Dialog Seputar Ru’yah dan Hisab
Menara Hilal
di Jeddah.
THE JAMBI TIMES - Bagaimana
pandangan anda tentang pernyataan Wapres bahwa umat Islam harus menyetujui satu
kriteria untuk menentukan kalender Islam khususnya saat penentuan tanggal 1
Syawal (Idul Fitri) sehingga tidak ada lagi perbedaan waktu?
Pemikiran
yang bagus!
Perbedaan
kiteria memang sumber perbedaan pendapat. Tapi perbedaan waktu adalah soal
lain. Itu adalah kenyataan alam. Kenyataan geografis dari setiap tempat,
mempengaruhi perbedaan waktu. Bila ingin menyamakan waktu di suatu tempat
dengan waktu di tempat lain yang berjauhan, berarti kita mengabaikan kenyataan
alam. Mengabaikan kenyataan bahwa bumi berputar dan beredar mengelilingi
matahari, sehingga ada kalanya satu sisi mengalami terang dan gelap secara
bergiliran.
Saya kira,
kalau soal itu sih kita semua pasti tahu lah. Tapi yang mengherankan adalah
terjadinya perbedaan tanggal 1 Ramadhan dan atau 1 Syawal di desa, atau kota,
atau negara yang sama. Mengapa hal itu bisa terjadi bila masalahnya adalah
masalah geografis seperti yang anda katakan? Contoh sederhana, bila saat ini di
Amerika adalah malam, maka di seluruh Indonesia adalah siang. Bila di Jakarta
misalnya tanggal 1 Syawal, maka di seluruh Indonesia juga tanggal 1 Syawal.
Tapi, mengapa selama ini sering terjadi di satu tempat (desa, kota) yang sama di
Indonesia kok terjadi perbedaan tanggal 1 Ramadhan atau 1 Syawal?
Itu kan
terjadi karena adanya mazhab-mazhab, yang melakukan penentuan waktu dengan
cara-cara yang berbeda.
Ya.
Akibatnya yang satu mengatakan sudah tanggal 1 Ramadhan atau Syawal, yang lain
mengatakan belum. Apa ini tidak lucu?
Tidak hanya
lucu, tapi juga menyedihkan, bahkan kadang mengerikan, karena perbedaan itu ada
kalanya menimbulkan pertumpahan darah.
Nah, mengapa
hal itu bisa terjadi?
Kok bertanya
lagi? Bukankah tadi sudah saya katakan bahwa hal itu terjadi karena ada
perbedaan dalam cara menghitung penanggalan. Tepatnya, yang satu menggunakan
cara ru’yah, yang lain memakai cara hisĂŁb.
Maksud saya,
kenapa tidak dipilih salah satu?
Pilih salah
satu? Ha ha! Itu memang pertanyaan intinya. Kalau anda disuruh memilih, anda
mau pilih yang mana? Ru’yah atau hisĂŁb?
Wah, saya
‘mana tahu soal itu? Tapi, ada teman yang bilang, “gini ari kok masih pake
ru’yah? Kuno amat! Wong gerhana aja bisa diramal sampe ke detiknya, pake
ilmu hisĂŁb!”
Nah! Itu
omongan yang terdengar seperti pintar dan modern, tapi sebenarnya gegabah.
Di mana
letak gegabahnya?
Di situ ada
salah paham! Omongan itu mewakili anggapan bahwa ru’yah dan hisĂŁb adalah dua
hal yang terpisah dan berbeda, bahkan bertentangan (dikotomis). Padahal,
keduanya adalah cara yang diajarkan Rasulullah.
O, ya?
Jelasnya bagaimana?
Ada banyak
hadis, dalam kitab Bukhari-Muslim, yang menegaskan bahwa kewajiban shaum (puasa)
Ramadhan harus dilakukan dengan cara melihat hilĂŁl; begitu juga halnya
‘Idul-Fitri, ditentukan dengan melihat hilĂŁl. Bila di awal atau di akhir
bulan hilĂŁl tertutup awan, maka genapkan bilangan bulan Sya’ban menjadi
30 hari.
Jadi,
ketentuannya dengan cara “melihat” ya?
Ya.
Istilahnya ru’yatul-hilĂŁl. Melihat bulan sabit tipis.
Itu yang
mendasari ilmu ru’yah, yang di Indonesia diterapkan oleh Nahdlatul-Ulama (NU)?
Ya.
Barangkali itulah yang dipahami ulama, terutama ulama Indonesia. Dan, saya
kita, mereka – bukan hanya NU tapi juga Muhammadiyah dan lain-lain, yang
menggunakan cara hisĂŁb – telah melakukan kekeliruan yang amat mendasar,
yang justru membawa penyakit pada umat; yaitu penyakit perpecahan, khususnya
karena perbedaan tanggal 1 Ramadhan dan atau Syawal.
Apa yang
anda maksud dengan kekeliruan mendasar itu?
Mereka
beranggapan bahwa melalui sabdanya tersebut Rasulullah mengajarkan “ilmu” atau
tepatnya “teknik” (= cara) ru’yah. Dan ru’yah itu hanyalah satu cara; yang –
sayangnya – oleh sementara orang dianggap sebagai cara kuno. Karena ru’yah itu
hanya salah satu cara, tentu ada cara lain, yaitu hisĂŁb, yang – lucunya! –
dianggap sebagai cara modern. Padahal, baik ru’yah maupun hisĂŁb, keduanya
diajarkan oleh Rasulullah dalam hadis-hadis tersebut.
O, ya?
Bukankah Muhammadiyah, Persis, dan sebagainya, katanya, menggunakan dalil
surat Yunus ayat 5?
Ya. Ayat itu
menegaskan, pertama, bahwa Allah menjadikan matahari sebagai sumber
cahaya dan bulan sebagai pemantul cahaya matahari (ke bumi). Kedua,
ditegaskan pula oleh Allah, bahwa bulan itu tidak diam, tapi bergerak (beredar)
dari satu manzilah (garis dan posisi edar; orbit) ke manzilah
lain. Dua kenyataan itulah, kata Allah, yang membantu manusia untuk mengetahui
jumlah (‘adad) atau perhitungan (hisĂŁb) tahun. Tapi, Muhammadiyah
dan kawan-kawan mengklaim bahwa ayat ini adalah dalil bagi penanggalan dengan
teknik hisĂŁb.
Dan menurut
anda mereka salah?
Ya. Mereka
keliru, kalau beranggapan bahwa ayat itu adalah landasan bagi teknik hisĂŁb.
Persisnya,
di mana letak kelirunya?
Pertama, secara tidak langsung mereka sudah
beranggapan bahwa perkataan Rasulullah itu salah, karena ‘bertentangan’ dengan
Al-QurĂŁn. Atau, bisa jadi, secara tidak langsung, mereka menganggap hadis-hadis
tersebut palsu atau tidak sahih. Kedua, mereka sangat keliru bila
mengatakan bahwa surat Yunus ayat 5 itu adalah dalil tentang teknik hisĂŁb;
karena sebenarnya ayat itu sama sekali tidak bertentangan dengan hadis-hadis
Rasulullah. Keduanya, baik Allah maupun RasulNya, sama-sama bicara tentang
ru’yah dan hisĂŁb, yang merupakan teknik gabungan untuk menentukan penanggalan.
Apa alasan
anda?
Sekarang
saya tanya pada anda: “Peredaran bulan di sekeliling bumi itu diketahui dengan
cara apa?”
Dengan cara
apa? Mana saya tahu?
Kenapa tidak
tahu? Ini pertanyaan sederhana kok. Peredaran bulan itu diketahui tentu dengan
cara melihatnya atau mengamatinya, baik dengan mata telanjang maupun dengan
menggunakan alat bantu, teropong. Penglihatan atau pengamatan itulah yang
disebut ru’yah. Dan ru’yah itulah yang merupakan teknik pertama dan utama.
Kenapa anda
katakan ru’yah sebagai teknik pertama?
Karena
itulah yang diajarkan oleh Rasulullah, dan itulah memang realitas tindakan yang
kita lakukan untuk menentukan penanggalan atau kelenderisasi.
Lantas,
hisĂŁb adalah teknik kedua, alias sekunder?
Bisa
dikatakan teknik kedua, bisa juga dikatakan pelengkap bagi teknik pertama.
Sebab, seperti dikatakan Rasulullah, bila pengamatan (ru’yah) gagal, karena
bulan tertutup awan, maka genapkanlah jumlah hari (khususnya di sini bulan
Sya’ban dan Ramadhan, untuk menentukan tanggal 1 Ramdhan dan 1 Syawal) menjadi
30 hari.
Mengapa
harus digenapkan 30 hari?
Karena kita
menggunakan penanggalan bulan (lunar calendar); dan Rasulullah
menegaskan bahwa jumlah harinya adalah antara 29 dan 30.
Bulan apa
saja yang harinya 29 dan 30?
Semua bulan
mempunyai kemungkinan yang sama, yaitu bisa 29 dan bisa 30 hari. Rasulullah,
misalnya, semasa hidupnya, beliau sempat berpuasa sebanyak 9 kali. Menurut
analisis astronomi, yang dilakukan Dr. T. Djamaluddin, ketika itu enam kali
Ramadhan jumlah harinya 29, dan tiga kali Ramadhan jumlah harinya 30. (Almanak
Alam Islami).
Aneh! Setahu
saya, dalam kalender Masehi, misalnya, jumlah hari dalam bulan-bulan tertentu
itu selalu sama, yaitu 30 dan 31 hari; kecuali bulan Februari, yang kadang 28
hari di tahun-tahun biasa, dan 29 hari di tahun kabisat, yaitu 4 tahun sekali.
Benar;
karena kalender Masehi berdasar peredaran bumi mengelilingi matahari (solar
calendar).
Kalau
begitu, kalender matahari lebih unggul dari kelender bulan!
Tidak ada
yang lebih unggul. Keduanya dimungkinkan dan dibenarkan oleh Allah demi
kepentingan tertentu. Kalender matahari, cocok untuk pemastian musim. Dr. T.
Djamaluddin, peneliti Bidang Matahari dan Lingkungan Antariksa dari Lapan, Bandung,
mengatakan bahwa kegiatan yang berkaitan dengan musim, seperti pertanian,
pelayaran, perikanan, dan migrasi, cocoknya menggunakan kalender matahari.
Tapi, ingat! Kata beliau, kalender matahari tidak bisa menentukan pergantian
hari dengan cermat. Padahal, kepastian hari itu diperlukan dalam kegiatan
agama. Kepastian itu hanya bisa didapat melalui kalender bulan! (Majalah Percikan
Iman no. 3 tahun II, Maret 2001, Dzulhijjah 1421).
Melalui
faktor apa kepastian itu didapat?
Faktor
hilĂŁl, alias bulan sabit tipis, yang bisa dilihat dari bumi walau dengan mata
telanjang.
Dan hilĂŁl
pula yang memastikah jumlah hari dalam sebulan adalah 29 atau 30?
Ya. Dan,
saya kira, faktor inilah yang membuat teknik hisĂŁb murni menjadi ‘mentok’,
alias tidak bisa berlaku.
Apa yang
anda maksud dengan hisĂŁb murni?
Yang disebut
hisĂŁb itu dalam istilah sekarang adalah perhitungan astronomi, yaitu ilmu
tentang benda-benda langit (bintang-bintang, planet-planet, dan
sebagainya). Kata Dr. T. Djamaluddin pula, “Berdasarkan pengalaman ratusan
tahun, keteraturan periodisitas fase-fase bulan diketahui dengan baik. Lahirlah
ilmu hisab untuk mengetahui posisi bulan dan matahari. Akurasinya terus
ditingkatkan, hingga ketepatan sampai detik dapat dicapai. Ketepatan penentuan
waktu gerhana matahari, yang hakikatnya ijtimak yang teramati, sampai
detik-detiknya merupakan bukti yang tak terbantahkan.” (Majalah Percikan
Iman).
Nah!
Berdasar itulah, teman saya mengatakan bahwa teknik ru’yah adalah kuno!
Saya sudah
bilang bahwa itu gegabah! Coba anda perhatikan kutipan saya tadi: “Berdasarkan pengalaman
ratusan tahun …
waktu gerhana matahari, yang hakikatnya ijtimak yang teramati
…
Ingat, kata-kata pengalaman dan teramati itu menegaskan
kegiatan ru’yah (melihat; mengamati). Hal ini sebenarnya menegaskan bahwa apa
yang disebut teknik hisĂŁb itu sebenarnya diawali dengan ru’yah atau pengamatan.
Jadi, boleh dikatakan bahwa hisĂŁb itu adalah kelanjutan dari ru’yah, bukan
pengganti, misalnya karena dianggap lebih akurat.
Anda belum
menjawab tentang apa yang anda maksud hisĂŁb murni.
Mungkin
istilah itu kurang tepat. Yang saya maksud sebenarnya adalah hisĂŁb yang
menghasilkan sebuah ‘buku’ penanggalan alias kalender. Melalui sebuah kalender,
anda bisa melihat sejak jauh-jauh hari kapan tanggal 1 Ramadhan atau tanggal 1
Syawal. Tapi, ingat! Catatan pada kalender itu selalu punya dua ke-mungkinan,
yaitu ditetapkan atau digagalkan oleh faktor hilĂŁl.
Tapi, apakah
dalam melihat hilĂŁl tidak ada kemungkinan salah? Terutama bila diingat bahwa
hilĂŁl itu kan hanya sebentuk bulan sabit yang sangat tipis. Dalam harian Republika
tanggal 12 September, misalnya, saya membaca sebuah anekdot tentang Anas bin
Malik. “Syahdan, Anas bin Malik dalam usianya yang renta masih bersemangat untuk
ikut menentukan awal puasa. Ketika matahari hampir menghilang, tiba-tiba Anas
berteriak, ‘Aku melihat hilal sangat tipis di langit.’ Orang-orang geger karena
mereka yang lebih muda belum melihat sepotong hilal pun. Seorang pemuda bijak
tersenyum lalu mendekati Anas. Dia pun menyingkapkan bulu-bulu mata putih
panjang yang menutupi pandangan sahabat Nabi itu. ‘Apakah sekarang masih
melihat hilal?’ kata Iyas bin Muawiyah Al Muzanni, nama pemuda itu. Maka Anas
pun menjawab, ‘Tidak.’”
Ya. Tentu
saja anekdot tidak lucu itu juga bisa terjadi pada siapa saja dan kapan saja.
Tapi dengan catatan bila ru’yah hanya dilakukan dengan mata telanjang, dan
lebih-lebih lagi bila hanya dilakukan satu-dua orang. Tapi, dengan bantuan
teropong-teropong canggih, yang digunakan sebuah tim yang terdiri dari para
ahli dan amanah, yang diposisikan di berbagai tempat strategis, maka kecermatan
ru’yah (pengamatan mata) itu bisa terjamin.
Dengan kata
lain, anda ingin mengatakan bahwa teknik ru’yah itu memang pertama dan utama?
Kenyataannya,
jauh sebelum umat Islam mengenal teknologi canggih, Rasulullah mengajarkan cara
sederhana dan praktis itu. Alatnya cuma mata kita. Dan bila mata kita terhambat
oleh faktor cuaca, barulah kita dibolehkan melakukan hisĂŁb; yaitu menggenapkan
hitungan hari dari 29 menjadi 30.
Katanya
bentuk hilal itu tipis sekali, malah kadang-kadang hanya tampak sebagai sebuah
titik. Bila titik itu misalnya tidak terlihat dengan mata telanjang di satu
tempat, lalu dilakukan penggenapan hari, tapi bersamaan dengan itu, di tempat
yang lain titik itu terlihat melalui teropong, sehingga tidak perlu dilakukan
penggenapan hari, maka otomatis terjadi perbedaan tanggal di hari yang sama
kan?
Bila yang
anda contohkan itu terjadi di dua tempat yang berjauhan, misalnya di sini kita
menggunakan mata telanjang, dan tidak bisa melihat titik itu, tapi di Arab
Saudi menggunakan teropong, sehingga bisa melihat titik itu; maka perbedaan
tanggal tadi adalah sesutu yang wajar.
Di mana
letak wajarnya?
Pada
kenyataan bahwa kita tinggal di satu wilayah geografis, dan orang Arab Saudi
tinggal di wilayah geografis yang lain, sehingga perhitungan waktunya pun
memang harus berbeda. Kalau saya tak salah, perbedaan waktu kita dengan waktu
Arab Saudi itu sekitar enam jam. Bila di sana misalnya pukul 04.30, maka di
Indonesia adalah pukul 10.30. Nah, bila kita berpuasa dengan patokan waktu Arab
Saudi, apakah kita akan mulai berpu-asa pukul 10.30 (pagi)?
Tentu tidak.
Tapi, bagaimana bila perbedaan itu justru terjadi di satu tempat?
Saya benari
mengatakan bahwa kedua pihak yang berbeda itu telah melakukan kesalahan,
khususnya bila mereka sengaja membiarkan perbedaan itu terjadi, misalnya demi
kepentingan mazhab dan sebagainya.
Kenapa anda
menyalahkan keduanya? Padahal, bukankah yang bisa melihat titik hilĂŁl itu
justru merupakan pihak yang benar?
Dia menjadi
salah bila tidak memberi tahu yang tidak melihat. Sebaliknya, yang tidak
melihat menjadi salah bila menolak pemberitahuan.
Jadi,
intinya harus sama ya?
Ya. Karena
ini masalah kenyataan alam!
Jelasnya?
Sejak kecil
saya mendapat pelajaran dari orangtua bahwa ayat-ayat Allah ada dua macam.
Pertama ayat-ayat qauliyyah, alias firman. Itulah ayat-ayat Al-QurĂŁn.
Kedua, ayat-ayat kauniyyah alias segala sesuatu yang dijadikan
(diciptakan) Allah. Itulah alam. Kata ayah saya, Allah ‘berbicara’ kepada kita
melalui kedua macam ayat itu!
Jadi, dalam
konteks obrolan kita ini…?
HilĂŁl atau bulan sabit adalah salah satu
ayat kauniyyah, yang dengannya Allah berbicara kepada kita tentang
penentuan bilangan bulan dalam setiap bulan Qamariyah (Hijriyah). Muncul atau
tidaknya hilĂŁl di depan mata kita, itulah yang memastikan apakah jumlah
hari dalam sebulan 29 hari atau 30 hari. Maka di sini sebenarnya tidak ada
peluang untuk perbedaan pendapat. Perbedaan pendapat hanya bisa terjadi karena
faktor kebodohan dan atau keangkuhan (arogansi), yang dilandasi gengsi dan atau
kepentingan tertentu.(a.h)