KPAI Dukung Moratorium UN, Bukan Menghapus UN
The Jambi Times, JAKARTA | Wacana
Mendikbud Nadiem untuk menghapus kebijakan Ujian Nasional (UN) disambut
positif oleh publik yang sudah lama menolak UN. Penolakan UN terjadi
sejak 2006, ketika itu UN dijadikan sebagai satu-satunya penentu
kelulusan, ketentuan ini didasarkan pada Peraturan Pemerintah No. 19
Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Kebijakan ini kemudian
digugat oleh warganegara melalui citizen law suit dan menang hingga
tingkatan Mahkamah Agung.
Citizen law suit
adalah sarana menggugat pemerintah yang dianggap lalai dalam memenuhi
hak-hak warga Negara. Kelalaian tersebut diibaratkan sebagai bentuk
perbuatan melawan hukum. Pihak tergugat dari citizen law suit terkait
kebijakan UN adalah Presiden RI, Wakil Presiden, Mendiknas dan Ketua
BNSP.
Kasasi yang diajukan pemerintah ditolak
Mahkamah Agung pada 14 September 2009. Hakim MA memerintahkan kepada
Negara/pemerintah memulihkan psikologis anak-anak yang tidak lulus
karena kebijakan UN saat itu. Selain itu, MA juga memerintahkan sebelum
melaksanakan UN, Negara wajib melakukan : (1) meningkatkan kualitas guru
dan menyebarkan guru berkualitas di seluruh Indonesa; (2) memenuhi
sarana prasarana pendidikan merata di seluruh Indonesia; dan (3) sistem
informasi antar sekolah harus merata di seluruh Indonesia. Namun,
keputusan tersebut ditafsir oleh pemerintah bukan menghentikan tetapi
ketiga perintah akan dilaksanakan namun UN jalan terus.
Seharusnya
pemerintah saat itu memoratorium atau menghentikan sementara kebijakan
UN sampai ketiga perintah MA dilaksanakan oleh pemerintah pusat,
pemerintah provinsi dan pemerintah daerah. Namun, sampai hari ini
ketiganya belum sepenuhnya dipenuhi Negara. Kebijakan UN terus
dilanjutkan, hanya saja tidak lagi menjadi 100% penentu kelulusan.
Retno Listyarti, Komisioner KPAI Bidang Pendidikan, Atas wacana penghapusan UN yang digulirkan oleh Mendikbud Nadiem, maka KPAI menyampaikan hal-hal berikut ini:
Pertama,
KPAI mendorong pemerintah (baca: Kemdikbud) menghormati keputusan
pengadilan dalam hal ini Mahkamah Agung terkait kebijakan Ujian Nasional
(UN). Pemerintah yang baik adalah yang menghormati hukum dan keputusan
pengadilan yang sudah ikrah. Ketiga perintah MA sebagai prasyarat
pelaksanaan UN seharusnya dipenuhi dahulu oleh Pemerintah baru
melaksanakan UN. Oleh karena itu, MORATORIUM UN lebih tepat dibandingkan
menghapus UN. Apalagi Menteri Nadiem juga menyatakan penghapusan UN
masih harus dikaji lagi.
Kedua, KPAI sangat
mendukung Ujian Nasional (UN) tidak lagi menjadi parameter masuk ke
jenjang sekolah yang lebih tinggi karena PPDB sudah menggunakan sistem
zonasi murni. KPAI juga mendukung penghapusan UN sebagai penentu
kelulusan siswa, namun KPAI berpendapat bahwa UN masih bisa digunakan
untuk parameter pemetaan kualitas pendidikan, dengan catatan tidak
dilakukan setiap tahun, tidak semua sekolah dan tidak semua anak di
sekolah tersebut (sampel saja).
Pemerintah
Indonesia masih perlu Ujian Nasional (UN), tetapi hanya sebagai
parameter pemetaan kualitas pendidikan, karena kualitas di Pulau Jawa
dan luar Jawa, kota dan desa, saja berbeda sekali. UN untuk mengukur
kinerja pemerintah bukan kemampuan akademik siswa.
Meskipun
UN sudah tidak menentukan kelulusan, tapi masih diperlukan, misalnya
untuk menentukan intervensi pemerintah dalam membantu sekolah. Contohnya
: hasil UN sekolah A nilai Bahasa Inggrisnya sangat rendah, setelah
diselidiki ternyata sekolah tersebut tidak memiliki laboratorium Bahasa,
maka kemudian pemerintah membangunkan laboratorium Bahasa di sekolah
tersebut. Tiga tahun kemudian, dievaluasi apakah nilai Bahasa para siswa
di sekolah tersebut meningkat setelah dibangun laboratorium Bahasa
tersebut.
Ketiga, Perintah UN sebagai parameter
pemetaan kualitas pendidikan justru merupakan amanat dalam UU No.
20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pemetaan pendidikan itu
penting dan memang diperlukan biaya. Kalau kita tidak tahu petanya,
bagaimana kita melakukan intervensi dan atau membuat kebijakan
pendidikan. Peta pendidikan masih kita perlukan untuk melihat level dari
masing-masing daerah ini seperti apa dan bagaimana.
Kalau
kondisi dan kualitas sekolah belum sama kualitasnya, bahkan dari sisi
sarana prasarananya saja seperti langit dan bumi antara sekolah-sekolah
di Jawa dengan di luar Jawa, maka pemberlakukan kebijakan UN menjadi
tidak adil, karena tidak sebanding tetapi distandarisasi sama. Ketika
semua sekolah di Indonesia sudah sama kualitasnya, maka standarisasi
pendidikan Nasional melalui kebijakan UN bisa dilaksanakan dan memenuhi
rasa keadilan masyarakat. (KPAI)