Evaluasi Hasil Shaum Ramadhan
THE JAMBI TIMES - Bisa
dipastikan, hanya sedikit orang yang melakukan evaluasi (penilaian) atas
hasil-hasil yang diperolehnya setelah melakukan shaum (puasa) Ramadhan.
Kebanyakan, mungkin, karena merasakan beratnya ‘beban kewajiban’ berpuasa, maka
tibanya Idul-Fitri dirasakannya sebagai pembebas dirinya dari penderitaan.
Setidaknya hal ini terungkap dari seorang anak tetangga, yang suatu hari
berteriak setengah menangis kepada ibunya, mengatakan, “Umi, puasa ga enaaak!”
Anak-anak
memang wajar bila tidak memahami makna dan tujuan shaum. Tapi sampai kapan
seorang anak harus dianggap wajar dalam keadaan demikian? Tentu sampai dewasa.
Tapi dewasa (harfiah berarti sampai umur) yang didapat semata-mata berupa
hitungan (kuantitas) umur tidak menjamin kita menjadi paham begitu saja makna
dan tujuan shaum. Bahkan bisa jadi, sampai tua, dan kemudian mati, pemahaman
itu tidak juga didapat; karena memang tidak ada rasa penasaran untuk
mendapatkan. Tidak ada semangat belajar. Tidak mau tahu.
Shaum =
imsãk
Shaum (tidak masalah diartikan puasa, yang
sama dengan pause yang berarti berhenti sejenak), pada dasarnya
sama dengan imsãk(un), yang berarti menahan atau mengekang
(mengendalikan). Kebalikannya adalah irsãl, yang berarti melepas atau
mengumbar.
Secara
teknis, imsãk adalah berhenti makan-minum (tentu juga merokok dan
sebagainya), yang dalam berbagai hadis disebutkan waktunya adalah kira-kira
selama bila kita membaca 50 ayat Al-Qurãn (sekitar 10 menit) menjelang adzan
subuh. Tapi imsãk teknis ini tidak kaku. Artinya, bila kita belum
bersantap sahur pada waktu imsãk, makan sahur boleh dilakukan, sampai
tiba adzan subuh. Dengan demikian, imsãk teknis ini pun sebenarnya
merupakan simbol (lambang) pengendalian diri. Dalam arti, meskipun makan,
minum, dan lain-lain masih boleh dilakukan sebelum adzan subuh, tapi kita harus
mempersiapkan diri untuk ‘takluk’ pada jadual shaum yang akan berlaku sepanjang
hari (dari subuh sampai maghrib).
Secara
filosofis (hikmah), imsãk (pengendalian diri) adalah target pertama yang
harus dicapai melalui shaum Ramadhan. Berikutnya, sehubungan dengan pengajaran
Al-Qurãn (pertama kali) yang dilakukan pada bulan Ramadhan, sehingga bulan
Ramadhan disebut syahrul-qurãn (bulan Al-Qurãn), ditambah dengan
kegiatan tadarus dan shalat di malam harinya, maka target yang harus dicapai
adalah terjadinya “Qurãnisasi diri”; dalam arti setiap pelaku shaum Ramadhan,
dengan segala kegiatan rentetannya itu, mampu melakukan pembangunan sisi
batiniahnya (psikologis) menjadi orang yang mampu ‘menyatu’ dengan Al-Qurãn.
Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa tujuan dari shaum Ramadhan pada
hakikatnya adalah untuk melahirkan manusia-manusia yang secara psikologis
(pikiran dan perasaan) mewakili (representative) Al-Qurãn.
Dikatakan
juga bahwa inti dari shaum adalah sabar.
Sabar (صبر),
pada hakikatnya adalah berpegang teguh pada amanah Allah.
Dan, amanah
Allah yang hakiki adalah wahyuNya (Al-Qurãn).
Dengan
demikian, shaum Ramadhan pada dasarnya adalah sebuah upaya pengendalian diri
sedemikian rupa, supaya pelakunya mampu berpegang teguh pada Al-Qurãn.
Nuzûl dan
tadãrus Al-Qurãn
Secara
ilmiah, Nuzûl dan tadãrus Al-Qurãn adalah dua kegiatan yang sama; yaitu proses
pengajaran dan atau pembelajaran Al-Qurãn. Sayangnya, kedua istilah ini telah
disimpangkan sedemikian rupa; sehingga bila menyebut nuzûlul-Qurãn yang
terbayang adalah “upacara peringatan” tanggal turunnya Al-Qurãn pertama kali.
Padahal, penurunan Al-Qurãn di masa Rasulullah makan waktu sekitar 23 tahun;
dalam situasi dan kondisi yang penuh dengan dinamika permasalahan; yang
hasilnya bukan hanya membentuk pribadi-pribadi Qurãni, tapi juga lahirnya
negara dan peradaban Islam.
Begitu juga
dengan tadãrus (تدارس); yang semula merupakan kegiatan belajar bersama
yang bersifat mendalami, sekarang jatuh menjadi salah satu kegiatan ‘ritual’
Ramadhan, berupa pembacaan Al-Qurãn secara sendiri-sendiri dan ‘asal
bunyi’; dalam arti pembacanya tidak peduli mengerti atau tidak apa yang dibaca.
Target mereka hanyalah pahala, yang akan diterima setelah mati.
Dengan paham
dan praktik nuzûl dan tadãrus Al-Qurãn yang berjalan sekarang, maka apa yang
terurai di atas; yakni bahwa keduanya diharapkan bisa membentuk pribadi-pribadi
Qurãni, tentu sangat mustahil terjadi. Analisis ini tidak bisa dibantah; karena
hal tersebut sudah berlangsung 15 abad; dengan hasil umat Islam yang justru
berjarak amat sangat jauh dari Al-Qurãn!
Qiyãmul-lail(i)
menjadi tarãwih
Shalat malam
(Qiyãmul-lail) atau tahajud di bulan Ramadhan, dilakukan Rasulullah
setelah tadãrus Al-Qurãn bersama Jibril. Disebutkan dalam sebuah hadis bahwa
dalam sekali berdiri (1 raka’at) Rasulullah membaca mulai dari suarat
Al-Fãtihah, disambung dengan Al-Baqarah, terus sampai Al-Mã’idah.
Karena
perintah shaum Ramadhan turun pada tahun kedua hijrah, maka otomatis Rasulullah
hanya menjalani shaum Ramadahn sebanyak 8 kali. Tapi dengan catatan bahwa
setiap tahun beliau melakukan shalat malam Ramadhan, sendirian, dengan membaca
ulang semua wahyu yang telah diterima pada masanya.
Tapi, apa
yang terjadi sekarang? Shalat malam Ramadhan telah digantikan dengan shalat
taraweh berjamaah, dengan pembacaan Al-Qurãn secara minimalis. Bahkan model
shalatnya ada yang berlangsung secara kilat, seperti yang videonya belakangan
beredar di internet.
Bila
disadari oleh para ‘pakar’ Islam, shalat taraweh pada hakikatnya merupakan
penggusuran sunnah (kebiasaan; keteladanan) Rasulullah yang berupa shalat malam
sebulan penuh, dengan pembacaan seluruh Al-Qurãn yang sudah dihafal oleh
pelakunya. Dengan bersandar pada ‘sunnah’ Umar (?), mereka beranggapan bahwa
shalat taraweh, yang dilakukan secara berjamaah, bermanfaat bagi syi’ar (semacam
iklan) Islam. Kenyataannya, dunia memang menjadi “ramai” oleh umat yang
melakukan shalat taraweh. Tapi seiring dengan itu, sebuah kiat untuk terjadinya
“Qurãnisasi umat” telah diabaikan.
Perburun
lailatul-qadr(i)
Kegiatan
berburu lailatul-qadr yang dikatakan bakal ‘turun’ pada tanggal-tanggal
dua-puluhan ganjil (21, 25, 27, 29) Ramadhan, dilakukan dengan berdiam (i’tikãf)
di masjid. Anehnya, tak seorang pun di antara para pemburu lailatul-qadr itu
melakukan kesaksian (testimoni) bahwa mereka telah mendapatkannya. Semua hanya
berharap dan berangan-angan. Kalaupun tidak mendapatkan lailatul-qadr,
yang bentuknya tak jelas, setidaknya mereka masih bisa mengharapkan dapat
pahala i’tikãf.
Padahal,
bila mereka perhatikan surat Al-Qadr(u), yang memuat istilah lailatul-qadr itu,
mereka akan tahu bahwa lailatul-qadr adalah satu momentum untuk menyebut
saat turunnya Al-Qurãn pertama kali. Dan momentum itu tidak berulang. Bila ada
hadis-hadis yang mengatakan bahwa lailatul-qadr ‘turun’ berulang-ulang,
setiap tahun, maka perlu dikaji ulang mengapa ada hadis-hadis yang bertentangan
dengan Al-Qurãn, walaupun hadis-hadis tersebut diberi label shahih.
Hal yang
jelas adalah: dengan berburu lailatul-qadr yang misterius itu, umat
menjadi tidak tahu betapa pentingnya ‘memburu’ pemahaman dan penghayatan
terhadap Al-Qurãn. Al-Qurãn yang merupakan anugerah yang nyata, petunjuk hidup
yang gamblang, ditinggalkan untuk memburu lailatul-qadr yang tak jelas
jeluntrungnya!.(ah)
Munajat Ramadhan
Bisa tidak sih jadi umat yang benar-benar damai?
Bisa tidak sih ber-Islam benar-benar tulus lillahi ta’ala?
Bisa tidak sih mema’afkan ‘ketidaktahuan’ teman
Karena kenyataannya kita seiman?
Bisa tidak sih memulai shaum Ramadhan
Tanpa meributkan hari H-nya?
Kalau merasa sama mematuhi Allah
Apakah kita selalu yang benar dan teman kita salah?
Di mana letak salahnya bila sebulan itu bisa 29 hari
Dan bisa pula 30 hari?
Bukankah itu pilihan yang diberikan Allah kepada kita?
Apa hebatnya yang tarawih 23 banding yang 11 saja?
Bukankah yang penting adalah isi shalatnya?
Ketahuilah bahwa Rasulullah mengerjakan shalat malam
Mulai dari yang minimal, 2 tambah 1, sampai 40 tambah 3
Dan seterusnya
Dan beliau tidak pernah memarahi umatnya
Yang memilih salah satunya, sesuai kemampuannya!
Bahkan beliau membenarkan seorang Badui
Yang hanya mau istiqamah pada shalat 5 waktu saja!
Bahkan Rasulullah melakukan qiyamu-Ramadhan sendirian
Menghabiskan Al-Quran terbaca entah berapa kali dalam sebulan
Sedangkan kita hanya mau shalat tarawih bila ada rombongan
dan itu pun dilakukan sambil bercanda dan dorong-dorongan
Tapi sudahlah
Itu pilihan kalian
Yang penting bgerhentilah saling menyalahkan
Pikirkankah tentang semboyan fastabiqul-khairat
“Silakan berlomba melakukan yang terbaik
Menurut paham dan usaha kalian!”
Dan bila kalian saling cela
Berarti semboyan itu omong kosong saja
Saling cela berarti sama-sama celaka
Kita ini ibarat penumpang di stasiun kereta
Bila terus saling sikut dan saling menjatuhkan
yang jatuh dan menjatuhkan sama-sama mengundang murka Tuhan
Karena keduanya sama membiarkan kereta berlalu tanpa penumpang
Bila kereta itu adalah Islam
maka Islam telah berjaya di masa lalu
Tapi telah hilang di masa sekarang
Islam itu tentang pasrah
Tentang tulus
Tentang ikhlas
Tentang lillahi ta’ala
Yakni bahwa segala amal kita diserahkan kepada Allah saja
Untuk menyusun konsepnya
Untuk mengajarkan teknik dan filosofinya
Untuk memberikan fasilitasnya
Untuk mengatur ruang dan waktunya
Berterimaksihlah untuk segalanya
Tanpa membanding-bandingkan dengan perbuatan teman
Seolah hanya kita yang paling mampu paham dan beriman!
Seolah untuk kita saja kasing-sayang Allah dicurahkan
Mari saling mendoakan kebaikan
Mari saling memaafkan
Mari masuki bulan Ramadhan
Dengan semangat pengabdian
Mari resapkan nilai Ramadhan
Dengan membuka lebar-lebar keinsafan
Tentang betapa hina dan lemahnya diri
Bila tanpa rahmat ilahi
“Sekali berarti (karena jadi hamba Allah)
Sesudah itu mati (khusnul-khatimah)”
“Wahai Allah, Pembimbing kami
Sungguh kami telah menanggapi seorang penyeru iman
– Rasulullah Sang Teladan pengabdian –
Maka kami pun beriman
Wahai Pembimbing kami – dengan iman ini –
Maka perbaikilah cara hidup kami yang penuh dosa
Dan tutuplah, yakni akhirilah, segala keburukan kami
Dan wafatlah kami bersama orang-orang yang baik
Yakni mereka yang imannya tak pernah miring ke Barat atau condong ke Timur
Tapi hanya menurut ajaranMu saja mereka hidup teratur(by:ah)