‘Ĩdul-Fithri Dan Ekonomi
I want
change (aku mau perubahan). Itulah jerit hati setiap orang yang terpinggirkan.
Ajaran
Islam, pada dasarnya, tidak mendukung kegiatan bersifat hura-hura. Kalaulah ada
pesta yang dihalalkan, maka yang dihalalkan itu adalah “pesta kepedulian”
golongan kaya terhadap kalangan tidak berpunya. ‘Ĩdul-Qurbãn, misalnya, adalah
“pesta kepedulian” dengan cara (permukaannya) berbagi daging hewan, yang
merupakan makanan bergizi tinggi tapi berharga mahal. Di balik pemberian daging
hewan itu ada ajaran tentang kepedulian terhadap kesehatan dan perbaikan gizi
saudara seiman; di samping ajaran untuk senang berkorban serta siap
‘menyembelih’ sifat-sifat kehewanan dalam diri sendiri.
THE JAMBI TIMES - Dan
‘Ĩdul-Fithri, terutama melalui zakat fithrahnya, adalah “pesta kepedulian”
dengan cara berbagi bahan makanan pokok. “Pada hari itu,” kata Rasulullah,
“jangan sampai ada orang miskin yang tidak makan!”
Tapi, sekali
lagi, itu pun masih bersifat permukaan, atau tepatnya baru merupakan simbol
(lambang).
Bila
‘Ĩdul-Qurbãn atau ‘Ĩdul-Adhã adalah simbol penyembelihan “sisi kebinatangan”
diri, yang sering mengajak kita menerobos pagar dan memakan sesama,
‘Ĩdul-Fithri – pada satu sisi – adalah simbol ‘pemerataan’ ekonomi.
Bila pada
hari-H ‘Ĩdul-Fithri itu tidak boleh ada orang yang kelaparan, apakah di
hari-hari berikutnya boleh-boleh membiarkan mereka kelaparan?
Tentu tidak.
Justru
karena itulah, nilai simbolis ‘Ĩdul-Fithri jadi semakin kental.
Bila anda
mencermati tulisan tentang Ramadhan di blog ini, terutama yang berkenaan dengan
nilai-nilai simblois berkenaan rahmat, maghfirah, dan itqun mina-nnãr
di dalamnya, maka ‘Ĩdul-Fithri yang merupakan penutup Ramadhan adalah juga
pintu gerbang bagi ‘peluncuran’ nilai-nilai tersebut.
‘Peluncuran’
itu dimulai dengan pembagian zakat fihtrah, sebagai simbol dari upaya
pengentasan kaum miskin dari derita kelaparan.
Karena itu,
‘Ĩdul-Fithri dengan zakat fithrahnya bukanlah “hari derma” untuk mendermakan
tiga liter beras sekali setahun, tapi untuk mengawali bentuk kepedulian yang
berkesinambungan dan tersistem.
Bagaimana
caranya?
Mubaligh
yang penulis singgung dalam tulisan terdahulu, mengajukan sebuah ‘tesis’
tentang zakat sebagai sistem ekonomi. Makhluk apa itu?
Dalam kamus,
kata zakat dengan segala variasi bentuk katanya, ternyata mempunyai beberapa
pengertian. Di antaranya, ada pengertian yang berkaitan dengan keadaan bumi
(tanah), tanaman, dan manusia.
Bila
dikaitkan dengan bumi, zakat berarti subur, ditandai dengan banyaknya
rumput dan tanaman.
Bila
dikaitkan dengan tanaman, zakat berarti tumbuh dan berkembang.
Bila
dikaitkan dengan manusia, zakat berarti shalih, baik, pantas, layak. Juga
berarti bersih, suci; murni; benar.
Lalu, bagaimana
bila zakat dikaitkan dengan ekonomi?
Semua
pengertian harfiah zakat bisa dipasangkan dengan kata ekonomi! Atau setidaknya
menjadi semboyan-semboyan ekonomi.
Misalnya:
Ekonomi
subur (makmur): bertujuan
menjaga kesuburan bumi demi kemakmuran rakyat.
Ekonomi
tumbuh-kembang: bertujuan
menumbuh-kembangkan kehidupan rakyat.
Ekonomi
shalih/baik/baik/pantas/layak: bertujuan membentuk ekonom-ekonom yang shalih, yang
mampu membangun kehidupan yang baik, pantas, dan layak.
Ekonomi
bersih/suci/murni/benar: bertujuan membangun kehidupan ekonomi yang bersih dari segala motivasi
buruk, dengan harapan murni menjalankan yang benar saja.
Terlepas
dari ‘semboyan-semboyan’ itu, sistem ekonomi zakat pada hakitnya adalah
kebalikan dari sistem ekonomi riba.
Bila riba
adalah kecenderunan untuk membungakan (melipatgandakan) uang demi kepentindan
individu pemilik uang (modal) itu sendiri (= kapitalisme), maka ekonomi zakat
adalah kecenderungan dari pemilik uang (modal) untuk memfasilitasi pertumbuhan
dan perkembangan perekonomian masyarakat, supaya kekayaan yang mereka miliki
bisa mengalirkan manfaat demi pertumbuhan dan perkembangan bersama.
Allah dan
rasulNya mengingatkan bahwa alam semesta ini terwujud sebagai hasil
rancang-bangun Allah, dan manusia diciptakan sebagai makhluk budaya,
teristimewa untuk mementaskan konsepNya.[1]
‘Ĩdul-Fithri,
di balik makna pestanya, sebenarnya mengandung ajaran (filosofi) agar manusia
menyadari hal itu.(a.h)
[1] Kaji surat
Al-Qamar ayat 49, surat Al-Anbiyã’ ayat 104, dll.