News Breaking
Live
wb_hadi

Breaking News

Viral Anak Sekolah Bunuh Diri, Ini Sikap KPAI

Viral Anak Sekolah Bunuh Diri, Ini Sikap KPAI

The Jambi Times, JAKARTA | KPAI mendorong KEMDIKBUD dan KEMENAG serta jajaran Dinas-Dinas Pendidikan dan Kanwil-Kanwil Kementerian Agama di seluruh Indonesia untuk memiliki perhatian terhadap meningkatkan angka bunuh diri di kalangan pelajar/remaja usia 14-18 tahun. Berdasarkan data Global School-Based Student Health Survey (2015) di Indonesia, ide bunuh diri remaja perempuan adalah 5,9 persen dan laki-laki 4,3 persen. Namun percobaan bunuh diri pada remaja laki-laki lebih tinggi daripada perempuan, yaitu 4,4 persen dan perempuan 3,4 persen.

Kasus percobaan bunuh diri peserta didik di salah satu SMP di Ciracas, bukan kasus pertama di DKI Jakarta, tercatat pada November 2019 juga terjadi kasus serupa di salah satu SMPN di Pademangan, Jakarta Utara. Bahkan, berdasarkan hasil penelitian Nova Riyanti Yusuf, terhadap kesehatan jiwa 910 siswa SMAN dan SMKN berakreditasi A di Provinsi DKI Jakarta, terungkap bahwa 5  persen peserta didik  di SMAN/SMKN di DKI Jakarta sudah memiliki ide bunuh diri dan 3 persen diantaranya sudah melakukan percobaan bunuh diri. 

Pelajar yang terdeteksi berisiko bunuh diri memiliki risiko 5,39 kali lebih besar untuk mempunyai ide bunuh diri dibandingkan pelajar yang tidak terdeteksi berisiko bunuh diri setelah dilakukan kontrol terhadap kovariat: umur, sekolah, gender, pendidikan ayah, pekerjaan ayah, pendidikan ibu, pekerjaan ibu, status cerai orangtua, etnis, keberadaan ayah, keberadaan ibu, kepercayaan agama, depresi, dan stresor.

Ide bunuh diri, ancaman, dan percobaan bunuh diri merupakan hal serius yang harus segera ditangani sehingga dibutuhkan langkah preventif untuk menurunkan angka kejadiannya. Untuk kasus bunuh diri pada remaja, salah satu hal penting yang dapat dilakukan adalah deteksi dini. Semakin cepat keluarga dan orang di sekitar remaja itu menemukan faktor resiko penyebab bunuh diri semakin baik.

Pada Senin, 20 Januari 2020 lalu, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Retno Listyarti melakukan pengawasan langsung dan sekaligus rapat koordinasi dengan Dinas Pendidikan Prov. DKI Jakarta, Sudin Pendidikan Jakarta Timur wilayah 2, Kasatlak Pendidikan kec. Ciracas, pengawas sekolah, kepala sekolah dan jajarannya, termasuk wali kelas ananda SN.  

Rapat koordinasi berlangsung di sekolah yang siswinya, diduga melakukan percobaan bunuh diri. Pertemuan sekitar 3 jam dan dilanjutkan mendatangi TKP. Rakor berlangsung mulai pukul 13.00 WIB yang mengagendakan pencegahan dan penanganan pasca kejadian. 

Bahwa dugaan ananda SN bunuh diri dikuatkan dengan kesaksian salah seorang guru yang saat itu masih berada di sekolah, ibu guru tersebut segera lari ke lantai 4 setelah SN jatuh untuk memastikan apakah ananda kecelakaan, didorong ataukah melompat. Ternyata, diduga kuat ananda SN melakukan percobaan bunuh diri. KPAI juga sempat meninjau lokasi ananda SN melompat, dilokasi tersebut KPAI melihat genteng kanopi yang pecah, diduga karena dinjak SN saat lompat dari tembok ke kanopi. Untuk lompat ke kanopi bagi anak seusia SN dengan tinggi tubuhnya, butuh usaha yang tidak mudah, karena jaraknya yang cukup tinggi. 

Adapun motif mengapa ananda SN melakukan percobaan bunuh diri, KPAI menyerahkan dan menghormati proses penyelidikannya kepada pihak kepolisian. Saat KPAI datang ke sekolah, pihak kepolisian sedang memeriksa sejumlah anak yang diduga melakukan percakapan melalui aplikasi whatsapp dengan ananda SN sebelum SN melompat.  

KPAI mengapresiasi kepolisian yang bertindak cepat meskipun sekolah tidak melakukan pelaporan. Pihak sekolah menyatakan hanya melaporkan kejadian ananda SN melompat ke pihak Sudin Pendidikan Jakarta Timur secara berjenjang, namun tidak lapor ke polisi karena saat itu ananda SN belum meninggal dan sempat dibawa ke RS. Terkait hal ini, KPAI mendorong Dinas Pendidikan memiliki SOP pelaporan ketika ada peserta didik yang terjatuh dari gedung sekolah, biar polisi yang memastikan apa yang terjadi, kecelakaan ataukah bunuh diri. KPAI juga mengapresiasi cara kerja polisi dalam memeriksa saksi yang masih berusia anak sesuai dengan UU Perlindungan Anak dan UU Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA), diantaranya sangat mempertimbangkan kondisi psikologis anak-anak saksi. Pihak kepolisian lebih memilih melakukan BAP di sekolah, ketimbang membawa anak-anak tersebut kantor polisi dengan tujuan melindungi anak-anak dari perasaan tertekan. 

Sehubungan dengan dugaan  permasalahan keluarga, KPAI hanya mendapatkan informasi dari pihak sekolah bahwa ananda SN tinggal dengan pengasuh pengganti dan mengalami guncangan emosi saat sang ibunda meninggal dunia, ketika itu SN masih kelas VIII. Pasca sang ibunda meninggal, pihak sekolah mengetahui bahwa ananda diasuh oleh sang nenek dari pihak ibu, namun yang mengambil rapor hasil belajar SN adalah kakak dari sang ibu, bukan sang nenek. Sedangkan informasi bahwa kedua orangtua ananda sudah bercerai dan hal itu juga diduga menimbulkan goncangan emosi terhadap ananda SN, justru tidak diketahui pihak sekolah. Pihak walikelas mengaku kerap menyaksikan SN ceria, tidak murung, sehingga tidak menangkap guncangan psikologis saat ananda kehilangan  orang yang begitu berarti dalam hidupnya, sang ibu yang begitu dicintainya. 

Berkaitan dengan merebaknya isu bullying, KPAI belum dapat menyimpulkan karena ternyata ananda SN justru memiliki sejumlah kawan dekat yang kerap menjadi tempat curhat baginya saat gundah.  Hal tersebut terlihat dari chatingan ananda SN dengan sejumlah kawan dekatnya tersebut. Meskipun ananda SN mengungkapkan keinginannya ingin bunuh diri, namun kawan-kawan dekatnya menganggap hal tersebut hanya bercanda. Kawan-kawan ananda SN juga tidak tahu caranya membantu mencarikan solusi permasalahan SN, kecuali hanya sebagai kawan curhat. Tidak tahu harus mencari bantuan kemana, mengingat sekolah belum memiliki sistem pengaduan bagi anak-anak yang dirundung masalah. 
Sehubungan dengan kasus tas ananda SN yang diambil oleh guru yang mengajar jam terakhir di kelas ananda, KPAI mendapatkan penjelasan bahwa saat 2 jam pelajaran terakhir, ananda SN tidak mengikuti pelajaran, namun ke kelas lain yang kebetulan di kelas itu sedang tidak ada gurunya, karena sang guru tidak masuk hari itu. Saat bel pulang sekolah, guru di kelas SN membawa tas ananda SN ke ruang guru untuk diserahkan kepada wali kelas karena khawatir kalau ditinggal di kelas nanti malah hilang dan melaporkan ke wali kelas bahwa ananda SN tidak mengikuti jam pelajaran. SN ternyata sempat menjumpai ibu walikelas untuk mengambil tasnya, namun sang ibu guru meminta tasnya diambil esok hari bersama orangtua atau wali dari ananda SN. Tujuannya untuk pembinaan dan pengasuhan bersama antara pihak sekolah dan pihak orangtua/wali terhadap kedisiplinan ananda SN. Namun, ananda SN ternyata justru takut pulang tanpa tasnya. 

KPAI sempat menanyakan anak-anak yang menyaksikan tubuh SN tergeletak  di lapangan sekolah, meski tidak menyaksikan SN melompat dari gedung sekolah ternyata jumlahnya cukup banyak. Puluhan anak karena ada 2 ekskul yang sedang berlatih saat itu, yaitu bela diri dan paskibra. KPAI merujuk puluhan anak tersebut di asessemen secara psikologis oleh psikolog P2TP2A untuk mengetahui dampaknya agar bisa diminimalisir. 


Pada Senin, 27 Januari 2020, KPAI melakukan pertemuan dengan P2TP2A Provinsi DKI Jakarta  yang dirujuk oleh KPAI untuk melakukan asesesmen terhadap anak-anak yang mengikuti ektrakurikuler saat ananda SN lompat dari gedung sekolah dan jatuh di lapangan sekolah, puluhan anak-anak yang mengikuti kegiatan ekskul hari itu melihat SN tergeletak. Puluhan anak yang menyaksikan tersebut mengaku shock dan memang membutuhkan asesemen psikologi. 

KPAI mengapresiasi pihak P2TP2A DKI Jakarta yang bertindak cepat hanya satu hari setelah KPAI melakukan komunikasi by phone dengan pimpinan P2TP2A  pasca pengawasan. P2TP2A kemudian mendatangi sekolah esok harinya (21/1).  KPAI meminta update hasil asesesmen yang dilakukan. 

Menurut  para psikolog P2TP2A, ada sekitar 72 siswa yang di asesmen melalui psikososial, dari 72 siswa ada 29 anak yang membutuhkan tindaklanjut untuk terapi psikologis oleh P2TP2A. Harus ada tindakan pencegahan, tidak hanya di sekolah SN, namun juga di seluruh sekolah dan seluruh jenjang untuk wilayah DKI Jakarta. Karena sudah ada informasi yang diterima KPAI bahwa ada upaya percobaan bunuh diri di sekolah lain di wilayah Jakarta Timur juga. Tentu hal ini tidak bisa diatasi hanya dengan menghadirkan P2TP2A untuk membantu pemulihan psikologis anak tersebut, akan tetapi amat sangat dibutuhkan peran Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta bekerjasama dengan Dinas PPAPP Prov. DKI Jakarta. 

KPAI mendorong Kementerian pendidikan dan kebudayaan (KEMDIKBUD RI) dan terutama Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta untuk melakukan pelatihan bagi para guru agar memiliki kepekaan dan mengetahui cara mendeteksi peserta didiknya yang dirundung masalah dan bisa berpotensi melakukan bunuh diri. Pelatihan tidak dilakukan dengan metode pembelajaran dan kurikulum. Pelatihan tersebut merupakan upaya pencegahan dan penanganan yang berpresfektif kepentingan terbaik bagi anak. Tidak hanya  wajib memiliki kepekaan, guru juga harusnya memiliki empati terhadap anak-anak yang bermasalah. Kepekaan dan empati ini perlu ditumbuhkan. Sedangkan teknik mengenali anak-anak yang dirundung masalah juga perlu diberikan. Pelatihan ini diperuntukan bagi Kepala Sekolah dan para guru yang menjabat sebagai wali kelas dan Pembina ektra kurikuler, bukan hanya guru Bimbingan Konseling (BK) yang memiliki kemampuan konseling, setiap guru setidaknya memiliki kepekaan dan mengenali tanda-tanda anak yang dirundung masalah dan yang memiliki ide bunuh diri. Pencegahan lebih baik daripada penanganan dan penyembuhan. 

Sekolah-sekolah perlu didorong untuk segera menerapkan program Sekolah Ramah Anak (SRA), karena di dalam SRA sudah  memenuhi perlindungan terhadap anak dan menjamin tumbuh kembang anak secara optimal. Selain itu, sekolah ramah anak diwajibkan memiliki sistem pengaduan yang melindungi anak korban dan anak saksi mengadu atau anak-anak yang dirudung masalah berani melakukan konseling sehingga bisa dibantu menghadapi masalah.

Dinas Pendidikan diharapkan memiliki SOP dan juga dapat merujuk kasus ke lembaga yang berwenang.

Khususnya di DKI Jakarta, setiap sekolah diharapkan memiliki 1 (satu) psikolog.(KPAI)

Tags

Newsletter Signup

Sed ut perspiciatis unde omnis iste natus error sit voluptatem accusantium doloremque.