Polemik Keppres Hari Kartini
Oleh : HG SUTAN ADIL
Tulisan ini adalah kelanjutan dari tulisan sebelumnya, dimana telah diuraikan bagaimana proses Hari Kartini yang di buat oleh Kolonial Belanda untuk melaksakan program politik etisnya pada masa pra-kemerdekaan Indonesia.
Selanjutnya, Efek dari Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 segera diikuti merebaknya semangat anti-kolonialisme. Segala yang berbau kolonial dipersoalkan dan ditentang.Tapi tidak dengan RA Kartini. Anak emas kaum etisi kolonial ini tidak dihapus namanya, tapi diambil-alih sekaligus dikukuhkan peranannya dengan lebih jelas dalam sejarah Indonesia.
Tidak butuh waktu lama proses pengambil-alihan RA Kartini dari wacana kolonial ke wacana nasional. Pada Kongres Perempuan Nasional yang digelar 4 bulan setelah proklamasi, RA Kartini sudah "gentayangan" dalam pidato-pidato para peserta. April 1946, belum setahun umur Indonesia merdeka, perayaan Hari Kartini sudah digelar.
Sejak itu, narasi Kartini di masa pasca-kolonial tak bisa lagi dihentikan. Ketika itu narasi tentang RA Kartini hampir sama dengan yang direproduksi di masa colonial Belanda. RA Kartini disebut sebagai pejuang hak pendidikan perempuan dan (tentu saja) emansipasi perempuan. Nyaris tidak ada yang baru dari apa yang telah dilakukan oleh Kolonial Belanda.
Modifikasi terhadap narasi RA Kartini justru dilakukan oleh gerakan kiri di Indonesia. Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) dan Gerwis (Gerakan Wanita Sedar) bertanggungjawab atas pembubuhan elemen anti-feodalisme dan anti-kolonialisme ini. Dua organisasi yang berafiliasi dengan PKI (Partai Komunis Indonesia) gigih berkampanye mengenai Kartini sebagai perempuan yang bukan hanya memperjuangkan hak perempuan di bidang pendidikan, tapi juga dipersepsikan sebagai pejuang anti-feodalisme dan anti-kolonialisme.
Gerwani perlu dicatat lebih khusus dalam pokok persoalan ini. Mereka bukan hanya menerbitkan sebuah majalah khusus perempuan kelas menengah yang dinamai ” Api Kartini”, tapi bahkan mengaku diri mereka sebagai penerus cita-cita Kartini.
Pada 1965, tahun-tahun yang disebut "ibu pertiwi sedang hamil tua" itu, DPP Gerwani melansir pernyataan di Harian Rakjat, sebuah surat kabar yang berafiliasi ke PKI : "Gerwani sebagai penerus tjita-tjita dan jedjak perdjuangan Kartini dan Clara Zetkin jang dalam meningkatan diri menjesuaikan dengan proses kristalisasi politik dewasa ini, merupakan gerakan emansipasi jang menghimpun wanita Komunis dan progresif non Komunis…."
Di situ Kartini disejajarkan dengan Clara Zetkin, perempuan komunis dari Jerman yang menginisiasi Hari Perempuan Internasional. Lewat Zetkin inilah bisa dikatakan bahwa Hari Perempuan Internasional pada mulanya berakar pada gerakan sosialis, bukan gerakan feminis.
Hal ini dapat dilihat pada sebuah foto di surat kabar De Waarheid (yang terbit di Amsterdam) edisi 12 Mei 1954 yang menggambarkan suasana kongres Women's International Democratic Federation (organisasi yang dibentuk di Paris pada 1945). Dalam foto itu terlihat Rie Lips-Odinot (seorang anggota parlemen Belanda dari Partai Komunis) berpidato tentang kunjungannya ke Indonesia. Di latar belakang Rie Lips yang sedang berdiri di podium, terlihat potret RA Kartini terpasang di sebelah kiri dan Clara Zetkin di kanan.
Pensejajaran RA Kartini dengan Zetkin inilah yang membuat nama RA Kartini mencuat ke dunia internasional, khususnya gerakan kiri, dan tak lagi menjadi monopoli orang-orang moderat Belanda yang diwakili kaum etisi yang mengkampanyekan politik asosiasi (kerjasama antara Bumiputera dan Belanda).
Tak heran jika ulasan tentang RA Kartini banyak dimuat di terbitan-terbitan organisasi berhaluan kiri. Surat kabar Het Vrije Volk, yang mengklaim sebagai suara kaum sosialis demokrat, pernah menurunkan potret RA Kartini yang di bawahnya tertulis kalimat: "revolutionnaire denkbelden" (ide-ide revolusioner).
Jika orang-orang kiri di Indonesia mencoba mengambil-alih narasi RA Kartini dari genggaman politik colonial Belanda, maka orang-orang kiri di Belanda juga melakukannya. Proses itu berjalan paralel. Tahun 1964 menjadi puncak perayaan Kartini "resmi" menjadi orang kiri. Dari banyak kegiatan ini, faktanya melalui Kepres RI No 108 Tahun 1964 yang dirilis pada 2 Mei 1964, Kartini sah menjadi pahlawan nasional.
Hal ini bisa saja dimungkinkan dimana dua pekan sebelumnya, para perayaan Hari Kartini, Gerwani dan Gerwis merayakannya secara besar-besaran, termasuk di kedutaan-kedutaan Indonesia di negara-negara Eropa Timur. Pada edisi 25 April 1964 koran Harian Rakyat, yang redaksinya dipimpin oleh Njoto, memberitakan perayaan Hari Kartini di Moskow, Bukares, Praha dan Kuba.
Dari uraian diatas dan dari tulisan sebelumnya, tampaklah penentuan hari kartini adalah merupakansuatu keputusan yang diskriminatif terhadap pahlawan lainnya. dalam kondisi sosio-politis saat itu, sulit untuk merumuskan landasan filosofis yang obyektif, untuk menetapkan hari lahir Kartini pada 21 April sebagai Hari Kartini. Penetapan RA Kartini sebagai pahlawan nasional dalam Keppres tersebut, mungkin tidak ada salahnya dan hak beliau untuk mendapatkan gelar.
Namun penetapan tanggal 21 April sebagai Hari Kartini dan dirayakan secara nasional itulah yang tidak dapat diterima secara sosologis, filosofis dan yuridis, dan justru terkesan melanjutkan program Kolonial Belanda dalam politik etisnya. Materi muatan Keppres No. 108 tahun 1964, terutama menyangkut penetapannya tanggal 21 April sebagai Hari Kartini, adalah keputusan yang diskriminatif.
Kalau tidak ada diskriminatif seharusnya tidak ada Hari Kartini. Untuk mempersamakannya, seharusnya ada Hari Soekarno, Hari Hatta, Hari Dewi Sartika, Hari Tjut Nya’ Dien, Hari Rohana Kudus, dan lainnya yang lebih pantas untuk itu. Kondisi politik saat itu memang menempatkan Presiden Soekarno sedang dekat dengan aliran kiri dan bahkan mengeluarkan konsep Nasakomn. Keuasaan yang tunggal dan ditambah lagi dengan posisi beliau sebagai Presiden seumur hidup, banyak dilingkari oleh politisi-politisi yang berusaha mencari muka di hadapannya.
Agar tidak menjadi polemik kedepannya, untuk itu layaklah Keppres No. 108 tahun 1964 ini di tinjau ulang. Bisa saja dengan mengajukan judicial review ke Mahkamah Agung RI untuk mengubah penetapan tanggal 21 April sebagai hari kartini yang diperingati setiap tahunnya, tanpa mengubah penetapan RA Kartini sebagai pahlawan nasional, dalam rangka pelurusan sejarah dan menjaga keutuhan NKRI.
Penulis adalah Ketua DPP FKMI (Forum Komunikasi Muslim Indonesia)