Diduga Caplok Tanah Adat Lobu Sitompul, JBMI Datangi Kantor NSHE
The Jambi Times, JAKARTA | Belasan pengurus DPP Jam’iyah Batak Muslim Indonesia (JBMI) kembali mendatangi kantor PT. North Sumatera Hydro Energy (PT. NSHE) di Jalan Darmawangsa VII No.16, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Mereka meminta kepastian pertanggungjawaban terkait permasalahan tanah adat Lobu Sitompul di Kecamatan Marancar, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, yang telah dikuasai PT NSHE.
“Kehadiran
kami ke PT NSHE yang keempat kalinya ini untuk meminta jawaban dari
surat yang telah kami kirimkan ke manajemen PT. NSHE. Namun, hingga sore
ini pihak perusahaan belum juga memberikan kepastian perihal surat
tersebut,” kata Sekjen DPP JBMI Jabar Hasibuan di depan pintu gerbang
PT. NSHE pada Kamis sore (14/11/2019).
Saat
mendatangi PT. NSHE kali ini, Jabar Hasibuan didampingi Sekretaris OKK
DPP JBMI Herman Saragih, serta beberapa pengurus JBMI Tapanuli Selatan
yang tanahnya dikuasai PT. NSHE. Team JBMI mempertanyakan respon
perusahaan itu terhadap surat yang dilayangkan DPP JBMI Nomor
194/Sek/DPP JBMI tertanggal 26 Oktober 2019 yang ditujukan ke pihak
pimpinan PT. NSHE, perihal: ‘Pembayaran Konpensasi Hak-hak Warga JBMI.’
Surat
yang ditandatangani Ketua Umum DPP JBMI H. Albiner Sitompul S.IP, M.AP
itu berbunyi: Sehubungan dengan surat pengaduan dan permintaan bantuan
warga JBMI Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, kepada Ketua Umum
JBMI, terkait permasalahan Tanah Adat Lobu Sitompul yang berada di
Kecamatan Marancar, Kabupaten Tapanuli Selatan yang telah dikuasai PT.
NSHE dan sampai saat ini belum dibayar kepada warga JBMI yang tergabung
dalam Tanah Adat tersebut sebagai konpensasi lahan yang dipakai oleh PT.
NSHE untuk pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA). Terkait
hal tersebut, maka DPP JBMI meminta kepada pihak PT. NSHE untuk segera
memberikan hak-hak warga JBMI.
Hisar Nadeak,
perwakilan dari ahli waris tanah adat Lobu Sitimpul, mengungkapkan, pada
tahun 2013 pihak PT. NSHE ingin membebaskan ratusan hektar lahan yang
akan dipergunakan untuk proyek PLTA Simarboru yang terletak di Kecamatan
Sipirok, Marancar, dan Batang Toru, Tapanuli Selatan. Pembangunan PLTA
ini untuk mendukung pasokan listrik di Sumatera Utara, dan merupakan
bagian dari program prioritas nasional, yaitu program ketenagalistrikan
35.000 megawatt.
Menurut Hisar Nadeak, dari
ratusan hektar itu, sekitar 50 hektar merupakan tanah adat Lobu
Sitompul. Di hadapan perangkat desa, pihak PT. NSHE berjanji akan
membayar kepada para ahli waris tanah adat Lobu Situmpul. Namun, sekian
lama para ahli waris menunggu pembayaran untuk pembebasan lahan itu,
tidak juga direalisasikan pihak PT. NSHE.
Pada
tanggal 10 Januari 2019, Hisar Nadeak dan beberapa ahli waris didampingi
pengacara Bangun Siregar, SH diterima pihak manajemen PT. NSHE yang
diwakili oleh Catur didampingi pengacara Syamsir Alam Nasution, SH.
Dalam pertemuan yang berlangsung di salah satu hotel di Jakarta itu,
Catur menanyakan besaran harga per meter yang ditawarkan ahli waris
kepada PT. NSHE.
“Ahli waris menyebutkan tanah
seluas 50 hektar itu harga per meter 60 ribu rupiah, sehingga totalnya
30 miliar rupiah. Namun, tidak ada kata kesepakatan dari pihak PT.
NSHE,” ujar Hisar Nadeak.
Pertemuan kedua belah
pihak kembali dilakukan pada tanggal 11 Maret 2019. Masing-masing
pihak membawa peta tanah. Namun, pihak PT. NSHE menyebutkan biaya
pembebasan tanah ahli waris seluas 50 hektar itu sebesar Rp 4 miliar,
dengan harga per meter Rp 8.000. Kembali, pertemuan ini tidak menemukan
kesepakatan.
Sementara itu, Tajudin Sitompul
dan Armansyah Sitompul, yang juga pengurus JBMI Tapsel meyakini bahwa
hingga saat ini para ahli waris tanah adat Lobu Sitompul belum mendapat
pembayaran dari pembebasan tanah seluas 50 hektar tersebut oleh PT.
NSHE.
Setelah sabar menanti hingga sore hari,
pengurus DPP dan wilayah JBMI Tapsel belum juga mendapat kabar tentang
balasan surat yang telah dikirim ke PT. NSHE. Seorang sekuriti dijadikan
penyampai informasi oleh pihak PT. NSHE.
“Hubungi
saja Pak Rony. Semua urusan sudah diserahkan ke Pak Rony,” ujar
sekuriti itu kepada pengurus JBMI yang menanyakan perihal kelanjutan
jawaban surat yang telah dikirim DPP JBMI ke PT. NSHE.
Menurut
Sekjen DPP JBMI Jabar Hasibuan, pihaknya memang pernah bertemu dengan
Rony, orang yang dipercayakan PT. NSHE untuk menangani permasalahan ini.
Kepada Jabar dan pengurus JBMI laiinnya, Rony berjanji akan memberikan
jawaban atas surat tersebut antara hari Selasa atau Rabu, pekan ini.
Namun
ketika pihak JBMI akan melakukan pertemuan dengan pihak PT. NSHE pada
Selasa dan Rabu sebagaimana dijanjikan, mereka dihadang penjagaan dari
pihak kepolisian. "Ketika hari Selasa kami datang ke PT. NSHE, ternyata
sudah dijaga aparat kepolisian. Begitu pula ketika kami datang kembali
di hari Rabu dan Kamis ini, kembali dijaga oleh aparat kepolisian,”
sergah Sekretaris OKK DPP JBMI Herman Saragih.
Untuk
klarifikasi dan konfirmasi, media ini mencoba menghubungi Rony dari
pihak PT. NSHE via telepon. Namun, setelah beberapa kali dihubungi, Rony
tak menjawab panggilan telepon tersebut. Ia hanya membalas via WhatsApp
bahwa dirinya sedang meeting.
Pewarta media
ini juga mencoba menghubungi Rijal, bagian manajemen PT. NSHE. Namun,
dia juga tak memberikan jawaban spesifik. Rijal hanya memberitahukan via
WhatsApp bahwa dirinya sedang bertugas di Medan. Jadi, tidak mengetahui
kondisi yang terjadi di kantor PT. NSHE di Jakarta.
Sementara
itu, Ketua Umum DPP JBMI H. Albiner Sitompul ketika ditemui di
kantornya menjelaskan ihwal layangan suratnya ke pihak PT. NSHE. Albiner
Sitompul menuturkan bahwa DPP JBMI mempunyai kepengurusan organisasi di
tingkat bawah, yaitu DPW di tingkat provinsi, DPD tingkat
kabupaten/kota, dan DPC tingkat kecamatan.
“Terkait
masalah ini, bahwa DPC JBMI Marancar melaporkan situasi yang terjadi di
wilayahnya ke DPD Tapanuli Selatan. Kemudian DPD meneruskan laporan itu
ke DPW lalu ke DPP JBMI. Maka, kami di DPP, harus melayani laporan dari
DPC, DPD, dan DPW tersebut,” jelas Albiner Sitompul.
Menurutnya,
keberadaan tanah adat Lobu Sitompul sudah ada sejak nenek moyang mereka
dahulu kala. Di area tanah adat Lobu Sitompul terdapat makam Datu
Manggiling, yang merupakan pimpinan adat Marga Sitompul.
“Bukan
pula karena marga saya Sitompul, jadi melindungi warga tanah adat Lobu
Sitompul. Tapi, karena saya adalah Ketua Umum DPP JBMI. Dalam AD/ART
disebutkan bahwa Ketua Umum JBMI dapat mengambil langkah-langkah untuk
kelangsungan JBMI,” paparnya.
Albiner
melanjutkan, ketika warga JBMI meminta perlindungan kepada JBMI, maka
wajib hukumnya ketua umum melindungi warganya. Seperti Presiden
melindungi rakyatnya.
Sebelumnya, beber
Albiner lagi, dirinya juga mengklarifikasi kebenaran perkara ini. Ia
mencari tahu, misalnya, apakah benar tanah warga JBMI ini diambil oleh
PT. NSHE. Apakah benar ada pengakuan dari pihak desa, kecamatan, hingga
dukungan dari perangkat punguan (tokoh) adat di wiyalah itu tentang
pengambilan tanah tersebut. Terungkap semuanya menyatakan benar.
Artinya, terjadi pengambilan lahan milik adat oleh PT. NSHE.
“Maka,
sebagai ketua umum, saya mengirim surat kepada pihat PT. NSHE. Karena
mereka telah berjanji untuk membayar penggantian lahan yang akan
digunakan untuk proyek PLTA. Tentu surat itu harus ditanyakan
jawabannya. Karena ini menyangkut harkat dan martabat warga JBMI. JBMI
juga melindungi martabat warga Batak Muslim yang tanahnya digunakan oleh
PT. NSHE,” paparnya.
Cara membayarnya pun,
lanjut Albiner, harus sesuai, karena para ahli waris tidak secara
langsung menjual tanahnya ke PT. NSHE. Tetapi, mereka “memberikan”
tanahnya untuk mendukung program pembangunan nasional, dalam hal ini
pembangunan PLTA.
“Karena pemberian tanah
ini bukan dengan cara jual-beli, maka harus dibayarkan secara ganti
untung. Karena itu, saya perintahkan rekan-rekan JBMI untuk meminta
jawaban atas surat yang sudah kami kirimkan ke PT. NSHE. Jadi, saat ini
yang berhadap-hadapan dalam masalah ini adalah pihak DPP JBMI dengan PT.
NSHE,” pungkasnya.
Menurut Albiner, setiap
pembangunan akan menimbulkan dampak munculnya kesejahteraan. Namun efek
kesejahteraan itu jangan sampai teranulir akibat proses pembangunan yang
tidak mensejahterakan rakyat.
Menurut Albiner,
keberadaan tanah adat Lobu Sitompul kelak sangat bermanfaat bagi anak
cucu para ahli waris untuk melangsungkan hidup.
“Jika
sekarang kondisi tanah mereka itu sudah digunakan PT. NSHE, maka
segeralah bayarkan kepada para ahli waris,” tegas Albiner. (Rif)