News Breaking
Live
wb_hadi

Breaking News

Omong Kosong Jokowi Bisa Atasi Masalah Warisan SBY. Urus DKI Dulu, Buktikan Itu. Media Jangan Paksakan Jokowi

Omong Kosong Jokowi Bisa Atasi Masalah Warisan SBY. Urus DKI Dulu, Buktikan Itu. Media Jangan Paksakan Jokowi


The Jambi Times - - Media jangan memaksakan Jokowi  jadi  presiden 2014 sedangkan di DKI Jakarta dia baru bisa atasi Pasar Tanah Abang, sedangkan banjir dan macet malah belum disentuh. Media juga jangan bikin ''omong kosong'' tentang kehebatan Jokowi, yang jelas baru bisa blusukan dan kerja praktis, sedangkan warisan masalah SBY itu jelas sangat banyak dan ruwet.

Jokowi terlalu dipaksakan untuk memimpin RI dengan segudang masalah ekonomi-polirik yang ruwet.  ‘’Jokowi  yang  nggak mikir, nggak mikir, sengaja dipakai publik untuk mengolok dan meledek capres lain karena publik jengkel dengan kegagalan SBY. Daripada dipimpin militer kayak SBY yang lembek, Jokowi saja sekalian yang ''nggak mikir'' dan nggak ngerti bahasa Inggris secara memadai, sebagai ungkapan kejengkelan dan pelecehan publik atas kepemimpinan nasional yang tak memberi harapan. Omong Kosong Jokowi bisa memimpin RI dengan segudang masalah ekonomi-politik warisan SBY,’’ kata pengamat terorisme yang juga pengamat politik Al Chaidar.

‘’Kegagalan SBY menciptakan kesejahteraan dan keadilan sosial, juga kegagalan SBY menstabilkan rupiah yang kini menembus Rp11.000/dolar AS,  adalah teror tersendiri bagi pasar dan  publik,’’ kata Al Chaidar, pengajar Fisip Universitas Malikussaleh Aceh.

Jokowi dan siapapun Presiden RI 2014 nanti, akan menghadapi sepuluh masalah krusial warisan SBY yang menghadang bangsa dan negara kita. Ada 10 masalah  warisan SBY yang mencengkeram bangsa dan negara kita dewasa ini. Bangsa kita hadapi penyakit ''Demokrasi Wani Piro''  yang menggejala luas dan NKRI jadi ''negara pariah'', dimana rakyat tak punya lapangan kerja, miskin dan sarjana nganggur, jurang kaya-miskin melebar dan jumlah TKW/TKI  ke LN membludak.

Sungguh, Indonesia butuh Soekarno-Hatta baru untuk mengatasi 10 masalah gawat  warisan SBY yang ditelaah teknokrat senior Rizal Ramli  yang juga Ketua Kadin di bawah ini.  ''Simaklah 10 masalah  warisan SBY di bawah ini, Jokowi jelas nggak mikir dan tak akan mampu mengatasi,  omong kosong dia ngerti mengatasi 10 masalah gawat warisan SBY di bawah ini,'' kata Al Chaidar.

Pertama, rupiah terpuruk Rp11.000/dolar AS, utang LN membengkak jadi sekitar Rp2100 trilyun (utang negara) dan utang swasta sekitar Rp1300 trilyun, dolar masih liar, korupsi meluap, berlanjutnya dominasi asing atas perbankan, sektor ESDM dan perkebunan di Indonesia, juga liberalisasi ekonomi ugal-ugalan (Neoliberalisme gila-gilaan), globalisme dan APEC yang menggulung ekonomi nasional., Beban utang negara dan utang swasta  itu yang menanggung rakyat. Berdasarkan data, neraca pembayaran kuartal pertama 2013 mengalami defisit US$6,6 miliar. Transaksi berjalan juga mengalami defisit sebesar US$5,3 miliar. Sementara itu, neraca modal defisit US$1,4 miliar. APBN 2013 juga diperkirakan akan mengalami defisit lebih besar karena penerimaan pajak semester I-2013 tidak tercapai, baru sekitar 42% dari target. Sampai Juni 2013, penerimaan pajak baru Rp411,39 triliun. Dalam APBN-P 2013, target penerimaan negara dari pajak

dipatok Rp 995 triliun. Seharusnya pemerintah SBY bisa mencegah Indonesia memasuki fase bahaya. Sejak belasan tahun silam, Indonesia selalu mencatat posisi positif untuk sejumlah indikator ekonomi makro. Pada 2007, misalnya, neraca perdagangan mengalami surplus US$39,6 miliar, surplus itu turun menjadi US$26 miliar pada 2011. Kemudian anjlok menjadi US$1,6 miliar di 2012 dan diperkirakan anjlok lagi tahun ini.
Beberapa undang-undang yang dibuat pemerintahan SBY  telah mendapat tentangan publik, antara lain UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, serta UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Ketiga UU itu  berwatak eksploitatif dan prokorporasi daripada kepentingan rakyat banyak. UU Penanaman Modal—sebelum dibatalkan sebagian pasalnya oleh Mahkamah Konstitusi—memberikan peluang bagi korporasi 95 tahun menguasai tanah.

Kedua, UU Pengelolaan Wilayah Pesisir juga memberikan hak korporasi untuk menguasai muka air, kolom, hingga dasar perairan selama 60 tahun secara akumulatif dalam bentuk hak pengusahaan perairan pesisir (HP3). Konsep HP3 ini mirip dengan pengusahaan hutan dan pertambangan yang telah dikecam banyak orang karena merugikan negara.

Ketiga, UU Mineral dan Batu Bara sebagai pengganti UU Pertambangan tahun 1967 ternyata tidak menjanjikan perbaikan. Pemerintah daerah seolah berlomba mengeluarkan izin, bahkan terkesan obral. Tak heran jika Jatam memprediksi lebih dari 10.000 izin pertambangan telah diterbitkan oleh pemerintah daerah hingga saat ini. Bahkan, di banyak tempat, daya rusak tambang telah mengancam keselamatan hidup penduduk setempat.

Keempat, Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menyebutkan bahwa 35 persen daratan Indonesia diizinkan untuk dibongkar oleh industri pertambangan. Sawit Watch menyatakan, hingga Juni 2010 pemerintah telah memberikan 9,4 juta hektar tanah dan akan mencapai 26,7 juta hektar pada 2020 kepada 30 grup yang mengontrol 600 perusahaan. Luas itu setara dengan tanah yang dikuasai oleh 26,7 juta petani miskin jika setiap petani memiliki tanah 1 hektar. Padahal, masih banyak petani kita yang tak memiliki tanah atau menguasai tanah di bawah 0,5 hektar.

Jika dikelompokkan, perusahaan yang menguasai lebih dari 50 persen tanah republik ini tidak sampai 500 grup, baik perusahaan nasional maupun asing. Akibatnya, kekuatan ekonomi dan politik negeri ini berpusat dan dikendalikan oleh segelintir orang pemodal, dan negeri kita tak punya daulat pangan.

Kelima, Selain penguasaan tanah, ketidakadilan agraria juga terjadi dalam penguasaan aset alam. Sebanyak 85,4 persen dari 137 konsesi minyak dan gas kita dikuasai oleh asing. Penguasaan asing di sektor pertambangan (Freeport, Newmont, dll), perkebunan, dan perikanan juga meningkat. Ironisnya, eksploitasi berlebihan terhadap alam dilakukan demi memenuhi kebutuhan konsumsi negara lain. Ini membuat kita tak punya daulat energi.

Batu bara sebagai misal; 82,52 persen dari 246 juta ton batu bara Indonesia diekspor. Bandingkan dengan China yang memproduksi 2.761 juta ton dan hanya mengekspor 1,7 persen. Sisanya, 98,3 persen, digunakan untuk kepentingan domestik (World Coal Institute, 2008).

Keenam, Produksi industri kehutanan, perkebunan, dan kelautan kita juga untuk mendongkrak neraca ekspor Indonesia. Meningkatnya volume ekspor bahan mentah ini kemudian dinyatakan sebagai keberhasilan ekonomi pemerintahan SBY. Padahal, pengerukan alam yang berlebihan itu, selain tak berhasil menyejahterakan rakyat, juga telah mengancam keselamatan rakyat karena memicu bencana ekologis yang tingkat kejadiannya terus meningkat dari waktu ke waktu.

Ketujuh,  mencermati kasus-kasus korupsi bidang pertambangan, saat ini yang ditangani masih sebatas korupsi pada ranah pemerintah. Padahal, kerugian yang dialami unsur negara lainnya, yaitu rakyat dan wilayah, sangatlah benderang. Hal itu misalnya warga Makroman di Kalimantan Timur yang sawahnya gagal panen berkali-kali karena limbah tambang batubara, atau warga Kampung Gincu di Nusa Tenggara Timur yang tak bisa lagi memanen madu karena hutannya dihancurkan tambang mangan.

Warga dirugikan di atas keuntungan yang didapat perusahaan. Bukankah itu serupa kerugian pemerintah, hanya daur keuangannya berbeda, yang satu masuk ke kas pemerintahan, lainnya masuk ke kas rakyat. Bedanya, pemerintah memiliki perangkat memeriksa korupsi, dan memaksa koruptornya bertanggung jawab, sementara warga tidak.

Kedelapan, kerugian yang dialami rakyat di pelbagai wilayah—salah satu unsur negara— tak dilihat sebagai korupsi atau tindakan merugikan negara. Ini terjadi di Samarinda, yang 71 persen kawasannya adalah konsesi tambang batubara. Ada sekitar 150 lubang tambang yang dibiarkan menganga dan mengancam keselamatan warga sekitar. Sudah ada tujuh anak dan remaja meninggal di empat lubang tambang dalam tiga tahun terakhir. Lubang-lubang itu tak ditutup, apalagi direklamasi. Bukankah kerugian bakal ditanggung negara jika kelak terjadi bencana yang lebih dahsyat? Sekarang pun, Samarinda sudah merugi. Tahun lalu pemerintah kota mengeluarkan dana Rp 850 miliar untuk penanganan banjir, sementara pendapatan dari pertambangan batubara hanya Rp 113 miliar. Bahkan, dana untuk biaya penanganan banjir ini naik tiap tahun sejak sebagian besar wilayah Samarinda menjadi konsesi tambang batubara.

Kesembilan, kasus serupa dijumpai di Provinsi Bangka Belitung. Ratusan lubang-lubang tambang yang berbentuk danau warna-warni beragam ukuran ditinggalkan begitu saja, menjadi sumber derita warga sekitar dan pemerintah daerah. Lubang-lubang itu menjadi sarang nyamuk malaria. Kepala Dinas Kesehatan Bangka Belitung (2011) mengatakan, jentik nyamuk malaria tumbuh subur di danau bekas tambang yang berusia lebih dari lima tahun. Di Pulau Bangka, khususnya, penyebaran malaria termasuk yang tertinggi di Indonesia setelah Papua. Jumlah penderitanya lebih dari 2 juta orang setiap tahun. Padahal, penyakit malaria pada ibu hamil bisa memicu bayi lahir dengan berat badan rendah (kurang dari 2,5 kilogram), kelahiran prematur dan kematian perinatal (saat baru lahir). Janin yang terpapar parasit malaria dapat mengalami infeksi sehingga sistem imun termodifikasi dan memengaruhi respons terhadap malaria di usia 1-2 tahun.

Kita menyadari, logikanya, makin banyak lubang tambang, makin banyak penderita malaria, makin meningkat generasi masa depan yang lahir tak normal. Jika pun sebagian besar pendapatan Bangka Belitung berasal dari tambang, sesungguhnya dana itu tersedot untuk menjawab masalah yang ditimbulkan pertambangan timah di sana, terutama dalam jangka panjang. Salah satunya adalah masalah kesehatan ini.
Kasus Samarinda dan Bangka Belitung menunjukkan kerugian negara berdimensi ruang (spatial) dan waktu (chronos). Di Samarinda pembongkaran batubara di kawasan hulu tak hanya merugikan warga di sekitar tambang, tetapi juga meluas hingga Kota Samarinda lewat langganan banjir. Dari 29 lokasi banjir kini meluas menjadi 35 lokasi banjir. Di Bangka Belitung, pengerukan beberapa puluh tahun lalu meninggalkan ratusan lubang, dan memicu tingginya penyakit malaria lima hingga sepuluh tahun kemudian.

Sepuluh,  korupsi di bidang pertambangan yang merugikan warga negara dan wilayah ini tak tersentuh hukum. Padahal, keduanya berpotensi paling besar merugikan negara.  Belum lagi msalah fodalisme dan kapitalisme predator yang merusak sumber daya bangsa ini.

Teknokrat senior Rizal Ramli mendesak eksekutif, legislatif dan yudikatif  2014 harus amanah, tak boleh mengulangi kesalahan dan kejahatan periode sebelumnya. Dia juga mendesak agar, BPK dan KPK serta aparat penegak hukum lainnya harus mengubah paradigma mengurus korupsi di pertambangan. Kerugian rakyat dan wilayah sekitar tambang mesti dilihat sebagai korupsi yang merugikan negara dengan kerugian yang berdimensi ruang dan waktu. Jika tidak, mungkin undang-undang korupsi harus diubah, tak cukuplah mencantumkan korupsi sebagai merugikan keuangan pemerintah atau perekonomian pemerintah semata.
Ada 10 masalah gawat di atas yang membuat bangsa dan republik ini menjadi ''negara pariah''.  Media massa harus buka mata, hati dan jiwa serta pikiran atas masalah gawat di atas dimana tak satupun capres  yang kini beredar atau populer berjanji mengatasinya.

Rakyat Jawa dan Sunda dan semua suku bangsa kita,  harus buka pikiran, hati dan jiwa betapa gawatnya 10 masalah yang menghadang  bangsa kita di atas. Pemimpin mendatang harus akhiri penyakit ''Demokrasi Wani Piro'' yang membuat pemodal menguasai politisi dan parpol dari balik layar. Jika 10 masalah di atas tak bisa dipecahkan, Indonesia di ambang kehancuran, pecah belah seperti Yugoslavia/Soviet, dan kita semua menangisinya, itu  karena  keserakahan dan ketidakperdulian elite penguasa. yang menikmati kekuasaan demi kepuasan pribadi dan golongannya sendiri..(*berbagai sumber)

Tags

Newsletter Signup

Sed ut perspiciatis unde omnis iste natus error sit voluptatem accusantium doloremque.