanakah gambaran makna fatwa dalam Al-Qurãn?
Benarkah seperti yang ditulis Mujtaba Hamdi bahwa di sana fatwa itu
cenderung bernuansa sharing atau curhat?
Fir'aun (Harun Yahya)
Bila yang diajukan adalah kasus Yusuf, kita harus ingat bahwa Yusuf
adalah rasul Allah. Dalam urusan fatwa, seorang rasul adalah mufti yang
mendapat wewenang langsung dari Allah. Dengan demikian, fatwa seorang
rasul mutlak bersifat hukum, bila fatwanya berkenaan dengan masalah
hukum. Dalam konteks Yusuf dengan Fir’aun, kebetulan masalahnya tidak
bersifat hukum tapi berkaitan dengan masalah perekonomian negara yang
digambarlah Allah kepada Fir’aun melalui mimpi tentang tujuh sapi gemuk
memakan tujuh sapi kurus. Selain itu, Fir’aun juga melihat tujuh tankai
gandum subur dan tujuh lainnya yang kering. Yusuf menjelaskan bahwa
tujuh sapi gemuk adalah perumpamaan bagi tujuh tahun musim subur, dan
tujuh sapi kurus yang memakan tujuh sapi gemuk adalah gambaran tentang
tujuh musim paceklik yang ‘memakan’ (mengakhiri) musim subur tersebut.
Pada sisi lain, tujuh tahun musim subur digambarkan sebagai tujuh
tangkai gandum yang hijau, dan tujuh tahun musim paceklik digambarkan
sebagai tujuh tangkai gandum kering.
Berdasarkan gambaran-gambaran
demikianlah, Yusuf meberikan fatwa agar pemerintah Mesir memanfaatkan
musim subur untuk menggiatkan pertanian, dengan catatan agar sebagian
hasilnya disimpan untuk menghadapi musim paceklik.
Sekali lagi, fatwa Yusuf itu tidak berbau hukum, namun
tetap bersifat mengikat, karena Fir’aun dan bangsanya tidak menemukan
jawaban lain yang lebih ‘masuk akal’. Selain itu, tentu saja fatwa Yusuf
itu bersifat sangat mencerahkan, dan tak ada pihak yang merasa
dirugikan, kecuali mungkin para penyelundup yang lebih suka mencari
keuntungan sesaat dengan menjual produk secara lebih mahal ke luar
negeri, tanpa peduli bahwa setelah itu bangsanya akan menderita
kemelaratan di masa ‘krisis’.
Kemudian, bagaimana pula halnya fatwa dalam kasus seorang
ratu yang sezaman dengan Nabi Sulaiman, yang selalu disebut bernama
Bilqis, atau Bulqis, atau Balqis (dalam Al-Qurãn namanya tidak disebut)?
Dalam konteks sang ratu ini, ia tidak minta fatwa kepada Sulaiman tapi
justru mendapat masalah dari Sulaiman. Karena itu, ia ‘mengadu’ (= curhat?) kepada para pejabatnya, dengan mengatakan, “Wahai para pejabat, Sulaiman mengirimkan sebuah kitabun karim (kitab yang mulia?) kepadaku, yang isinya adalah bismillahirrahmanirrahm.
Ia bilang, ‘jangan bersikap angkuh terhadapku. Sebaliknya, datanglah
padaku sebagai pihak yang takluk.’ Wahai para pejabat, beri aku fatwa (aftunï) tentang perkara ini, karena aku tidak bisa bertindak sebagai pemutus perkara tanpa dukungan kalian.”
Para pejabatanya menjawab, “Kita memiliki kekuatan
(senjata) dan manusia (pasukan) yang sangat berani. Tapi bagaimana pun,
andalah yang berhak mengeluarkan perintah.”
Jadi, para pejabat itu tidak bisa memberi fatwa, sehingga
akhirnya sang ratulah yang harus memutuskan sendiri. Sang ratu, yang
sadar dengan kekuatan Sulaiman, yang tak mungkin ditandingi oleh
kekuatannya, akhirnya memilih jalan damai.
Dari kedua contoh kasus di atas kita bisa menarik pelajaran
bahwa fatwa selalu berkaitan dengan masalah darurat, dan karena itu
tidak bisa dikeluarkan secara sembarangan, dan lebih-lebih lagi tidak
ada kaitannya dengan masalah curhat-curhatan yang bisanya tidak
membutuhkan jawaban yang bersifat kata putus. Fatwa, seperti yang
tergambar dalam kasus Fir’aun dan Sang Ratu, adalah sesuatu yang harus
keluar di saat-saat kritis, di saat kita tak punya pilihan, atau banyak
pilihan tapi tak punya kepastian untuk memilih yang mana. Dalam keadaan
seperti itu, sang mufti (apakah satu orang atau sekelompok) harus
memberikan fatwa yang benar, dalam arti menjawab permasalahan dengan
jitu, dan bahkan bersifat mencerahkan. Bukan malah membuat orang
bingung, marah, atau sakit hati.
Dalam konteks negara kita sekarang, sang atau para mufti
seharusnya mengkaji dan merumuskan permasalahan bangsa secara konkret.
Setelah itu, keluarkanlah fatwa seperti yang dikeluarkan Nabi Yusuf
kepada Fir’aun, yang dapat dengan jitu mengatasi permasalahan bangsa
Mesir.*(a.h)