Salah Kaprah Tentang "Idul Fithri
THE JAMBI TIMES
- Selama ini kita cenderung melihat ‘Ĩdul-Fithri
ibarat melihat permukaan sungai, sehingga hanya bisa melihat benda-benda ringan
yang mengambang di permukaan air. Kita jarang – atau mungkin belum pernah –
melihat benda-benda yang lebih berat yang mengapung di bawah permukaan.
Padahal, siapa tahu yang hanyut di permukaan itu hanyalah sampah, sedangkan
yang ada di bawah permukaan adalah benda-benda yang lebih berharga.
Permukaan
‘Ĩdul-Fithri adalah pesta; sebagaimana pengertian kata ‘ĩd dalam bahasa
dan budaya Arab adalah pesta. Dalam konteks pesta itulah, kata al-fihtru
(ajaibnya!) dianggap sama dengan al-futhûr, yang artinya – dalam budaya Arab
– sama dengan sarapan alias makan pertama di pagi hari, atau mengakhiri puasa.
Karena itu, ada orang Indonesia yang mengartikan ‘Idul-fithri sebagai “Hariraya
Berbuka”. Bahkan ada pula yang mengartikan (hariraya) “Kembali Makan”; dengan
alasan ‘ĩd berarti “kembali”, al-fihtru = al-futhûr = “makan”.
Dengan
demikian, ‘Ĩdul-Fithri adalah pesta atau bersuka-ria karena dibebaskan untuk
kembali makan dan minum (sesuka hati!).
Karena itulah,
pada hariraya ‘Ĩdul-Fithri makanan dan minuman melimpah ruah, sampai banyak
yang terbuang.Bahkan silaturrahmi pun dilakukan dengan cara saling tukar dan
kirim-kiriman makanan.
Belakangan,
seiring masuknya budaya Barat, kirim-kiriman makanan yang dulu hanya dilakukan
dengan rantang dan keranjang sederhana pun diubah ke dalam bentuk parcel
(paket = bungkusan). Tapi harap diingat bahwa yang belakangan ini
(kirim-kiriman parsel) hanya berlaku di kalangan menengah ke atas, dan
tujuannya kadang melenceng jadi semacam cara menjilat, menyogok, dan
sebagainya.
Karena itulah,
tahun 2006, KPK sibuk menyorot pengiriman parsel dari pengusaha ke pejabat,
yang konon harganya ada yang mencapai 24 juta rupiah (kok murah ya?).
Seorang
mubaligh menulis di tahun 1960an bahwa akibat dari pemahaman ‘Ĩdul-Fithri
sebagai pesta atau kembali makan itulah tatanan perekonomian
menjadi rusak. Umat Islam cenderung melakukan deficit spending alias
berbelanja sampai kantong jebol. Bahkan mereka yang sejak semula berkantong
kosong pun tak mau ketinggalan untuk berpesta, walau harus mencuri atau merampok.
Karena itulah, setiap menjelang ‘Ĩdul-Fithri, harga-harga naik, dan kejahatan
meningkat karena munculnya penjahat-penjahat irregular (dadakan), yaitu
orang-orang miskin yang merasa malu (dan tentu sedih!) bila tidak ikut
berpesta.
Kalau begitu, ‘Ĩdul-Fithri
membawa bencana?
Pertanyaan itu
tentu ganjil, dan bisa membuat sebagian orang marah.
Tapi
kenyataannya, ‘Ĩdul-Fithri memang membawa ekses negatif.
Mengapa?
Karena kita
selama ini cenderung melihat dan mengajarkan sisi permukaan saja dari ‘Ĩdul-Fithri
itu, yaitu sebagai sebuah pesta. Al-hasil, momentum ‘Ĩdul-Fithri pun
dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh para pedagang, sebagai kesempatan untuk
mengeruk keuntungan yang luar biasa. Maka, mereka pun menimbun barang dan
menaikkan harga! Bahkan perusahaan (yang hakikatnya) milik pemerintah seperti
PT. Kereta Api, juga tak mau kalah, ikut-ikutan menaikkan harga karcis. Dan
untuk itu pemerintah cukup mengatakan, “Biarlah, soal harga itu, kita serahkan
kepada mekanisme pasar!”
Jadi,
pemerintah yang seharusnya menjadi pelindung dan pembela rakyat kecil, malah
membiarkan semua wong cilik diterkam dan dilindas mekanisme (gemuruh
mesin) pasar!
Tidakkah mereka
sadar bahwa “mekanisme pasar” itu telah memunculkan ironi berkepanjangan,
khususnya di kalangan rakyat jelata?
Dan ironi itu
pun menjadi semakin menyayat hati manakala kita saksikan para ‘ulama’ pun
tampak seperti lebih berpihak kepada para pedagang daripada rakyat kecil.
Mereka seperi “oke oke saja” dimanfaatkan para pedagang untuk menghiasi
‘acara-acara keagamaan’ di televisi yang penuh dengan iklan produk-produk yang
hanya bisa dibeli orang-orang kaya!
Di satu pihak,
rakyat jelata, kaum miskin yang merupakan bagian terbesar bangsa ini, memang
selalu merindukan ‘Ĩdul-Fithri sebagai sebuah pesta tahunan, saat mereka bisa
merasakan kenikmatan makan, minum, pakaian baru, dan berjalan-jalan.
Di pihak lain,
hasrat berpesta itu justru membuka peluang bagi para pencari keuntungan yang
tidak berperikemanusiaan, yang di saat orang ramai berbelanja bukan menurunkan
harga, tapi malah menaikkannya sesuka hati saja.
Apa pendapat
anda?
Idul-Fitri dan
ekonomi
Ajaran Islam,
pada dasarnya, tidak mendukung kegiatan bersifat hura-hura. Kalaulah ada pesta
yang dihalalkan, maka yang dihalalkan itu adalah “pesta kepedulian” golongan
kaya terhadap kalangan tidak berpunya. ‘Ĩdul-Qurbãn, misalnya, adalah “pesta
kepedulian” dengan cara (permukaannya) berbagi daging hewan, yang merupakan
makanan bergizi tinggi tapi berharga mahal. Di balik pemberian daging hewan itu
ada ajaran tentang kepedulian terhadap kesehatan dan perbaikan gizi saudara
seiman; di samping ajaran untuk senang berkorban serta siap ‘menyembelih’
sifat-sifat kehewanan dalam diri sendiri.
Dan ‘Ĩdul-Fithri,
terutama melalui zakat fithrahnya, adalah “pesta kepedulian” dengan cara
berbagi bahan makanan pokok. “Pada hari itu,” kata Rasulullah, “jangan sampai
ada orang miskin yang tidak makan!”
Tapi, sekali
lagi, itu pun masih bersifat permukaan, atau tepatnya baru merupakan simbol
(lambang).
Bila
‘Ĩdul-Qurbãn atau ‘Ĩdul-Adhã adalah simbol penyembelihan “sisi kebinatangan”
diri, yang sering mengajak kita menerobos pagar dan memakan sesama,
‘Ĩdul-Fithri – pada satu sisi – adalah simbol ‘pemerataan’ ekonomi.
Bila pada
hari-H ‘Ĩdul-Fithri itu tidak boleh ada orang yang kelaparan, apakah di
hari-hari berikutnya boleh-boleh saja membiarkan mereka kelaparan?
Tentu tidak.
Justru karena
itulah, nilai simbolis ‘Ĩdul-Fithri jadi semakin kental.
Bila anda
mencermati tulisan tentang Ramadhan di blog saya (PIPB), terutama yang
berkenaan dengan nilai-nilai simblois berkenaan rahmat, maghfirah, dan itqun
mina-nnãr di dalamnya, maka ‘Ĩdul-Fithri yang merupakan penutup Ramadhan
adalah juga pintu gerbang bagi ‘peluncuran’ nilai-nilai tersebut.
‘Peluncuran’
itu dimulai dengan pembagian zakat fihtrah, sebagai simbol dari upaya
pengentasan kaum miskin dari derita kelaparan.
Karena itu,
‘Ĩdul-Fithri dengan zakat fithrahnya bukanlah “hari derma” untuk mendermakan
tiga liter beras sekali setahun, tapi untuk mengawali bentuk kepedulian yang
berkesinambungan dan tersistem.
Bagaimana
caranya?
Mubaligh yang
penulis singgung dalam tulisan terdahulu, mengajukan sebuah ‘tesis’ tentang
zakat sebagai sistem ekonomi. Makhluk apa itu?
Dalam kamus,
kata zakat dengan segala variasi bentuk katanya, ternyata mempunyai beberapa
pengertian. Di antaranya, ada pengertian yang berkaitan dengan keadaan bumi
(tanah), tanaman, dan manusia.
Bila dikaitkan
dengan bumi, zakat berarti subur, ditandai dengan banyaknya rumput dan
tanaman.
Bila dikaitkan
dengan tanaman, zakat berarti tumbuh dan berkembang.
Bila dikaitkan
dengan manusia, zakat berarti shalih, baik, pantas, layak. Juga berarti bersih,
suci; murni; benar.
Lalu, bagaimana
bila zakat dikaitkan dengan ekonomi?
Semua
pengertian harfiah zakat bisa dipasangkan dengan kata ekonomi! Atau setidaknya
menjadi semboyan-semboyan ekonomi.
Misalnya:
Ekonomi subur
(makmur): bertujuan menjaga kesuburan bumi demi kemakmuran
rakyat.
Ekonomi
tumbuh-kembang: bertujuan menumbuh-kembangkan kehidupan rakyat.
Ekonomi
shalih/baik/baik/pantas/layak: bertujuan
membentuk ekonom-ekonom yang shalih, yang mampu membangun kehidupan yang baik,
pantas, dan layak.
Ekonomi
bersih/suci/murni/benar: bertujuan membangun kehidupan
ekonomi yang bersih dari segala motivasi buruk, dengan harapan murni
menjalankan yang benar saja.
Terlepas dari
‘semboyan-semboyan’ itu, sistem ekonomi zakat pada hakitnya adalah kebalikan
dari sistem ekonomi riba.
Bila riba
adalah kecenderunan untuk membungakan (melipatgandakan) uang demi kepentindan
individu pemilik uang (modal) itu sendiri (= kapitalisme), maka ekonomi zakat
adalah kecenderungan dari pemilik uang (modal) untuk memfasilitasi pertumbuhan
dan perkembangan perekonomian masyarakat, supaya kekayaan yang mereka miliki
bisa mengalirkan manfaat demi pertumbuhan dan perkembangan bersama.
Allah dan
rasulNya mengingatkan bahwa alam semesta ini terwujud sebagai hasil rancang-bangun
Allah, dan manusia diciptakan sebagai makhluk budaya, teristimewa untuk
mementaskan konsepNya. (Kaji surat Al-Qamar ayat 49, surat Al-Anbiyã’ ayat 104,
dll.).
‘Ĩdul-Fithri,
di balik makna pestanya, sebenarnya mengandung ajaran (filosofi) agar manusia
menyadari hal itu.
Kembali ke
pangkuan Allah
Meskipun memang
benar bahwa ‘Ĩdul-Fithri muncul untuk mengakhiri puasa Ramadhan, namun
‘Ĩdul-Fithri – dalam isyarat Al-Qurãn maupun Hadĩts – tidaklah sama dengan ‘Ĩdul-Futhûri
(kembali makan; hariraya berbuka). Tegasnya, makna ‘Ĩdul-Fithri sebenarnya
tidaklah sedangkal itu.
Sebelum ini
sudah disinggung bahwa ‘Ĩdul-Fithri adalah kata majemuk, gabungan dari ĩd dan
al-fithru. Ĩd berarti kembali, sedangkan al-fithru
mempunyai banyak arti.
Al-fithru secara ilmu sharaf (ash-sharf; morfologi) adalah salah satu mashdar
(akar kata) dari fi’l-mãdhi (kata kerja lampau) fathara, yang
mempunyai dua fi’l-mudhãri’ (kata kerja sekarang dan yang akan datang),
yaitu yafthuru dan yafthiru.
Bentuk-bentuk
masdarnya yang lain, sebelum diberi kata sandang al (Ing.: the )
adalah: fathran, fithran, futhûran, fithratan. Bentuk-bentuk masdar ini,
termasuk bentuk jamaknya yang juga berbeda-beda, berpengaruh pada kandungan
makna.
Fathara dengan masdar fathran dan fithratan (= fithrah) artinya bisa
(1) membelah, (2) terbit; muncul, (3) menciptakan; membuat; mengadakan, dan
lain-lain.
Sedangkan fathara
dengan masdar futhûran artinya (1) makan sarapan, (2) mengakhiri puasa; makan
dan minum setelah puasa. Sehubungan dengan inilah selama bulan Ramadhan setiap
hari kita membaca doa buka puasa yang berbunyi: Allahumma laka shumtu wa
bika ãmantu wa ‘ala rizqika <span>afthar</span>tu…(Ya Allah,
saya berpuasa atas perintahMu, dan sekarang saya
<span>berbuka</span> dengan rejeki dariMu…).
Kemudian,
(masdar) fithrah dengan bentuk jamak fitharun, artinya adalah (1)
ciptaan; konsepsi (2) sifat dasar, dan (3) alami.
Dalam teori
ilmu sharaf, fithrah adalah kata benda berbentuk mu’annats (feminin
gender) alias kata benda jenis perempuan. Jenis lelakinya adalah fithrun,
atau al-fithru bila ditambah kata sandang al.
Dengan
penambahan kata sandang al, fithrun yang semula menempati posisi
sebagai kata benda umum, berubah atau berpindah posisi menjadi kata benda
berpengertian khusus, atau bahkan menjadi sebuah istilah yang pengertiannya
menjadi amat sangat khusus. Dan kekhususan itu – tentu – dipastikan oleh
keterikatannya dengan konteks (kalimat, frasa; keadaan, peristiwa; pokok
bahasan) wacana.
Di sini penulis
ingin mengingatkan bahwa istilah al-fithru dan atau al-fithratu (=
al-fithrah) kita bahas dalam konteks Dĩnul-Islãm(i), agama Islam,
dengan kitabnya Al-Qurãn. Dengan kata lain, di sini, istilah al-fithru/al-fithratu
terikat dalam konteks Islam/Al-Qurãn.
Al-Qurãn memuat
sedikitnya 19 ayat berisi variasi kata fathara. Hal yang menarik, kata fithrah,
lengkapnya fithratallah(i) hanya termuat dalam surat Ar-Rûm ayat 30.
Ini menjadi qarĩnah (indikasi; petunjuk) bahwa makna istilah al-fithrah,
termasuk ‘Ĩdul-Fithri, terikat oleh konteks ayat ini.
Dan, hal
menarik lainnya, dalam ayat ini istilah fithratallah selain berarti (1) ciptaan
Allah, juga mengacu pada pengertian (2) dĩnul-qayyĩm (agama yang
sangat kokoh), yaitu agama Islam, yang diciptakan memiliki kecocokan dengan
sifat alami (fithrah) manusia itu sendiri. Dengan kata lain, manusia dan
agama Islam adalah jodoh (pasangan alami), menurut fithrah (konsepsi)
Allah.
Perhatikanlah
terjemahan ayat tersebut!
Mantapkanlah
wajah-(pandangan hidup)-mu mengikuti agama ini (Islam) semantap-mantapnya.
(Inilah) fithrah (konsepsi) Allah yang dibuatNya cocok dengan fithrah (konsep
penciptaan) manusia. Tak ada tandingan bagi ciptaan (agama) Allah ini. Inilah
agama yang sangat kokoh. Tapi (sayang) kebanyakan manusia tidak tahu (atau tak
mau tahu!).
Ayat ini
menegaskan bahwa manusia dan (agama) Islam adalah (1) sama-sama ciptaan Allah,
dan (2) manusia diciptakan sebagai pelaku (= aktor) Islam.
Karena itu jangan
heran bila dalam surat Ali ‘Imran ayat 19 ditegaskan bahwa Islam adalah
satu-satunya agama Allah, dan dalam ayat 85 di surat yang sama juga ditandaskan
bahwa para pencari agama selain Islam bakal gagal memenuhi harapan.
Dengan
demikian, melalui ayat ini saja rasanya sudah lebih dari cukup untuk memastikan
bahwa ‘Ĩdul-Fithri, sebagai istilah yang digunakan Rasulullah, arti hakikinya
adalah “kembali (merujuk) kepada Islam”, bukan kembali berbuka/makan, dan bukan
berpesta pora karena baru bebas dari ‘kerangkeng’ kewajiban berpuasa selama
sebulan!
Allah sebagai
Al-Fãthir
Surat ke-35
dalam Al-Qurãn diberi nama Fãthir (pencipta), yang ternyata (sebutan)
ini ditujukan kepada Allah. Hal yang sangat menarik di sini adalah:
- Pada ayat ke-3 dari surat ini terdapat sinonim dari fãthir, yaitu khãliq.
- Hal itu seperti merupakan isyarat bahwa ayat ini mempunyai kaitan dengan surat Ar-Rûm ayat 30, yang di dalamnya termuat sinonim fithratallah(i), yaitu khalqillah(i).
Kenyataan ini
semakin menegaskan bahwa Allah, Sang Mahapencipta itu adalah pencipta semesta
alam, manusia, dan Islam.
Agaknya, dalam
konteks inilah Rasulullah mengatakan, “Setiap bayi dilahirkan ‘alal-fithrati
(berdasar konsepsi/rencana Allah) – yakni untuk menjadi pelaku Al-Fithrah,
Al-Islãm. Sampai kemudian, ketika ia pandai berbicara, maka kedua
orangtuanya (atau lingkungannya) menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.”
(HR Al-Bukhari).
Sabda
Rasulullah ini, lagi-lagi, adalah indikasi nyata bahwa da’wah para rasul (dari
Adam sampai Muhammad saw) pada dasarnya adalah ajakan agar manusia –
yang tersasar oleh kepastian hukum alam, dalam konteks kelahiran, hendaknya
sudi berusaha menelusuri latar belakang kehadiran-(eksistensi)-nya, yakni
sebagai ciptaan Allah,yang untuknya tersedia sebuah ciptaan Allah yang lain,
yang berfungsi sebagai ‘pakaian budaya/hidup’ baginya, yakni Islam.
Manakala ajakan
itu disambut dengan sebaik-baiknya, maka di situlah ditemukan makna hakiki dari
‘Ĩdul-Fithri, yaitu “perjalanan/proses rujuk diri manusia kepada belahan
jiwanya, yaitu Al-Fithrah alias Al-Islãm.
Bila hal itu
terjadi, maka kepadanya layak diucapkan salaamun – selamat!
Yaitu selamat
dari jebakan lingkungan kelahiran, karena telah kembali ke ‘pangkuan’
Allah.)(a.h)