News Breaking
Live
wb_hadi

Breaking News

Jadikan Otak Untuk Berpikir, Bukan Untuk Menimbun Fakta

Jadikan Otak Untuk Berpikir, Bukan Untuk Menimbun Fakta




THE JAMBI TIMES - Saya termangu membaca potongan kisah Einstein (Yahudi) dan Henry Ford (orang Amerika yang benci Yahudi?), yang sama mengajarkan kepada kita agar otak tidak (hanya) digunakan untuk menimbun fakta (menghafal) tadi (terutama) untuk berpikir.

Ketika ditanya ada berapa kaki dalam 1 mil, Einstein menjawab “tidak tahu”, tapi ia mengatakan bisa mengetahuinya dalam 2 menit melalui buku rujukan standar.

Begitu juga Henry Ford.  Ketika ditanya siapa Benedict Arnold dan kapan Perang Revolusi, ia dengan jengkel menjawab “tidak tahu”, tapi dalam 5 menit ia bisa menemukan orang yang mengetahui semua itu.

Saya lantas mengingat ayat-ayat Al-Qurãn yang berisi pertanyaan, “Apakan kalian tidak menggunakan akal?”, “Apakah kalian tidak berpikir?”, “Apakah kalian tidak sadar?” (surat Al-Baqarah, Ali Imran, dan lain-lain).

Pertanyan-pertanyaan itu, kenyataannya, hanya disambut oleh segelintir muslim (zaman sekarang?), dan  dijawab oleh banyak non-muslim (?), walau jawaban mereka hanya bersifat pragmatis (berkaitan dengan kebutuhan hidup mendesak saja).

Saya gembira mengetahui banyak umat Islam sekarang mulai beramai-ramai menghafal Al-Qurãn; setidaknya mendorong anak-anak mereka untuk itu; walaupun terkuak lewat pernyataan Nouman Ali bahwa banyak di antara mereka punya niat agar anak-anak mereka bisa jadi imam dalam shalat tarawih (tentu dengan imbalan uang yang besar!).

Dalam kehidupan sehari-hari, saya saksikan banyak orang sibuk belajar tajwid dan tahsin, supaya bisa membaca Al-Qurãn dengan “baik”. Ketika itu saya sebut kurang bermanfaat untuk memahami Al-Quran, mereka marah…

Dalam pengalaman nyata, ajakan saya untuk belajar bahasa Al-Qurãn sepi dari sambutan, dibandingkan ajakan untuk belajar tajwid/tahsin.

Di lain pihak, wanita muda “jilbaber” (muslimah yang berjilbab) berduyun-duyun belajar bahasa Inggris, Prancis, Cina, Jepang, dan bahasa-bahasa asing lain yang dianggap bisa menaikkan gengsi, membuka peluang kerja, bahkan mempermudah menemukan jodoh (tentunya orang asing). … Maka sekarang banyaklah ibu-ibu muda berjilbab yang punya anak kecil meneriaki anak-anak mereka dengan “no-no-no” setiap si anak melakukan ‘kesalahan’.

Saya prihatin mereka ‘lari’ dari kegiatan mempelajari bahasa agama mereka.

Dari cara mereka berpikir, ketahuan bahwa ‘kesadaran pragmatis’ (kecenderugan mengutamakan kebutuhan sesaat/mendesak seperti kebutuhan ekonomi, gengsi, dan eksistensi) lebih mengemuka ketimbang kebutuhan jangka panjang. Mereka bahkan seperti melupakan konsekuensi logis dari kenyataan bahwa mereka “beragama Islam”, yang di dalamnya ada kewajiban, bahkan kebutuhan untuk memahami ‘kitab suci’ mereka, yang nyatanya berbahasa asing!

Dihafal dan dipahami

Sejak masa Rasulullah, Al-Qurãn adalah kitab yang dipelajari dengan cara dihafal dan dikaji. Istilah “mengaji” dalam bahasa Indfonesia bahkan mengisyaratkan bahwa mengkaji harus dinomorsatukan daripada menghafal.

Ada beberapa hadis yang menegaskan bahwa para sahabat mengajarkan Al-Qurãn 5 ayat demi 5 ayat dalam setiap halaqah (semacam kelas). Tapi cara mereka mengajar bukan dengan menyuruh menghafal atau sekadar menyempurnakan pembacaan (bunyi) ayat-ayat. Mereka dengan cara mendalami bahasa dan isi.

Umat Islam memang tidak bisa dipisahkan dari Al-Qurãn. Kewajiban shalat 5 kali sehari jelas mengharuskan mereka menghafal Al-Qurãn. Tapi bila Al-Qurãn dihafal hanya untuk ‘mengugurkan kewajiban’, yakni sebagai bacaan dalam shalat, tapi tidak dipahami, maka di situlah terjadi ‘ironi’ (hal yang memprihatikan.

Surat atau ayat Al-Qurãn yang dibaca dalam shalat tapi tidak dipahami, jelas tidak lagi powerful (bertenaga). Pertama, bila kita ingin melakukan shalat dengan khusyuk, maka langkah pertama adalah harus memahami bacaan-bacaannya. Kedua, bila shalat diharapkan berguna untuk mencegah perbuatan keji dan munkar, maka caranya haruslan dengan memahami bacaan-bacaannya, yang di dalamnya tentu ada gambaran tentang apa itu keji dan munkar dan bagaimana cara menghindarinya.
Uraian di atas membereikaan gambaran tegas kepada kita, bahwa para muslim/muslimah pada dasarnya adalah orang-orang yang suka menghafal dan mengkaji Al-Qurãn.

Menghafal Al-Quṛn (walau sebagian) adalah kebuthan mendesak, supaya bisa shalat. Mengkaji Al-Quṛn adalah juda kebutuhan mendesak, supaya Рantara lain Рshalat kita bisa fungsional (untuk mencegah perbuatan keji dan munkar).

Lebih lanjut, karena Al-Qurãn adalah “pedoman/petunjuk hidup”, maka memahaminya adalah sama penting dengan memahami peta jalan dan rambu-rambu lalu-lintas. Seiring dengan itu, menghafalnya adalah sama dengan menghafal jalan-jalan, rambu-rambu, dan segala hal tentang jalan secara “ffaktual”, bukan hanya kira-kira atau angan-angan.

Dengan kata lain, bila Einstein dan Henry Ford, dan sebangsa mereka, menekankan pengguaan otak pada fungsi berfikir, Islam mengajarkan bahwa fungsi untuk menjadi gudang fakta juga harus dijalankan. Dengan demikian, janganlah seperti (sebagian) Yahudi, yang “tidak mengetahui Kalam (wahyu Allah) kecuali sebatas angan-angan.(a.h)


Tags

Newsletter Signup

Sed ut perspiciatis unde omnis iste natus error sit voluptatem accusantium doloremque.