Pemred Fakta Hukum NTT Sesalkan Adanya Laporan Polisi Terhadap Wartawan Nttpost.com
Hal ini berawal dari Wartawan Seldy, menulis berita di media nttpost.com (24/5) dengan judul ” Kades Tafuli Mengaku, Boss Atau Raja ” Ketua DPR” Diduga Biang Kerok Kasus Dana Desa Di Malaka”. Padahal berita tersebut berdasarkan pengakuan Kades Tafuli kepada wartawan nttpost.com bahwa Adrianus Bria Seran disebut sebagai sosok yang berada di balik kasus dana desa, hasil temuan Inspektorat Malaka sebesar Rp202 juta
Tanpa menggunakan hak jawab dan hak koreksi sebagaimana yang diatur pasal 5 ayat (2) dan ayat (3) UU PERS Nomor 40 Tahun 1999, Ketua DPRD Kabupaten Malaka, Provinsi NTT, Adrianus Bria Seran, resmi melaporkan Oktavianus Seldy, Oknum Wartawan nttpost.com, lantaran menulis pernyataan Agustinus Tafuli di medianya, tanpa konfirmasi kepada Bria Seran, tulis wartawan fokusnusatenggara.com (25/5)
Menanggapi hal tersebut, kata Yoseph, Seharusnya Ketua DPRD Malaka sebelum membuat laporan terlebih dahulu membaca dan memahami isi UU PERS nomor 40 Tahun 1999. "Terhadap karya jurnalistik yang dianggap merugikan pihak tertentu, polisi bukanlah tempat yang tepat untuk melakukan pengaduan", ungkap Yoseph yang juga sebagai Sekretaris DPW NTT Serikat Media Siber Indonesia (SMSI)
Sambung Yoseph, dalam Undang-Undang Nomor : 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers) adalah lex specialis (hukum yang lebih khusus) terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) dan juga terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Sehingga dalam hal terdapat suatu permasalahan yang berkaitan dengan pemberitaan pers, peraturan perundang-undangan yang digunakan adalah UU Pers.
"Undang-Undang Pers sebagai Lex Specialis berfungsi untuk menyelesaikan Permasalahan Akibat Pemberitaan Pers karena UU Pers adalah ketentuan khusus yang mengatur tentang pelaksanaan kegiatan jurnalistik: mulai dari mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi sampai ke mekanisme penyelesaian permasalahan yang timbul akibat pemberitaan pers", ungkap Yoseph Bataona juga menjabat sebagai Kaperwil NTT Media Nasional Majalah Fakta Hukum Indonesia.
Oleh karena itu, kata Yoseph, dalam menjalankan kegiatan jurnalistiknya, wartawan tidak dapat dihukum dengan menggunakan KUHP sebagai suatu ketentuan yang umum (lex generali). Dalam hal ini berlakulah asas hukum, lex specialis derogate legi generali. Ketentuan khusus mengesampingkan ketentuan yang umum.
Yoseph juga menyebutkan Mengenai mekanisme penyelesaian yang dapat ditempuh jika terdapat pemberitaan yang merugikan pihak lain adalah melalui hak jawab Pasal 5 ayat (2) UU Pers dan hak koreksi Pasal 5 ayat (3) UU Pers. Hak jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya, sedangkan hak koreksi adalah hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberikan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain.
Dalam peraturan Dewan Pers Nomor: 9/Peraturan-DP/X/2008 tentang Pedoman Hak Jawab disebutkan bahwa dengan menggunakan pemenuhan secara sempurna pelayanan Hak Jawab dan Hak Koreksi dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang secara langsung kepada pers yang bersangkutan, dengan tembusan ke Dewan Pers [7] Dalam hal ini mewakili perusahaan pers sebagai penanggungjawab bidang redaksi wajib melayani.
"Orang atau sekelompok orang yang merasa dirugikan nama baiknya akibat pemberitaan itu harus memberikan data atau fakta yang dimaksudkan sebagai bukti bantahan atau sanggahan pemberitaan itu tidak benar dan disampaikan secara tertulis kepada redaksi media terkait", ujar Yoseph yang juga dipercaya sebagai redaktur media nasional Buserbhindo.com
Menurutnya, Implementasi pelaksanaan Hak Jawab tersebut dapat dilihat pada Pasal 10 Peraturan Dewan Pers/2008 tentang Pengesahan Surat Keputusan Dewan Pers Nomor 03/SK-DP/III/2006 tentang Kode Etik Jurnalistik sebagai Peraturan Dewan Pers yang menyatakan bahwa “Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa”.
Selain itu, pelaksanaan Hak Jawab dan Hak Koreksi dapat dilakukan juga ke Dewan Pers (Pasal 15 ayat (2) huruf d UU Pers). Dimana salah satu fungsi Dewan Pers adalah memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers.
Memang sengketa pers dapat juga diajukan gugatan perdata ke pengadilan atau dilaporkan kepada polisi Namun demikian, karena mekanisme penyelesaian permasalahan akibat pemberitaan pers diatur secara khusus di UU Pers muaranya adalah pada pemenuhan Hak Jawab atau Hak Koreksi, maka pengadilan (dalam kasus perdata) maupun penyidik atau jaksa atau hakim yang memeriksa dan mengadili perkara tersebut tetap menggunakan UU Pers dengan muaranya adalah pemenuhan Hak Jawab dan/atau Hak Koreksi.
Oleh sebab itu, apabila pihak kepolisian menerima laporan dan/atau aduan terkait perselisihan/sengketa antara wartawan/media dengan masyarakat pers maka sebaiknya mengarahkan yang berselisih atau bersengketa untuk melakukan langkah langkah secara bertahap dan berjenjang mulai dari menggunakan hak jawab dan hak koreksi sebagaimana tertuang dalam pasal 4 ayat (2) Nota Kesepahaman antara Dewan Pers dan Polisi Nomor 2/DP/MoU/II/2017 tentang "Koordinasi Dalam Perlindungan Kemerdekaan Pers dan Penegakan Hukum Terkait Penyalahgunaan Profesi Wartawan"
Sehingga hemat saya, soal laporan/aduan terhadap Seldy (wartawan nttpost.com) oleh Ketua DPRD Malaka, kepada pihak kepolisian di Polres Malaka diharapkan mengikuti langkah langkah penyelesaian sengketa pers dengan merujuk pada MoU antara Dewan Pers dan Kepolisian Republik Indonesia.
Pasalnya, kata Yoseph dalam Undang Undang Pers Bab VII Pasal 18 sudah diatur soal ketentuan pidananya terkait Hak jawab dan hak Koreksi yang disampaikan oleh pihak yang dirugikan namun oleh redaksi media terkait tidak diberitakan.
"Perusahaan pers (redaksi) yang tidak melayani hak jawab dan hak koreksi sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (2) UU Pers dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)", sebut Yoseph. (.../tim)