Tiga Hal Penting Menurut Nabi Muhammad saw
![]() |
( Foto Ilustrasi) |
THE JAMBI TIMES - Ada sebuah Doa
Rasulullah yang mengisyaratkan pesan beliau tentang tiga hal utama dalam
kehidupan, yaitu ad-dîn(u), dengan catatan bahwa yang dimaksud adalah Dînul-Islãm,
ad-dunyã(u), dan al-ãkhirat(u).
Pesan tersebut tersirat
dari doa yang berbunyi demikian:
اَللَّهُمَّ أَصْلِحْ لِى دِيْنِيَ الَّذِى هُوَ عِصْمَةُ أَمْرى
وَأَصْلِحْ لِى دُنْيَايَ الَّتى فِيْهَا مَعَاشِى وَأَصْلِحْ لِى آخِرَتِيَ
الَّتِى فِيْهَا مَعَادِى وَاجْعَلِ الْحَيَاةَ زِيَادَةً لِى فِى كُلِّ خَيْرٍ
وَاجْعَلِ الْمَوْتَ رَاحَةً لَى مِنْ كُلِّ شَرٍّ
Ya Allah!
Perbaikilah dînku, yang merupakan pelindung urusanku; dan perbaikilah duniaku
yang merupakan tempat hidupku, serta perbaikilah akhiratku yang merupakan
tempat kembaliku. Jadikanlah hidupku sebagai peningkatan untuk segala kebaikan,
dan jadikanlah kematianku sebagai penghentianku dari segala keburukan. (Hadis Muslim dari narasumber Abu Hurairah).
Fungsi Ad-Dîn(u) sebagai ‘ishmatu
amry (عِصْمَةُ أَمْرى)
Dalam hadis tersebut,
Rasulullah menyebut dînî (agamaku; penata hidupku) sebagai ‘ishmatu
amry, yang harfiahnya berarti penjaga, pelindung, pemelihara, penyelamat
urusanku. Urusan yang dimaksud tentu bisa kita hubungkan dengan apa saja yang
bisa dikaitkan dengan ad-dîn, yang tak lain dari Dînul-Islãm, karena
Nabi Muhammad tidak mengajarkan dîn yang lain.
Dengan kata lain, amry
(أَمْرى)
dalam hadis ini bisa diartikan sebagai “segala segi kehidupanku”, sehingga ‘ishmatu
amry otomatis berarti penjaga/pelindung/pemelihara/penyelamat segala segi
kehidupanku, atau ringkasnya “penyelamat hidupku”. Itulah arti Dînul-Islãm
dalam pandangan Rasulullah, yang tentunya harus menjadi pandangan umatnya pula.
Dunia sebagai ma’ãsyiy (مَعَاشِى)
Dunia sebagai ma’ãsyiy
(tempat hidup) sudah sangat jelas bagi kita. Tapi bila dikaitkan dengan
Dînul-Islãm, tentu memerlukan definisi tersendiri. Hidup muslim tentu merupakan
hidup yang ‘diwarnai’ Dînul-Islãm, dalam segala seginya. Tanpa kecuali.
Dengan demikian, segala
urusan yang yang digarap dan bersinggungan dengan seorang Muslim, adalah urusan
yang ‘Islami’ belaka. Tanpa kecuali. Bahkan, ketika – misalnya – ia harus
berhadapan dengan urusan yang tidak Islami, maka sikap yang ia terapkan
tetaplah sikap yang Islami. Tidak mau tidak. Tidak mau bersikap tidak Islami.
Demikian ia lakukan. Sampai tiba saat kematian.
Akhirat sebagai ma’ãdy (مَعَادِى)
Akhirat adalah ma’ãdy
(tempat kembaliku). Ini konsep baku dalam Islam. Bila kita periksa
Al-Qurãn, dalam konteks-konteks tertentu, kita akan menemukan akhirat dengan
pengertian yang bervariasi. Tapi di sini jelas sekali bahwa yang dimaksud
dengan akhirat adalah kebalikan dari dunia. Bila dunia adalah tempat yang kita
huni sekarang, akhirat adalah tempat yang akan kita diami nanti. Namun dengan
catatan bahwa yang kita tempati di sana itu bisa bernama jannah (sorga),
bisa juga bernama nãr (neraka?). Dan penentunya, dalam konsep Islam,
adalah sikap kita sekarang terhadap Dînul-Islãm. Bila bersikap positif
(menerima), maka tempat kita di akhirat adalah jannah, dan bila bersikap
negatif (menolak), otomatis kapling kita nanti adalah nãr.
Konsep tentang dunia
dan akhirat, atau jannah versus nãr, diharapkan bisa menjadi salah satu sarana
pengingat bagi para Muslim, agar hidup dalam mekanisme sistem Dînul-Islãm. Dan
itu bukan hanya untuk menjamin pembebasan dari adzab neraka di akhirat, tapi
juga menjadi jaminan agar di dunia ini pun mereka (para Muslim!) selalu
berusaha menciptakan “sorga dunia”. Yaitu suatu kehidupan yang segala seginya
serba penuh dengan hasanah (kebaikan).
Hidup harus semakin baik
Kita sering mendengar
orang mengutip hadis yang mengatakan: “Barangsiapa yang keadaan hari
sekarangnya lebih baik daripada hari kemarin, ia termasuk orang yang beruntung.
Dan barangsiapa yang hari ininya sama dengan hari kemarinnya, ia termasuk orang
yang merugi! Dan barangsiapa yang hari ini lebih jelek daripada hari kemarin,
maka ia adalah orang yang celaka.”
Sering kali kita
menghubungkan hadis ini dengan keadaan ekonomi seseorang dan atau diri kita
sendiri. Padahal bila kita mengacu pada hadis yang sedang kita bahas ini,
peningkatan yang harus dan bisa terjadi setiap hari adalah kebaikan budi dan
atau perilaku. Hal ini sesuai pula dengan hadis yang lain, yang menegaskan
bahwa tujuan Rasulullah diutus adalah untuk mengunggulkan akhlak yang baik.
Ya, di atas jelas
sekali Rasulullah berdoa agar hidup beliau menjadi sarana peningkatan kebaikan.
Dan- sebaliknya – beliau meminta agar kematian menjadi penutup bagi segala
keburukan. Melalui doa ini, beliau mengisyaratkan kepada para Muslim bahwa
dalam kehidupan di dunia ini manusia selalu mempunyai kemungkinan untuk berbuat
buruk, baik sengaja maupun tidak. Karena itu, kematian diharapkan tiba sebagai
anugerah, karena dengannya segala kemungkinan untuk berbuat buruk itu
diakhiri.∆(AH)