News Breaking
Live
wb_hadi

Breaking News

KPAI Rilis Catatan Kekerasan Seksual Terhadap Anak Sepanjang 2019

KPAI Rilis Catatan Kekerasan Seksual Terhadap Anak Sepanjang 2019


                              
The Jambi Times, JAKARTA |  Kekerasan seksual dapat terjadi dimana saja dan menimpa siapapun, baik dewasa maupun anak-anak, baik anak perempuan maupun anak laki-laki.  Berdasarkan pada pengawasan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) terhadap berbagai kasus kekerasan seksual di dunia pendidikan sepanjang  2019  menunjukkan fakta,  bahwa sekolah sebagai ruang publik ternyata  menjadi tempat yang tidak aman dan nyaman bagi anak didik. 

Sedikitnya ada 21 kekerasan seksual yang terjadi di satuan pendidikan yang diterima pengaduannya oleh KPAI, yang wilayah kejadiannya meliputi antara lain : untuk  Sekolah dasar (SD) terjadi di wilayah kecamatan Lembak, Muara Enim, Ogan Komering Ilir (Sumatera Selatan), kecamatan Ujanmas, Muara Enim (Sumatera Selatan),  kecamatan Klego, Boyolali (Jawa Tengah), kabupaten Majene (Sulawesi Barat), kota Pontianak (Kalimantan Barat), Payakumbuh, kabupaten Limapuluh Kota (Sumatera Barat), dan di kota Malang, kabupaten Lamongan dan kota Surabaya (Jawa Timur), kota Batam (Kepri), dan Jakarta Utara (DKI Jakarta). 

Adapun di jenjang SMP dan SMA, kekerasan seksual juga dilakukan oknum guru di kecamatan Cikeusal, Serang (Banten), di Tanete, Bulukumba (Sulawesi Selatan), Padangtualang, Langkat (Sumatera Utara),  Buleleng (Bali),kota Malang (Jawa Timur), kota Batam dan Tanjung Pinang (Kepulauan Riau). 

Data KPAI Tentang  Kasus Kekerasan Seksual  Di  Satuan Pendidikan 

Pertama, Korban Anak Laki-laki dan Anak Perempuan.  

Sepanjang 2019, KPAI mencatat kekerasan seksual di pendidikan berjumlah 21 kasus dengan jumlah korban mencapai 123 anak, terdiri dari 71  anak perempuan dan 52 anak laki-laki. Artinya, anak laki-laki maupun anak perempuan, semuanya rentan menjadi korban kekerasan seksual di sekolah. Data menunjukkan bahwa satu pelaku bisa memperdaya banyak korban, karena dari 21 pelaku, korbannya mencapai 123 anak. 

Kedua,  Pelaku Guru dan Kepala Sekolah 

Pelaku ada 21 orang yang terdiri dari 20 laki-laki dan 1 perempuan. Adapun pelaku mayoritas adalah guru (90%) dan  kepala sekolah (10%). Oknum pelaku yang merupakan guru terdiri dari guru olahraga  (29%) , Guru Agama (14%) guru kesenian (5%), guru komputer (5%), guru IPS (5%) , guru BK (5%), guru Bahasa Inggris (5%) dan guru kelas (23%). 

Ketiga, Kekerasan Seksual terbanyak di Jenjang SD

Hasil pengawasan KPAI menunjukkan bahwa dari 21 kasus kekerasan seksual di sekolah tersebut, 13 kasus (62%) terjadi dijenjang SD, 5 kasus (24%) terjadi dijenjang SMP/sederajat dan 3 kasus (14%) di jenjang SMA. Tingginya kasus kekerasan seksual di jenjang SD karena usia anak-anak SD adalah masa dimana anak mudah dimingi-imingi, takut diancam oleh gurunya, takut nilainya jelek dan tidak naik kelas, serta anak belum paham aktivitas seksual sehingga kerap kali anak-anak tersebut tidak menyadari kalau dirinya mengalami pelecehan seksual. Di sinilah pentingnya dilakukan pendidikan seks sejak dini. 

Keempat, Modus Pelaku Kekerasan Seksual 

Adapun modus pelaku kekerasan seksual di sekolah adalah : korban diajari matematika tetapi selesai jam belajar sehingga suasana sepi,  korban diajak menonton film porno saat jam istirahat di dalam ruang kelas, korban diancam mendapatkan nilai jelek, korban diberi uang oleh pelaku antara Rp 2.000-Rp 5.000; korban dibelikan handphone, dibelikan pulsa dan pakaian, korban di pacari gurunya, korban dijanjikan dinikahi gurunya, pelaku melakukan pelecehan seksual saat korban ganti pakaian olahraga di ruang ganti/ruang UKS (Unit Kesehatan Sekolah), dan dengan dalih sedang membuat disertasi pelaku meminta korban melakukan masturbasi di ruang Bimbingan Konseling (BK). 

Kelima, Tempat Pelaku Melakukan Kekerasan Seksual di Sekolah

Para pelaku dalam menjalankan aksi bejatnya mayoritas dilakukan di ruang kelas. Ada juga yang di ruang kepala sekolah, di kebon belakang sekolah, di ruang laboratorium komputer, ruang ganti pakaian/ruang UKS, di gudang sekolah, ruang perpustakaan dan di ruang BK. Dari hasil pengawasan KPAI, menunjukkan fakta bahwa teknologi CCTV belum ada di sekolah-sekolah tersebut sehingga lokasi-lokasi tersebut tidak terpantau oleh kamera pengaman.

Keenam, Bentuk kekerasan seksual yang dilakukan Sodomi, Perkosaan, Pencabulan, 

Pelecehan Seksual dan oral seks. Jika merujuk pada Permendikbud No. 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di satuan pendidikan, kita akan menemukan definisi pencabulan dan pemerkosaan, yaitu sebagai berikut : Pencabulan merupakan tindakan, proses, cara, perbuatan keji dan kotor, tidak senonoh, melanggar kesopanan dan kesusilaan;  Sedangkan  pemerkosaan diartikan sebagai tindakan, proses, perbuatan, cara menundukkan dengan kekerasan, memaksa dengan kekerasan, dan/atau menggagahi. 

Melalui Retno Listyarti, Komisioner KPAI Bidang Pendidika merekomendasikan sebagai berikut: 

Untuk melindungi anak-anak dari kekerasan seksual maka perlu pelibatan semua pihak, mulai dari orangtua, guru/sekolah, masyarakat dan negara dalam memastikan upaya-upaya nyata untuk mencegah dan mengatasi kekerasan seksual terhadap anak-anak. Upaya bersama yang dapat dlakukan diantaranya adalah sebagai berikut:

(1) bantu anak melindungi dirinya sendiri. Berikan pemahaman dan ajarkan anak untuk menolak segala perbuatan yang tidak senonoh dengan segera meninggalkan tempat di mana sentuhan terjadi. Ingatkan anak untuk tidak gampang mempercayai orang asing dan buat anak untuk selalu menceritakan jika terjadi sesuatu pada dirinya. 

Korban dan keluarga korban kekerasan seksual umumnya memang tidak berani melapor kepada yang berwajib karena merasa malu/mengangap sebagai aib yang harus ditutupi, oleh karena itu perlu edukasi dan penting dibangun sistem pengaduan di sekolah  yang membuat korban dan keluarganya berani melapor. Hal ini sekaligus mencegah ada korban lainnya. 

(2) berikan anak pendidikan kesehatan reproduksi dengan pendekatan yang sesuai dengan usia, peka budaya dan komprehensif yang mencakup program yang memuat informasi ilmiah akurat, realistis, dan tidak bersifat menghakimi.  Sehingga remaja dapat mengeksplorasi nilai-nilai dan sikap diri, serta melatih kemampuan pengambilan keputusan, komunikasi dan ketrampilan penekanan resiko di semua aspek seksualitasnya. 


(3) Aturan sekolah harus memiliki batas-batas yang tegas dari perilaku yg tidak diterima, misalnya anak harus diedukasi bahwa ada bagian ditubuhnya yang tidak boleh dilihat (apalagi disentuh) oleh siapapun kecuali dirinya sendiri. Bagian itu adalah organ intim yang akan ditutupi saat seorang anak menggunakan pakaian renang. Oleh karena itu, anak bisa membedakan, mana sentuhan sayang dan mana sentuhan nakal. Tekankan bahwa klau ada yang berani menyentuh, harus dilaporkan. 

(4) Maksimalkan Peran Sekolah. Sekolah harus memiliki fungsi kontrol sosial, yakni sekolah memiliki assessment (penilaian) terhadap perilaku anak. Sekolah juga harus menggagas aktivitas-aktivitas internal sekolah yang bersifat positif, memfasilitasi aktivitas orang tua siswa dan siswa minimal setahun sekali.  


(5) untuk Sekolah-sekolah dan Dinas-dinas Pendidikan setempat diperlukan sosialisasi dan percepatan Sekolah Ramah Anak (SRA) di berbagai daerah sebagai upaya menurunkan angka kekerasan di pendidikan. Sekolah harus membangun sistem pengaduan yang melindungi korban dan saksi, termasuk menganggarkan teknologi CCTV di ruang kelas dan ruang-ruang lain yang berpotensi digunakan oknum guru untuk melakukan kekerasan seksual terhadap anak didiknya. 

Selain itu, pendidikan kesehatan reproduksi dan pendidikan seks sesuai usia anak wajib menjadi perhatian dan dibutuhkan peran aktif pihak sekolah dan dinas pendidikan setempat, termasuk pemerintah pusat (Kemdikbud dan Kementerian Agama). 

(6) untuk Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (KEMDIKBUD), dari hasil pengawasan KPAI ternyata banyak guru, kepala sekolah dan kepala Dinas Pendidikan di berbagai daerah ternyata belum menerima sosialisasi Permendikbud N0. 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan, termasuk kekerasan seksual.  Banyak sekolah kebingungan menangani kekerasan di sekolah, padahal Permendikbud tersebut sudah mengaturnya dengan sangat baik.  

(7) KPAI mendorong pemerintah dan pemerintah daerah  untuk memenuhi hak-hak anak korban kekerasan seksual. Anak sebagai korban tindak kejahatan seksual perlu mendapatkan rehabilitasi secara maksimal dan tuntas. Sangat dibutuhkan penanganan yang serius dan program pemulihan psikologis yang jelas dan terukur,  karena jika tidak di rehabilitasi atau rehabilitasi psikologis belum tuntas, maka anak korban akan terus mengalami trauma. Jika trauma tidak hilang hingga dewasa, maka korban akan berpotensi besar menjadi pelaku. (KPAI)

Tags

Newsletter Signup

Sed ut perspiciatis unde omnis iste natus error sit voluptatem accusantium doloremque.