Keteladanan Agung Rasullah
THE JAMBI TIMES - Tidak ada
satu buku pun di dunia yang mampu menimbulkan revolusi. Manusia biasanya tidak
terpengaruh oleh prinsip-prinsip yang tidak bisa dilaksanakan secara praktis.
Quran adalah kitab yang hidup, namun kaum muslimin masa kini tidak memiliki
ásedikit pun karakter yang dicontohkan rasulullah. Ini bukan berarti bahwa
Quran telah kehilangan tenaga revolusionernya. Tenaga itu ada dan akan ada
selamanya. Bedanya, kini kita tidak memiliki keberuntungan dengan kehadiran dan
bimbingan Sang Guru Agung, yang setiap detik kehidupannya adalah penjelmaan
Quran.
Quran
sendiri menegaskan:
Kamilah yang
mengutus seorang rasul dari kaum yang ummi, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat
Kami, mensucikan mereka, dan mengajarkan kepada mereka ilmu serta
kebijaksanaan. Sungguh, sebelumnya mereka dalam keadaan sangat ‘bodoh’.[1]
Bila ingin
merontokkan kebodohan, kita harus menjadikan kehidupan dan ajaran Rasulullah
sebagai pedoman. Allah menegaskan:
Sungguh
kehidupan Rasulullah adalah model kehidupan yang terbaik.
Banyak
khatib di dunia yang berkhotbah dengan baik. Mereka menyampaikan ajaran-ajaran
yang sangat indah. Namun sedikit sekali di antara mereka yang mampu tampil
sebagai Pribadi yang layak diteladani dalam pelaksanaan ajaran ámereka.
Sebaliknya yang membuat Rasulullah menjadi istimewa justru kepatuhannya yang
sempurna atas ajaran-ajaran yang disampaikannya. Ia mengajrkan agar orang
melakukan shalat lima kali sehari, tapi ia sendiri shalat delapan kali.
Selain
melakukan shalat yang lima kali itu, ia laksanakan shalat ásetelah matahari
naik (dhuha) pada siang hari. Malam harinya ia bertahajud. Para sahabatnya
mengatakan bahwa ketika ia shalat detak jantungnya terdengar seperti air
mendidih, dan air ma tanya jatuh bercucuran. Malam hari ia bahkan melakukan
shalat sampai kakinya bengkak. Air matanya bercucuran seperti rantai yang saling
bersambung. Karena itu Aisyah pun pernah menegurnya, “Ya Rasulullah, bukankah
anda sudah tidak mempunyai dosa lagi? Mengapa anda bersusah-payah melakukan
shalat seperti itu?” Rasulullah menjawab, “O Aisyah, tidak bolehkah aku
menjadi hamba yang bersyukur?”
Ia menyuruh
umatnya berpuasa sebulan dalam setahun, tapi bagi dirinya sendiri tak ada bulan
dan minggu yang dilaluinya tanpa diisinya dengan puasa. Dalam seminggu ia
sering berpuasa tiga hari berturut-turut. Para sahabatnya pun bertanya, “Ya
Rasul, haruskah kami mengikuti perbuatan anda ini?” Sang Rasul menjawab,
“Jangan! Kalian tak dapat caraku, karena Tuhan memberiku makan secara
rahasia.” [2]
Ia mengajarkan
pengendalian nafsu dan kesenangan. Kendati sebagai penguasa Arabia, ia tidur di
atas tikar pandan yang kasar, sehingga menimbulkan bepas pada tubuhnya ketika
ia bangun. Para sahabatnya berkata, “Ya Rasulullah, bila anda ijinkan, kami
akan sediakan tempat tidur yang layak bagi anda.” Rasulullah menjawab,
“Kenapa aku harus ámemusingkan masalah duniawi itu? Aku hanyaibarat seorang
pengembara yang sedang beristirahat di bawah pohon, yang kemudian akan
meneruskan perjalanannya.”
Kemiskinan
dan kesederhanaan memang tidak asing bagi dunia, tapi jarang putri seorang
rasul datang menemui ayahnya sambil memperlihatkan luka-luka di tangannya
seraya mengatakan, “Ayah, lihatlah, tanganku rusak karena penggilingan gandum.
Ijinkahlah aku memiliki seorang pembantu.”
Sang Rasul
menjawab, “Fatimah, kamu tidak boleh memiliki pembantu.
Pembantu
hanya pantas bagi para janda dan orang miskin Madinah.”
Putri raja
manakah yang rela menggiling gandum dengan tangannya sendiri sambil terus
menghafal Quran?[3]
yang rela
menolak kekayaan, emas dan perak, dan memilih kehidupan yang penuh pengekangan
hawa nafsu, dan menjauhi kelezatan makanan dan minuman? Sang Rasul menuturkan
bahwa dihadapan bentangan tanah Makkah yang berbatu dan gersang Allah pernah
menawarkan untuk mengubah semua itu menjadi emas. Namun sang Rasul menjawab,
“Tuhanku, yang kuinginkan hanyalah kenyang satu hari dan lapar satu hari.
Ketika lapar, aku akan mengingatMu dan menangis di hadapanMu. Ketika kenyang,
aku akan memuji, memuja, dan bersyukur kepadaMu.”
Ketika sang
Rasul mengajarkan kewajiban menuntut ilmu, sampai ia menegaskan bahwa ilmu
boleh dituntut walau ke negeri Cina, ia menunjukkan penghargaannya yang tinggi
terhadap ilmu. Pada masa-masa awal kerasulannya, setiap usai menerima wahyu ia
selalu bersusah-payah mempelajarinya, sampai ia nampak seolah-olah sudah muak
pada kehidupan.
Sebagai
bukti, Quran memberikan gambaran:
Jangan pacu
lidahmu agar kamu cepat menguasai Quran;
(karena)
sebenarnya kamu harus mengikuti petunjuk Kami, baik dalam menghimpun maupun
dalam mengkajinya. Apabila telah Kami terangkan bagaimana mengkajinya, maka
patuhilah. Setelah itu, sungguh akan Kami ajarkan maknanya seterang-terangnya.[4]
Sebagai
pelaksana dari konsep beriman kepada Allah lalu iringi dengan istiqamah
(keteguhan dalam iman itu), sang Rasul memperlihatkan keperkasaan karakter yang
mampu mengatasi sakit karena dihujani batu.[5]
Ia bertahan
menangung hinaan dan ejekan, dan dengan berani menghadapi kesulitan hidup karena
pemboikotan. Bahkan ketika darah mengucur dari kepalanya yang terluka,
pendiriannya tak pernah goyah, dan tekadnya tetap membaja. Ia tidak mengadu
kepada Allah, tapi anya berdoa: Ya Allah, beri petunjuk kaumku, karena mereka
itu tidak mengetahui (missiku).
[1] Bila yang dimaksud penulis ini
adalah surat Al-Jum’ah ayat 2, maka terjemahannya adalah: Dialah (bukan Kami)
yang menampilkan bagi kaum yang ummi seorang rasul dari kaum itu sendiri, yang
membacakan bagi mereka ayat-ayatNya, yang mensucikan mereka, yaitu dengan
mengajarkan kitab yang berisi hukum (kebijaksanaan), karena sesungguhnya
sebelum itu (= sebelum diutus rasul) mereka dalam keadaan yang benar-benar
sesat (tak kenal hukum). (AH)
[2] Cerita ini perlu diusut
kebenarannya; karena bila benar Allah memberi Rasulullah makan secara rahasia,
bukahkan itu berarti bahwa ia tidak berpuasa? Selain itu, cerita ini bertolak
belakang dengan ayat yang menyatakan bahwa Rasulullah adalah orang yang harus
diteladani, dan bahwa ia adalah manusia biasa seperti kita, yang makan dan
minum seperti biasayaitu dengan melakukan usaha, bukan diberi makan oleh Allah.
Bila benar Allah memberinya makan secara rahasia, mengapa pula ia pernah
mengganjal perutnya dengan batu untuk menahan lapar?
[3] Pada masa itu kegiatan
menghafal Quran demikian memasyarakat, sehingga hampir segala keiatan
sehari-hari selalu mereka selingi dengan menghafal Quran. Catatan ayat-ayat
Quran selalu mereka bawa, yang selalu mereka buka setiap ada kesempatan. Mereka
juga meletakkan tulisan berisi ayat-ayat Quran di tempat-tempat tertentu yang
membuatnya sering terlihat dan terbaca. Dengan demikian Quran menjadi akrab dengan
mereka.
Tapi selanjutnya kegiatan semacam ini menjadi langka, sehingga Quran
pun menjadi asing dalam kehidupan umat Islam. (AH)
[4] Surat Al-Qiyamah ayat 16-18.
(AH)
[5] …oleh penduduk Thaif. (AH)