Kembalilah ke Demokrasi ke Indoensia-an Sebelum Terlambat
Emrus Sihombing Direktur Eksekutif Lembaga EmrusCorner
Ketika
kita meninggalkan era otoriter masa Orba, masuk ke era reformasi hingga
saat ini, demokrasi kita acapkali diwarnai voting. Pilpres, Pileg dan
Pilkada semuanya kita lakukan dengan pemilihan langsung. Seluruh pemilik
hak suara menentukan pilihan terhadap sejumlah calon yang tersedia.
Pilpres dan Pileg memilih calon yang ditawarkan oleh partai. Sementara
Pilkada, diberi ruang dari jalur independen.
Sistem
pemilu tersebut, menunjukkan nilai suara dari setiap WNI yang memiliki
hak suara sama, apapun status sosialnya. Berbeda dengan Pilpres di
negeri Uncle Sam (Paman Sam). Praktek ini setidaknya sudah berlangsung
15 tahun. Lalu kemudian, apa yang terjadi di negeri ini dengan demokrasi
voting pemilihan langsung tersebut?
Pemilihan
langsung yang kita lakukan 15 tahun belakangan ini muncul gejala baru
yaitu fenomena relawan. Peran relawan menjadi sangat strategis karena
menjadi salah satu faktor utama memenangkan kandidat dalam suatu
kontestasi pemilu, baik legislatif maupun eksekutif. Melalui relawan,
bisa menembus skat-skat politik yang ada di tengah masyarakat. Karena
itu para calon, langsung atau tidak langsung, berusaha mendekati,
didekati dan atau membentuk komunitas-komunitas relawan. Sebagai
tindakan politik, relasi dengan relawan tetap tidak lepas dari konsep
politik yang sudah tak terbantahkan, yaitu “tidak ada makan siang
gratis”. Akibatnya, biaya politik pun bisa membengkak fantastis.
Para
relawan pun acapkali lebih aktif dan lebih berani melontarkan
pesan-pesan komunikasi politik dibanding dari kader partai pengusung
atau pendukung. Apa yang dilakukan relawan ini, langsung atau tidak
langsung berpotensi bahkan pada aspek tertentu mampu menggeser peran
kader dan simpatisan partai. Padahal, relawan belum
terinstitusionalisasi dalam pilar demokrasi. Sedangkan kader partai
sudah berada pada institusi formal demokrasi. Inilah asalah satu yang
harus kita diskusikan secara serius dalam membangun proses politik
ke-Indonesia-an di negeri kita ini.
Lihat saja
setelah selesai pemilu, apa yang terjadi? Sebagian relawan menempati
posisi di dalam “bangunan” kekuasaan pemerintahan atau legislatif yang
tersedia atau menciptakan unit baru dalam struktur kekuasaan untuk
“menampung” mereka. Ini bisa dimaknai sebagai politik “balas jasa” dan
sekaligus sebagai “sinergisitas” kekuasaan di antara mereka. Praktek
yang sering terjadi, mereka saling mengawal dengan kolaborasi kekuasaan.
Di satu sisi pola semacam ini bisa mengganggu demokrasi substansial, di
sisi lain mampu menguatkan demokrasi prosedural yang penuh kepalsuan.
Karena itu, dipastikan mengancam hakekat demokrasi itu sendiri.
Fakta
juga menunjukkan bahwa pemilihan langsung yang sedang terjadi di
Indonesia saat ini membutuhkan biaya yang sangat-sangat tinggi, bahkan
seringkali diwarnai dengan politik uang. Ungkapan “wani piro” di Jawa
dan “togu-togu ro” di suatu daerah Sumatera, atau sebutan berbeda di
daerah lain, sudah tidak asing terdengar sebagai simbol dari politik
uang. Ini sangat menyedihkan. Sejatinya demokrasi untuk mewujudkan
kehendak rakyat berpotensi bergeser menjadi demokrasi untuk kepentingan
bisnis pemilik modal (kapital). Akhirnya, ssiapa yang memengang
kekuasaan publik, tidak lain yaitu mereka pemilik uang. Demokrasi
bergeser menjadi komunitas bisnis.
Realitas
lain menunjukkan, sejak dan hingga kini negeri ini menerapkan pemilihan
langsung, sudah ratusan kepala daerah, juga ratusan pula legislator dan
beberapa menteri, kita “kirim” ke KPK karena dugaan tindak pidana
korupsi. Tidak sedikit pula di antara mereka sudah mempunyai hukum tetap
dan sebagian sedang “diinapkan” di balik jeraji besi. Mengapa? Boleh
jadi karena pengeluaran dalam suatu Pilkada, misalnya, bisa menelan
puluhan hingga ratusan miliyar rupiah.
Rasionalnya,
dengan perhitungan yang sangat longgar saja, pendapatan dalam setahun
sebagai kepala daerah paling tinggi 1 miliyar. Jadi, akumulasi lima
tahun hanya 5 miliyar. “Defisit” biaya yang dialami seorang kandidat
yang sudah duduk di jabatan eksekutif dan legislatif mendorongya
melakukan korupsi APBD, dan atau melacurkan kewenangannya dengan
berbagai upaya, sperti menerbitkan berbagai Perda yang bisa mempersulit
pelayanan publik, misalnya, perijinan. Pada proses tranksaksional
seperti ini muncul konsep birokratif koruptif yaitu, “diupayakan”, yang
bermakna konotatif menguntungkan secara finasial para pihak yang berada
dan berelasi dengan pusat kekuasaan.
Karena
itu, menurut saya, negeri ini tidak boleh “berpangku tangan” apalagi
“bertepuk tangan” melihat realitas politik yang sedang terjadi di
Indonesia saat ini. Misalnya, ratusan pejabat publik di legislatif
maupun eksekutif sudah dipenjara. Oleh sebab itu, bangsa ini harus
instrospeksi dan merenung mendalam, apa yang salah dengan sistem
politik, utamanya kepemiluan kita secara keseluruhan di era reformasi
ini.
Yang pasti ada “benang kusut” yang harus
kita urai, tanpa memutus-mutus “benang” itu sendiri, sebagai pekerjaan
rumah bagi negeri ini yang harus secepatnya kita tuntaskan. Jika tidak,
akan bisa menimbulkan lingkaran setan permasalahan politik secara terus
menerus di tanah air.
Saya termasuk tidak
begitu gembira melihat sebagian para pemimpin di negeri ini masuk
penjara. Lebih baik, mari kita tata demokrasi ke-Indonesia-an dengan
kembali ke Ideologi Pancasila, utamanya sila ke-empat dan alinea
ke-empat Pembukaan UUD 1945. Intinya, sistem politik kita sejatinya
melakukan demokrasi permusyawaratan rakyat dengan perwakilan di semua
tingkatan proses politik. Bukan dengan demokrasi langsung atau
voting-votingan ala liberal, si kuat di semua sektor mengalahkan si
lemah di berbagai bidang sosial.
Untuk itu,
wacana memunculkan kembali adanya Ketetapan MPR-RI (Tap MPR-RI) dan
amandemen terbatas UUD 1945, bisa menjadi pintu masuk agar benar-benar
negeri ini mewujudkan demokrasi musyawarah-mufakat untuk kebersamaan,
ala ke-Indonesia-an. Sebab, bangunan demokrasi ke-Indonesia-an ini
memastikan bahwa hak-hak setiap individu dan kelompok minoritas dari
aspek jumlah, tetap terakomodasi dan terutama terlindungi. Dengan
demikian, di negeri ini tumbuh subur inklusivitas dalam relasi antar
sesama anak bangsa. Otomatis ekslusivitas terkikis habis dengan
sendirinya, sehingga tidak ada ruang bagi aktor politik yang membawa
politik identitas sempit itu. Mari kita kembali ke demokrasi
ke-Indonesiaan-an sebelum terlambat.
Sesungguhnya,
demokrasi musyawarah ala Indonesia sudah sejak dulu dipraktekkan dalam
kehidupan keseharian di semua bidang kehidupan sosial di tanah air.
Bahkan terapan demokrasi musyawarah ini sudah terjadi pada semua
tingkakan sosial, mulai dari kelompok sosial terkecil (keluarga) hingga
organisasi tertinggi (MPR-RI). Baru-baru ini MPR-RI kita berhasil
melakukan musyawarah dalam menentukan pimpinan.
Karena
itu, dalam semua bidang kehidupan sosial, utamanya proses politik,
sejatinya negeri ini mempraktekkan demokrasi musyawarah, bukan voting.
Untuk itu, para partai politik yang akan kongres atau munas ke depan,
hindarilah politik voting. Kemudian, kedepankan politik musyawarah.
Dengan demikian, demokrasi kita diwarnai nilai-nilai luhur
ke-Indonesia-an kita. Semoga.
Emrus Sihombing Direktur Eksekutif Lembaga EmrusCorner