Siswa Ikut Demo, KPAI: Kecam Sekolah dan Kepolisian
The Jambi Times, JAKARTA | Sejumlah
siswa yang ikut dalam aksi demo beberapa hari terakhir ini mendapatkan
beragam sanksi dari berbagai pihak, mulai pihak sekolah sampai
kepolisian. Mulai dari di keluarkan dari sekolah tanpa diberikan
alternative pindah ke sekolah lain sampai ancaman tidak mendapatkan
SKCK, karena dimasukan ke dalam sistem catatan kepolisan, dianggap telah
melakukan tindakan kriminal, meskipun ke 17 siswa dari dua SMA di Gowa
tersebut tidak melakukan tindakan kriminal, bahkan mereka diamankan
polisi di jembatan Fly Over kota Makassar sebelum ikut aksi demo.
Komisi
Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) melalui Retno Listyarti, Komisioner KPAI bidang Pendidikan mendapatkan pengaduan masyarakat
baik secara perorangan maupun secara organisasi, bahkan siang ini (3/10)
Tim Hukum dari YLBHI dan LBH akan melakukan pengaduan resmi ke KPAI,
terkait banyaknya pelajar peserta aksi di sejumlah daerah terancam
kehilangan hak atas pendidikan bahkan atas pekerjaan ketika diancam
dimasukan dalam sistem pencatatan kepolisian dan tidak akan
mendapatkan SKCK, padahal mereka tidak melakukan tindakan kriminal.
Sekalipun mereka masuk dalam Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH) sebagai
pelaku pidana misalnya, maka sebagai anak hak atas pendidikannya tetap
harus dipenuhi Negara. Negara wajib menjamin ha katas pendidikan ABH.
Tudingan
pihak Polres Gowa terhadap sejumlah siswa yang berusia 16-17 rahun
tersebut ada dalam rilis yang disampaikan pengadu kepada KPAI melalui
aplikasi whasApp sebagai berikut : “Apa yang telah dilakukan para
pelajar ini merupakan sebuah pelanggaran, khususnya dalam UU No. 9 Tahun
1998. Maka dari itu, kami akan memasukkan nama-nama mereka dalam Sistem
Catatan Kepolisian, sehingga nantinya mereka tidak akan dapat menerima
SKCK (Surat Keterangan Catatan Kepolisian), mengingat SKCK adalah produk
negara mengenai riwayat tindakan kriminal yang diperlukan setiap orang
untuk melanjutkan pendidikan maupun melamar pekerjaan,” jelas Akbp
Shinto Silitonga.
Bahwa tindakan “pengamanan”
oleh dan pencatatan kepolisian oleh pihak kepolisian terhadap siswa yang
umumnya telah berusia 16 – 17 tahun pada saat ikut serta menyampaikan
pendapat di muka umum (demostrasi) adalah tindakan yang justru telah
melanggar Hak Anak dalam menyampaikan pendapatnya yang justru seharusnya
di dilindungi, di bantu atau difasilitasi secara khusus oleh
Kepolisian. Bahkan tindakan Kepolisan yang mengancam bahwa mereka (para
siswa) tidak lagi berhak memperoleh Surat Keterangan Berkelakuan Baik
atau Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) adalah tindakan yang
sangat keliru, megintimidasi yang dapat berdampak buruk terhadap mental,
dan hak untuk tumbuh dan perkembangan anak. Padahal berdasarkan
Peraturan Kapolri No. 18 Tahun 2014 tentang Tata Cara Penerbitan SKCK,
yang dimaksud permohonan yang tidak dapat diterbitkan atau dicabut
SKCK-nya adalah pemohon yang pernah melakukan dan/ atau sedang
tersangkut tindak pidana.
Bahwa jikapun - aksi
demonstrasi yang dikuti oleh para siswa tersebut tidak disertai dengan
Surat Pembertahuan, maka menurut ketentuan UU Perlindungan Anak - Pihak
Kepolisian berkewajiban untuk membantu, menfasilitasi anak (para siswa)
tersebut dalam menyampaikan pendapatnya.
Ataupun
jika tanpa adanya surat pemberitahuan rencana aksi demonstrasi dianggap
pelanggaran, maka sanksi yang diatur dalam Pasal 15 UU No. 9 Tahun 1998
adalah tidak dikategorkan sebagai pelanggaran Pidana, melainkan
sanskinya sekadar Kepolisian diberikan kewenangan untuk “dapat” (tidak
harus, atau sesuai situsai dan kebutuhan) untuk membubarkan. Bukan malah
menangkap atau mengamankan dan membawa ke Kantor Kepolisian dan
selanjutnya melakukan pemeriksaan tanpa ada pendampingan dari pihak PK –
Bapas atau pendamping sosial, sesuai ketentuan UU Perlindungan anak dan
Sisitem Peradilan Pidana Anak.
Berdasarkan
hal-hal tersebut di atas, maka KPAI akan membahas masalah ini dalam
rapat koordinasi dengan Tim Terpadu Perlindungan Anak yang dibentuk
pada Rabu (2/10) lalu. Tim ini terdiri dari Kementerian/Lembaga
terkait, yaitu KPAI, Kementerian PPPA, Kemeninfo, Kemdikbud, Kementerian
Agama, Kemenko Polkumhan, dan POLRI. Tim Terpadu Perlindungan Anak
dikoordinatori oleh Deputi Perlindungan Anak Kementerian PPPA. Apalagi
dalam salah satu pemberitaan di media online, Kapolda Sumatera Utara
juga melakukan ancaman yang sama kepada para pelajar yang ikut aksi
demo. Tim terpadu Perlindungan Anak yang berisi Kementerian/lembaga
terkait wajib menindaklanjuti permasalahan ini.
KPAI Apresiasi Pemprov DKI Jakarta
Pertama,
KPAI menilai sikap Pemprov DKI Jakarta yang disampaikan Gubenur Anies
Baswedan yang memastikan pihaknya tidak akan mencabut Kartu Jakarta
Pintar (KJP) milik pelajar yang mengikuti aksi demonstrasi menuntut
pembatalan sejumlah rancangan undang-undang (RUU) adalah sikap yang
sejalan dengan kepentingan terbaik bagi anak sesuai dengan Konvensi Hak
Anak (KHA).
KPAI juga menilai bahwa anak
pemegang KJP adalah anak dari keluarga tidak mampu, kalau kemudian di
cabut KJP nya, di keluarkan pula dari sekolah, maka anak-anak tersebut
akan kehilangan hak atas pendidikan, hilang masa depannya, dan malah
akan menjadi masalah social ke depannya.
Kedua,
Pemprov DKI Jakarta yang lebih memilih penyelesaian melalui pembinaan
bukan semata hukuman adalah kebijakan yang menghargai hak-hak anak.
Gubenur DKI Jakarta menilai proses pendidikan jauh lebih penting
daripada pemberian sanksi. Menurut Anies, tindakan yang seharusnya
dilakukan adalah memanggil anak dan orang tuanya untuk diajak diskusi.
KPAI
sepakat bahwa pembinaan dan pelibatan orangtua agar memiliki pola
pengasuhan yang sama antara sekolah dengan orangtua, sehingga dapat
menjaga anak tidak mengulangi perbuatannya yang keliru. Pemprov DKI
Jakarta juga dapat meminta P2TP2A DKI Jakarta untuk bersinergi
mengedukasi para orangtua agar membangun pengasuhan yang positif dan
bagi anak-anak yang memiliki masalah psikologis dengan pola pengasuhan
orangtuanya dapat dibantu di rehabilitasi oleh tim psikolog dari P2TP2A
DKI Jakarta.
Ketiga, KPAI mendukung Pemprov
DKI Jakarta untuk tidak mengeluarkan anak yang ikut aksi Pelajar pada
25/9 dan 30/9, karena Pemprov DKI Jakarta menilai jika ada siswa
bermasalah seharusnya diselesaikan di dalam lingkungan sekolah.
Pemberian sanksi dengan mengeluarkan siswa dari sekolah dan mencabut
bantuan KJP adalah cara yang salah. Cara semacam itu menurut Pemprov DKI
Jakarta justru tidak sejalan dengan tujuan pendidikan bagi anak-anak
dan melanggar hak anak mendapatkan pendidikan.
Pemprov
DKI Jakarta juga bersikap menghormati kewenangan kepolisan dalam
menangani kasus-kasus anak yang diduga kuat melakukan tindakan
criminal termasuk jika ada anak DKI Jakarta yang menjadi ABH, kewajiban
kepolisian untuk menegakkan hukum sesuai aturan yang berlaku. Namun,
Pemprov DKI Jakarta menjamin bahwa semua anak DKI Jakarta itu akan tetap
dipenuhi hak atas pendidikannya. (kpai)