Permahi Soroti Kasus Korupsi 105 M Modal Fiktif
" Keberanian Jaksa VS Kejujuran Hakim "
Ditulis oleh: Roland Pramudiansah Mahasiswa Fakultas Hukum UNJA
KORUPSI masih menjadi luka lama bagi bangsa ini. Daftar kasus korupsi di Provinsi Jambi dari tahun ke tahun seolah tidak ada habisnya.
Mulai dari perkara penyalahgunaan anggaran daerah, proyek infrastruktur yang penuh mark-up, hingga kasus-kasus di sektor strategis seperti pabrik PT PAL yang banyak menjadi sorotan terhadap penangganan kasus tersebut.
Semua ini memperlihatkan bahwa Jambi bukan hanya menghadapi masalah hukum, tetapi juga krisis integritas.
Menurut aktifis Universitas Jambi (UNJA) Roland Pramudiansah selaku Ketua Permahi Jambi menyoroti masalah ini.
Kita contohkan kasus perusahaan pabrik Kelapa sawit yang bermuara sejak tahun 2018 namun baru-baru ini terungkap, persoalan itu seolah tenggelam tanpa kejelasan.
Menyikapi kasus penangganan perusahaan pabrik kelapa sawit yang dinilai adanya tindak pidana korupsi senilai Rp105 Miliar ini membuktikan betapa lemahnya akuntabilitas korporasi dan lemahnya pengawasan terhadap sektor yang menyangkut hajat hidup masyarakat banyak.
Kebuntuan panjang itu akhirnya diputus oleh langkah berani Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jambi.
Di bawah kepemimpinan Bapak Hermon Dekristo, banyak kasus korupsi yang tadinya “tertutup rapat” akhirnya dibuka kembali ke publik. Termasuk kasus perusahaan yang selama bertahun-tahun membebani kepercayaan publik tersebut.
Langkah ini patut di apresiasi. Di tengah badai tdunami keraguan publik terhadap integritas penegak hukum, keberanian Kajati Jambi adalah angin segar dalam mengungkap kasus Korupsi.
Presiden Prabowo Subianto dalam pidato kebangsaan pada HUT RI ke-80 menegaskan:
“Musuh terbesar bangsa kita adalah korupsi.”
Kejati Jambi telah memberi bukti konkret bahwa amanat itu bukan sekadar jargon, tetapi bisa diwujudkan dalam tindakan nyata di daerah.
Namun perjuangan belum selesai. Segala kerja keras penyidik dan penuntut umum bisa berakhir sia-sia bila Majelis hakim Tipikor tidak menjalankan peran dengan integritas penuh.
Hakim adalah benteng terakhir keadilan. Pasal 183 KUHAP menegaskan:
Seorang terdakwa hanya boleh dijatuhi pidana jika ada sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan keyakinan hakim bahwa tindak pidana benar-benar terjadi
Itu artinya, hakim tidak boleh hanya menjadi “corong dakwaan”, melainkan wajib menguji setiap fakta persidangan.
Jika terbukti bersalah, hukum dengan tegas. Tetapi jika tidak terbukti, bebaskan dengan berani. Menghukum orang yang tidak bersalah sama fatalnya dengan membiarkan korupsi merajalela.
Presiden Prabowo bahkan sudah menaikkan insentif para hakim sebagai bentuk dukungan negara agar mereka tidak goyah dan tidak terjebak dalam praktik KKN.
Maka, publik berhak menuntut agar Hakim Tipikor benar-benar Independen. Tidak ada lagi alasan untuk kompromi.
Kasus korupsi, baik di Jambi maupun daerah lain, harus dipahami dalam bingkai Astacita:
Delapan cita-cita bangsa yang menghendaki Indonesia bersih dari korupsi, tegaknya supremasi hukum, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
Pertarungan melawan korupsi bukan sekadar soal teknis hukum, melainkan soal moralitas bangsa.