Sampai Kapan Rakyat Bersandar Pada Tokoh?
THE JAMBI TIMES - Menyandarkan nasib kepada tokoh (figur) adalah ‘naluri’ bangsa ini.
Satria Piningit atau Ratu Adil telah ditunggu sejak zaman wayang sampai
zaman sinetron. Tidak jelas bagaimana persisnya identitas mereka. Yang
pasti, mereka adalah tokoh-tokoh ideal yang mewakili harapan rakyat
jelata, kaum tertindas, yang rindu pada perbaikan nasib berupa
tercukupinya kebutuhan pangan (makanan), sandang (pakaian), dan papan
(tempat tinggal). Dengan kata lain mereka adalah tokoh yang mampu
menjamin terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan ekonomi utama (primer)
tersebut; tidak kurang dan tidak lebih.
Dengan kriteria yang demikian pragmatis, tokoh itu bisa muncul berupa
siapa saja. Apakah ia akan muncul dari kalangan ningrat yang berdarah
biru, atau dari orang biasa yang berdarah merah, juga bukan masalah.
Masalahnya adalah, siapa pun yang muncul, dia tidak bisa serta merta
memenuhi segala harapan. Selain itu, dia tidak bisa bekerja sendirian;
bahkan setelah membentuk sebuah tim pun dia bersama timnya harus bekerja
melalui proses.
Tapi, rakyat memang sabar menanti proses itu berjalan. Cuma,
berkali-kali tokoh itu muncul dan memberikan harapan, berkali-kali pula
terbukti bahwa rakyat telah salah menaruh harapan pada mereka.
Sejak bangsa ini merdeka, yang tampil menjadi presiden adalah
tokoh-tokoh besar. Mereka bukan tokoh-tokoh dongeng yang muncul dari
antah berantah. Bung Karno naik ke puncak setelah mengawali perjuangan
dari bawah sekali. Demikian juga Suharto, Habibie, dan Abdurrahman
Wahid. Bahkan Megawati, meskipun mendapat keuntungan dari kebesaran nama
ayahnya, ia tampil ke puncak setelah melalui proses perjuangan yang
cukup berat, yaitu dengan ‘memimpin’ sebuah partai kecil yang ditindas
penguasa. Dengan latar belakang kehidupan mereka di dunia nyata, yang
tidak asing dengan kehidupan rakyat jelata, seharusnya – setelah menjadi
pemimpin – mereka bisa memenuhi harapan rakyat. Tapi, kenyataannya,
boleh dikatakan mereka semua telah mengecewakan rakyat; sehingga rakyat
bangsa ini lagi-lagi terpuruk ke dalam mimpi menanti Satria Piningit
atau Ratu Adil. Siapa yang salah?
Rakyat harus cerdas
Messianisme (yang konon mulai timbul sejak bangsa Yahudi
diperbudak Fir’aun) hanya hidup di tengah rakyat bodoh yang tertindas
dan tak berdaya. Inti masalahnya adalah kebodohan dan ketidakberdayaan
itu, sehingga mereka selalu mengharap-harapkan munculnya sang penyelamat
yang sakti dan berbudi luhur. Padahal, manusia seperti itu hanya ada
dalam dongeng, dalam kisah pewayangan dsb. Dalam kenyataan, tokoh-tokoh
yang muncul selalu manusia-manusia yang tidak sempurna. Ada yang pintar
beragitasi, membakar semangat perjuangan, menggelembungkan harga diri
sampai terbang ke langit seperti balon gas, tapi tak pandai mengurusi
ekonomi. Ada yang pandai menaikkan taraf ekonomi bangsa sampai menjadi
macan (kertas) Asia, tapi seiring dengan itu birokrasinya sarat dengan
segala bentuk KKN. Ada yang jenius dalam bidang teknologi, menawarkan
peningkatan gengsi bangsa melalui proyek mercusuar, tapi cenderung
membuka peluang disintegrasi.
Ada yang punya reputasi sebagai intelek,
budayawan, kiai, dan guru bangsa, tapi terlalu banyak omong dan sering
melakukan hal-hal yang membingungkan. Ada ‘ibu-ibu’ yang sangat keibuan,
punya pengalaman mengurus perusahaan, tapi cenderung menganggap negara
seperti sebuah perusahaan miliknya sendiri, yang karena itu bisa bebas
menjual aset-aset kepada bangsa lain.
Alhasil, dari dulu sampai sekarang rakyat lebih banyak menangis.
Maklum, mereka masih tetap bodoh, sehingga tak pernah menyadari bahwa
sumber penyakit adalah diri mereka sendiri. Bukankah pemimpin itu lahir
dari rakyat? Bisakah rakyat yang bodoh melahirkan pemimpin yang pintar
(membaca ketubuhan rakyat)?
Lagipula, bila rakyat pintar, mereka bukan hanya melahirkan
manusia-manusia yang bisa memimpin, tapi – di atas segala-galanya –
mereka akan melahirkan sebuah sistem. Sebuah mekanisme untuk menjalankan
kepemimpinan. Melalui mekanisme itulah para pemimpin terjaring, naik
dan turun, bertahan atau lengser. Penentunya bukan keistimewaan para
pemimpin, tapi kemampuan sistem itu menempatkan manusia-manusia tertentu
pada tempat yang cocok (porporsional).
Pemimpin bagai masinis
Anggaplah pemimpin itu bagai masinis kereta api.
Kelas apa pun kereta api yang kita pilih, apakah kelas eksekutif, kelas
ekonomi, atau kelas kambing, semua berjalan di atas rel yang sama, dan
semua tak pernah salah mengantarkan penumpang ke tempat-tempat tujuan.
Kesalahan hanya terjadi bila penumpang menaiki kereta yang mengarah ke
jurusan berbeda, sehingga karena itu sang penumpang tak pernah
menyalahkan masinisnya.
Yang menarik dari kereta api adalah kepastiannya berjalan di rel yang
sama, tak peduli apa pun kelasnya. Bahkan kereta api yang paling buruk
pun akan tetap digunakan rakyat jelata dengan kemantapan hati yang sama
seperti kemantapan hati seorang eksekutif menggunakan kereta eksekutif.
Semua akan mengantar penumpang ke tempat tujuan, walau yang satu harus
berdiri berdesakan di gerbong yang buruk dan bau, sementara yang lain
bisa duduk santai di ruangan yang nyaman.
Kereta api merebut kepercayaan orang karena kemampuannya memberi
jaminan; dan jaminan itu muncul bukan dari sang kereta api semata, tapi
juga dari sistemnya. Selain itu, sistem yang diberlakukan juga didukung
oleh infra struktur yang cocok. Kereta api, rel, sinyal, stasiun dll.,
semua diadakan semata-mata untuk melengkapi kebutuhan sistem.
Dengan sistem yang pasti berjalan, dengan bantuan infra struktur yang
benar, masinis, tukang, rem, kondektur, dll., semua bisa bekerja
bergantian, bergiliran, tanpa harus mengganggu pelayanan terhadap
penumpang.
Andai saja negara kita mempunyai sistem seperti kereta api, kita tak
akan pernah pusing memilih anggota legislatif, presiden, manteri,
gubernur, dst. Suara rakyat tidak akan terlalu dibutuhkan untuk memilih
pemimpin; karena rakyat dan calon pemimpin tahu bahwa pemimpin
dimunculkan oleh sistem yang meminta orang-orang yang cocok, sesuai
kebutuhan sistem dan ketrampilan sang pemimpin. Suara rakyat mungkin
hanya dibutuhkan untuk memilih pemimpin melalui standar moral, karena
dari segi ketrampilan calonnya cukup banyak tersedia.
Masalah kita sekarang adalah: ketrampilan dan moral pemimpin menjadi
teka-teki. Selain itu, sistem yang akan dijalankan pun menjadi teka-teki
pula.
Ekses demokrasi
Selama ini kita tak pernah bicara kelemahan
(sistem) demokrasi. Walau sudah banyak ditemukan korban (rakyat jelata)
yang berjatuhan karena demokrasi, hal itu hanya kita anggap sebagai
ekses, atau bahkan hanya sebuah pengorbanan demi mencapai tujuan agung
demokrasi.
Sebagai sebuah sistem buatan manusia, sebenarnya demokrasi sama saja
dengan sistem-sistem yang lain; tak harus kebal kritik dan dianggap
sakral.
Titik terlemah dari demokrasi adalah penempatan rakyat – secara
formal – sebagai ‘tuhan’. Tentu saja, tuhan adalah kosakata agama, yang
digunakan untuk menyebut oknum (diri) pencipta alam semesta dan manusia.
Dengan lahirnya konsep demokrasi, lahir pula sebuah ‘teologi’ baru,
yang menempatkan suara (firman) tuhan sama dengan suara (aspirasi)
rakyat (vox populi vox Dei).
Akibatnya, terjadilah sesuatu yang
amat sangat ironis. Muncullah apa yang disebut pesta demokrasi, yang di
dalamnya para calon pemimpin berebut ‘suara tuhan’ dengan cara
memanipulasi rakyat. Dalam pesta demokrasi, bisa kita lihat dengan mata
telanjang bagaimana para calon pemimpin mempermainkan rakyat, demi
mendapatkan suara mereka, karena suara itu mempunyai daya legitimasi,
seperti suara Tuhan yang memastikan halal-haram.
Saat ini, di negeri kita, proses manipulasi suara rakyat itu tengah
berlangsung demikian seru. Para calon calon presiden dan wakil presiden
mengerahkan segala cara dan daya. Setelah cara-cara ‘pemaksaan’ tak
mungkin lagi dilakukan, karena kini rakyat memilih secara ‘langsung’,
maka kiat-kiat yang cerdik (high politic?) diterapkan.
Sungguh menarik memperhatikan kiat-kiat cerdik itu dijalankan para
capres (dan cawapres) dengan mempertimbangkan dikotomi-dikotomi sipil
dengan militer, relijius dengan nasionalis, santri dengan abangan, Jawa
dengan luar Jawa, dan entah apa lagi. Banyak argumen untuk itu semua.
Tapi, secara pragmatis, semua berupaya mendapatkan suara terbanyak.
Intinya, semua berebut suara tuhan – eh, suara rakyat. Lalu,
dampaknya bagi rakyat? Dulu (2004), Nurcholis Madjid mengatakan merasa
kasihan pada warga NU, karena naiknya Hasyim Muzadi ke panggung politik
praktis akan menimbulkan gesekan di antara warga NU. Kenyataannya, NU
telah menelurkan lebih dari satu parpol. Dan, ternyata pula hal serupa
itu pun terjadi pada Muhammadiyah.
Tapi, mudah-mudahan rakyat mulai belajar bahwa suara mereka hanya
‘dicincang’ oleh orang-orang yang ingin berkuasa tanpa mampu menjamin
bahwa mereka pasti memenuhi harapan.(a.h)