‘Idul-Fithri: Kembali Ke Pangkuan Allah
Surat Ar-Rum
ayat 30.
Meskipun
memang benar bahwa ‘Ĩdul-Fithri muncul untuk mengakhiri puasa Ramadhan, namun
‘Ĩdul-Fithri – dalam isyarat Al-Qurãn maupun Hadĩts – tidaklah sama dengan
‘Ĩdul-Futhûri (kembali makan; hariraya berbuka). Tegasnya, makna
‘Ĩdul-Fithri sebenarnya tidaklah sedangkal itu.
THE JAMBI TIMES - Sebelum ini
sudah disinggung bahwa ‘Ĩdul-Fithri adalah kata majemuk, gabungan dari ĩd dan
al-fithru. Ĩd berarti kembali, sedangkan al-fithru
mempunyai banyak arti.
Al-fithru secara ilmu sharaf (ash-sharf; morfologi)
adalah salah satu mashdar (akar kata) dari fi’l-mãdhi (kata kerja
lampau) fathara, yang mempunyai dua fi’l-mudhãri’ (kata kerja
sekarang dan yang akan datang), yaitu yafthuru dan yafthiru.
Bentuk-bentuk
masdarnya yang lain, sebelum diberi kata sandang al (Ing.: the )
adalah: fathran, fithran, futhûran, fithratan. Bentuk-bentuk masdar ini,
termasuk bentuk jamaknya yang juga berbeda-beda, berpengaruh pada kandungan
makna.
Fathara dengan masdar fathran dan fithratan
(= fithrah) artinya bisa (1) membelah, (2) terbit; muncul, (3) menciptakan;
membuat; mengadakan, dan lain-lain.
Sedangkan fathara
dengan masdar futhûran artinya (1) makan sarapan, (2) mengakhiri puasa;
makan dan minum setelah puasa. Sehubungan dengan inilah selama bulan Ramadhan
setiap hari kita membaca doa buka puasa yang berbunyi: Allahumma laka shumtu
wa bika ãmantu wa ‘ala rizqika afthartu…(Ya Allah, saya berpuasa
atas perintahMu, dan sekarang saya berbuka dengan rejeki dariMu…).
Kemudian,
(masdar) fithrah dengan bentuk jamak fitharun, artinya adalah (1)
ciptaan; konsepsi (2) sifat dasar, dan (3) alami.
Dalam teori
ilmu sharaf, fithrah adalah kata benda berbentuk mu’annats (feminin
gender) alias kata benda jenis perempuan. Jenis lelakinya adalah fithrun,
atau al-fithru bila ditambah kata sandang al.
Dengan
penambahan kata sandang al, fithrun yang semula menempati posisi
sebagai kata benda umum, berubah atau berpindah posisi menjadi kata benda
berpengertian khusus, atau bahkan menjadi sebuah istilah yang pengertiannya
menjadi amat sangat khusus. Dan kekhususan itu – tentu – dipastikan oleh
keterikatannya dengan konteks (kalimat, frasa; keadaan, peristiwa; pokok
bahasan) wacana.
Di sini
penulis ingin mengingatkan bahwa istilah al-fithru dan atau al-fithratu
(= al-fithrah) kita bahas dalam konteks Dĩnul-Islãm(i), agama Islam,
dengan kitabnya Al-Qurãn. Dengan kata lain, di sini, istilah al-fithru/al-fithratu
terikat dalam konteks Islam/Al-Qurãn.
Al-Qurãn
memuat sedikitnya 19 ayat berisi variasi kata fathara.
Hal yang menarik,
kata fithrah, lengkapnya fithratallah(i) hanya termuat dalam
surat Ar-Rûm ayat 30. Ini menjadi qarĩnah (indikasi; petunjuk) bahwa
makna istilah al-fithrah, termasuk ‘Ĩdul-Fithri, terikat oleh konteks
ayat ini.
Dan, hal
menarik lainnya, dalam ayat ini istilah fithratallah selain berarti (1) ciptaan
Allah, juga mengacu pada pengertian (2) dĩnul-qayyĩm (agama yang
sangat kokoh), yaitu agama Islam, yang diciptakan memiliki kecocokan dengan
sifat alami (fithrah) manusia itu sendiri. Dengan kata lain, manusia dan
agama Islam adalah jodoh (pasangan alami), menurut fithrah (konsepsi)
Allah.
Perhatikanlah
terjemahan ayat tersebut!
Mantapkanlah
wajah-(pandangan hidup)-mu mengikuti agama ini (Islam) semantap-mantapnya.
(Inilah) fithrah (konsepsi) Allah yang dibuatNya cocok dengan fithrah (konsep
penciptaan) manusia. Tak ada tandingan bagi ciptaan (agama) Allah ini. Inilah
aama yang sangat kokoh. Tapi (sayang) kebanyakan manusia tidak tahu (atau tak
mau tahu!).
Ayat ini
menegaskan bahwa manusia dan (agama) Islam adalah (1) sama-sama ciptaan Allah,
dan (2) manusia diciptakan sebagai pelaku (= aktor) Islam.
Karena itu
jangan heran bila dalam surat Ali ‘Imran ayat 19 ditegaskan bahwa Islam adalah
satu-satunya agama Allah, dan dalam ayat 85 di surat yang sama juga ditandaskan
bahwa para pencari agama selain Islam bakal gagal memenuhi harapan.
Dengan
demikian, melalui ayat ini saja rasanya sudah lebih dari cukup untuk memastikan
bahwa ‘Ĩdul-Fithri, sebagai istilah yang digunakan Rasulullah, arti hakikinya
adalah “kembali (merujuk) kepada Islam”, bukan kembali berbuka/makan, dan bukan
berpesta pora karena baru bebas dari ‘kerangkeng’ kewajiban berpuasa selama
sebulan!
Allah
sebagai Al-Fãthir
Surat ke-35
dalam Al-Qurãn diberi nama Fãthir (pencipta), yang ternyata (sebutan)
ini ditujukan kepada Allah. Hal yang sangat menarik di sini adalah:
- Pada ayat ke-3 dari surat ini terdapat sinonim dari fãthir, yaitu khãliq.
- Hal itu seperti merupakan isyarat bahwa ayat ini mempunyai kaitan dengan surat Ar-Rûm ayat 30, yang di dalamnya termuat sinonim fithratallah(i), yaitu khalqillah(i).
Kenyataan
ini semakin menegaskan bahwa Allah, Sang Mahapencipta itu adalah pencipta
semesta alam, manusia, dan Islam.
Agaknya,
dalam konteks inilah Rasulullah mengatakan, “Setiap bayi dilahirkan ‘alal-fithrati
(berdasar konsepsi/rencana Allah) – yakni untuk menjadi pelaku Al-Fithrah,
Al-Islãm. Sampai kemudian, ketika ia pandai berbicara, maka kedua
orangtuanya (atau lingkungannya) menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.”
(HR Al-Bukhari).
Sabda
Rasulullah ini, lagi-lagi, adalah indikasi nyata bahwa da’wah para rasul (dari
Adam sampai Muhammad saw) pada dasarnya adalah ajakan agar manusia –
yang tersasar oleh kepastian hukum alam, dalam konteks kelahiran, hendaknya
sudi berusaha menelusuri latar belakang kehadiran-(eksistensi)-nya, yakni sebagai
ciptaan Allah,yang untuknya tersedia sebuah ciptaan Allah yang lain, yang
berfungsi sebagai ‘pakaian budaya/hidup’ baginya, yakni Islam.
Manakala
ajakan itu disambut dengan sebaik-baiknya, maka di situlah ditemukan makna
hakiki dari ‘Ĩdul-Fithri, yaitu “perjalanan/proses rujuk diri manusia kepada
belahan jiwanya, yaitu Al-Fithrah alias Al-Islãm.
Bila hal itu
terjadi, maka kepadanya layak diucapkan selamat!
Selamat dari
jebakan lingkungan kelahiran, karena telah kembali ke ‘pangkuan’ Allah.(a.h)