Persatuan Umat Islam: Antara Gagasan Dan Pembuktian
Tanya: Gagasan
(dalil) agar umat Islam bersatu bertebaran di dalam Al-Qurãn, hadis,
serta ucapan dan tulisan ulama dari dulu sampai sekarang. Tapi mengapa
umat Islam tak kunjung bersatu, bahkan semakin terpecah ke dalam
kelompok-kelompok yang jumlahnya kian besar?
Jawab: Hadis
yang sering jadi acuan pertama dan utama ketika membahas tentang
perpecahan umat, antara lain, adalah Hadis Abu Daud yang mengatakan:
أَلاَ
إِنَّ مَنْ قَبْلَكُمْم مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ اِفْتَرَقُوا عَلَى
ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ مِلَّةً وَإِنَّ هَذِهِ المِلَّةَ سَتَفْتَرِقُ
عَلَى ثَلاَثٍ وَ سَبْعِيْنَ. ثِنْتَانِ وَ سَبْعُونَ فَى النَّارِ
وَوَاحِدَةٌ فِى الْجَنَّةِ وَ هِيَ الْجَمَاعَةُ.
Perhatikanlah! Sesungguhnya manusia (umat) sebelum kalian, dari kalangan Ahli Kitab, terpecah menjadi 72 millah (agama; kelompok agama, sekte). Dan sungguh, millah ini
(Islam) – juga – akan pecah menjadi 73. Tujuh puluh dua (di antaranya)
masuk neraka, dan (hanya) satu yang masuk sorga, yaitu Al-Jamã’ah.
Saya sering mendengar orang mengutip hadis itu, tapi tak pernah puas dengan penejelasan dan kesimpulannya.
Intinya di sini adalah Al-Jamã’ah. Apakah gerangan yang dimaksud Al-Jamã’ah ini.
Setiap kelompok yang merasa berjama’ah biasanya mengaku sebagai Al-Jamã’ah yang disebut dalam hadis itu!
Ya. Bila semua mengaku sebagai Al-Jamã’ah, berarti semua benar dan semua salah!
Maksud anda?
Yaa… Semua benar dalam pengakuan, sama-sama mengaku sebagai Al-Jamã’ah.
Tapi salah dalam kelakuan; karena pengakuan bukanlah kelakuan, atau
setidaknya, pengakuan belum tentu menjadi kelakuan. Perkataan belum
tentu mewakili kenyataan. Nyatanya, yang kita lihat dan rasakan, saling
mengaku itulah yang semakin menyatakan adanya perpecahan!
Benar! Lantas, bagaimana cara mengurai benang kusut ini?
Pertama, garis-bawahi, perhatikan istilah Al-Jamã’ah dari segi fungsinya. Lihat Al-Jamã’ah secara fungsional.
Jelasnya?
Dalam sebuah hadis lain Rasulullah mengatakan bahwa Al-Jamã’ah itu adalah “sesuatu” yang di dalamnya ada beliau dan para sahabat…” (ما أنا عليه و أصحابى). …
Ada beliau, Nabi Muhammad, dan para sahabat seperti Aku Bakar, Umar, Utsman, dan Ali?
Ya!
Artinya, bila mereka semua tidak ada, maka Al-Jamã’ah juga tidak ada?
Tadi saya katakan: lihat, perhatikan, secara fungsional.
Saya tidak mengerti!
Lihat Nabi Muhammad dan para sahabat beliau dari fungsi-fungsi mereka dalam Al-Jamã’ah. Pertama, ingat bahwa Nabi Muhammad adalam imam, pemimpin, dalam Al-Jamã’ah… Dan para sahabat, mereka adalah ma’mum istimewa.
Ma’mum istimewa? Jelasnya?
Mereka pengkut Nabi
Muhammad, tapi bukan pengikut biasa, mereka adalah pengikut yang, satu
segi, mengukuhkan fungsi pemimpin dan, segi lain, siap menggantikan
pemimpin, bila tiba saatnya.
Apa yang anda maksud dengan “mengukukuhkan fungsi pemimpin”?
Bila Rasulullah
diibaratkan presiden, mereka adalah para menteri, yang menjalankan
fungsi-fungsi pemimpin dalam bidang-bidang tertentu, yang menyempurnakan
fungsi presiden. Dengan kata lain, bila presiden mempunyai suatu
sistem, mereka adalah pendukung utama yang menjamin sistem itu berjalan.
Anda menghubungkan
Al-Jamã’ah dengan fungsi-fungsi pemimpin, presiden, dan sistem. Apakah
anda ingin mengatakan bahwa Al-Jamã’ah itu sebuah lembaga resmi?
Ya! Lembaga resmi.
Lembaga formal. Bukan lembaga non-formal, yang para pemimpinnya otomatis
menjadi para pemimpin non-formal pula, seperti para pemimpin agama
sekarang.
Tapi… Resminya, formalnya dari sudut pandang apa?
Kembali pada perkataan saya tadi: Lihat secara fungsional. Jelasnya, bila kita melihat Al-Jamã’ah dengan melepaskannya dari fungsinya, maka kita hanya berwacana. Hanya ngobrol tentang gagasan tanpa peduli pembuktiannya.
Jadi, Al-Jamã’ah tersebut harus merupakan lembaga yang fungsional?
Ya!
Jelasnya?
Kira-kira seperti sebuah sistem yang berlaku di suatu tempat.
Di suatu tempat? Apakah yang anda maksud tempat itu negara?
Bisa negara, bisa bukan.
Contohnya?
Katakanlah, untuk mudahnya, Al-Jamã’ah itu
seperti yang berlaku di Aceh sekarang. Aceh adalah bagian dari NKRI,
tapi di sana diijinkan menjalankan “Syari’ah Islam”, dalam tanda kutip
ya?
Kenapa harus dalam tanda kutip?
Karena Al-Jamã’ah belum tentu sama seperti yang dimaksud Rasulullah dalam hadis di atas.
Jadi, selain harus fungsional, juga harus seperti yang dimaksud Rasulullah?
O, iya dong! Bukankah bagi kita Rasulullah itu, beserta jama’ahnya, adalah model terindah (uswah hasanah)?
Rasulullah beserta jama’ahnya? Bukan hanya secara pribadi?
Rasulullah secara pribadi itu kan pemimpin dalam pembentukan dan pemungsian Al-Jamã’ah itu.
Jadi, bicara Rasulullah tidak bisa hanya bicara satu pribadi. Sama juga
bila kita bicara Suharto, tidak bisa hanya bicara pribadinya; karena
pribadinya tidak bisa dipisahkan dari sistem yang dibangun dan
difungsikannya, yaitu sistem Orde Baru.
Jadi, maksud anda, Al-Jamã’ah sama dengan sebuah sistem?
Ya!
Apakah itu bukan pemaksaan?
Bukan! Saya kira, itulah ‘tafsir’ yang paling logis tentang Al-Jamã’ah yang dimaksud Rasulullah.
Paling logisnya bagaimana?
Berdasar kenyataan. Selama ini kan semua kelompok (jama’ah) mengklain kelompok masing-masing sebagai wakil atau perwujudan dari Al-Jamã’ah yang disebut Rasulullah. Tapi, berdasar kenyataan pula, di antara mereka tak ada satupun yang fungsional berlaku sebagaimana Al-Jamã’ah yang dibangun Rasulullah bersama para sahabat beliau.
Bagaimana sebenarnya berlakunya Al-Jamã’ah yang dibangun Rasulullah itu?
Yaa sebagaimana berlakunya sebuah sistem politik di suatu tempat.
Sistem politik?
Iya. Sistem politik.
Ha! Jadi semakin
jelas sekarang. Jadi, anda ingin mengatakan bahwa Al-Jamã’ah yang
dimaksud Rasulullah itu adalah sebuah sistem politik?
Iya.
Hhhmmmhhh….
Kenapa? Bingung?
Bukan bingung. Kaget saja. Tapi saya belum percaya… Belum yakin!
Ingat awal obrolan kita. Anda bicara tentang perpecahan umat Islam dan bagaimana mempersatukan mereka.
Iya.
Nah. Saya tegaskan lagi
jawaban ringkasnya: “Persatuan itu hanya bisa terjadi bila umat
sepakat untuk membentuk jama’ah yang formal dan fungsional.” Bukan hanya
asal membentuk jama’ah.
Iya, saya mengerti. Tapi, soalnya, bagaimana bisa membentuk kesepakatan umat itu?
Umat itu kan seperti hewan ternak…
Seperti hewan ternak?
Ya. Itu bahasa hadis. Bahasa yang digunakan Rasulullah. Istilah aslinya ra’iyyatun atau ra’iyyah;
yang kemudian kita adaptasi menjadi rakyat. Umat itu ibarat hewan
ternak. Ibarat gembalaan.
Sebaliknya, para pemimpin mereka ibarat
penggembala. Istilah hadisnya rã’in. Merekalah yang menentukan
mau dibawa ke mana si hewan ternak. Jelasnya, merekalah yang menentukan
para hewan ternak itu mau dibiarkan berkeliaran dan pulang ke banyak
kandang, atau pulang ke satu kandang saja.
Banyak kandang itu maksudnya banyak kelompok? Banyak aliran?
Iya.
Dan satu kandang itu?
Al-Jamã’ah! Atau, dengan nama lain, Dînul-Islãm!
Dînul-Islãm?
Al-Jamã’ah yang dimaksud Rasulullah, dengan kata lain adalah Dînul-Islãm. Dînul-Islãm ini sebuah wadah, sekaligus sistem, yang mampu mengimpun umat Islam, setidaknya di masa Rasulullah dan para sahabat.
Di luar masa-masa itu?
Seperti kata Rasulullah dalam sebuah hadis: Lã Islãma illa ismuhu.
Islam – sebagai sistem – hanya tinggal nama. Islam bahkan kemudian
hanya tinggal menjadi sebuah stempel untuk membuat klaim (pengakuan)
bahwa sebuah kelompok, sebuah gerakan, adalah Islam itu sendiri, atau
setidaknya adalah Islami.
Hmh,
ya, ya, ya… Tapi, tampaknya, saya merasa bahwa yang anda kemukakan itu
adalah sebuah tinjauan politis! Pandangan anda adalah pandangan Islam
politis!
Saya
tidak keberatan anda menilai demikian. Dan penilaian anda itu memang
benar. Benar, dalam arti bahwa saya memahami politik sebagai the art government. Politik, dalam pengertian awalnya yang positif, adalah sebuah seni dalam menjalankan pemerintahan. Dan sejarah mencatat, Dînul-Islãm sebagai seni memerintah yang diajarkan Allah dan diterapkan rasulNya itu, adalah seni yang indah sekali.
Bila dikembalikan ke pertanyaan awal, bagaimana indahnya Dînul-Islãm itu dalam konteks persatuan umat?
Anda
bisa pelajari sejarah Madinah. Bila anda memulainya, misalnya, dari
Piagam Madinah, di sana akan anda temukan konsep tentang umat. …
O, ya? Bagaiman Piagam Madinah, misalnya, mendefinisikan umat?
Pertama,
harap diperhatikan, di sana tertulis bahwa piagam tersebut adalah
ketetapan, atau – barangkali – semcan kepres (keputusan presiden) dari
Muhammad, yang juga berkedudukan sebagai nabi. (Hãdzihi kitãbun min Muhammad, An-Nabiy). Jadi di sini ada penegasan kedudukan Muhammad sebagai pemimpin umat dan nabi.
Kenapa beliau menggunakan istilah “nabi”, bukan “rasul”?
Harfiyah,
nabi adalah pembawa berita dari Allah. Tentu bukan sembarang berita.
Berita ini, kenyataannya, adalah sebuah konsep hidup. Itulah konotasi
dari penggunaan istilah nabi. Selain itu, istilah nabi mencakup juga
istilah rasul; seperti yang dikatakan dalam surat Al-Ahzab ayat 45-46: Ya ayuhan-nabiyyu, innã arsalnãka syãhidan wa mubasysyiran wa nadzîran; wa dãiyan ilãllãhi bi’idznihi wa syirãjan munîran. (Wahai Nabi! Sesungguhnya Kami [Allah] me-rasul-kanmu [mengutusmu] sebagai syãhid [pewujud
konsep Allah], penyampai kabar gembira dan peringatan; yakni sebagai
da’i yang mengajak untuk hidup dengan ajaran Allah, dengan ijinNya;
yang tak ubahnya bagaikan lampu yang menerangi kehidupan).
Terus, tentang umat?
Butir
pertama dari piagam itu, terjemahannya kira-kira begini: “Ketetapan
(kitab) ini dibuat oleh Muhammad dalam kedudukan sebagai Nabi; antara
para Mu’min, dan kaum Muslimin dari kalangan Quraisy dan Yatsrib
serta yang mengikuti mereka dan menyusul mereka dan berjuang
bersama-sama mereka; (menyatakan) bahwa mereka adalah satu umat, di
luar golongan manusia lain (di luar Madinah).
Dalam
kenyataan di Madinah waktu itu, “umat” yang dimaksud itu terdiri dari:
1. Kaum mu’min, yang mencakup Muhajirin dan Anshar, yang masing-masing
terdiri dari beberapa suku, 2. Kaum Musyrik, yaitu orang-orang Arab yang
masih memuja berhala (kaum pagan), 3. Yahudi, yang terdiri dari Yahudi
asli yang mencakup beberapa suku, orang Arab yang beragama Yahudi, orang
Arab yang menikah dengan Yahudi.
Jadi, mereka semua itu yang dalam Piagam Madinah disebut sebagai “umat”?
Ya.
Jadi, bukan hanya mu’min dan atau muslim?
Ya.
Di dalamnya ada mu’min, muslim, dan lain-lain. Dalam istilah kita
sekarang, di sana ada orang beragama Islam, dan ada pula yang memeluk
agama-agama lain. Ada bangsa Arab, Yahudi, Persia, dan entah apa lagi.
Dari segi kesukuan, Nabi Muhammad sendiri berasal dari Banu Hasyim, yang
kebetulan menjadi pemimpin mereka semua. Dengan kata lain, gambaran
kenyataan inilah yang tadi anda sebut sebagai “Islam politik”.
Dan hanya melalui “Islam politik” seperti yang anda gambarkan itulah umat Islam sekarang bisa bersatu?
Ya. Tapi itu juga hanya bisa berlaku setelah melalui satu proses yang panjang juga?
O, ya? Bagaimana tuh? Bisa dijelaskan?
(a.h)
[BERSAMBUNG]