Terorisme Melumpuhkan Islam (1)
THE JAMBI TIMES - Dulu umat
Islam ditakuti karena kekuatan militernya dan kehebatan prajuritnya.
Mereka juga dihormati karena kejantanan, kejujuran, keadilan, dan keshalihan
akhlak. Karena kepribadian mereka Islam menjadi unggul tak tertandingi (Ya’lu
wa lã yu’la ‘alaihi).
Dan Islam
memperoleh ‘citra’ demikian itu bukan karena terorisme!
Terorisme
merugikan korban langsungnya, mempermalukan umat Islam, mengancam NKRI, dan
melumpuhkan Islam itu sendiri. Islam yang semula unggul tiada tanding, sekarang
menjadi lemah tiada tara.
Insaflah!
Terorisme sama sekali tidak kita butuhkan.
Setan bisa
dikalahkan bukan hanya karena batas antara terang dan gelap dinyatakan, tapi
justru karena keduanya dicampur-adukkan, tapi kita masih mengenalinya.
Terorisme membuat
yang terang dan gelap menjadi samar.
Dengan ‘kendaraan’
bernama terorisme mereka yang merasa mujahid dipermainkan setan! Melalui
terorisme musuh-musuh Islam melakukan penghancuran dari dalam, menyelusup
seperti lelaki bercadar di tengah para wanita muslimah. Mereka berteriak
“Allahu akbar” seraya menebar virus kehancuran.
Dan hasilnya
adalah demoralisasi alias keruntuhan ruhani umat Islam secara keseluruhan.
Wajah terorisme
Saya menggunakan
istilah terorisme untuk mengurai sebuah konsep yang sebenarnya tidak baru.
Pertama, saya katakan bahwa terorisme adalah sebuah ‘trik’ (trick)
militer, yang berguna untuk mencitrakan (mengesankan) bahwa sebuah negara
memiliki militer (tentara) yang hebat. Citra ini harus diciptakan, bahkan harus
dibuat menjadi nyata, bahwa kehebatan itu memang ada, agar menimbulkan ‘teror’
(ketakutan) bagi musuh-musuh negara, baik sudah nyata memperlihatkan sikap
bermusuhan maupun musuh yang tidak terduga.
Bila tidak salah,
trik militer yang demikian itu dapat kita baca dalam Al-Qurãn, misalnya dalam
ayat yang berbunyi:
وَأَعِدُّوا لَهُمْ
مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ
عَدُوَّ اللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ وَآخَرِينَ مِنْ دُونِهِمْ لا تَعْلَمُونَهُمْ
اللَّهُ يَعْلَمُهُمْ وَمَا تُنفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فِي سَبِيلِ اللَّهِ يُوَفَّ
إِلَيْكُمْ وَأَنْتُمْ لا تُظْلَمُونَ (60)
Persiapkanlah
kekuatan sejauh kemampuan kalian untuk menghadapi mereka, misalnya pasukan
berkuda, yang dengan itu kalian menggentarkan (menakut-nakuti; meneror) musuh
Allah (yang muncul) sebagai musuh kalian, serta pihak-pihak selain mereka yang
tidak kalian ketahui (tidak terduga). (Karena itu) Allah memberitahu tentang
mereka kepada kalian. Camkanlah bahwa apa pun yang kalian belanjakan
(korbankan) demi kepentingan agama Allah, Dia (Allah) pasti mengganti secara
setimpal, yakni kalian tidak akan disia-siakan.
Lebih lanjut,
masih dalam konteks yang pertama, kehebatan militer sebuah negara bukan hanya
bisa menggentarkan pihak luar, tapi pasti juga bakal menggentarkan pihak dalam
sendiri (warga negara) yang punya niat melakukan pemberontakan, kudeta dan
lain-lain.
Kedua, terorisme sebagai paham atau konsep suatu golongan.
Dalam konteks ini sebut saja, untuk mudahnya, kelompok Abu Sayyaf, yang
(barangkali) menjadikan terorisme sebagai sesuatu yang harus dilakukan
semata-mata karena tak tahu cara lain, untuk mencapai tujuan, menjaga
eksistensi, melancarkan perjuangan, termasuk untuk mendapatkan biaya makan.
Ketiga, terorisme sebagai game (permainan). Dalam
konteks ini, sesuai namanya, terorisme diperlakukan sebagai game alias
permainan, tapi dengan catatan bahwa hanya pihak-pihak berkuasa yang punya
tujuan tertentulah yang memilih untuk memungsikan terorisme sebagai game.
Dalam konteks ini, sebut saja untuk mudahnya Amerika dan atau Israel, yang
punya kepentingan untuk memerangi Islam.
Bagaimana teknis
memainkannya?
Tidak seperti
halnya memainkan game komputer yang bisa dilakukan secara terbuka di sembarang
waktu, game yang berupa terorisme ini tentulah harus dilakukan secara rahasia
dan pada waktu-waktu tertentu.
Perhatikanlah
bahwa tujuan utama dari terorisme adalah menimbulan dampak demoralisasi bagi
pihak lawan. Demoralisasi di sini, dalam konteks dan istilah militer, adalah
“peruntuhan morale” pasukan; yaitu hilangnya morale (semangat
juang; disiplin) dari setiap orang dalam sebuah pasukan.
Dalam konteks
memerangi Islam, tentu saja game terorisme dimainkan dengan menganalogikan umat
Islam sebagai sebuah pasukan.
Pihak musuh (sebut
saja Amerika dan Israel) tahu betul bahwa morale (semangat juang;
disiplin) umat Islam terletak pada ketinggian moral mereka.
(Perhatikan, morale dengan huruf e, dan moral tanpa huruf e, yang bisa
diartikan akhlak).
Dengan demikian –
mudah dipahami – game terorisme dimainkan untuk menumbuhkan citra
bahwa umat Islam tidak bermoral (tak berakhlak); karena mereka melakukan
pembunuhan dan penghancuran secara ‘ngasal’ (asal-asalan), dan menjatuhkan
korban secara tak masuk akal.
Katakanlah,
misalnya tindakan bom bunuh diri dilakukan oleh sebuah kelompok dari Palestina,
dengan motivasi memprotes penjajahan Israel dan dukungan Amerika atas sang
penjajah. Tapi peledakan bom terjadi di Paris atau kota lain di Eropa, atau di
mana saja yang jauh dari Israel dan Amerika.
Lalu, terbukti yang menjadi
korban, selain pelaku bom bunuh diri, adalah sejumlah orang yang tak tahu
apa-apa, di antara mereka bahkan terdapat wanita, anak-anak, dan bahkan juga
orang-orang beragama Islam.
Apa kata dunia?
Umat Islam ngaco,
jahat, dan gila.
Umat Islam pun
‘terdemoralisasi’, merasa ‘malu hati’, merasa tak punya harga diri, merasa
seperti seluruh tulangnya dilolosi, hanya karena saudara mereka (pelaku bom
bunuh diri) melakukan perbuatan tak bermoral, alias menyalahi akhlak Islam.
Sementara itu, penjajahan Israel dengan segala kekejiannya, tak pernah diangkat
ke permukaan.
Tapi di balik itu,
timbul pertanyaan tentang pelaku bunuh diri, “Benarkah mereka itu orang Islam,
atau orang-orang yang dikatakan sebagai orang Islam?” Dan bila benar pelakunya
adalah orang Islam, yang salah pada mereka?
Timbullah apologi,
dari pihak Islam, bahwa kalau pun benar yang berbuat adalah orang Islam,
pastilah mereka telah salah memahami Islam.
Tapi, apakah
dengan apologi seperti itu ‘muka’ Islam bisa diselamatkan?
Tidak.
Muka Islam tetap
tercoreng. Umat Islam tetap menanggung malu dan rasa bersalah.
Bagaimana pun
ironisnya, memahami terorisme sebagai game sangatlah menarik.
Yang palin ironis
dan menarik, tentu saja, bila ada sekelompok umat Islam sendiri melakukan
tindakan terorisme, dengan anggapan bahwa mereka sedang berjihad, tapi secara
tidak sadar mereka sudah diperalat dan atau ditunggangi musuh Islam, untuk
melakukan penghancuran Islam dari dalam.
Dalam konteks ini,
contoh yang mudah, sebutlah di Indonesia ada satu kelompok yang ingin membuat
Indonesia menjadi Negara Islam. Mereka membentuk organisasi, membentuk
macam-macam, termasuk pasukan tempur untuk melakukan pemberontakan. Namun,
tanpa disadari, ketika mereka melakukan pemberontakan, ‘intel’ yang memasok
informasi dan senjata yang mereka gunakan ternyata bersumber dari Amerika dan
Israel. Ini hanya contoh, untuk menggambarkan bahwa ‘kelompok militan’ Islam
bisa disusupi pihak musuh dan diperalat, tanpa sadar.
Dan ketika mereka
ternyata dilumpuhkan oleh TNI, misalnya, bagaimana perasaan umat Islam
Indonesia?
Mereka
‘terdemoralisasi’. Mereka menderita malu hati. Mereka tiba-tiba merasa risi
menjadi orang Islam. Mereka lantas mengutuk dan membuli ‘saudara seiman’,
karena menjadi teroris jahanam!
Dengan cara itulah
umat Islam diruntuhkan secara moral. Dengan cara itulah kekuatan Islam
dilumpuhkan.
Contoh yang paling
fenomenal tentang terorisme sebagai game tentulah peristiwa WTC.
Yang perlu
dicatat, sampai detik ini peristiwa itu masih ramai diperdebatkan tentang
identitas para pelakunya. Benarkah peristiwa itu dilakukan oleh orang Islam
seperti sejak awal diberitakan, atau dibuat terjadi karena adanya skenario
untuk memainkan game terorisme demi kepentingan peruntuhan moral
umat Islam? Dan sutradaranya, siapa lagi bila bukan Yahudi dan atau Amerika?
Berbagai analisis
telah lahir dari banyak pihak untuk menyebut peristiwa itu sebagai hasil
‘skenario’ Amerika/Yahudi. Tapi, kesan yang sudah terlanjur terbentuk sejak
pemberitaan awal tak pernah bisa terhapus; apalagi peringatan tentang peristiwa
itu terus dilakukan setiap tahun, lengkap dengan segala kutukan yang ditujuan
kepada para terorisnya, yang jelas disebutkan sebagai orang Islam.
Umat Islam tetap
menjadi objek yang harus menderita malu dan kehilangan harga diri.
Hanya sedikit
hiburan yang bisa dipetik dari peristiwa itu; yaitu banyak orang ternyata malah
terdorong untuk masuk Islam! Sebuah blessing (anugerah) yang muncul
dari sebuah ironi.
Kasus Abu Sayyaf
Kasus penyanderaan
10 WNI oleh kelompok Abu Sayyaf memicu lahirnya tulisan ini.
Ada sebuah ironi
yang menonjok ulu hati; terutama setelah beredar berita bahwa Filipina menolak
pihak Indonesia ‘ikut campur’ dalam upaya pembebasan sandera.
Sikap pemerintah
Filipina bisa dipahami dan patut dihargai. Mereka mengingatkan kita bahwa
Filipina adalah sebuah negara berdaulat, berhak penuh menangai persoalan dalam
negeri sendiri, dan pantang membiarkan negara lain untuk ikut menangani urusan
dalam negeri mereka.
Pemahaman dan
penerimaan kenyataan tentang kedaulatan negara lain itu sangat penting bagi
siapa pun, bila tidak ingin dianggap sombong atau setidaknya kurang sopan.
Mengakui kedaulatan pihak lain berarti menyadari kebutuhan bersama atas
kehormatan, harga diri, dan hak asasi.
Saya jadi teringat
perkataan ketua GP Anshor, Nusron Wahid, yang dikecam banyak orang, tapi tentu
juga diaminkan banyak orang; yaitu ketika ia mengatakan bahwa konstitusi negara
ada di atas hukum agama dan hukum adat.
Berdasar kenyataan
bahwa NKRI adalah sebuah negara yang berdaulat penuh, dan kadaulatannya itu
didukung, antara lain, oleh adanya konstitusi negara, maka perkataan Nusron itu
adalah BENAR secara kontekstual dan faktual. Namun sayangnya ia telah
disalahpahami dan dianggap menghina kitab suci, yang dalam hal ini adalah
Al-Qurãn.
Memang, di luar
konteks kedaulatan negara RI, Al-Qurãn tentulah dipandang lebih tinggi dan
mulia dari naskah undang-undang dasar RI oleh kaum muslim. Tapi dalam konteks
negara RI, terutama dalam konteks hukum positifnya, Al-Qurãn yang tinggi
dan mulia itu tidak dijadikan dan tidak diakui sebabagai kitab hukum
negara kita, alias tidak diberlakukan sebagai hukum positif.
Diakui atau tidak,
saya kira, inilah pangkal dari kekacauan berpikir (sebagian) umat Islam. Di
satu sisi, mereka tinggal dan mengakui diri sebagai warga negara RI, tapi di
sisi lain, mereka masih belum menyadari bahwa kitab suci mereka, Al-Qurãn,
hukum-hukumnya, tidak diberlakukan sebagai hukum positif RI. Kenyataan ini
secara otomatis menempatkan Al-Qurãn berada di bawah konstitusi negara.
Pahit?
Memang pahit, bagi
kalangan yang memimpikan Republik Indonesia menjadi Negara Islam Indonesia.
Tapi, apakah
impian itu salah?
Tidak! Sama sekali
tidak salah, bahkan normal dan logis.
Tapi, masalahnya,
janganlah impian itu dipaksakan untuk diterima sebagai kenyataan oleh pihak
lain; apalagi oleh sebuah negara yang berdaulat. Ya, memang di dalamnya umat
Islam menjadi warga mayoritas. Tapi, dengan tegaknya NKRI, bukankah – de
facto – umat yang mayoritas itu telah menerima kehadiran dan kedaulatan
konstitusi negara?(AH)
Negara Islam dan
demokrasi
[BERSAMBUNG]