Rekaman Pengajian (2)
Shalat: pengenalan visi dan missi
Berikutnya, ada engga peraturan organisasi? Pasti ada. Kalau kita masuk Dînul-Islãm,
aturan organisasinya terdpat di mana? Di mana? Tentu di dalam Kitabullah.
Karena itulah butir berikutnya dari buniyal-Islãmu ‘ala khamsin adalah
ash-shalah. Shalat. Apa shalat?
Kata hadis, ash-shalatu hiyad-du’ã’. Kalau kata Al-Qurãn, shalat itu
apa? Shalat itu kitãban. Atau shalat itu qurãnan. Surat apa tuh? Cari
sendiri.
Ingat kita sedang menyorot shalat dalam konteks organisasi. Ash-shalatu
kitãban. Atau ash-shalatu qurãnan. Kitãban mengacu pada Al-Kitãb(u), qurãnan
mengacu kepada Al-Qurãn. Al-Kitãb dengan Al-Qurãn sama engga?
Jadi, isi dari shalat itu apa? Al-Kitãb, atau Al-Qurãn. Jadi,
kitãban itu pembentukan kesadaran berdasar Al-Kitãb. Atau pembentukan kesadaran
dengan Al-Qurãn.
Ingat kembali. Kita berbicara tentang organisasi. Shalat dalam konteks
organisasi adalah pengenalan visi dan missi organisasi. Islam sebagai
organisasi, visi dan missinya ada di mana? Di dalam Al-Qurãn. Apa ada di luar
itu? Tidak mungkin kan? Visi dan missi Dînul-Islãm itu ada di dalam Al-Qurãn,
dan kita mengenalnya, memasukannya ke dalam kesadaran, melalui shalat. Dalam
shalat, minimal, kita membaca surat Al-Fatihah, yang kedudukannya jelas sebagai
ummul-kitãb, muqaddimah atau pendahuluan dari Al-Kitãb, yang dalam kajian
sistematikan Al-Qurãn kita tegaskan bahwa isi Al-Fatihah itu mewakili sudut
pandang deduktif. Dalam konteks organisasi, sudut pandang deduktif ini setara
dengan visi.
Artinya, katakanlah untuk contoh gampang, kita baru masuk Islam, kalau
sekarang katanya jadi mu’allaf. Cuma lucunya sekarang itu kalau ada orang Cina,
misalnya, masuk Islam, sudah 10 tahun masih disebut mu’allaf juga. Itu konyol.
Jadi, begitu pertama kali kita masuk Islam, bersyahadat, menyatakan
sumpah setia. Jadilah anggota organisasi secara formal (resmi). Selanjutnya,
untuk mengenal visi dan missi Dînul-Islãm itu ya shalat. Minimal dengan
membaca Al-Fatihah. Karena baru kan? Kalau orang baru, masa’ harus baca
Al-Qurãn semuanya? Engga bisa kan? (Yang lama juga engga bisa!). Cukup baca
Al-Fatihah saja, karena itu sudah mewakili Al-Qurãn. Karena itu pendahuluan
kan? Katakanlah sudah mewakili gagasan inti Al-Qurãn.
Seperti pernah saya ungkap, Al-Fatihah itu mewakili pernyataan atau
ikrar semua ‘umat Islam’ ya? Karena di dalamnya kan ada dhamîr (kata ganti
nama) nahnu (kami). Jadi bukan saya atau aku ya? Jadi, kalau ini pernyataan
dari nahnu, Al-Fatihah ini lagi bicara apa? Bicara al-jamã’ah. Ini bukan
urusan pribadi. Al-Fatihah itu mewakili omongan jama’ah. Walaupun dia shalat
sendiri, tetap pakai nahnu. Engga jadi ana kan? Apa kalau shalat sendiri
bacaannya menjadi ihdi shirãthal-mustaqîm? Tetap ihdinã! Walaupun shalatnya
sendirian, mati lampu, engga ada yang lihat. Tetap ihdinã. Ini mewakili
kesadaran jama’ah. Ini saja sudah menjadi indikasi (isyarat), bahwa ketika kita
masuk sebuah organisasi, berarti kita memasuki sebuah jama’ah. Jadi, naif
sekali kalau kita terus ngoja-ngaji tapi tidak menyadari bahwa ujung-ujungny
kita harus membentuk jama’ah.
Kalau bicara organisasi, bicara visi dan missi, maka visi dan missi
organisasi Islam itu terdapat di dalam Al-Qurãn. Kalau visi itu bersifat umum,
mewakili pandangan umum, sedangkan missi itu mengacu pada kekhususan atau
pengkhususan. Mengacu pada hal-hal yang lebih khusus, lebih konkret, lebih
rinci.
Sekali lagi, kalau visi ini bersifat umum, pandangan secara umum, missi ini
lebih bersifat khusus. Jadi kalau menggunakan istilah ini, Al-Fatihah mewakili
visi. Karena ada nahnu di situ, maka dia mewakili visi. Artinya,
visinya itu mengacu ke sini. Dengan membaca Al-Fatihah itu kita menyadari diri
sebagai bagian dari jama’ah.
Kembali ke matan hadis, yang pertama an tasyhada … yang kedua wa
tuqimash-shalata…
Kemudian, yang ketiga tu’tiyaz-zakata…
Pendanaan organisasi
Kalau bicara zakat, biasanya asosiasi kita langsung kepada… al-mãl(u). Apa?
Harta, atau … dana. Organisasi butuh dana. Itu pasti. Jadi, kalau berbicara
zakat dalam konteks organisasi itu adalah pen-dana-an.
Pendanaan jama’ah. Jadi, masuk organisasi, mengenal visi dan missi, terus ikut
mengeluarkan zakat, dalam arti ikut mendanai. Bukan keluarin zakat, misalnya
berupa duit, lalu terserah ãmil (petugas). Ãmil akhirnya jadi tukang
ambil aja kan? Selanjutnya ke mana? Terserah dia.
Jadi, di sini kita lihat bahwa untuk menegakkan Islam sebagai organisasi
itu, pertama harus ada sumpah setia, kedua harus mengenal visi dan missi,
melalui shalat itu. Otomatis kan? Shalat itu memasukkan visi dan misi Al-Qurãn
secara bertahap kan? Lama-lama semakin meningkat. Semakin luas.
Berikutnya, az-zakah. Kalau dibawa ke fiqih, zakat itu kan berarti
zakat fitrah dan zakat mãl, yang dibatasi sejumlan 2,5% dari kekayaan.
Tapi di sini adalah pendanaan jama’ah. Tanya Abu Bakar, berapa persen yang
dikeluarin? Semua. Sehingga ketika ditanya Rasulullah, “Hey, Abu Bakar, di
rumah kamu masih ada engga?” Engga ada, katanya. Yang ada cuma Allah dan
rasulNya. Keren engga Abu Bakar? Yang ada cuma Allah dan rasulNya! Berarti,
habis engga hartanya? Artinya, Abu Bakar siap mengeluarkan dana demi kepentingan
jama’ah. Wah, kalau gitu, masuk Islam jadi miskin dong? Emang iya! Abu Bakar
itu menurut sebuah buku, kalau saya tak salah ingat, mempunyai kekayaan sekitar
limapuluh ribu dinar. Yang tersisa ketika hijrah cuma lima ribu dinar. Atau
sekitar 5% saja(?).
Jadi Abu Bakar yang kaya itu, setelah hijrah, kekayaannya hanya tersisa lima
persen. Siapa yang tidak takut? Siapa yang tidak takut kehilangan hartanya,
sehingga tinggal lima persen? Siapa yang tidak takut?
Makanya, yang paling berat itu adalah mendanai jama’ah seperti Abu Bakar.
Kalau Cuma nyumbang 2,5% persen itu engga berat ya? Kalau saya punya uang
seribu, dua setengah persen dari seribu, berapa sih? Sedikit kan? Tapi kalau
sejuta? Cukup banyak. Seratus juga? Lebih banyak lagi. Semilyar?
Kalau otaknya kapitalis, dua setengah persen dari semilyar itu kan bisa jadi
modal usaha. Tapi kalau Abu Bakar, berhitungnya engga begitu. Saya kasih semua
dah! Lalu, anak-binya gimana? Nah, ini yang orang lupa! Abu Bakar itu seorang
pengusaha. Kalau kita berotak pengusaha, kekayaan itu di mana? Kekayaan itu
bentuknya uang atau barang?
Kekayaan itu uang atau barang?
Uang (sahut peserta).
Uang dan barang (sahut peserta yang lain).
Mana duluan; uang atau barang?
Zaman dulu ada uang engga?
Kalau bicara barang, ada makanan, minuman; ada kayu, ada batu, ada besi, ada
perak, ada emas. Barang semua kan? Siapa yang bikin itu semua?
Tuhan yang bikin (sahut peserta).
Kenapa kita bilang itu punya kita? Kapan kita bikin?
Nah, kemudian manusia bikin uang. Untuk apa? Sebagai alat tukar…
Jadi, mengakui bahwa segala sesuatu milik Allah, ini yang sulit.
“Tapi kalau kita punya anak, yaa kita harus bilang anak kita! Jangan bilang
itu anak Allah! Masa’ Allah punya anak?” (celetuk peserta).
Yaa harus kita pahami bahwa yang dimaksud itu kita mau menyatakan bahwa kita
tidak memiliki apa-apa. Semua itu punya Allah. Karena itu, kita mau diatur oleh
Allah. Bukan berarti kita engga boleh bilang punya rumah, punya duit, punya
anak… Yang dimaksud adalah pada hakikatnya semua itu milik Allah, diserahkan kepada
kita sebagai amanah. Amanah Allah di tangan kita. Anak, amanah Allah di tangan
kita. Kalau titipan, harus diperlakukan seperti apa? Sesuai kehendak yang
menitipkan! Duit di rumah, ada sekian milyar. Titipan Allah! Diperlakukan,
dimanfaatkan, sesuai dengan maunya Allah. Nah, siapa yang tidak takut? Siapa
yang tidak takut berbuat seperti Abu Bakar? Kebanyakan, takut! Walaupun
bilangnya berani. Beraninya berani kabur!
Jadi, kalau kita bicara zakat dalam konteks organisasi, zakat adalah
pendanaan organisasi. Dan di sini bukan bicara presentase lagi, karena ini
bukan bicara zakat dalam pengertian fiqh ya? Bukan yang dua setengah persen
itu. Karena inti dari pengorbanan mu’min itu adalah pengorbanan harta dan jiwa.
Tujahiduna bi-amwalikum wa anfusikum! Berjihad. Bersungguh-sungguh
mengorbankan harta dan jiwa. Jadi, tak ada prosentase. Semua!
Siapa yang engga takut?
Takut semua!
Engga ada yang jadi dah!
Jadi, intinya, dalam organisasi itu harus ada pendanaan. Nah, di situ, yang
paling mampu (kaya) memberikan dana paling banyak. Tapi dengan catatan bahwa
dengan adanya jama’ah itu kan nanti ada baitul-mãl(i) ya?
Fungsi baitul-mãl
Apa fungsi baitul-mãl?
Baitul-mãl itu, di samping untuk menghidupkan jama’ah, … kan nanti
dana yang masuk ada pembagiannya kan. Ini untuk infra struktur, misalnya. Apa
infra struktur? Gedung, misalnya. Sarana fisik ya? Dan lain-lain dah.
Termasuklah nanti untuk subsidi. Untuk BLT lah. Apa? Bantuan Langsung Tewas?
Haha! Bantuan langsung tunai. Bantuan dari pemerintah, langsung diterima, kontan.
Jadi, ketika dana masuk ke dalam baitul-mãl jama’ah, dana itu tidak
boleh musnah. Fungsi jama’ah itu adalah membuat dana mengalir. Mengalir kepada
yang berhak. Dengan kata lain, jama’ah juga harus mampu menghidupkan ekonomi
anggotanya… Sehingga nanti yang pertama menjadi mustahiq, berikutnya
menjadi muzakki.
Jadi, sekali lagi, dana yang masuk, diterima ãmil itu, jangan
musnah ya? Siapa ãmil? Tukang ngambil? Ãmil itu petugas.
Kalau dalam bahasa Arab sekarang, muwazhaf. Apa itu muwazhaf?
Pekerja. Pegawai kantor.
Jadi, jama’ah itu, dari anggota untuk anggota.
Mirip demokrasi?
Bukan dari anggota untuk pemimpin ya? Kalau jama’ah tidak dihidupkan,
anggota terlantar. Seperti saya cerita soal beli buku itu. Semua anggota harus
punya satu buku. Tapi kita kan tidak semua punya uang. Maka yang duitnya
berlebih, beli dua buku. Satunya untuk siapa? Untuk yang tidak mampu membeli.
Dan yang tidak mampu, tidak boleh malu. Karena kita adalah… kullu mu’minin
ikhwatun. Semua mu’min itu bersaudara.
Kemudian, ingat juga bahwa dalam istilah zakat itu, selain ada pengertian bersih,
ada pengertian tumbuh ya? Pengertian ini, keduanya harus muncul.
Seperti dalam pengertian umum, dengan mengeluarkan zakat 2,5% harta kita
bersih dari hak orang lain. Kalau masih ada hak orang lain yang kita
pertahankan, berarti harta kita kotor. Kemudian, tumbuh. Yaitu yang 2,5% itu
kita masukkan ke jama’ah, ke baitul-mãl, itu harus tumbuh. Harus
menumbuhkan ekonomi jama’ah. Harus mengalir ke setiap yang berhak.
Jadi jangan kita pahami mengeluarkan zakat, mengeluarkan uang receh itu,
sebagai sekadar buang dosa ya? Buang dosa setahun sekali, dengan mengeluarkan
2,4% persen. Itu pun kalau hartanya sudah sampai nishab. Kalau yang
belum, ya engga berzakat. Jadi dengan demikian, oramg yang pelit jadi aman kan?
(Apakah untuk ikut mendanai jama’ah harus menunggu kaya?).
Ketahanan fisik dan mental
Kemudian butir yang keempat, ash-shaum. Ash-shaum(u) itu intinya ash-shabr(u).
Apa ash-shabr? Ketahanan fisik dan mental.
Untuk mempertahankan
apa? Kembali ke tema. Pokoknya, biar lapar, biar haus, biar lemas, gua mau
mempertahankan Al-Qurãn!
Intinya, shaum dalam konteks jama’ah adalah pembinaan ketahanan fisik dan
mental untuk menegakkan dan mempertahankan Al-Qurãn. Kalau menurut fiqh kan
terbalik. Puasa untuk cuci dosa. Kalau puasanya engga batal, dosanya bersih.
Dikutiplah dalil man shama ramadhana imanan wahtisaban ghufira lahu min
dzanbihi ma taqaddama wa ma ta’akhara. Jadi, kalau sudah puasa sebulan,
dosa-dosanya yang terdahulu dan yang akan datang, diampuni! Dihapus.
Kalau dosa yang akan datang sudah dihapus, padahal kita belum berbuat dosa,
berarti harus berbuat dosa dulu kan? Makanya, setelah puasa, saya harus
nyolong, harus nipu dulu, supaya bisa diampuni kan? Jadi, pemahaman seperti
itu, kira-kira membuka peluang untuk berbuat jahat engga?
Kalau begitu, bagaimana kita memahami ghufira lahu min dzanbihi ma
taqaddama wa ma ta’akhara?
Kita bahas kata ghufira dulu ya?
Ghufira itu kata kerja pasif (fi’lul-majhul).
Kata kerja aktifnya, ghafara, yang menurut kamus Al-Munjid berarti (1)
ghatã (menutup), dan (2) ashlaha (memperbaiki).
Tinggal pilih. Kalau kita pakai menutup, maka dengan berpuasa,
segala kesalahan yang dulu dan yang akan datang, kita tutup. Dengan apa
nutupnya? Siapa yang nutup? Apa Allah yang nutup? Kita! Dengan memungsikan
puasa, dosa yang dulu kita tutup. Artinya, tidak diulang. Selesai. Yang
dilakukan dulu, ya sudah selesai. Jangan diulang. Dosa yang akan datang? Yaa
ditutup juga kan? Jangan buka peluang lagi.
Kalau bicara yang ngampunin, siap yang ngampunin?
Ini bukan soal ampunan kok. Tapi dengan menjadi mu’min, dengan – antara lain
– melakukan shaum, kan berarti mengamalkan Al-Qurãn kan? Jadi, dengan shaum
ini, dengan memungsikan Al-Qurãn, saya tutup dosa saya, kesalahan saya, baik
yang saya lalukan di masa dahulu maupun di masa yang akan datang! Ini,
dengan kata lain, kita melakukan perbaikan (ashlaha) diri!
Makanya dalam hadisnya, kan penekanannya pada man shama ramadhana imanan
wahtisaban… Bukan puasa asal puasa, tapi berdasar iman, berdasar ihtisab.
Dengan menerapkan rumusan iman ‘aqdun bil-qalbi wa iqrarur bil-lasani wa
‘amalun bil-arkani.
Ihtisaban, Al-Qurãn menjadi alat hisab, alat hitung, menjadi tolok
ukur, segala macam lah. Apalagi kalau kita berpikir shaum dalam konteks
organisasi. Ini untuk pembinaan ketahanan organisasi. Perlu engga? Untuk apa
masuk organisasi ini? Untuk menegakkan Al-Qurãn. Perlu engga ketahanan atau
pertahanan? Siapa yang melakukan ini? Para anggotanya!
Terus, yang kelima apa? Hajj…
Haji adalah muktamar
Jadi, kalau butir 1 sampai 4 itu hanya mencakup organisasi internal satu
jama’ah saja, urusan dalam negeri saja, al-hajj(u) itu urusannya sudah
antar organisasi, antar jama’ah, antar bangsa, antar negara.
Seperti kata sebuah dalil, Al-hajju mu’tamar. Haji itu muktamar.
Atau Al-hajju ‘arafah. Haji itu sebuah proses saling kenal. Kalau
sekarang kan orang mengartikan haji itu puncaknya ngumpul di padang Arafah.
Walaupun engga saling kenal, yang penting kumpul di situ!
Secara ritual, mungkin benar begitu. Semua orang berkumpul di Arafah. Tapi
intinya adalah melakukan proses saling kenal. Kemudian, muktamar. Apa muktamar?
Kira-kira sama dengan konferensi. Untuk apa? Membahasa permasalahan umat
seluruh dunia, secara ilmiah. Makanya al-hajju itu kan sebenarnya isim
fa’il. Kata kerjanya apa? Hajja. Berhujah, berargumen. Dalam arti
membahas masalah dengan mengajukan dalil-dalil ilmiah. Saling tukar pengetahuan
ilmiah. Saling tukar ilmu. Nah, al-hajju itu adalah pelaku muktamar itu. Orang
yang bisa saling tukar ilmu. Orang yang bisa melakukan barter ilmu. Jadi, dia
atau mereka, adalah delegasi yang membawa missi dari setiap internal jama’ah.
Dari setiap jama’ah lokal.
Makanya kalau kita bicara secara ilmiah, haji kecil (umrah) itu apa? Satu
utusan (wakil) jama’ah, bertemu utusan jama’ah yang lain. Misalnya, dua jama’ah
bertemu. Ini bisa jadi pertemuan jama’ah lokal, bisa juga internasional. Kalau
di Makkah itu sudah pasti kelasnya internasional, karena yang bertemu adalah
para duta bangsa.
Jadi, kalau begitu, bisa engga sembarang orang pergi haji?
Syaratnya apa? Man-istatha’a ilaihi sabilan. Istatha’a (mampu;
sanggup) dalam segi apa? Segi duit? Dalam segi ilmu! Yang siap jadi duta
bangsa. Duta jama’ah. Kalau begitu, bagaimana yang pintar tapi miskin? Yaa
diongkosin oleh jama’ah. Itulah gunanya zakat tadi; antara lain untuk mendanai
haji.
Kalau begitu benar dong orang yang pergi haji dengan dana pemerintah? (tanya
peserta).
Yaa benar, dalam arti dia sebagai pejabat, misalnya, didanai pemerintah.
Tapi missinya apa? Jalan-jalan! Cuci dosa. Ngilangin stress. Kayak para artis
itu kan? Stres karena habis cerai, atau minta jodoh, pergi haji ke Makkah.
Demikianlah prinsip-prinsip organisasi dalam Dînul-Islãm ya? Ada lima.
Bagaimana dengan umrah? (tanya peserta). Itu kan semacam pertemua tidak
resmi. Seperti halnya puasa di luar Ramadhan.
Kalau haji wada’? (tanya peserta yang lain).
Itu kan haji perpisahan ya? Kalau tak salah, Nabi berhaji hanya satu kali.
Di sini yang terpenting adalah khutbahnya. Nanti kita akan bahas apa itu
Khutbah Wada’ ya?
Selain itu, hal berikutnya setelah Al-Islãm dalam Hadis Jibril itu kan
Al-Ĩmãn ya? Ini akan kita bahas dalam pertemuan berikutnya. ∆