Masjid = Baitul-Ma’mur (?)
Masjid Biru, Turki.
THE JAMBI TIMES - Istilah al-baitul-ma’mur
terdapat dalam surat Ath-Thur ayat 4.
Menurut tafsir Departeman Agama, istilah tersebut merupakan sebutan bagi
Ka’bah, “karena Ka’bah selalu mendapat kunjungan untuk Haji, ‘Umrah,
Tawaf, dan lain-lain, atau sebuah rumah di langit yang ketujuh yang
saban hari dimasuki oleh 70.000 malaikat.”[1]
Penafsiran tersebut jelas menggambarkan bahwa
al-baitul-ma’mur secara harfiah berarti: rumah yang ramai, karena banyaknya
pengunjung dengan tujuan ‘beribadah’ haji, umrah, tawaf, dan
lain-lain (khusus untuk Ka’bah). Pertanyaan kita adalah: “Betulkah
penafsiran ini, terutama bila kita kaitkan dengan pencantuman istilah itu
dalam surat Ath-Thur?”
Meramaikan masjid
Selain itu, bila bicara tentang masjid,
pada umumnya orang mengutip surat At-Taubah ayat 17-18, yang
memuat kata ya’muru, yang diterjemahkan
menjadi “memakmurkan” atau “meramaikan”.
Dampak dari penafsiran tersebut, kita jadi
sering mendengar seruan atau ajakan untuk “memakmurkan
masjid”, dalam arti “meramaikan”, yaitu membuat masjid selalu dipenuhi
orang yang melakukan berbagai kegiatan. Sidi Gazalba menulis dalam
buku Mesjid/Pusat Ibadat Dan Kebudayaan Islam:
Dalam tujuan untuk kembali mengikat hubungan
jamaah dengan masjid, pengurus harus menjalankan usaha utama yang
bersifat serba tetap yaitu meramaikan masjid. Usaha ini dilakukan dengan
beren-cana, secara sistematik, yang makin lama makin giat. Menurut
tradisi, masjid hanya ramai dikunjungi waktu salat Jum’at. Sekarang
misalnya diusahakan supaya tiap-tiap subuh ia juga ramai
dikun-jungi. Lambat laun juga tiap magrib dan seterusnya. Diberikan
pendidikan/pengajaran secara berkala untuk anak-anak dan orang-orang dewasa.
Dibangunkan perpustakaan. Di halaman atau dalam bangunan dekat masjid dilakukan
kegiatan seni. Di masjid secara berkala dilakukan musyawarah, diskusi,
simposium, dan seminar. Didirikan poliklinik atau rumah sakit dekat
masjid. Taman kanak-kanak dapat bertempat di pekarangan masjid. Taman
atau gedung rekreasi dan gedung pertemuan umum dibangun tidak jauh
dari masjid. Gedung-gedung perkumpulan, lembaga dan yayasan digeser
atau dipindahkan ke dekat masjid. Kantor pramuka dan perkum-pulan
olahraga didirikan dekat masjid. Koperasi dan kantor simpan pinjam
digeser ke dekat masjid. Pendeknya pengurus melakukan seribu satu daya
upaya untuk meramaikan masjid sesuai dengan kondisi
ruang dan waktu. Kegiatan-kegiatan masjid yang serba
terus yang mempunyai daya tarik dan manfaat atau efek kepada jamaah,
lambat laun menanamkan ikatan jamaah dengan masjid. Ikatan ini akan
merasakan pada jamaah bahwa masjid itu kepu-nyaan mereka, mereka anggota
dari padanya. Melalui masjid terja-dilah kontak antara jamaah,
terjaringlah saling hubung kegiatan-kegiatan hidup jamaah. Lambat
laun, mungkin dalam jarak waktu satu atau lebih angkatan
akan terbentuk kesatuan sosial Muslim yang diikat oleh Ukhuwah dan
menyatakan diri bukan saja dalam kesamaan di bidang ibadat, tapi juga persamaan
dalam kebudayaan.[2]
Gagasan Gazalba tersebut sangat menarik,
dan agaknya cukup menggambarkan tentang “bagaimana keadaan
masjid yang seharusnya (ideal)” yang bentuk awalnya dibina dan dikembangkan
oleh Rasu-lullah serta para Sahabat. Yang paling menarik bagi penulis
adalah ‘prediksi’ Gazalba bahwa melalui kegiatan “meramaikan” masjid
terse-but kelak, dalam kurun waktu satu atau dua generasi,
akan terbentuk “kesatuan sosial Muslim” yang diikat oleh
Ukhuwah dan menyatakan diri dalam kesamaan ibadat dan persamaan
kebudayaan.
Ide Gazalba memang menarik. Namun landasan
tempat berpijaknya ide tersebut masih terasa kabur. Kita tentu
bertanya: dari mana timbulnya ukhuwah yang
mengikat kesatuan sosial Muslim itu?
Ukhuwwah alias persaudaraan, yang mendalam,
tidak mungkin timbul begitu saja dengan hanya mengandalkan
pemusatan berbagai kegiatan di satu tempat. Lihat saja keadaan pasar. Di situ
manusia berkumpul setiap hari melakukan aneka macam kegiatan.
Namun meskipun setiap hari, dari generasi ke generasi, mereka berkumpul
di satu tempat, rasa persaudaraan di antara mereka tak pernah tumbuh;
karena mereka saling bertemu semata-mata demi memenuhi
kebutuhan masing-masing. Bahkan boleh dikatakan mereka
berkumpul hanya demi mencari keuntungan sendiri-sendiri,
walau untuk itu sering kali harus merugikan orang lain, secara langsung
atau tidak.
Surat Ali Imran ayat 103 menegaskan bahwa
persaudaraan antar sesama manusia hanya bisa terjalin bila manusia secara
serempak dan kompak menjadikan hablullah (agama Allah) sebagai
pegangan hidup. Hablullah itu bentuk konkretnya adalah
Al-Qurãn. Al-Qurãnlah yang meredakan rasa permusuhan yang berkobar di
tengah bangsa Arab, yang sebelumnnya membuat mereka terpecah-belah.
Al-Qurãnlah yang membuat hati mereka menjadi luluh, sehingga tumbuhlah rasa
persaudaraan di tengah mereka.
Gagasan Gazalba, meramaikan masjid dengan
menggunakan “seribu satu daya upaya” bisa dibenarkan sepanjang hanya berkaitan
dengan taktik. Tapi dalam kaitan dengan strategi, yaitu menjadikan agama Allah
sebagai pegangan hidup, yang kelak melahirkan persau-daraan
muslim, maka segala taktik harus diarahkan demi tercapainya
penghayatan nilai-nilai Al-Qurãn.
Dengan demikian, perlu ditegaskan kembali bahwa
masjid terutama harus disiapkan sebagai pusat pembinaan umat, yang
diawali dengan kesiapan para pengurusnya untuk
membimbing jamaah masjid memahami Al-Qurãn. Sekali lagi, ini adalah strateginya.
Sedangkan taktiknya, bisa saja dilakukan seribu satu upaya untuk
‘menjaring’ sebanyak mungkin orang memasuki wilayah masjid. Setelah
masuk, melalui ‘pintu’ mana pun (taman kanak-kanak, madrasah, pramuka,
olahraga, diskusi/seminar, perpustakaan, rumah-sakit, koperasi,
dan lain-lain), semua harus siap untuk menyantap hidangan utama:
Al-Qurãn (yang tentu disampaikan dengan berbagai cara).
Namun harap diingat pula bahwa taktik
‘pengerahan massa’ tersebut belum tentu berhasil mencapai
sasaran sebenarnya. Malah ada kemungkinan massa bisa tenggelam dalam
keasyikan berbagai kegiatan yang disediakan. Cara seperti ini memang
tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah. Sebaliknya, yang dirintis oleh
Rasulullah adalah pembinaan oknum-oknum yang akan
‘meramaikan’ masjid itu dengan penghayatan nilai-nilai Al-Qurãn. Itulah
barangkali sebabnya Rasulullah baru mendirikan masjid (Quba)
setelah hijrah dari Makkah ke Yatsrib (tahun ke-13 kerasulan). Selanjutnya,
setelah jamaah lebih dulu terbentuk, dan masjid didirikan, segala
kegiatan semacam yang disebutkan Gazalba agaknya hanyalah
‘produk sampingan’ (byproduct) belaka, yang sifatnya bahkan
sangat pragmatis, sesuai situasi dan kondisi yang dihadapi umat, alias
tidak mengadakan kegiatan-kegiatan yang tujuannya asal masjid ramai saja.
Dalam sebuah Hadis (?) bahkan Rasulullah mengisyaratkan bahwa suatu
ketika Islam hanya tinggal namanya, Al-Qurãn hanya tinggal tulisannya,
masjid-masjid ramai, tapi sepi dari petunjuk. (La islama illa ismuhu,
wa la qur’ana illa rasmuhu; masajiduhum ‘ami-ratun khaliyun minal-huda).
Ma’mur = civilized
Perlu diperhatikan bahwa kata ma’mur tidak hanya berarti
ramai, tapi bisa juga berarti terpelihara (cultivated),
atau berperadaban (civilized). Kata ma’mur
yang terdapat dalam surat Ath-Thur ayat 4 bahkan cenderung
mengarah pada pengertian berperadaban. Hal ini diisyaratkan oleh
ayat-ayat sebelumnya:
والطور- و كتاب مسطور- فى رقّ منشور
Ayat-ayat ini agaknya merupakan penegasan
tentang perlunya mengkaji sesuatu yang berkaitan dengan (bukit)
Thursina, tempat Musa menerima wahyu. Wahyu adalah sesuatu yang tidak
terpisahkan dari kitab, alias ketetapan (peraturan) atau hukum,
yang kemudian dilestarikan dengan tulisan (masthur), dalam
lembaran yang terbuka (kulit, kertas, dsb.). Dengan demikian, wahyu juga tidak
terpisahkan dengan pemberadaban manusia. Selanjutnya, penyebutan al-baitul-ma’mur
pada ayat berikutnya (4) memang sangat logis bila ditujukan kepada
Ka’bah, karena surat Ali Imran ayat 96 menyebutkan:
إن أوّل بيت وضع للناس للذى ببكّة مباركا و هدى للعالمين
Sungguh, bangunan pertama yang
dibangun bagi manusia adalah yang terdapat di Bakkah (Makkah),
bangunan yang bermanfaat (mubarakan) sebagai petunjuk bagi manusia.
Penyebutan Ka’bah selalu berkaitan dengan
para Nabi, khususnya Ibrahim dan Ismail, dan akhirnya
Muhammad. Sebuah Hadis Qudsi menceritakan bahwa Nabi Adam suatu ketika
disuruh berhaji di sana. Ini tentu juga merupakan isyarat bahwa penyebutannya
sebagai al-baitul-ma’mur tidak bisa dilepaskan dengan missi
para rasul. Dengan kata lain, istilah al-baitulma’mur itu
tidak bisa hanya diartikah sebagai “rumah yang ramai”, dalam arti
banyak manusia yang tinggal di sekitarnya dan banyak pula yang
berlalu-lalang melewatinya. Pengertian yang lebih memadai adalah
“bangunan yang berperadaban”. Dan ini pun mempunyai dua pengertian.
Pertama, sebagai bangunan pertama di dunia, Ka’bah adalah
bangunan yang dibuat dengan sentuhan peradaban, sehingga berbeda dengan
bangunan-bangunan lain yang dibuat secara primitif. Bentuknya yang berupa kubus
menjadi bentuk dasar semua bangunan ‘beradab’ lain. Kedua,
dalam kaitannya dengan para nabi, Ka’bah adalah bangunan yang menjadi
pusat kegiatan da’wah. (Ingat kisah Ibrahim dan
Ismail). Dan da’wah adalah kegiatan pemberadaban.
(Ingat pengakuan Muhammad: addabani rabbi fa ahsana ta’dibi)
Jadi al-baitul-ma’mur pada hakikatnya berarti
“bangunan berperadaban”; dan karena peradaban sebenarnya bersumber dari wahyu,
maka al-baitul-ma’mur pada dasarnya berarti “bangunan berperadaban
wahyu”. Bila dikaitkan dengan Nabi Muhammad, maka pengertiannya menjadi
lebih defininif, yaitu: “bangunan berperadaban Al-Qurãn “.
Ka’bah sebagai bangunan (masjid)
pertama ditegaskan ayat di atas (Ali Imran ayat 96) mempunyai
nilai mubarakan, berkah, alias berkembang, tumbuh,
bertambah. Selain itu, ia juga berstatus hudan. Kita biasa
menerjemahkan hudan sebagai petunjuk, yang pengertiannya tentu sangat
umum. Secara spesifik, terutama dalam kaitannya dengan Ka’bah, hudan
bisa jadi berarti pola atau model, dalam arti thing to
be copied, sesuatu yang disediakan untuk dicontoh.
Secara fisik material bangunan Ka’bah tidak
berkembang, dan tidak boleh dikembangkan, karena ia
merupakan contoh pertama, yang sekaligus menjadi lambang persatuan umat.
Namun konsep bangunannya, justru harus dikembangkan,
disebarluaskan, di-copy sebanyak yang dibutuhkan. Jelasnya, bila
Ka’bah adalah bangunan masjid pertama, maka masjid-masjid lain, yang
secara prinsip sama dengannya, harus dibangun di mana saja,
sesuai kebutuhan umat Islam, dan karena itu setiap
masjid harus menjadi ‘kiblat’ bagi umat di sekitarnya.
Jadi, masjid-masjid yang dibangun setelah Ka’bah
adalah ‘tiruan’ dari Ka’bah, khususnya dalam ‘sentuhan peradaban’-nya.
Jelasnya, setiap masjid harus dibangun, dihidupkan, sebagai al-baitul-ma’mur,
yaitu “bangunan yang berperadaban wahyu/ Al-Qurãn “. Menjadi
bangunan yang di dalamnya manusia dididik untuk beradab (beretika, berbudaya)
wahyu.(ABC)