Jangan Sampai Nasdem Di Persimpangan Jalan Politik
Emrus Sihombing Direktur Eksekutif Lembaga EmrusCorner
Dari
seluruh rangkaian sambutan Presiden Jokowi saat membuka peringatan HUT
ke-55 Partai Golkar di Hotel Sultan, Jakarta, Rabu, 6 November 2019,
ketika “menyapa” Surya Paloh yang hadir pada acara yang sama, mendapat
sorotan publik melalui media massa.
“Sapaan”
Jokowi kepada Surya Paloh menurut hemat saya, tidak kelakar semata.
Namun, sarat makna mendalam sebagai tegoran kepada Surya Paloh , untuk
seorang sahabat agar tetap konsisten sebagai bagian dari koalisi
pemerintahan Jokowi. Jangan sampai “berdua hati”. Itu pesan yang mungkin
ingin disampaikan, dari narasi sambutan tersebut.
Ketika
sambutan Jokowi menyapa para ketua umum, saat itu belum menyebut
nama-nama ketua umum partai, langsung sapaan ditujukan kepada Surya
Paloh. "Yang saya hormati para ketua umum, Bapak Surya Paloh yang kalau
kita lihat malam hari ini beliau lebih cerah dari biasanya, sehabis
pertemuan beliau dengan Pak Sohibul Iman di PKS," sembari juga
menjelaskan, "Saya tidak tahu maknanya apa. Tetapi rangkulannya itu
tidak seperti biasanya. Tidak pernah saya dirangkul oleh Bang Surya
seerat dengan Pak Sohibul Iman," demikian bagian sambutan Jokowi yang
dimuat di berbagai media.
Dari
sapaan tersebut, bisa kita menangkap maknanya, presiden ingin
menyampaikan pesan bahwa Surya Paloh sudah lebih dekat dengan Sohibul
Iman, orang nomor satu di PKS di banding dengan Jokowi. “Tidak pernah
saya dirangkul oleh Bang Surya seerat dengan Pak Sohibul Iman.” Artinya,
Jokowi ingin menyampaikan, hanya saja tidak terucap, bahwa Surya Paloh
sebagai ketua Umum Partai Nasdem merupakan bagian dari koalisi yang tiga
kadernya ada di kabinet. Menurut catatan EmrusCorner, pemerintahan
Jokowi - Ma’ruf, sangat mengakomodasi tiga menteri dari Nasdem, yaitu
Kementerian Pertanian, Kementerian Komunikasi & Informatika dan
Kementerian Kehutanan & Lingkungan Hidup.
Bahkan
pemerintahan jilid satu, Jokowi juga menaruh kepercayaan luar biasa
kepada Nasdem dengan mempercayakan jabatan sangat strategis kepada kader
Nasdem (walau waktu itu secara jurudis kemudian mundur dari Nasdem,
namun secara sosiologis dan psikologis orang yang bersangkutan tetap
“bagian” dari Nasdem), menjadi Jaksa Agung. Sekalipun idealnya, Jaksa
Agung itu dari profesional murni untuk menjaga independensi kejaksaan
dalam penegakan hukum kepada setiap warga masyarakat yang ada di tanah
air. Karena itu, bisa saja publik bertanya-tanya, relasi yang tampaknya
mulai “mendingin” antara Surya Paloh dengan Jokowi, apakah karena Jaksa
Agung tidak lagi dari Nasdem?
Untuk
itu, saya menyarankan kepada Surya Paloh agar segera memperbaiki relasi
koalisi dan komitmen dengan pemerintahan Jokowi. Jangan sampai hubungan
terganggu apalagi semakin jauh, sementara ada tiga kader Nasdem di
kabinet. Atau memang ada keinginan mejadi posisi checks and balances, di
luar pemerintahan dengan menarik kadernya dari kabinet. Sebab, berada
di luar pemerintahan, sama mulianya dengan di dalam kekuasaan, sepanjang
berbasis pada ideologi Pancasila, UUD 1945 dan NKRI.
Atau
tidak ada salahnya, bila para senior partai di Nasdem dan tiga menteri
yang duduk di kabinet yang sekarang harus berani memberikan masukan
kepada Surya Paloh tentang penentuan posisi politik Nasdem lima tahun ke
depan, di dalam koalisi dengan memberikan dukungan penuh kepada
pemerintah atau di luar kekuasaan. Pada konteks dan saat tertentu, teman
sekerja terlepas pada posisi apapun di partai, bisa saja saling memberi
masukan, nasehat bahkan tegoran, tetapi dilakukan di teritorial privat
di partai. Tidak ada salahnya “buka-bukaan” pandangan di sana untuk
menentukan sikap politik untuk setidaknya lima tahun ke depan.
Ketegasan
sikap politik sangat perlu agar tidak dimaknai oleh publik seolah
bermain di “dua kaki”. Jangan sampai Nasdem berada di persimpangan
jalan. Politik itu perlu komitmen. Apalagi mengambil posisi di oposisi
karena tidak ada partai yang menjadi oposisi. Ini kurang produktif.
Satu
lagi yang menarik pada bagian sambutannya, Jokowi bertanya langsung ke
Surya Paloh di ruang tunggu (bukan di ruang publik), sebelum acara HUT
Golkar dimulai perihal pertemuannya dengan Sohibul Iman, sangat humanis
dan bagus sekali. "Tadi di holding saya tanyakan, ada apa? Tapi nanti
jawabnya, di lain waktu dijawab. Saya boleh bertanya dong, karena beliau
masih di koalisi pemerintah," tegas Jokowi yang dimuat diberbagai
media.
Dari ungkapan tersebut,
Jokowi ingin mendengar secara langsung dari Surya Paloh tentang isi
pembicaraanya dengan Sohibul Iman. Bertanya langsung kepada yang
bersangkutan, sangat baik daripada (hanya) menerima pesan dari pihak
ketiga, yang boleh jadi sudah melalui erosi fakta. Sayangnya, Surya
Paloh tidak menjawab atau belum siap menjawab karena bisa saja tidak
diduga pertanyaan itu muncul. Memang pertanyaan yang tiba-tiba,
cenderung memperoleh jawaban yang lebih natural. Karena itu, konteks
pengajuan pertanyaan oleh Jokowi tersebut, sebagai hal yang produktif.
Terlepas
diduga atau tidak diduga pertanyaan tersebut muncul serta belum siap
menjawab, sebaiknya Surya Paloh mejawab apa adanya saat itu juga. Sebab,
yang bertanya tersebut seorang Presiden yang sama-sama kita hormati
sebagai simbol negara, kepala negara dan kepala pemerintahan kita. Mei
tahun 2018, sebagai contoh, saya pernah dipanggil Presiden melalui
protokoler ke Istana Negara di Jakarta, pada saat bersamaan saya
sebelumnya sudah terjadwal sebagai narasumber di salah satu stasiun
televisi terkemukan di Indoensia, saya harus mendahulukan panggilan dari
presiden sembari menelepon pihak media untuk minta maaf.
Kalaupun
memang ada uraian jawaban, tentu berdasarkan fakta dan kenyataan
pembicaran yang sesungguhnya terjadi dengan Sohibul Iman, tetapi tidak
atau kurang sesuai dengan komitmen koalisi yang dibuat sebelumnya dengan
Jokowi, tidak ada salahnya Surya Paloh dengan mengatakan minta maaf,
bukan menyatakan bahwa dilain waktu akan dijawab. Sebab dari aspek
komunikasi, penundaan jawaban, itu adalah jawaban. Ada di situ agenda.
Emrus Sihombing
Direktur Eksekutif
Lembaga EmrusCorner