News Breaking
Live
wb_hadi

Breaking News

Berpuasa Untuk Menurunkan Dolar!

Berpuasa Untuk Menurunkan Dolar!




Apakah dolar AS sudah jadi pakaian anda? (gambar dari flickr.com).
Inilah kisah ketika negara kita baru dilanda krisis moneter, yang kemudian berkembang menjadi aneka ragam krisis yang menyesakkan. Ketika itu, harga dolar AS yang semula ‘hanya’ dua ribu rupiah, melambung menjadi di atas sepuluh ribu rupiah.

Sedikitnya ada dua teman yang bertanya kepada penulis: “Adakah petunjuk agama (Islam) untuk menurunkan dolar?”

THE JAMBI TIMES - Pertanyaan itu boleh dianggap jenaka. Tapi penulis melihat mereka butuh jawaban serius, karena pertanyaan itu diajukan di mimbar pengajian. Ada banyak hal yang tersirat di dalamnya. Pertama, misalnya, boleh jadi ini merupakan ungkapan dari rasa putus asa, karena krisis rupiah ternyata (waktu itu) makin menggawat, dan kedua teman penulis itu adalah rakyat kecil yang tidak mengetahui akar masalah. 

Kedua, sebagai orang beragama, mereka pasti tahu bahwa dalam situasi bagaimana pun orang beragama harus ‘bersabar’, dalam arti tabah menderita segala kesulitan. Tapi, ketiga, benarkah agama hanya menawarkan cara sabar yang pasif dalam menghadapi masalah?

Langsung atau tidak, pada umumnya orang menganggap agama sebagai tempat pelarian dari masalah, bukan alat untuk memecahkan masalah. Ini jelas telah menumbuhkan anggapan di kalangan atheis (Komunis; Marxis) bahwa agama hanyalah candu bagi masyarakat.

Candu memang alat untuk lari dari masalah. Jalan pintas untuk lari dari neraka kenyataan menuju sorga bayangan alias ilusi. Orang yang terlalu banyak berilusi (menikmati candu), lama kelamaan bisa jadi gila. Karena itulah, bagi yang anti agama, agama hanya cocok bagi orang gila. Dan kaena itulah – memang – para rasul pun sering dimaki dan diolok-olok sebagai orang gila (Arab: majnûn).

Tapi, benarkah agama kita menawarkan ilusi?

Ilusi (illusion) pada hakikatnya adalah fals idea (gagasan palsu; konsep salah), yang mempunyai kekuatan deceptive (memperdaya; menyesatkan). Bila dikaitkan dengan alam, salah satu gejala alam yang deceptive adalah fatamorgana, yang dalam Al-Qurãn disebut sarab(un).

Apakah ajaran Islam itu semacam fatamorgana?  Surat An-Nur ayat 39, misalnya, menegaskan bahwa orang kafirlah yang mengikuti dan menawarkan konsep bersifat ilusi alias fatamorgana. Merekalah yang cenderung lari dari masalah, bahkan mendatangkan masalah.

 Atau, mereka menghadapi masalah dengan cara yang salah, sehingga masalah-masalah baru pun bermunculan. Mereka tak ubahnya ‘teknisi’ yang hanya bermodal nekat, yang mampu membongkar televisi rusak tapi tidak becus menormalkannya kembali.

Tapi, meskipun Islam bukan ilusi, bukan pula jaminan bahwa umatnya tidak tercemar ilusi. Mengapa? Sebab, di sekeliling dan di dalam tubuh umat Islam juga terdapat alladzina fi qulubihim zaighun, orang-orang berhati bengkok, yang suka menebar benih-benih ilusi, yang dalam surat Ali ‘Imran disebut sebagai fitnah.

Fitnah dalam gambaran Al-Qurãn bukanlah melontarkan tuduhan jahat kepada orang yang baik, tapi menebar berbagai isyu dan ilusi yang menyesatkan. Karena itulah  Al-Qurãn menyebut fitnah lebih kejam dari pembunuhan.

 Mengapa? Fitnah mematikah orang tanpa menghilangkan nyawanya. Fitnah menguasai orang lewat angan-angan. Fitnah menyebabkan orang lari dari ajaran yang benar, untuk memburu gagasan yang salah. Dalam kehidupan beragama sehari-hari, misalnya, boleh jadi kita merasa sedang menjalankan konsep agama, padahal sebenarnya kita hanya menjalankan sebuah ilusi.

Pernah suatu ketika kita pun menghadapi musim kemarau yang panjang. Salah satu akibatnya, jutaan hektar hutan terbakar. Ketika itulah, ada orang yang menganjurkan pelaksanaan “taubat nasional”.

Apa yang terbayang di benak anda ketika disebut istilah taubat?

 Orang menangis, merayu Tuhan dengan rapatan dan rintihan, dengan berulang-ulang membaca astaghfiullah! Dengan begitu, ia berharap segala dampak buruk dari tindakan salah dan kelirunya dibatalkan oleh Tuhan. Dianggapnya Tuhan itu tukang sampah, atau tukang membersihkan WC! Sungguh kurang ajar!

Untunglah gagasan taubat nasional itu ada yang menentang, walau juga bukan karena itu maka jadi tidak terlaksana.

Bila gagasan itu timbul dari orang yang memandang bangsa ini berdosa, tanpa menelaskan apa dan bagaimana dosanya, yang menentangnya tentu berpikir bahwa bangsa ini putih bersih. Tidak punya salah. Tak pernah keliru. Atau, mungkin saja mereka berpikir bahwa kita sedang diuji oleh Tuhan, tanpa menjelaskan bagaimana caranya supaya bisa lulus dari ujian itu.

Maaf beribu maaf. Pencetus maupun penentang gagasan itu kedua-duanya adalah pencipta ilusi. Mereka berbicara tentang sesuatu yang berkaitan dengan agama, tanpa peduli gagasan (ajaran) agama yang sebenarnya. Taubat, misalnya, artinya adalah “kembali”; yaitu merujuk ulang sesuatu (konsep) yang telah ditinggalkan atau dilupakan. Ini jelas tergambar melalui kisah Adam dalam Al-Qurãn, yang meninggalkan atau mengabaikan konsep Allah karena terjebak konsep Iblis yang ghurûr (menipu; deceptive). 

Taubat yang dilakukan Adam digambarkan dalam surat Al-Baqarah ayat 37 dengan kalimat: fa-talaqqã Ãdamu min-rabbihi kalimãtin fa-tãba ‘alihi (Maka Adam menekuni kalimat – konsep, ajaran – Tuhannya, dalam arti mempelajarinya kembali). Sungguh tidak ada kemiripan dengan gambaran taubat nasional, taubat lokal, atau pun taubat perseorangan yang sering dibayangkan orang.

Jadi, bila seorang Muslim ingin memecahkan masalah, termasuk masalah dolar yang tak sudi seiring sejalan dengan rupiah, jauhilah ilusi. Jauhilah pikiran-pikiran yang cenderung menyimpang dari konsep Allah dalam kitabNya.

Salah satu konsep iblis yang mampu menjerat semua manusia adalah konsep ekonomi, yang di dalamnya melibatkan peran uang. “Dengan adanya uang, separuh kerja setan telah diselesaikan,” kata sebuah Hadis.

Supaya tidak dikuasai setan bin iblis melalui uang, “Jangan memiliki sesuatu yang tidak anda butuhkan,” kata sebuah Hadis lain.

Kenapa Rasulullah ‘menembak’ kebutuhan? Mungkin karena kebutuhan juga mudah ditempeli setan. Di zaman modern, misalnya, manipulasi kebutuhan adalah kita sukses para pedagang. Itulah yang menyebabkan mereka menjadi raja dunia, dengan para konsumen sebagai budak mereka. Dalam dagang, pada mulanya barang yang pasti laris adalah barang yang paling dibutuhkan oleh masyarakat, misalnya barang kebutuhan pokok.  

Tapi pada saat pasar barang kebutuhan pokok sudah jenuh, keuntungan pedagang berkurang karena hanya sedikir barang yang terjual dan mereka pun harus banting harga. Inilah awal timbulnya “ide-ide cemerlang” pedagang. Mereka lantas menciptakan citra-citra baru tentang kebutuhan, yang membuat manusia merasa butuh terhadap barang-barang yang semula mereka anggap bukan kebutuhan. Dengan kata lain, mereka menciptakan ilusi kebutuhan.


Perhatikanlah iklan-iklan televisi. Simaklah brosur-brosur yang disebarkan menjelang hari-hari besar, yang berisi tawaran-tawaran aneka barang dengan “diskon gila-gilaan” (ini istilah dari mereka sendiri). Berapakah di antara barang-barang itu yang benar-benar merupakan kebutuhan kita? Sebuah brosur menawarkan ratusan mainan modern, mulai dari mainan anak-anak balita sampai mainan untuk keluarga, dengan harga mulai dari puluhan sampai jutaan rupiah. Padahal anak-anak sudah cukup asyik, dan sehat lahir batin, dengan karet gelang yang digunakan untuk loncat-loncatan; atau dengan kardus-kardus bekas kemasan barang yang mereka jadikan rumah-rumahan, mobil-mobilan, dan sebagainya. 

Anak-anak tidak membutuhkan mainan mewah. Tapi para pencipta ilusi kebutuhan itu telah membuat anak-anak cerewet dan para orangtua resah bila tidak membeli mainan modern. Sejumlah orangtua malah kadang repot sendiri membelikan mainan ini dan itu, padahal anak-anak mereka sebenarnya tidak menginginkan dan sama sekali tidak butuh, baik ditinjau dari segi hiburan, pertumbuhan badan, maupun perkembangan kejiwaan mereka.

Kita tahu betul bahwa mainan-mainan modern itu umumnya barang impor, yang harus dibeli dengan dolar. Sebelum membeli mainan-mainan itu, tentu importirnya harus membeli dolar dulu, karena produsennya tidak mau menerima rupiah.

Pikirkanlah. Semakin banyak anak-anak yang ‘membutuhkan’ mainan impor, semakin banyak rupiah yang harus dikeluarkan untuk membeli dolar. Dan ingatlah! Peadagang itu pada umumnya tidak kenal kata puas dalam mencari keuntungan. Hukum mereka adalah: semakin banyak permintaan, semakin tinggi harga yang dipasang. Dan uang, sebagai alat tukar, pada gilirannya ternyata bisa jadi komoditas pula. Begitulah halnya dolar. Semakin banyak dolar diminta, semakin tinggi pula harga yang dipasang.

Barangkali, sampai di sini sudah tergambang biang masalahnya. 

Yaitu, antara lain, adanya manipulasi kebutuhan. Dan harap dicatat pula bahwa manipulasi kebutuhan itu bukan hanya dilakukan pedagang, tapi juga oleh para politisi dan tokoh agama.

Bila para politisi lokal (yang nakal) bisa menciptakan ilusi tentang situasi masa kini, dengan menggambarkan keadaan yang serba kacau, penuh ketidakpastian, dan lain-lain, lebih-lebih lagi politisi tingkat dunia. Merekalah yang menjadikan dunia ini tidak terlihat sebagaimana aslinya, tapi sebagaimana kata mereka.

Ironisnya, hal yang sama atau hampir sama, juga dilakukan oleh banyak da’i.  Mereka tidak mengajarkan agama sebagaimana aslinya, tapi sesuai persepsi mereka. Maka, tidak perlu heran bila umat pada akhirnya hanya mendapat hidangan ilusi. Misalnya dengan menyuruh umat bersikap pasif (‘sabar’) dalam menghadapi masalah, atau menganjurkan untuk membaca doa atau wirid tertentu secara berulang-ulang, tanpa harus memahami maknanya.

Bagi umat Islam yang hanif (lurus; tulus), bulan Ramadhan memang merupakan rahmat (anugerah; pelajaran). Seperti biasa, para pedagang sudah mulai ramai menawarkan ilusi mereka, dan sudah mulai membuat gelisah orang-orang yang terpukul oleh jatuhnya nilai rupiah. Mereka sudah siap menyerbu pasar dengan segala barang yang seolah-olah puasa kita menjadi tidak afdal bila tidak membeli. Maka, kepada kedua teman tersebut di atas, saya memberi jawaban yang bernada gurauan:

 “Bila ingin menurunkan dolar, janganlah kedatangan Ramadhan ini mengubah cara hidup kita sehari-hari, khususnya kebiasaan makan dan minum. Untuk berbuka misalnya, jangan repot-repot bikin kolak atau menyediakan kurma (barang impor!). Cukuplah dengan minum teh manis dan makanan seadanya. Itulah yang kita butuhkan. Dan untuk lebaran, mengapa harus membeli pakaian baru, bila dengan pakaian lama pun kita tak akan disebut orang sebagai gembel?”

Bukankah kata Rasulullah puasa adalah junnah (perisai, pelindung, penangkal)? Gunakanlah ia sebagai junnah untuk melawan ilusi, mulai dari bulan Ramadhan sekarang, sampai berjumpa Ramadhan lagi, bahkan sampai kita mati.(a.h)

Tags

Newsletter Signup

Sed ut perspiciatis unde omnis iste natus error sit voluptatem accusantium doloremque.