Analisis Îmãn (17)
BAHASA ALLAH DAN
NABI
THE JAMBI TIMES - Suatu hari di tempat
pengajian, saya mendapat pertanyaan yang sangat menarik dari seorang peserta,
“Di antara banyak ragam dan dialek bahasa Arab yang ada sekarang, bahasa Arab
manakah yang dulu digunakan oleh Nabi Muhammad dalam pergaulan sehari-hari?”
“Pertanyaan bagus!”
saya bilang. “Dan jawabannya adalah: tentu saja yang beliau gunakan bukanlah
bahasa seperti yang tertulis di dalam mushhaf Al-Qurãn sekarang. ...”
“Jadi, bahasa
Al-Qurãn itu bukan bahasa percakapan Nabi Muhammad dan bangsanya pada waktu
itu?” Dia mengejar.
“Bukan!”, kata saya.
“Bahkan bahasa Al-Qurãn, bukanlah bahasa percakapan Nabi Muhammad dengan umat
Islam sendiri.”
“Jadi, beliau
berbicara dengan bahasa apa?”
Saya tertawa, lalu
balik bertanya, “Menurut anda, beliau bicara dengan bahasa apa?”
“Dengan bahasa Arab
tentunya. Tapi yang belum jelas bagi saya adalah bahsa Arab yang mana? Karena
seperti yang Bapak sebutkan, di Timur Tengah sekarang ada banyak macam logat
bahasa Arab. Dan di antara semua itu, saya bertanya, bahasa Arab negara
manakah, atau suku apakah, yang dulu digunakan Nabi Muhammad?”
Saya balik
bertanya,“Ingatkah anda bahwa Nabi Muhammad itu orang Quraisy?”
“Ya, ya, tentu saja
saya ingat.”
“Nah, dengan
demikian, bukankah bisa kita simpulkan bahwa beliau menggunakan logat bahasa
Arab Quraisy?”
“Ya, betul. Saya pun
berpikir demikian. Tapi masalahnya, apakah suku Quraisy itu sekarang masih
ada?”
“Masih,” kata saya.
“Bahkan ada yang menetap di Indonesia, yaitu Quraish Shihab!”
“Bapak bisa aja!
Tapi beliau kan berbicara dengan bahasa Indonesia!”
“Betul, betul, betul.
Dan saya juga memang bertanya seperti pertanyaan anda. Masih adakah suku
Quraisy di Timur Tengah, dan masihkah mereka menggunakan bahasa yang sama
seperti di zaman Nabi Muhammad?”
“Waduh, pertanyaan
sulit ya, Pak?”
“Saya kira tidak
sulit. Dan tidak harus mencari-cari orang Quraisy. Sangat mudah. Begini.
Sekarang ini di hadapan kita kan ada dua teks Islam yang kedua-duanya diakui
sebagai sumber ajaran Islam, yaitu Al-Qurãn dan hadis. Nah, bukankah kita
tahu bahwa Al-Qurãn berisi kata-kata (firman) Allah, dan hadis, antara lain,
berisi kata-kata (sabda) Nabi Muhammad. Tidakkah kita bisa menyimpulkan bahwa
bahasa yang digunakan Nabi Muhammad dulu adalah seperti yang terekam di dalam
teks hadis?”
Sang penanya dan
para hadirin terdiam, dan saya pun gembira menemukan jawaban itu.
Persoalan
berikutnya, kita bicara bahasa di sini adalah tentang bahasa sehari-hari Nabi
Muhammad, yang tentu tidak sama dengan yang terdapat di dalam teks Al-Qurãn;
tapi diduga keras (dan siapa bisa membantah?) bahwa beliau menggunakan bahasa
seperti yang terdapat di dalam hadis.
Pertanyaan lebih
lanjut, bahasa apakah gerangan nama kedua bahasa yang terdapat dalam
Al-Qurãn dan hadis?
Bahasa Arab!
Lalu, dialek-dialek
yang digunakan di Mesir, Maroko, Saudi Arabia, dan lain-lain itu, bahasa
Apa?
Bahasa Arab.
Isa Bugis, dengan
teori ya nisbah dan teori antropologinya, pada akhirnya menyimpulkan
bahwa bahasa Al-Qurãn adalah bahasa (dialek?) Quraisy, yaitu bahasa yang
katanya digunakan oleh para nabi, dari Adam sampai Muhammad; yang berarti
juga terekam dalam kitab Zabur Daud, Taurat Musa, Injil Isa, sampai Al-Qurãn
Muhammad. Bahasa para nabi itulah yang oleh Isa Bugis disebut sebagai Bahasa
Nur, dan selainnya adalah Bahasa Zhulumat.
Dan, ketika menyebut
Quraisy, Isa bugis menyimpulkan bahwa suku Arab Quraisy adalah pengguna
Bahasa Nur, tapi berkesadaran Zhulumat. Dengan kata lain, bila bahasa
diibaratkan kemasan, maka Quraisy mengemas “bentuk kesadaran” Zhulumat dengan
Bahasa Nur!
Selanjutnya, melalui
teori nisbahnya yang lemah, dan teori antropologi bahasanya, Isa Bugis
menyimpulkan bahwa bahasa Al-Qurãn “serumpun” dengan bahasa Arab.
Perhatikanlah! Bila
bahasa Al-Qurãn adalah bahasa (suku) Quraisy, dan suku-suku Arab lain
mempunyai (dialek) bahasa Arab yang berbeda, dan itu semua oleh Isa Bugis
disebut serumpun, maka dari rumpun apakah bahasa-bahasa (dialek-dialek) itu
terlahir?
Bila kita perhatikan
teori Isa Bugis, semua lahir dari Bahasa Nur, alias bahasa para nabi. Lalu,
bila dikaitkan dengan teori yang ada, bahasa para nabi itu bahasa apa?
Ternyata Isa Bugis mengarah pada kesimpulan bahwa Bahasa Nur itu adalah
Bahasa Semite, yang secara antropologi berpangkal pada anak Nabi Nuh, yaitu
Sam bin Nuh; sehingga kata Semite itu dalam ejaan Arabnya adalah Samyah
(?). Isa Bugis bahkan membuat pemetaan demikian:
Bahasa Nur adalah
bahasa pertama, yang selanjutnya melahirkan bahasa-bahasa:
1. Rumpun Eropa
2. Rumpun Mongol
3. Rumputn Indo Semite
4. Rumpun Arya
Kita tahu bahwa dari
semua bahasa yang ada, yang paling mirip dengan bahasa Al-Qurãn adalah bahasa
rumpun Semite, yang diakui Isa Bugis berasal dari bahasa Sam bin Nuh.
Sedangkan bahasa-bahasa lain, yang berbeda jauh dari bahasa Semite, entah
bagaimana bisa dikatakan bersumber dari Bahasa Nur (?).
Namun, pendapat
adalah pendapat. Dia akan hidup sepanjang ada para pendukungnya. Tapi
ingatlah bahwa “setiap kata harus ada pembuktian”. Pembuktianlah, dan bukan
pendapat (asumsi) yang akan memastikan apakah sebuah pendapat mempunyai
kekuatan nyata atau hanya khayalan sang narasumber dan para pendukungnya.
Fakta
Fakta berbicara
bahwa kita hanya bisa menemukan dua teks yang dianggap dokumen-dokumen
otentik sebagai sumber ajaran Islam, yaitu Al-Qurãn dan hadis. Dengan catatan
bahwa kedua-duanya menggunakan bahasa Arab, dan perbedaan bahasa keduanya
bukalah karena ‘serumpun’ apalagi berbeda rumpun, misalnya seperti bahasa
Mongol dan Eropa.
Penentu perbedaan
bahasa Al-Qurãn dan bahasa hadis, bukanlah karena keduanya menggunakan jenis
bahasa yang satu sama lain berbeda, tapi perbedaan itu hanya terletak pada
“gaya bahasa”, atau uslub, seperti kata para ahli Bahasa Arab, atau style
dalam istilah Bahasa Inggris.
Gaya bahasa
ditentukan oleh para pengguna. Di Indonesia, misalnya, jelas bangsa Indonesia
menggunakan Bahasa Indonesia; tapi Bahasa Jurnalistik tentu berbeda dengan
Bahasa Sastra, atau Bahasa Preman. Dan letak perbedaannya bukan pada jenis
bahasanya, tapi pada gaya. Bahasa jurnalistik adalah tetap Bahasa Indonesia.
Demikian juga bahasa sastra dan bahasa preman. Sekali lagi, jenis bahasa
ketiganya tetap sama-sama Bahasa Indonesia, tapi gaya bahasa ketigiganya
berbeda. Bahasa jurnaklistik adalah bahasa para wartawan. Cirinya ringkas,
langsung, tidak berlebihan. Bahasa sastra adalah bahasa para sastrawan, yaitu
bahasa yang digunakan para penulis novel, cerpen, puisi, yang cirinya adalah
indah menurut persepsi individual mereka. Sedangkan bahasa preman adalah
bahasa yang digunakan ‘anak-anak jalanan’, yang cirinya ‘kasar’, bersifat
plesetan, dan sesuka mereka. Sering kali mereka tak peduli dengan tata
bahasa.
Kembali pada bahasa
Al-Qurãn dan hadis, dan bahasa Arab bangsa Arab sekarang, yang faktanya
adalah Bahasa Arab. Perbedaan ketiganya hanya pada gaya bahasa, bukan pada
jenis bahasa. Dan gaya bahasa itu ditentukan oleh pengguna.
Jadi, bahasa
Al-Qurãn, faktanya, adalah susunan kosakata Bahasa Arab, yang digukanan oleh
Allah dengan gaya Allah. Bahasa hadis adalah susunan kosakata Bahasa Arab
yang, anta lain, digukanan oleh Nabi Muhammad, dengan gaya Nabi Muhammad,
bila hadisnya berisi ucapan Nabi Muhammad. Dan bahasa bangsa arab adalah
susunan kosakata Bahasa Arab yang digunakan dengan gaya (dialek) mereka
masing-masing.(a.h)
|