Rawan Bencana,KPAI Minta Kemdikbud dan Kemenag Siapkan Kurikulum Sekolah Darurat
JAKARTA | Indonesia merupakan negeri yang memiliki karateristik
geografis rawan bencana. Terletak di wilayah cincin api dunia, Indonesia sangat
rawan diguncang gempa bumi hingga gelombang tsunami. Gunung-gunung berapi yang
terdapat di hampir semua pulau juga menambah rentetan kemungkinan terjadinya
bencana vulkanologi.
Selain itu, posisinya yang berada di atas garis khatulistiwa membuat
Indonesia hanya memiliki dua musim, yakni panas dan penghujan. Musim panas
dapat menyebabkan kekeringan juga kebakaran hutan, sementara musim hujan
biasanya mengakibatkan banjir. Ada juga ancaman bencana angin seperti badai
tropis dan putting beliung.
Oleh karena itu, masyarakat dan pemerintah diharapkan memiliki kesiapan
menghadapi bencana yang bisa terjadi sewaktu-waktu, termasuk menyiapkan sekolah
darurat dan kurikulum sekolah darurat di wilayah terdampak bencana seperti
gempa bumi, tsunami, gunung meletus, dan lain-lain.
BELAJAR DARI SEKOLAH DARURAT DI LOMBOK
Minggu lalu, tepatnya 28-30 September 2018, KPAI melakukan pengawasan
ke beberapa sekolah darurat di Kota Mataram, Lombok Barat dan Lombok Utara,
baik sekolah di jenjang SD, SMP, maupun SMA/sederajat. Pengawasan
dilakukan dengan mendatangi sekolah darurat, masuk ke ruang kelas dan
mewawancarai beberapa siswa dan guru serta kepala sekolah.
Jumlah ruang kelas darurat di setiap sekolah yang terdampak gempa jumlahnya
berbeda, sangat tergantung pada “keberuntungan bantuan” baik dari pemerintah
maupun dunia usaha, dan/atau bantuan masyarakat, seperti orangtua siswa maupun
perkumpulan kepala sekolah dari daerah lain di luar NTB.
Hasil pengawasan menunjukkan bahwa sekolah darurat secara fisik ada
berbentuk tenda/terpal dan ada juga bangunan semi permanen. Tenda atau bangunan
yang terbatas di sekolah darurat membuat para siswa harus menggunakan ruang
kelas daruratnya secara bergantian atau dua shift, karena antara ruangan yang
dibutuhkan dengan yang tersedia tidak berimbang jumlahnya, terutama untuk
SMA/sederajat. Di sekolah darurat, rata-rata jam belajar berkisar 5 jam.
“Padahal pembangunan ruang kelas baru membutuhkan waktu lama, mengingat
bangunan sekolah banyak yang mengalami kerusakan berat, seperti sekolah-sekolah
di Lombok Utara dan Lombok Timur, apalagi sekolah-sekolah di Palu dan Donggala
yang secara gegrafis dekat dengan pusat gempa. Sekolah-sekolah terdampak ini
tidak hanya membutuhkan sekolah darurat sebelum sekolahnya di perbaiki, namun
juga membutuhkan kurikulum sekolah darurat,”ujar Retno Listyarti, Komisioner
KPAI bidang pendidikan.
KPAI MENDESAK ADANYA KURIKULUM SEKOLAH DARURAT
KPAI mendesak Kemdikbud dan Kemenag untuk menyiapkan kurikulum sekolah
darurat dengan pertimbangan :
PERTAMA, Ruang Belajar Sekolah Darurat Tidak Nyaman
Retno mengatakan, saat dirinya melakukan pengawasan langsung di beberapa
sekolah di Mataram, Lombok Barat dan Lombok Utara, terungkap keluhan anak-anak
dan para guru bahwa ruang kelas tenda sangat panas mulai pukul 09.00 wita
dan jika ditenda mereka kelelahan duduk bersila karena tidak dapat
menggunakan meja dan kursi di kelas seperti di ruang kelas yang normal pada
umumnya.
“Kalau di ruang kelas yang semi permanen bisa menggunakan meja dan kursi di
kelas darurat, tapi kalau tenda sangat tidak memungkinkan karena sempit dan
tidak tinggi. Bahkan jika hujan deras, kelas-kelas tenda akan bubar karena
tenda tertiup angina dan akan dibajiri air,” tambah Retno
KEDUA, Jam belajar lebih pendek karena keterbatasan ruang kelas.
Keterbatasan ruang kelas dialami banyak sekolah di Lombok Utara, karena
mayoritas sekolah di wilayah ini mengalami kerusakan berat sehingga perlu rehab
total yang memakan waktu lama. Karena keterbatasan ruang tersebut, maka peserta
didik terpaksa bergantiuan menggunakan kelas sehingga jam belajar dibagi 2 shift.
“Jam sekolah yang pendek dan kondisi sekolah darurat yang tentu tidak
senyaman kelas di sekolah-sekolah yang kondisinya normal, maka KPAI memandang
perlu pemerintah dalam hal ini Kemdikbud dan Kemenag untuk tidak sekedar
berkosentrasi pada kelas darurat, namun harus juga menyiapkan kurikulum khusus
untuk sekolah darurat,”terang Retno.
KETIGA, Sistem Penilaian dan Prinsip Keadilan Bagi Semua Anak Didik
Sangat tidak adil jika sekolah darurat harus menerapkan kurikulum nasional yang
saat ini berlaku, sementara sarana prasarana sangat minim, kondisi pendidik dan
kondisi psikologis anak-anak masih belum stabil, serta rendahnya kenyaman
dalam proses pembelajaran di kelas.
“Peserta didik dan pendidik di sekolah darurat sejatinya jangan di bebani
dengan beratnya kurikulum nasional yang berlaku saat ini, namun sudah
semestinya menyesuaikan kondisi riil mereka di lapangan. Oleh karena, kurikulum
sekolah darurat menjadi penting dan mendesak dibuat oleh pemerintah, mengingat
kondisi wilayah Indonesia yang rawan bencana,” tegas Retno
“Nanti sistem penilaian dan ujian sekolah serta ujian nasional peserta didik
di sekolah-sekolah darurat, baik di Lombok, Palu dan Donggala dan tempat
lainnya juga harus disesuaikan dengan kurikulum sekolah darurat, bukan
disamakan dengan peserta didik lain di Indonesia yang wilayahnya atau
sekolahnya tidak terdampak bencana, seperti gempa dan tsunami,” pungkas Retno.
(R)